Monday, September 5, 2011

ULTIMATE TRAVELLER PART 5: LOMBOK

Aku nyaris aja kelewatan episode ini gara2 mudik ke tempat nenek. Tapi untungnya aku masih bisa ngejar tayangan ulangnya di hari Minggu. Masih ingat kan mgg kmrn Chloe dan Nathan terpaksa bergabung dalam 1 kelompok. Padahal Andrew sudah mengadu domba Nathan dengan Chloe. Wah, gimana nih lanjutannya? Ternyata lagi-lagi, apa yg erjadi di episode ini sungguh2 tdk terduga.

Dari Pulau Gili Trawangan mereka kini harus menempuh tantangan bekerja spt org Indonesia di Lomobok. Well, itu bakal jd tantangan yg berat, coz para kontestan kita ini kn dr keluarga tajir yg pastinya blm prnh ngrasain hidup susah sebelumnya. Begitu split dg kelompok lain, Nathan dan Chloe hmpr tdk slg berbicara. Namun akhirnya mrk memutuskan, demi kompetisi, mrk harus mencoba bekerja sama. Mslh justru muncul di kelompok Lewis krn Lewis yg tipe pendiam tdk cocok dg Chantel dan Mairi Claire yg tipe partygoers. Ya ampun, aku aja pasti seneng ditemenin ama 2 gadis belia (sebenarnya Lewis yg nggak normal apa aku yg dasarnya pedofilia ya?). Saat Chantel mennayakan lagu favorit Lewis, Lewis bahkan emnjawab “I Will Survive” saking betenya dia (wah, kl lagu kesukaanku “Hamil Duluan”, eh pada nggak nanya ya?).

Di Lombok, kedua tim segera menghadapi realita yg cukup sucks. Berbeda dg Bali dan Gili Trawangan, kehidupan di Lombok msh blm maju dan terkesan “liar”. Nathan sempat bete dg penduduk lokal yg tiba2 mengambil dan membawakan tas mrk untuk imbalan uang (lmyn mhl, 20 ribu!). transport pun sgt sulit mrk dapatkan. Tim Chloe bertugas untuk bekerja di sebuah perusahaan pembuatan tembikar tradisional di, sementara tim Lewis bekerja di perkebunan tembakau.

Chloe lgs mengeluh kondisi kerja di sana yg panas dan penuh asap, begitu pula Chantel dan Mairi Claire yg mengeluh lelah dan kepanasan. Bahkan Chantel smpt ingin behenti, tp Lewis terus mendorongnya. Namun begitu tugas selesai, kedua tim itu sgt bangga dg hasil pekerjaan mrk.

Nathan dan Chloe memutuskan menghabiskan sisa waktu mrk berlibur ke sebuah pantai sepi bernama pantai Mawun. Di sana Nathan dan Chloe yg semula slg membenci justru mjd teman baik. Nathan bahkan mengatakan Chloe adl gadis yg cantik. Perasaan Nathan pd Mairi Claire memang sudah luntur setelah Mairi Claire memeluk dan mencium seorg pemuda Amerika di hadapannya (tp emg sih cow Amerikanya ganteng dan sexy, lho?).

Di pihak lain, hal yg sebaliknya justru tjd. Mairi Claire mengakui bahwa ia mgkn menyukai nathan dan berharap nathan mau menerima. Mairi Claire sadar bahwa walaupun nathan krg keren dan macho dr cow Amerika yg prnh ia kencani di Bali, namun Nathan lbh punya personality alias kepribadian. Wah kyk aku dong, walaupun bdn kerempeng tp aku pny kepribadian ganda (eh, malah bahaya ya?).

Rencana gadis2 untuk menyenangkan Lewis dg mengajaknya memancing gagal total, krn hujan turun dg lebat. Ini menambah kebetean Lewis pd Mairi Claire dan Chantel, walaupun mrk berdua cantik dan sexy (lho, apa hubungannya?). Pada episode ini, mulai terkuak sifat Lewis yg cuek, selfish, bahkan agak kasar. Sementara itu, Nathan menghabiskan uang bonusnya mgg lalu untuk menraktir Chloe dg makan malam romantis di tepi pantai dan membelikannya gelang persahabatan.

Pada akhir episode, Lewis terpilih mjd traveller of the week (dan Lewis berkata kl dia memang pantas mendapatkannya). Mairi Claire tampak agak cemburu ketika mendengar Chloe dan Nnathan menghabiskan liburan mrk spt pasangan yg sedang berbulan madu. Pada penentuan kelompok, Nathan mjd rebutan dua kelompok, yaitu Mairi Claire _ Chantel dan Chloe – Lewis (Lewis emg lebih cocok dg Chloe). Nathan lbh memilih bersama Chloe, yg membuat Mairi Claire terkejut. Ternyata Nathan tidak mau satu kelompok dg Mairi Claire krn msh merasa sakit hati. Ini membuat Mairi Claire sgt sedih (jgn khawatir dunk, kan masih ada Aa, halah). Nah, bisakah masing2 kelompok menuntaskan tantangan mgg dpn mrk, yaitu tggl bersama keluarga Indonesia di Sumbawa?



JALAN-JALAN KE JURUG, KEBUN BINATANG DENGAN TANDA KUTIP

Kl kalian perhatiin, di dua postingan terakhir aku nyoba nulis dengan bhs sopan dan sesuai EYD. Well trnyta itu pekerjaan yg melelahkan dan sm sekali nggak asik. So, aku kembali ke jati diriku yg sebenarnya yg suka mendobrak aturan hehehe. Kali ini aku akan bercerita tentang taman satwa taru jurug, sebuah kebun binatang di pinggiran kota Solo. It’s a total crap! Believe me, this place is a piece of sh*t! Tapi karena memang tak ada objek wisata lain, ya banyak pemudik “terpaksa” berkunjung ke sini. Tapi ada banyak cerita menarik bs dipetik disini.

Dah tau kn dmn kota Solo? Kl kalian ksini, aku tak sarankan kalian berkunjung ke Jurug (lho?), kecuali kalian mahasiswa hukum yg sedang meneliti ttg animal cruelty atau mhs kedokteran hewan yg mengambil skripsi berjudul “a very bad way to treat endangered species”. Ok, here we go! Cara untuk ke Jurug cukup mudah. Dari pusat kota kalian bisa naik bis apa saja yg menuju ke Palur. Yg plg nyaman adl bus batik trans solo (BST). Ketika kalian nemuin gapura batas kota Solo ini, well kalian sudah sampai.
 
Kudengar Pemkot Solo merevitalisasi kebun binatang ini. Well, dari yg kulihat, satu2nya yg baru dr tpt ini hanyalah gerbang masuk kebun binatang (nggak kufoto, too boring). Tiket masuknya “cukup” 10 ribu. Begitu masuk, kalian bisa berfoto dengan ular hijau raksasa (oh please, it’s a zoo? Aku liat lbh byk ular di Car Free Day-nya Solo dibanding di sini!).

Jurug saat libur lebaran memang sgt penuh dg para pemudik yg tak pny pilihan lain selain maen k tpt ini. Begitu masuk, kita akan menemukan pasar yg menjual hampir apa saja (sejujurnya, 75% taman ini adl pasar dan 25% baru kebun binatang).

 
Setelah ular, yg pertama kita liat adl gajah, kemudian jalan menyusuri pasar, pasar lagi, dan coba tebak, pasar lagi! Di jalan aku sempat mampir ke taman Gesang yg konon dibangun oleh pemerintah Jepang untuk menghormati jasa Gesang. And surprise, nggak ada apa-apa di sana. Bkn salah Jepang yg jelas, tp slh kita yg nggak bs miaranya.
 
Setelah cukup lelah berjalan, akhirnya aku menemukan kandang kuda nil (finally). Well, bisa kubilang itu adalah seekor kuda nil yg teraniaya. Kandangnya sangat kotor, bahkan kita harus menutup hidung karena bau yg menyengat. Aku bahkan tak tahu kuda nil itu msh hidup apa nggak.

Beberapa lama, aku menemukan gapura. Now that’s the real zoo! Yg pertama kuliat adl beruang madu yg kesepian.
 
Lalu ada harimau (sumatra kukira, soalnya harimau jawa dengar2 dah punah sejak 80an).
 
Ada singa sedang bobok.
 
Lalu ada kasuari.
 
Lalu ada bambi yg manis. Ya ampun, makhluk semanis ini ngapain dikandang? Kn nggak berbahaya (kl macan percaya dikerangkeng). Di taman balekambang aja dibiarin lepas bebas (btw baca postingan terakhirku).
 
Nggak usah jauh2 ke Aussy bt ktmu Kangoroo Jack.
 
Pelikan (sepanjang perjalanan baru aku sadar hanya hewan ini yg plg makmur dan nyaman hidupnya, soalnya kerjaannya cm kecipukan air sm makan ikan aja).
 
Yg ganas nih, ada buaya (wow look at his teeth!)
 
Lalu ada merak biru yg manis.
 
Ada cerita lucu nih ttg merak ini. Seisi kebun binatang kyknya menunggu aksi merak ini untuk memekarkan ekornya. Aku aja ampe lari2 ke kandang merak pas pengunjung pd heboh gr2 ekor si merak ngembang. Eh pas ku dah nyampe, ekornya dah nutup lg. Dg sabar aku menunggu merak membuka ekornya lagi. Ekor si merak sempat ngembang dikit. Dalam hati aku bilang, “Ayo…ayo…”.

 
Eh sial mlh nutup lg. Setelah bbrp menit ku mulai bosan (untung nggak ampe kyk spongebob…3 hari kemudian…hehehe). Aku lalu pergi ke kandang monyet dekat situ. Eh begitu aku pergi, ekor si merak beneran ngembang. Wah sialan nih merak, sengaja ya? Lgs aku berlari menuju kandang merak sambil mengambil hapeku. Dan jepret…akhirnya kesampaian juga moto si merak.
 
Kl kalian di Ponorogo dan pengin liat merak ngembangin ekornya, saranku liat aja reog, sama aja kok hehehe. Setelah mengambil foto merak, akhirnya ku sadar cara terbaik menikmati keindahan mother nature adl dg melihatnya dg mataku lgs, bukan lewat lensa kamera.

Dan hanya di Solo kalian bs ngeliat macan istirahat di joglo.


 
Heran dr td mamalianya tdr mulu, pdhl dah jauh2 ksini. Tapi sayangnya aku nggak berani bangunin hehehe.

Ada banteng yg memadu kasih. How romantic!
 
Di sini, bahkan unta pun harus kerja br dpt makan.
 
Hufh capeknya. Setelah puas liat binatang, skrg aku berjalan pulang melewati, yup, pasar dan pasar lagi. Ada yg aneh waktu aku melewati papan nama pohon, where’s the tree?

 
Aku tak menyangka hatiku akan segembira ini berjalan-jalan di tempat sejelek ini. Aku sebenarnya kasihan sm hewan2nya dan kuharap Pemkot Solo segera memperbaiki tempat ini (dan tlg kurangin pasarnya). Pesan terakhirku, seperti pesan pengelola kebun binatang ini:

Benar-benar ironis.

MUDIK KE KUTOARJO

Sebagian besar dari kalian mungkin belum pernah mendengar tentang kota bernama Kutoarjo. Kota ini kota kecil yang berada di Jawa Tengah dan terletak dekat Purworejo atau sekitar sejam dari Yogyakarta. Kota ini tempat asal ibuku, jadi setiap lebaran (diusahakan) kami selalu mudik ke kota ini.

Cara termudah ke kota ini adalah naik kereta sawunggalih (dari Jakarta) atau kereta komuter prameks (dari Yogya). Nah, pada hari lebaran kedua di kalender (yang sebenarnya adalah hari lebaran pertama gara-gara kesalahan pemerintah), kami memutuskan mudik ke Kutoarjo naik prameks dengan harga tiket 20 ribu dengan perjalanan sekitar 2 jam. Hanya ada 4 jadwal keberangkatan dari Solo ke Kutoarjo, namun dari Solo ke Yogya hampir ada setiap jam.

Kutoarjo is not a major tourist destination, bahkan mungkin not a tourist destination at all. Tak ada yang bisa dilihat di kota ini. Kabarnya ada pantai bernama Ketawang di daerah ini, namun semua saudara yang kukenal menyarankan tidak pergi ke sana (pantainya jelek banget kata mereka). Tapi kota ini cukup ramai karena menjadi tempat transit bagi pemudik ke Purworejo. Dari Kutoarjo, kita bisa naik angkot warna kuning ke Purworejo karena memang tidak ada kereta yang mengarah ke Purworejo. Byk berceceran kok angkotnya di dpn stasiun. Nah ini dia stasiun Kutoarjo yang menurutku cukup bagus dan nyaman untuk ukuran sebuah kota kecil.
 
Nah kota kecil ini punya restoran kebanggaan bernama Gudeg Mataram yang kata ibuku gudeg-nya enaaaak banget. Sayangnya pas kami kesana, ternyata restorannya masih tutup hehehe. Kami lalu menuju ke desa kami di Sidodadi, sebuah desa tenang yang dekat dengan perbukitan. Benar-benar nggak bisa dibayangkan dulu ibuku berangkat ke sekolah dengan jalan kaki melewati lanskap ini.

 
Practically, I were doing nothing there, kecuali silaturahmi ke keluarga dekat dan nyekar ke tempat almarhum eyang kakung. Tapi secara jiwaku jiwa petualang (hehehe) aku bangun pagi-pagi sekali di hari kedua untuk menikamti matahari terbit di tengah sawah. Sayang cuaca berawan, jadi hanya gambar ini yang bisa kudapat.
 
Namun pemandangan pegunungan di sebelah utara desaku dengan persawahan yang berkabut cukup breathtaking.


Cukup susah juga buat anak kota sepertiku melintasi tegalan sawah. Dua kali kakiku masuk ke lumpur dan nyaris sandalku hilang (hehehe untung nggak ada lintah), tapi akhirnya aku bisa selamat juga. 

Kami pulang dengan kereta yang sama, tapi kondisi yang sangat berbeda. Kalau kereta yang kami pakai untuk berangkat sangat lengang, kebalikannya saat kami pulang kereta benar-benar penuh sesak. Untung saja sepanjang perjalanan aku mendapat teman baru, yaitu dua laki-laki yang tampangnya terlalu keren untuk ukuran orang lokal. Selidik punya selidik ternyata memang lahir dan besar di Jakarta. Mereka sedang meneruskan perjalanan dari Purworejo ke bandara Adi Sumarmo. Dengan naik kereta prameks, kita memang bisa turun di stasiun Maguwo yang terletak tepat di depan bandara Adi Sumarmo. Cukup praktis dan murah, mengingat kata mereka naik bus damri dr Purworejo ke bandara memakan biaya 175 ribu.

Dua jam perjalanan kuhabiskan dengan berdiri. Di beberapa stasiun ada sih penumpang yang turun. Tapi kalau yang turun Cuma satu dua, itupun yang ada di dekat pintu, nggak ngefek kali! Huh, mana udah penuh, ada yang kentut lagi di dalam kereta. Tapi itu semua kuanggap sebagai pengalaman yang tak terlupakan. Sangat khas Indonesia.

JALAN-JALAN KE BALEKAMBANG SOLO

Taman Balekambang adalah sebuah taman peninggalan Mangkunegara yang terletak di tengah kota Solo. Sejarahnya, taman ini dibangun untuk kedua putri kembar Sultan Mangkunegaran VII yaitu Partini dan Partinah. Taman ini sempat terbengkalai, namun kemudian direstorasi oleh Walikota Solo yang pertama kali dipilih oleh rakyat, yaitu Joko Widodo. Namanya pun diubah menjadi Balekambang Heritage Park (keren kan).

Buat para backpacker yang ingin kesini, well unfortunately tidak ada kendaraan umum yang menuju kesini. Saranku kalian bisa naik bus Atmo (cuma satu jurusan, kalian tak akan bingung) lalu turun di Manahan. Selanjutnya kalian bisa jalan (kalau kuat) atau naik becak ke taman ini. Dulu sewaktu aku pusing bikin skripsi, taman ini jadi tempatku untuk menjernihkan pikiran. Tapi sayangnya sewaktu aku kesini pas lebaran kemarin, kedamaian itu hilang karena ada “pasar dadakan” di sana. Well, sebut saja perbandingannya seperti Tibet sebelum dan sesudah di-occupy oleh RRC.

Ini adalah gerbang masuk Balekambang. Very artistic.
 
Di dalam taman ada banyak pohon rindang yang sejuk, kolam, galeri, bahkan stadium kecil untuk pementasan wayang.



 
Tempat ini sebenarnya (nanti kita akan tahu kenapa aku pakai kata “sebenarnya”) cocok untuk rekreasi keluarga. Ada rusa jinak dan angsa di sini.

Itu gambaran umum taman Balekambang. Sayangnya (dengan segala hormat terhadap pemerintah Solo yang sudah merevitalisasi taman ini), perawatan taman is really a crap! Pinggiran kolam penuh dengan sampah. Dulu taman ini bisa menjadi objek foto pre wedding, tapi sekarang…I’m not sure. Bahkan aku ingat ada air mancur di tengah taman, seperti ini.

 
Sayangnya airnya sudah tidak jalan. Lebih parah lagi, airnya sangat kotor dan ikan-ikan yang dulu bermain di air mancur ini sekarang sudah tidak ada. Hmm, walaupun sisi sejarahnya mgkn telah lama ditinggalkan, namun jika ingin menikmati kesejukan dan rindangnya taman kota, boleh-boleh saja kalian menghabiskan waktu disini, namun jangan berharap banyak. Kabarnya akan dibangun taman reptil disini. Kita tunggu saja kabar beritanya.

Nah, pada kunjungan terakhirku, karena balekambang tidak cukup memuaskan, aku melanjutkan travelling-ku ke pasar Depok, yaitu pasar yang menjual segala jenis binatang peliharaan, terutama burung. Saranku, kalian bisa belok ke kiri setelah keluar dari kawasan balekambang. Di dekat situ, kulihat banyak lapangan dengan tiang-tiang yang digunakan untuk menggantung kandang pada saat lomba kicauan burung.
 
Bersiap-siaplah untuk menikmati kicauan burung yang indah bercampur dengan bau tidak enak dari kotoran burung (resiko pasar di Indonesia). Banyak burung-burung warna-warni dipajang di sana. Cukup untuk memanjakan mata.


Tapi kondisi hatiku berubah dari senang menjadi agak iba begitu masuk lebih dalam ke pasar. Ada banyak hewan-hewan eksotis yang dijual di sana, seperti burung hantu, musang, sejenis kera bermata besar (kurang tahu namanya, bahkan tidak tahu juga itu boleh dijual atau tidak), kelelawar, dan lain-lain. Wah malah jadi miris rasanya melihta hewan-hewan yang seharusnya bebas ini ada dalam kandang. Apalagi saat aku melihat anak-anak anjing dikurung dalam kandang. Jika kalian kebetulan berkunjung ke sana, save them please! Aku jadi ingat teman-teman kampusku dulu pernah mengadakan penyelidikan diam-diam dan menemukan beberapa jenis burung langka yang dijual di sana (tapi aku tidak tahu ada tindak lanjutnya atau tidak).

Saranku sebagai traveller, jangan sampai tersasar. Ikuti saja suara palang kereta api atau carilah gedung apartemen tinggi (Paragon) sebagai penunjuk jalan, niscaya kalian akan menemukan jalan besar. Nah, itulah sedikit kisahku jalan-jalan ke taman balekambang dan pasar depok. Perjalanan ini membuatku sadar bahwa seorang traveller memang tak hanya mengharapkan objek wisata indah yang akan dilihatnya, namun juga harus berkompromi dengan kehidupan nyata yang ada di sekitarnya.


BACKPACKING KE BOROBUDUR

Kuakui dari aku kepengen maen ke Borobudur. Kebetulan karena aku dapat THR (, maka aku ambil kesempatan libur sehari sebelum Idul Fitri untuk travelling ke Borobudur brg nyokap. Aku pilih timing itu karena aku yakin kalau sesudah idul Fitri, tempat ini pasti akan sangat dipenuhi dengan massa manusia berjuta-juta jumlahnya (halah lebay).

Pagi-pagi buta jam 5 aku dan nyokap berangkat dari rumah menuju stasiun Balapan Solo untuk naik kereta prameks jurusan Yogya yang paling pagi. Ingat, namanya pramex ya! Soalnya temen nyokap prnh slh ngomong pesen tiket paramex. Yah, tuh mah obat puyeng kalee. Harga tiketnya murah, cuma 10 ribu. Kereta berangkat jam 5.35. Karena masih pagi sekali, keretapun lengang dan kami leluasa memilih tempat duduk. Sekitar sejam kami sampai di Yogya dan langsung meluncur ke jalan Malioboro untuk naik bus Trans Yogya jurusan terminal. Ternyata kami harus oper, yaitu dari halte Malioboro naik bus 3A, lalu turun di halte Ahmad Dahlan (Rumah sakit PKU), lalu melanjutkan perjalanan dengan bus 2B yang langsung menuju Terminal Jombor. Jangan sampai salah terminal lho! Soalnya kalau naik bus ke arah Magelang, sebaiknya ke terminal Jombor, jangan ke terminal Giwangan, nyasar ke Bali malah entar (mlh asik dong?). Walaupun naik bus dua kali, tapi kami cuma harus membayar satu tiket seharga 3 ribu per orang.

Bus yang kami naiki sangat nyaman dan rutenya pun sangat teratur. Sampai di terminal Jombor, ada dua jenis bus yang menuju ke Borobudur, yaitu bus besar (menuju Semarang) dan minibus (menuju Magelang). Kami pun memilih naik minibus, tarifnya 12 ribu, entah harga normalnya emang segitu atau karena hampir lebaran, lalu tarifnya sengaja dinaikin (soalnya aku baca di blog harganya cuma 10 ribu). Perjalanan memakan waktu sekitar sejam melewati kota Muntilan. Di perjalanan, jangan lupa menegok ke arah kanan karena kalian akan melewati Candi Mendut.

Sesampainya di terminal Borobudur, kami langsung dikejar-kejar tukang becak yang menawarkan jasanya. Tapi karena kami ingin jalan kaki saja (dan mengirit uang saku tentunya hehehe), kami pun menolak dengan halus. Tapi si tukang becak kayaknya tetep kekeuh. Hmm, walaupun cukup terganggu tapi aku salut juga dengan kegigihan pak becak ini, benar-benar enterpreneur sejati (eh, tukang becak termasuk enterpreneur bukan sih?). Sayangnya pak becak ini salah target, sama-sama orang miskin kok dikejar-kejar hahaha.

Begitu sampai di terminal Borobudur, aku terpengarah, “Ya ampun gede banget candinya!”. Eh setelah diliatin lagi, ternyata itu bukan candi tapi gunung hehehe. Jangan harap kalian bisa melihat Borobudur dari kejauhan lho, karena candi ini tidak seperti Prambanan yang dibuat menjulang ke atas, tapi dibuat melebar ke samping.

Lumayan capek juga jalan dari terminal ke candinya. Kalau kalian nggak kuat jalan, coba aja naik becak (paling cuma 5 ribu) atau dokar yang banyak bersliweran di jalan. Di sepanjang jalan menuju candi, banyak toko-toko berjejeran. Yang paling aneh tuh ada toko yang menjual pelampung (di Magelang???).

Di kawasan candi, kami sempat kebingungan mencari jalan masuk, apalagi karena terlalu banyak pasar disini. Ini pemandangan pasar di jalan masuk candi.
Agak membingungkan memang jalannya, tapi akhirnya kami berhasil menemukan loket tiket. Wah tiketnya naik rupanya dari 23 ribu menjadi 30 ribu. Untung tampangku nggak kayak bule, soalnya kalo bule aku dengar tarifnya bisa jadi 150 ribu hehehe. Kami sempat dicek bawaannya (saran: tidak usah bawa makanan ke dalam!) dan harus melewati detektor logam. Maklum sih soalnya Borobudur dulu kalo nggak salah pernah dibom. Tapi kesannya pengecekan itu cuma asal-asalan aja, soalnya pas aku lewat detektornya bunyi (aku bawa jam tangan sama hape) tapi dibiarin lewat.

Sesampainya di dalam, suasana tampak gersang. Maklum lah, ini kan musim kemarau, ditambah lagi efek letusan Merapi beberapa bulan lalu yang menebarkan abunya kemana-mana sehingga banyak tumbuhan mati. Nah, joglo ini adalah tourism centre, jadi jika kalian nggak bisa berbahasa Indonesia, tinggal cari aja guide disini (kalau kalian nggak bisa berbahasa Indonesia, ngapain juga kalian baca blog-ku ya?).


 
Begitu masuk kami harus melewati taman yang panjaaaang sekali (huh, nggak tau apa kita dah jalan dari tadi?). Kalau kalian takut capek, naik aja kereta trans kelinci ini (itu sih aku sendiri yang ngasih nama).
Lalu kami bertemu stand tempat pengambilan kain sarung. Memang sempat kubaca dari blog waktu survey dulu, kalo kita diwajibkan memakai sarung sebelum memasuki candi. Sarungnya biasa sih, cuma putih gitu. Nah, dari sini nih mulai terlihat kemegahan candi, walaupun masih tertutup pepohonan. Setelah memakai sarung, kami pun naik tangga yang cukup curam ke atas candi (untung bokap nggak ikut, nggak kuat pasti naik tangga segini banyak). Sesampainya di depan candi, kami langsung disapa macan yang dadah dadah ini, OMG how cute???

 
Lalu aku juga melihat meriam ini. Wah ini pasti digunakan ksatria pada zaman dinasti syailendra untuk menumpas musuh-musuh dari luar angkasa.
 
Hehehe…bo’ong ding. Ini kalo nggak salah saluran air yang dihiasi seperti moncong gajah. Kami lalu naik ke tangga candi melewati berbagai gerbang, seperti ini gambarnya.
 Eh, adiknya lucu banget. Well, kemudian sampailah kami di area stupa, wah rame banget!

 
Jualan disini laris kali ya, tapi kan nggak boleh hehehe. Sebenarnya salah satu tujuanku kesini adalah menguji keampuhan stupa yang katanya kalau kita menyentuh patung di dalamnya, keinginan kita bisa terkabul. Akan tetapi, jreng…jreng…jreng…

 
Waa, sialan! Mana langsung diusir lagi. Hehehe…bukan ding itu papan penunjuk jalan. Ternyata bagian stupa masih belum selesai dibersihkan dari abu vulkanik Merapi. Wah, gagal dong keinginanku menyentuh stupa, padahal siapa tahu keinginanku married sama Lindsay Lohan tercapai (walah). Akhirnya kami cuma bisa puas memfoto bagian stupa tanpa bisa menyentuhnya.
 
Kami pun melanjutkan jalan-jalan. Iseng-iseng aku memfoto benda aneh ini.
 
Itu bukan prasasti lho, tapi peringatan dilarang corat-coret hahaha. Wah keren, dari atas candi bisa terlihat pemandangan pegunungan yang indah ini.

 
Kami lalu beranjak turun untuk memutari candi. Aku dan nyokap terkagum-kagum dengan teknik bangsa Indonesia dulu dalam membangun candi sebesar ini dan dengan ukiran se-intricated ini. Bagaimana ya cara mereka mengangkut batu-batu sebesar ini? Diukir dulu baru diangkut apa diangkut dulu baru diukir? Apa mereka dibantu alien? Huu jadi maniak ancient aliens gara-gara blog yang kubaca kemarin.

 
Aku pun iseng-iseng berburu relief dengan tema tertentu. Relief di bawah ini kurasa ada di bagian arupadhatu (hayoo masih ingat nggak pelajaran sejarah dulu? Kalo aku sih dah nggak ingat hehehe). Soalnya dah ada Buddha di khayangan.
 
Taunya khayangan? Ya iyalah bisa terbang gitu. Terus yang ini di Kamadhatu kayaknya, soalnya menggambarkan Buddha masih jadi raja.
Iseng-iseng aku mencari relief-relief binatang. Ada macem-macem lho. Ada gajah.
 
Ada monyet.
 
Ada kerbau mau dimaem singa, hauuuum…
 
Kura-kura ama ikan.
 
Ada burung terbang di atas candi. Wah candi di dalam candi, keren tuh.
 
Terus ada angsa. Hayoo dicari coba!

 
Eh, ini kok kayak relief nabi Yunus dimakan ikan ya (tapi sepertinya nggak mungkin)?
 
Yang ini aku sebut “Rayuan Pulau Kelapa” hehehe.

 
Terus aku juga nggak sengaja nemuin relief terkenal ini. Pasti kalian semua pernah melihatnya di buku sejarah sebagai relief yang menggambarkan keperkasaan bangsa kita sebagai bangsa maritim.
 
Wah, bener-bener mau nangis pas bisa ngeliat relief ini dengan mata telanjang, eh, maksudku dengan kedua bola mataku sendiri. Sayangnya banyak relief yang nggak lengkap (hilang mungkin) dan diganti sama batu candi biasa. Jadinya agak aneh, nih dia contohnya.


Denger-denger sih dulu pas penjajahan, Gubernur jenderal Belanda ada yang ngasih berton-ton batu candi Borobudur ke Raja Thailand. Wah nggak tau diri bener, nggak cukup apa ngejajah kita 350 tahun dan juga membuat Nyai Dasimah menderita (lho)?
Aku juga pernah baca, kalau kalian nemuin batu yang ditandai, batu itu adalah batu tambahan untuk mengganti batu candi yang hilang. Seperti ini nih tandanya.


 
Yang lebih disayangkan, aku banyak banget nemuin patung Buddha tanpa kepala.



 
Aduh jadi miris. Yang terakhir tuh malah jadi kayak patung modern minimalis gitu. Nah, kalo patung dan dekorasinya lengkap kayak gini nih.
 
Indah banget khan? Detailnya benar-benar mengagumkan. Tapi salah satu hal yang paling nyebelin dan merusak keindahan candi ini justru adalah PAPAN-PAPAN PERINGATAN yang berceceran dimana-mana. Kayak ini nih, pas aku mendapat spot yang artistik banget (patung Buddha dengan background pegunungan yang indah dan relief-relief keren), malah ada papan peringatan ini.
 
Sakit jiwa apa orang mau manjat-manjat disini? Sekalian aja tulis dilarang lompat dan bunuh diri! Terus pas aku geser kameraku ke kanan (ini spot yg sama lho)….

 
ADA LAGI???! Huh, sekalian aja pasang plakat “Dilarang Melahirkan”, bete gue!!! Payah bener, padahal petugas keamanannya aja dah banyak banget (di deket stupa aja pada seliweran udah kayak pos ronda aja), kenapa nggak mereka aja yang patroli? Lagian di depan kan udah ada pemeriksaan barang-barang bawaan jadi alat-alat buat corat-coret pasti udah disita, ya nggak?

Yang lebih hebat lagi ini nih, tempat sampah dari dinasti Syailendra!
 
Keren banget kan? Jadi penasaran, zaman Syailendra dulu udah ada pemisahan sampah jadi sampah organik ama sampah non-organik belum ya?

Aku juga melihat banyak turis-turis bule yang mengikuti seorang guide yang penjelasannya membingungkan (sedikit-sedikit aku ngerti bahasa Inggris dan penjelasan pak guide-nya justru bikin puyeng). 
 
Tapi penjelasan paling seru aku dapet dari bapak-bapak yang sedang jelasin ke anaknya, “Candi ini dah ada nih sejak zaman dino”. Zaman dino??? Yang bener aja pak, emg sih ABG-ABG sekarang tuh lebay, tp bapaknya jangan ikut-ikutan lebay dong! Hahaha…bener-bener kocak banget tuh bapak.

Setelah capek, kami pun turun dan membaca sedikit tentang sejarah Borobudur dan orang-orang Belanda yang dulu menemukan reruntuhan Borobudur (now that’s the real Lara Croft!). Ah, akhirnya setelah berpanas-panas ria, kami menemukan joglo dan air mancur yang benar-benar membuat sejuk suasana.
 
Di joglo ada museum yang menggambarkan arti tiap-tiap relief. Ternyata ada relief yang memperingatkan manusia agar tidak bergunjing (di bagian kamadhatu kalau nggak salah). Wah kok tadi aku tidak bertemu dengan relief ini ya? Kalau artis dikejar-kejar infotainment, boleh juga nih langsung memajang relief ini sebagai peringatan hehehe. Orang zaman dahulu aja dah tahu bergosip itu dosa.
 
Di sana kami juga menemukan barisan batu-batu candi yang mungkin belum sempat direstorasi. Ada banyak sekali.
 
Batu-batu itu ditandai dengan nomor. Lalu aku melihat lubang segiempat di salah satu batu. Hmm, mungkin begitu cara mereka memasangnya dulu.
 
Begitu kalian keluar dari kawasan candi, tantangan ternyata belum berakhir. Kalau tadi tantangannya menapaki tangga-tangga berbatu, sekarang tantangannya adalah: menghadapi para penjual suvenir, hahaha. Kuperingatin lho, mereka cukup gigih. Tapi kegigihan mereka tak berarti apa-apa melawan kegigihanku menawar. Akhirnya aku membeli patung kepala Buddha kecil seharga 5 ribu dan gantungan kunci kecil seharga seribu. Aku jadi salut dengan cara seorang gadis cilik (anak Jakarta sepertinya) menolak penjual suvenir. Ini nih percakapannya.
“Mau cari apa dik?”
“Mau tauuuu aja.”
Hahaha pede banget adiknya (siapa tuh orang tuanya). Aku jadi dapet ide beberapa cara untuk menolak kejaran pedagang suvenir.

Cara artis:
“Cari apa mbak?”
“Tolong ya…tolong hargai privacy saya!”

Cara Dian Sastro:
“Dagangannya dilarisin mbak!”
“Ooo, jadi dagangan loe nggak laris tuh semua salah gue? Salah temen-temen gue gitu?”

Cara Bule:
“Beli gantungan kuncinya Mas!”
“I’m sorry I can’t speak bahasa” (nggak mempan kalo mukanya muka lokal)

Cara backpacker:
“Murah mas, murah mas!”
“Nggak punya duit bu (sambil menarik saku yang memang udah nggak ada isinya, cara ini dijamin paling ampuh)

Well, that’s only a joke. Jangan bener-bener diterapin guys, apalagi blg kl dapetnya dr blog gue hehehe. Kami pun pulang dengan jalur yang sama seperti waktu kami berangkat tadi. Di Yogya, tak lengkap rasanya kalau tidak mampir ke Malioboro dan menghabiskan uang THR-ku (hiks). Tapi begitu nyampe di sebuah toko, ternyata aku ditolak masuk!


Wah, yang bener aja dong? Dah jauh-jauh kesini. Hehehe, tapi orang Yogya memang kreatif bikin warning sign.

That’s my trip to Borobudur. Singkat, panas, melelahkan, tapi berkesan.