Film-film PG-13 (seperti yang biasa diproduksi oleh Disney) banyak
dianggap sebagai film anak-anak, walaupun sebenarnya kategori yang
lebih tepat adalah “semua umur”. Namun walaupun ditargetkan untuk
seluruh keluarga, tak jarang film-film ini justru memuat
masalah-masalah politik dan sosial yang sesungguhnya saat ini tengah
dihadapi di dunia. Anak-anak yang menontonnya mungkin nggak mengerti,
namun orang-orang dewasa pasti akan langsung menyadari apa saja
“social commentary” yang ada di film itu. Memang sejak awal
keberadaannya, film-film layar lebar tidak hanya diharapkan memberi
hiburan semata, melainkan bertujuan memberi gambaran kehidupan nyata
yang “membuka mata” terhadap para pemirsanya, termasuk mengangkat
masalah-masalah yang mereka hadapi. Berikut ini 10 film bertema PG-13
yang ternyata mengangkat isu-isu berat dalam plotnya.
1. Zootopia
Di antara semua film kartun yang pernah gue tonton, harus gue akui
bahwa “Zootopia” merupakan salah satu yang membuat gue shock
karena isu sosial berat yang dipanggulnya. “Zootopia”
menceritakan sebuah kota yang dihuni oleh binatang yang diresahkan
oleh kasus-kasus menakutkan dimana para “predator” (alias hewan
pemakan daging) tiba-tiba mengamuk, atau istilahnya menjadi “buas”
(savage). Hal ini menimbulkan “prejudice” yang memyebabkan para
hewan memprotes keberadaan para predator ini karena dianggap
meresahkan dan membahayakan jiwa mereka.
Tidak susah memang melihat isu apa yang ingin diangkat film
animasi ini, yakni rasisme dan terorisme. Kasus dimana para predator
yang tiba-tiba menjadi “savage” ini menjadi perumpamaan sempurna
bagi kasus terorisme. Naasnya, bukan hanya predator yang menjadi
“buas” itu yang dipersalahkan, melainkan seluruh komunitas
predator yang tidak tahu apa-apa dan selama ini hidup damai dengan
mereka. Ketakutan akan “kebuasan” mereka membuat masyarakat umum
kemudian mengucilkan dan mempersekusi mereka.
Pada klimaks cerita, sang protagonis cerita ini kemudian
mengetahui bahwa penyebab para predator menjadi “buas” adalah
sejenis bahan kimia dari tanaman bernama “night howler” . Bahkan,
apabila “zat” tersebut diberikan pada hewan yang bukan termasuk
predator, maka mereka akan berubah menjadi “savage” pula. Zat
kimia dari “night howler” merupakan perumpamaan bagi “paham
atau ideologi radikal”. Mereka yang tersusupi paham radikal, dari
asal-usul manapun, pasti akan berbuat kekerasan, dan itu bukan karena
kesalahan golongan mereka. Itulah pelajaran yang bisa dipetik dari
“Zootopia”.
2. Astroboy
Mungkin tak banyak yang mengingat film adaptasi anime Jepang yang
diproduksi oleh Amerika Serikat ini. Film ini memang tak terlalu
mengangkat diskriminasi yang dialami kaum robot seperti pada anime
aslinya, namun karakter President Stone di film ini jelas adalah
karikatur mantan presiden AS, Goerge W. Bush. Di film ini karakter
President Stone merupakan sosok antagonis yang demi meraup
popularitas dan juga suara saat pemilihannya kembali sebagai presiden
berniat melancarkan perang terhadap kaum robot. Ini jelas merupakan
sindiran bagi Bush yang melancarkan perang terhadap Afghanistan dan Irak pasca
Tragedi 9/11.
3. Maleficent
Untuk ukuran sebuah film anak-anak, “Maleficent” memang bisa
dianggap terlalu kelam dan berat, apalagi ada satu adegannya yang
jelas-jelas menggambarkan alegori tentang pemerkosaan. Alkisah,
Maleficent yang semula sosok peri yang baik hati, dibius oleh
kekasihnya untuk kemudian kedua sayapnya dipotong dan dicuri. Reaksi
Angelina Jolie saat memerankan tokoh Maleficent dan menghayati adegan
ini jelas-jelas merupakan reaksi seorang wanita setelah mengetahui
harga dirinya telah direnggut dengan paksa.
Tak hanya itu, selepas kejadian itu, hati Maleficent berubah
menjadi dingin dan penuh dendam, bahkan tega hendak menyakiti bayi
sang “pemerkosanya” (yakni Putri Aurora) dengan melancarkan
sebuah kutukan. Plot ini juga menjadi alegori bagi korban
pemerkosaan, apakah mereka akan berubah menjadi manusia yang
pembenci, ataukah memilih untuk tetap percaya pada cinta. Opsi kedua
itulah yang kemudian dipilih Maleficent ketika hatinya akhirnya
diluluhkan oleh Putri Aurora yang kemudian dianggapnya sebagai
putrinya sendiri.
4. X-Men 2
Kesetaraan hak memang menjadi isu utama yang diangkat X-Men,
bahkan sejak franchise ini masih menjelma dalam bentuk komik. X-Men
menceritakan tentang para mutan yang kehadirannya dibenci oleh para
manusia karena takut akan kekuatan mereka. Akibatnya, para mutan
selalu mendapat diskriminasi. Muncullah dua kubu, yakni Profesor X
yang berniat mendidik para mutan untuk mengendalikan kekuatannya dan menggunakannya untuk membantu dan menyelamatkan
manusia, dengan harapan manusia bisa mengubah pikiran mereka terhadap
para mutan. Ada pula kubu yang berseberangan, yakni Magneto yang
ingin membalas dendam dengan cara mengumpulkan para mutan untuk
menghancurkan manusia yang telah menindas mereka. Di kehidupan nyata,
konon sosok Profesor X terinspirasi oleh Martin Luther King dan
Magneto terinspirasi oleh Malcolm X. Keduanya sama-sama pejuang hak
asasi bagi kaum kulit hitam, namun dengan cara yang amat berbeda.
Salah satu adegan paling diingat dari keseluruhan franchise ini
adalah di sekuel keduanya, yakni “X2: United” pada saat salah
satu mutan bernama Iceman (didampingi oleh Wolverine dan Rogue)
mengaku kepada keluarganya bahwa ia berbeda dengan mereka dan bahwa
ia adalah seorang mutan. Namun bukannya dukungan yang ia dapatkan,
melainkan kesalahpahaman dan permusuhan. Apa yang dialami Iceman ini
bisa menjadi alegori bagi “prejudice” yang senantiasa dihadapi
oleh kaum minoritas.
5. Iron Man 3
“Iron Man 3” tak pelak adalah
yang terbaik dari seluruh trilogi Iron Man. Tak hanya film ini
menyadarkan gue akan betapa nyatanya sindrom “PTSD” seperti yang
dialami Tony Stark, namun keberadaan sosok super-villain di film
ini juga menyisipkan sebuah teori konspirasi. Sepanjang film ini
kita diperkenalkan kepada sosok teroris menakutkan bernama Mandarin
yang bertanggung jawab atas berbagai aksi terorisme dan kejahatan
brutal. Namun kemudian plot twist muncul ketika terungkap bahwa
Mandarin ini sesungguhnya hanya aktor bayaran yang digunakan untuk
menutupi aksi kejahatan yang sebenarnya.
Jika kalian penggemar teori
konspirasi, maka kalian tentunya dengan mudah mengaitkan Mandarin
versi ini dengan Osama bin Laden. Publik mengenalnya sebagai otak
dibalik Serangan 11 September. Namun ada pula yang meyakini bahwa
dalang dari isu terorisme adalah pemerintah Amerika Serikat sendiri
demi melancarkan berbagai kepentingan mereka dan Osama sebenarnya
hanyalah tokoh “rekaan” sebagai kambing hitam untuk menutupi
rencana mereka.
6. Thor: Ragnarok
Jika mengingat seri ketiga film sang
dewa petir ini tentu yang audiens ingat adalah adegan-adegan humor
yang mengocok perut. Namun dibalik kocaknya film ini, sesungguhnya
tersimpan sebuah plot yang kelam yang juga sangat relevan dengan
kondisi nyata dunia ini, yakni sejarah gelap suatu bangsa. Raja Odin
yang dikenal Thor sebagai raja yang bijaksana sebenarnya adalah raja
yang kejam dan bersama putrinya, Hela, ia menjajah dan
membungihanguskan bangsa-bangsa yang tinggal di planet lain.
Ini
sebuah alegori bagi sejarah hitam negara-negara yang kini dikenal
sebagai superpower. Amerika Serikat melakukan genosida terhadap kaum
Indian untuk merebut tanah mereka. Begitu pula negara-negara maju di
Eropa punya sejarah kelam dengan kolonialisme mereka yang menimbulkan
penderitaan tak terperikan bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
Bahkan bangsa kita pun memiliki sejarah kelam yang sampai sekarang
tak mau kita akui.
7. Captain Marvel
Banyak pihak yang tak nyaman dengan image “SJW” yang melekat dalam diri Brie Larson, pemeran Captain Marvel di film ini. Namun
superhero wanita besutan Marvel ini tak hanya mengusung kesetaraan
gender dan agenda feminis saja, namun juga isu xenophobia. Bangsa
Skrull di film ini awalnya diperkenalkan sebagai antagonis, sebuah
bangsa yang menyebarkan ketakutan dan aksi terorisme berkat kemampuan
mereka berubah wujud. Namun nyatanya, setelah diulik lebih lanjut,
mereka sesungguhnya adalah korban. Mereka hanyalah pengungsi yang
mencoba bertahan hidup setelah planet mereka dihancurkan oleh bangsa
Kree.
Plot ini tak jauh dengan masalah faktual yang kita hadapi,
terutama tentang para pengungsi. Xenophobia adalah ketakutan tak
lazim akan orang-orang luar, termasuk warga keturunan asing dan juga
pengungsi. Banyak yang beranggapan bahwa kaum pengungsi, terutama
yang berasal dari Afrika Utara dan Timur Tengah adalah orang-orang
yang radikal dan juga teroris. Stereotip sama juga dihadapi kaum
pengungsi dari Amerika Latin yang datang ke Amerika Serikat. Padahal
jika kita mau berempati dengan mereka, mereka sebenarnya adalah
korban dari perang yang “diciptakan” atau paling tidak diabaikan
oleh Dunia Barat.
Kita mungkin ada yang merasa bahwa isu ini cukup jauh dengan kita,
terutama karena masalah ini seringnya dihadapi oleh negara-negara
Eropa yang menjadi tujuan para pengungsi ini. Namun dari komen-komen
di beberapa artikel di Line tentang para pengungsi yang kini berada
di Bogor dan Kalideres, bahkan bangsa kita pun berpendapat sama
tentang mereka, bahkan ikut menuntut mereka untuk "pulang ke negara asalnya".
8. Black Panther
Isu rasisme sudah jelas didengung-dengungkan di film superhero
kulit hitam pertama ini. Namun selain isu tersebut, ternyata ada hal
lain yang menjadi fokus film ini. Wakanda di film ini diceritakan
sebagai sebuah negara dengan teknologi dan kebudayaan yang maju
berkat pertambangan vibranium yang mereka miliki. Namun mereka
memilih menutup diri dari dunia luar agar melindungi identitas dan
teknologi yang mereka miliki. Tak hanya itu, mereka memilih menutup
mata akan kondisi menggenaskan saudara mereka kaum kulit hitam yang
terus mendapat persekusi dan diskriminasi di luar sana.
Plot ini seakan menjadi sindiran telak bagi negara-negara maju
yang seakan-akan berdiam diri melihat penderitaan yang terjadi di
dunia ini. Lebih spesifik lagi, film ini juga mengkritik
negara-negara yang ogah menerima pengungsi, saudara sesama manusia
mereka, yang sedang kesusahan, dengan dalih melindungi identitas dan
warga mereka. Walau gue akui, keputusan untuk menerima pengungsi
memang isu dan pilihan berat untuk diambil, serta tidak bisa dilihat
dari satu sisi saja.
9. Captain America: Winter Soldier
No offence, film pertama Captan America menurut gue biasa-biasa
saja, bahkan forgettable. Tapi sekuel-sekuelnya justru menurut gue
menjadi film-film terbaik MCU. Berbeda dengan film superhero lain,
kesan yang gue dapat dari menonton Winter Soldier adalah film-film
spy semacam James Bond dan Jason Bourne, bahkan Mission Impossible.
Tak heran, film aksi ini juga menyinggung pemerintah Amerika Serikat
lewat isu politik yang disiratkan dalam salah satu adegannya.
Ketika berduaan dengan Black Widow (RIP Nathasha), Steve Rogers
berhadapan dengan villain bernama Armin Zola yang jiwanya telah
dipindahkan ke sebuah komputer. Di sana, Zola mengungkapkan rencana
jahatnya untuk merebut “kebebasan” warga Amerika dengan merancang
isu terorisme dengan Hydra sebagai dalangnya. Tujuannya satu, agar
warga Amrik menjadi ketakutan dan rela menyerahkan kebebasan mereka,
dengan cara membiarkan pemerintah memata-matai mereka lewat kamera
dan juga internet. Isu ini benar-benar dihadapi oleh warga Amrik
setelah Tragedi 11 September. Ketakutan akan terulangnya insiden
tersebut memecah opini publik menjadi dua. Yang pertama rela
menyerahkan privasi mereka kepada pemerintah untuk mencegah teroris
beraksi di tengah mereka. Yang kedua tetap ogah merelakan privasi
mereka, sebab ada kemungkinan pemerintah berubah menjadi “lalim”
dan menyalahgunakan kekuasaan mereka tersebut.
10. Captain America: Civil War
Film ini gue anggap sebagai film terbaik MCU (titik!) karena tema
sosial berat yang diangkatnya. Pertama adalah kritikan mereka kepada
pemerintah mereka sendiri. Di sini dikisahkan para Avengers dalam
mengejar musuhnya, menggunakan kekuatan mereka hingga melukai warga
sipil. Plot ini bak tamparan bagi militer Amerika Serikat dimana
invasi-invasi militer mereka, terutama di Timur Tengah, menyebabkan
jatuhnya korban sipil tak berdosa yang tak sedikit.
Kedua, Avengers pasca kejadian itu terbelah menjadi dua kubu: team
Iron Man dan team Captain America karena perbedaan ideologi yang
mereka anut. Ironisnya, pendapat yang berseberangan itu membuat mereka
bertempur melawan satu sama lain. Barulah pada film-film berikutnya,
yakni “Infinity War” dan “Endgame” mereka bergabung kembali
dan mengesampingkan perbedaan paham mereka, bahkan saling memaafkan
kesalahan masa lalu mereka satu sama lain.
Kenapa tema ini gue anggap relevan? Karena peristiwa sama tengah
terjadi di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat ada pendukung
Donald Trump vs pendukung Hillary Clinton. Suporter Trump beraliran
konservatif (Republikan), sedangkan simpatisan Hillary lebih menganut
paham moderat (Demokrat). Di Indonesia sendiri, tentu kita tak asing
dengan julukan “cebong” bagi pendukung Jokowi dan “kampret”
bagi pendukung Prabowo. Tragisnya, perbedaan pendapat itu merembet
hingga kemana-mana bahkan menimbulkan perpecahan.
Bukankah kita harus berkaca pada Team Iron Man dan Captain
America, bahwa di atas semua perbedaan mereka, mereka tetap adalah
Avengers? Tak selayaknya kita membiarkan perbedaan pendapat kita
menjadi batu sandungan, melainkan kita harus mengesampingkan semua
perbedaan itu dan bekerja sama demi satu tujuan, yakni keberhasilan
dan kemajuan kita bersama sebagai satu bangsa.
Memang bukan 10 film di atas saja yang juga memuat isu sosial
serius di dalam plot PG-13 mereka. “The Bug's Life” menyoroti
tentang bullying, “Happy Feet” fokus pada dampak kerusakan
lingkungan pada ekosistem, “Wall-E” mengisahkan akibat dari
konsumerisme, ”Ralph Breaks The
Internet” menyuguhkan secuil gambaran tentang dampak negatif dari
internet, dan “Finding Dory” menilik tentang disabilitas dan
penyakit mental.
Apapun temanya, gue setuju bahkan mendukung jika lebih banyak film
anak-anak (eh maaf, semua umur) menyisipkan tema-tema politik seperti
itu (asal tidak berat sebelah dan bukan berupa propaganda) agar
anak-anak semenjak dini bisa memahami persoalan di sekitar mereka dan
menanggapinya dengan bijak.
Yang baru gue tonton cuma film ke 1,2 sm 3. Mungkin bakal nonton yg laennya juga, thanks rekomendasinya. Keep ur good work 👏
ReplyDeleteMantap bang dave ulasannya
ReplyDeletemantap bang, dan gw baru sadar sama hal-hal ini duh, mungkin karena gw cuma nonton doang kali yak tanpa merhatiin lebih dalem, hehe... setelah sekian lama gak nengokin blog ini akhrinya update juga
ReplyDelete