Friday, September 27, 2024

RITUAL ILMU HITAM: BAB 1 – POST MORTEM

no


Enam tahun yang lalu kisah ini dimulai, ketika seorang pemuda misterius akhirnya mengetahui kekuatan yang tersimpan dalam ritual ilmu hitam, dan bagaimana hal itu bisa menguntungkannya.

 

ENAM TAHUN YANG LALU

“Berapa umurmu?” tanya pria berkumis tebal itu dengan galak. Walau bersuara keras dan sangar, namun justru kumisnya itu nyaris membuatnya tertawa. Tampangnya seperti Pak Raden, seorang pelawak dari era 80-an.

“Ti … tiga belas tahun, Pak ...” jawab remaja itu dengan terbata-bata. Namun bukan karena ketakutan, melainkan karena ia kesulitan menahan tawanya.

“Astaga, muda sekali! Kau pernah melakukan ini sebelumnya?”

Anak itu tak menjawab, hanya menunduk.

Pria berseragam serba putih itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kartu pegawai rumah sakit yang menempel di dadanya ikut naik turun ketika ia menghela napas dalam-dalam.

“Sudahlah, tak apa-apa. Anak-anak zaman sekarang mana mau melakukan hal seperti ini, kecuali kepepet seperti kamu. Lagipula tugasnya gampang kok. Aku yang akan melakukan sebagian besar pekerjaannya; kamu bekerja jadi asistenku saja.”

Pemuda belia itu menatap jenazah di depannya dengan ngeri. Dia terbujur kaku di sana, tak bergerak. Namun terbersit di benaknya, bagaimana jika mayat itu menipunya dan tiba-tiba ia bangkit, lalu menggenggam tangannya ketika ia ada di dekatnya?

“Kau pernah liat orang mati sebelumnya?”

“Sudah, Pak.” angguknya pelan. “Saya biasa hidup di jalanan, jadi saya sering menyaksikannya.”

Perawat pria itu menghela napas lagi, “Kau siapkan saja airnya dan bantu aku mengumpulkan barang-barang pribadinya untuk diberikan pada keluarganya. Kau paham?”

Ia mengangguk kembali.

“Situ, kerannya di sana. Ambil saja embernya dari tumpukan itu dan sediakan satu ember kosong juga.”

“Untuk apa, Pak?”

“Oh ya, aku belum menjelaskannya. Itu tugasmu juga nanti; mengumpulkan air bekas memandikan mayat ini.”

Alisnya naik sebelah, “Untuk apa?”

“Nanti kau juga akan tahu.”

***

 

Anak itu dengan patuh memeras kain lapnya ke dalam ember. Warna keruh yang kotor segera bercampur ke dalam wadah itu. Ia sama sekali tak merasa jijik walaupun ia tahu, air itu berasal dari tubuh mayat yang tadinya berlumuran darah. Ia pernah melakukan hal-hal yang lebih buruk, menjijikkan, dan kotor sebelumnya. Bahkan dibandingkan apa yang ia lakukan demi mengais uang dulu, ini masihlah dalam taraf mudah.

“Aku mau mandi dulu,” pria itu mengatakannya sembari mengernyit. Walaupun sudah melakukan bertahun-tahun, tetap saja terselip rasa risih tiap kali pekerjaannya kelar. Satu-satunya yang membuatnya bertahan adalah bayarannya yang lumayan.

“Ini ditaruh dimana Pak?”

“Barang-barangnya? Taruh saja di nurse station depan sana. Mereka akan mengurusnya dan mengembalikannya kepada keluarganya.”

“Bukan, maksud saya air di ember ini.” tunjuknya, “Dibuang ke selokan?”

Ia masih tak paham dengan tugasnya ini. Mengapa air ini harus diwadahi begitu? Bukankah ada saluran air di ruangan ini? Mengapa mereka tak membiarkannya saja mengalir ke bawah, masuk ke dalam drainase, lalu menghilang selamanya?

“Astaga, kau ini polos sekali ya?” pria itu hanya tertawa meringis, “Simpan saja dulu, hitung-hitung sebagai tambahan pendapatan bagimu.”

Pemuda itu sama sekali tak mengerti, namun pasrah saja ketika seniornya itu melenggang pergi.

“Tambahan penghasilan? Ini saja yang menjadi tambahan penghasilanku!” anak itu meraih sebuah cincin berbatu akik yang ditinggalkan oleh jenazah itu. Agar tak membuatnya dicurigai, ia meninggalkan barang-barang berharga lainnya seperti dompet dan uang tunai.

“Huh, dasar pelit! Aku tahu benar keluarga orang ini membayarnya mahal untuk memandikannya. Namun aku hanya hanya mendapat tip 20 ribu saja.” keluhnya. Namun tak masalah. Ia sadar ia memang tak membantu banyak tadi. Lagipula, cincin itu juga sudah cukup.

“Dik …”

Suara panggilan itu membuyarkan lamunannya. Cepat-cepat ia menyembunyikan cincin yang tadi ia colong.

“Uhm, ada apa Pak?” tanyanya gugup melihat pria yang bersliweran sendirian di kamar mayat itu, “Bapak keluarga jenazah ini ya? Barangnya nanti akan saya …”

“Oh, bukan kok, Dik!” ia buru-buru melambaikan tangannya, “Saya ke sini untuk … itu …” pria itu menunjuknya malu-malu.

Anak itu menoleh ke arah yang dituding pria itu. Ia sama sekali tak mengiranya.

“Ember itu?” tukasnya heran sambil melirik ember berisi air bekas memandikan mayat itu, “Tapi airnya kotor, Pak.”

“Sa … saya akan bayar kok. Tenang saja …” ia mengambil uang kertas dalam bentuk untelan dari sakunya, “I … ini ada uang 50 ribu …”

“Tapi Pak,” anak itu khawatir pria itu tadi tak mendengar penjelasannya.

“Ini saya tambah jadi 100 ribu!”

Ia tercekam. Untuk apa pria ini begitu getol ingin memiliki air yang menjijikkan itu? Terkecuali

“Apa Bapak mau menggunakannya untuk ritual ilmu hitam?” selidiknya.

Ia pernah mendengarnya, walaupun belum pernah membuktikan secara langsung kebenarannya. Ketika bergaul dengan orang-orang sepertinya di jalanan, ia tahu benar, ada orang yang benar-benar nekad demi mengubah nasibnya, bahkan percaya pada takhyul semacam itu.

Benar-benar orang yang putus asa.

Pria itu terlihat makin malu, “Ke … keluarga saya membutuhkannya. Saya akan membuka warung baru … Saya mohon …”

Anak itu berpikir sejenak. Pria itu meminta dengan hampir menangis di depannya. Harusnya ia memberikannya? Apalagi ia tahu air itu akan digunakan untuk tujuan yang tak baik. Astaga, air cucian mayat … untuk apa? Apa ia akan mandi dengannya? Meminumnya? Atau bahkan lebih buruk lagi, menuangkannya ke dalam kuah dagangan di warungnya?

“Lima ratus ribu.” tukas sang anak dengan tatapan tajam. “Mau atau tidak?”

“Sa … saya hanya punya segini …” ia mengeluarkan seluruh gumpalan uang di sakunya. “Tak lebih dari 250 ribu … “

“Baiklah kalau begitu!” anak itu mengangguk. Beruntung tamunya itu sama sekali tak mengira ia masih berusia 13 tahun berkat tubuh tingginya dan cara berbicaranya yang jauh lebih tegas dan dewasa akibat kehidupan keras yang ia jalani. “Bapak bawa wadah sendiri kan?”

“I … iya! Ada di motor saya …” pria itu mengangguk berkali-kali dengan lega, “Terima kasih banyak!”

Anak itu mengernyit ketika pria itu kembali ke parkiran untuk mengambilnya. Perawat itu ternyata benar, ada saja orang yang membutuhkan benda seperti ini.

Ia kemudian menoleh ke ember berisi air yang dianggap bertuah itu.

Terbersit pikiran dalam benaknya, yang sebelumnya tak pernah terlintas sedikitpun di kepalanya. Ia kemudian tersenyum.

Mungkin ini memang bisa mengubah nasibnya.

 

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment