Sunday, February 11, 2024

LOVELESS CREATION: CHAPTER 20 – THE FREEMASON CHAMBER

 


A LOVECRAFTIAN NOVEL

 

Dimas terbangun dan mencoba membuka matanya.

“Mimpi yang benar-benar aneh …” pikirnya, “Kenapa AC-nya dingin sekali?”

Namun ia tercengang ketika menyaksikan atap yang seharusnya menaunginya kini menampakkan birunya angkasa. Rasa dingin kembali menyergapnya dan iapun, sembari mendekap lengannya untuk mempertahankan sedikit kehangatan, menoleh ke Gertrude yang ada di sampingnya.

Ia buru-buru menjerit begitu melihat wanita itu kini tergeletak tanpa kepala dan seluruh sisi bagian pesawat itu telah terkoyak.

“Kau sudah bangun?”

Suara Eric di sampingnya membuat menoleh.

Seluruh pesawat kini telah hancur. Mayat-mayat berserakan dan iapun melihat sesuatu yang lain.

Salju.

“A … apa yang terjadi?”

“Pesawat kita jatuh.” Eric akhirnya menarik sesuatu dari reruntuhan. Handphone-nya.  “Sial, tak bisa dipakai lagi!” makinya.

“Ja … jatuh?” ia menoleh ke sekelilingnya, “Dimana? Di Himalaya?”

“Kurasa bukan.” ia mendongak ke arahnya, “Tak ada pilot yang cukup gila untuk terbang di atas pegunungan tertinggi di dunia. Cari mati namanya.”

“La … lalu dimana yang lain? Tak mungkin hanya kita yang selamat kan?”

Eric bangkit dan menunjuk ke arah hamparan salju di luar pesawat itu. Entah mengapa, ia tetap bisa setenang itu walaupun kematian mengelilinginya.

“Saat aku bangun dari pingsanku mereka sudah menghilang, “Namun lihat itu!”

Dimas menoleh ke arah yang ditunjukkan Eric.

“Je … jejak kaki itu? Mereka semua berjalan menuju ke arah sana?” Dimas buru-buru melepaskan sabuk pengamannya. “Ke … kenapa tak kita ikuti mereka?”

“Apa menurutmu tidak aneh?”

“Aneh bagaimana?”

“Semua jejak kaki itu menuju ke arah yang sama, seakan mereka berbaris. Itu tidak masuk akal kan? Dalam siuasi panik setelah kecelakaan seperti ini, seharusnya mereka bergerak ke semua arah. Jejak kaki harusnya ada dimana-mana. Namun lihat itu, seakan-akan ada Pied Piper yang meniup seruling dan mereka semua mengikuti arah suaranya.”

“Mungkin mereka melihat sesuatu yang bisa menolong mereka. Rumah mungkin.”

“Aku ragu ada yang tinggal di altitude setinggi ini. Namun jika kau mau mencobanya, ayo.”

Mereka berdua keluar dari reruntuhan pesawat itu dan mulai berjalan mengikuti jejak langkah itu. Ada berbagai ukuran dan kedalaman. Dimas menduga, menggunakan otak ilmuwannya, bahwa ada anak-anak hingga penumpang kulit putih yang bertubuh besar mengikuti jalur ini, mungkin dari berbagai kenegaraan dan bahasa. Namun mengapa mereka begitu seia sekata seperti ini? Dalam keadaan stress dan darurat seperti ini, bagaimana mereka bisa setuju untuk berjalan ke satu arah saja, tanpa perdebatan?

“Aneh. …” Eric tiba-tiba berhenti lalu mengamati sesuatu di bebatuan.

“Ada apa?” Dimas menoleh ke arahnya.

Anaphalioides papuana.” tunjuknya ke setangkai bunga putih mungil yang tumbuh di sela bebatuan, bergerak ke kanan dan ke kiri tertiup angin, “Sejenis edelweis.”

“Lalu kenapa? Ini kan puncak pengunungan. Maklum jika kita melihat edelweis.”

“Tapi spesies ini hanya hidup di Papua. Ini tanaman endemik dan tak ditemukan di tempat lain.”

“Aneh-aneh saja kau ini. Mana mungkin kita ada di Papua? Itu bahkan bukan jalur penerbangan pesawat kita. Kan kita terbang ke arah barat?”

Namun ada sesuatu yang menggelitik nalarnya. Dimas lalu berpikir sembari memperhatikan hamparan salju di sekitarnya.

“Bukankah di Papua juga ada salju abadi?”

***

 

“Eric …” Dimas dengan napas tersengal menunduk dan menumpukan kedua tangannya ke lututnya, “Ku …kurasa kita harus beristirahat sebentar …”

“Kau tidak kena altitude sickness kan?” Eric menghampirinya dengan khawatir.

“Ka … kau benar. Jika ada salju di sini, ketinggiannya pasti ada di atas 2 ribu meter. Tapi aku tak apa-apa …” Dimas berusaha menghirup napas dalam-dalam.

“Kau akan baik-baik saja. Kurasa kita semakin dekat. Lihat, jejaknya menuju ke arah …” namun tiba-tiba perkataan Eric terhenti.

“A … ada apa? Apa yang kau lihat?”

“Je … jejaknya hilang …”

“Hilang?” ucap Dimas tak percaya, “Apa maksudmu?”

“Lihat saja sendiri!” tunjuknya.

Dimas segera menghampiri rekannya itu dan tercekam. Ia benar. Jejak-jejak kaki itu tiba-tiba saja menghilang di atas salju, seakan-akan mereka lenyap menguap ke udara begitu saja.

“Di … dimana mereka? Apa mereka terkubur longsor salju?”

“Lihatlah permukaan tanahnya rata, sama sekali tak ada tanda-tanda longsor.”

“Kalau begitu apa mereka jatuh ke sinkhole? Gua bawah tanah?”

“Mana mungkin! Lihat sendiri Dim, tak ada lubang menganga di atas tanah!”

“Tapi pasti ada penjelasan logisnya! Mereka tak mungkin tiba-tiba …” tiba-tiba napas Dimas makin tersengal. Ia terlihat kesulitan bernapas.

“Dim! Jangan panik … kau akan membuat kondisimu makin parah!” Eric melihat sekeliling, “Lihat, ada gua di sana! Kita bisa berlindung di sana sementara waktu!”

Eric segera memapahnya menuju ke gua yang tersembunyi di balik tebing bersalju itu.

“Beristirahatlah di sini!” Eric mendudukkannya ke sebuah batu yang teronggok di dalamnya. Di sana mereka terlindung dari dinginnya angin yang semenjak tadi serasa berniat merasuki tulang mereka. Ia kemudian menyalakan senter yang ia bawa tadi dari dalam pesawat sebagai bekal.

“Semoga ada air atau sesuatu di sini … AAAAAAH!”

“A … ada apa?”

Dimas buru-buru menoleh ke arah yang disinari senter itu dan terperangah.

Ada seorang pemuda di sana, duduk meringkuk dalam keadaan basah kuyub.

Menatap mereka dengan ketakutan.

***

 

“Ini!” Eric menelanjangi jenazah itu, “Pakai saja jaket ini! Aku yakin dia tak keberatan!”

“Dimana yang lain? Apa kau tadi bersama mereka?” tanya Dimas, masih penasaran dengan pemuda tak dikenal yang tengah menggigil kedinginan di hadapannya itu.

“Sudah, biarkan saja dia beristirahat, Dim!” sergah Eric, “Ada banyak makanan di sini jadi …”

“Dimana Lyla dan yang lain? Apa mereka ada di sini juga?”

“Lyla? Siapa maksudmu?”

“Rekan seperjalananku! Aku dan Lyla serta kru yang lain … kami tenggelam saat kapal kami diterjang ombak besar.”

“Tenggelam? Apa maksudmu?” Eric menatap Dimas dengan heran. “Dim, kurasa dia mengalami shock. Dia pasti …”

“Aku tenggelam bersama dengan yang lain, lalu begitu aku bangun, aku berada di sini. Ini semua tak masuk akal!”

“Tunggu, ceritakanlah dari awal.” Dimas berusaha menenangkannya, “Siapa kau sebenarnya?”

“Arya Pangestu.” tatapnya balik, “Aku adalah seorang …”

“Kameramen …” bisik Eric perlahan. Mereka berdua kemudian memandangnya.

“Kau mengenalnya?” tunjuk Dimas.

“Dia Arya, kameramen yang hilang saat syuting sebuah acara survival National Geographic di Papua.”

“Kau tahu aku hilang? Be … berarti mereka mencariku kan? Dimana mereka? Apa Lyla selamat?”

“Maksudmu Lyla Amanda? Presenter terkenal itu?” Dimas keheranan.

“Kau benar anggota kru yang hilang itu? Semua orang membicarakannya di podcast misteri setahun lalu.”

“Setahun? Apa maksudmu? Apa itu podcast?” tanyanya heran, “Aku tak mungkin hilang selama itu. Aku baru saja tenggelam …”

“Arya,” Eric memotongnya, “Kau tak hanya hilang setahun lalu. Kau lenyap 21 tahun lalu.”

“A … apa?” Arya tercekam, “Ka … kau bercanda kan?”

“Dia pasti berbohong!” tegur Dimas, “Pasti seperti katamu tadi, ia mengalami shock dan …”

“Aku tidak gila! Aku Arya Pangestu!”

Dimas menggamit lengan jaket pria yang basah kuyub itu untuk menenangkannya, namun ia tercekam. Air itu lengket, seperti …

Pemuda itu lalu memberanikan diri untuk mencicipinya. 

“Eric …” Dimas menoleh ke arah temannya dengan wajah pucat, “Rasanya asin. Ini air laut.”

 

***

 

Mereka menyalakan api unggun itu dengan berbekalkan busa styrofoam dari bantalan tempat duduk mereka. Hanya ini yang bisa menghangatkan mereka dari deru debu es yang menerpa mereka.

“Jadi kita ada di Papua?” Dimas menatap ke Eric, “Yakin tidak di Kashmir atau Tibet? Hanya itu tempat di lintasan pesawat kita yang bisa kupikirkan memiliki pegunungan bersalju. Kita jelas belum sampai di Eropa karena seharusnya kita transit dulu di Abu Dhabi.”

“Lalu jelaskan mengapa dia bisa ada di sini jika kita memang jatuh di India atau Nepal.” tunjuk Eric.

Dimas menatap pemuda itu. “Apa kau yakin kau tak ingat bagaimana kau bisa sampai di sini?”

“Ti … tidak !” ujarnya gugup, “Yang terakhir aku ingat aku tenggelam karena ombak menerjang kapal kami dan begitu terbangun, aku sudah berada di dalam gua itu, bersama kalian.”

“Ini sama sekali tak masuk akal. Kita …”

“Bagaimana kau menjelaskan jejak kaki yang tiba-tiba menghilang itu? Lalu pria ini? Lalu pesawat kita yang tiba-tiba berada di tempat yang tak seharusnya tak kita lewati?”

“Teleportasi. Hanya itu yang bisa kupikirkan.”

“Apa?”

“Kau tahu sendiri kan, elektron bisa mengalami teleportasi – quantum tunneling. Mungkin saja itu yang bisa terjadi pada kita …”

“Jangan gila! Coba dengarkan apa yang barusan kau katakan!”

“Aku juga tak percaya semua itu bisa terjadi, namun hanya itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal! Kau lihat sendiri hasil penelitian kita. Dualitas gelombang partikel sudah runtuh dan akibatnya tak bisa ditebak. Bisa jadi elektron akan bertindak di luar logika. Tubuh kita sendiri, bahkan semua materi di alam semesta ini, termasuk badan pesawat ini, semua tersusun atas elektron.”

“Aku sama sekali tak mengerti apa yang kalian bicarakan,” potong Arya, “Namun jika aku sudah menghilang 21 tahun lalu, apa kalian tahu apa yang terjadi pada Lyla dan kru yang lain?”

Eric dan Dimas saling bertatapan.

“Dari delapan kru yang tenggelam kala itu, hanya kau yang menghilang. Arya. Yang lain diselamatkan oleh tim SAR beberapa hari kemudian, terombang-ambing di lautan. Mereka sangat beruntung tak dimangsa hiu. Sedangkan kau … tak ada yang tahu keberadaanmu selama 20 tahun. Kemudian pada peringatan 2 dekade menghilangnya dirimu, Lyla membuat story di Instagram tentang dirimu. Karena itulah kami ingat tentang dirimu.”

Story? Apa itu?”

“Ah sudahlah. Kau takkan paham. Yang jelas, kau sama sekali tak menua selama 21 tahun dan karena itulah kami segera mengenalimu sebagai Arya. Lyla setahuku telah menikah dan memiliki dua anak yang sudah masuk kuliah.”

“Oh,” Arya terlihat kecewa ketika mendengarnya. “Aku mengerti. Ia memang berhak untuk melanjutkan hidupnya. Aku sudah pergi terlalu lama.”

Eric dan Dimas saling berpandangan, seolah mencari sepakat apakah mereka akan menceritakan kepadanya yang sesungguhnya. Namun mereka berdua memutuskan untuk bungkam dan menyimpannya dalam-dalam.

“Di gua itu aku mendengar sesuatu. Aku sempat mengira itu Lyla …”

“Mendengar sesuatu?” Eric tampak tertarik, “Maksudmu ada orang di sana?”

“Entahlah. Aku hanya mendengar suara, namun aku tak berani ke sana. Terlalu gelap.”

“Eric, itu mungkin mereka! Para penumpang yang menghilang! Salah satu dari mereka bisa jadi membawa radio komunikasi, suar, atau apapun yang bisa membantu kita keluar dari tempat ini!”

Eric menatapnya setuju, “Baiklah. Ayo kita kembali ke sana!”

 

BERSAMBUNG

 

 

6 comments:

  1. Halo guys, ada yg bisa nebak ga nih cerita ini terinspirasi dari kasus real life apa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lyla Amanda itu Medina Kamil kah ? Kisah kameramen hilang di jejak petualang ?

      Delete
    2. Hehe bener, ternyata ada yg tau jg

      Delete
  2. nemu blog ini lagi, terakhir baca waktu SD sekarang uda kuliah

    ReplyDelete