NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.
DUA HARI SEBELUMNYA
“Pada awalnya hanya ada lautan. Air memenuhi muka bumi. Udara masih primitif, dipenuhi gas-gas eksotis yang melakukan reaksi kimia purba di permukaan bumi yang masih hampa dan belum berpenghuni. Sang surya masih menyiksa planet kita dengan radiasi ultraviolet yang belum tersaring karena ozon bahkan belum terformasi.”
Aku
menjelaskan di depan para pengunjung Museum Geologi. Beberapa dari mereka masih
asyik mengikuti tur, sementara lainnya sudah berpencar, mengamati beberapa
koleksi museum. Sebagian besar terpana dengan kilauan batu amethyst dan kristal-kristal lainnya yang memancar dari balik balok
kaca.
“Kemudian
keajaiban terjadi ketika langit dan lautan bertemu. BLAAAR!” aku menyalakan
generator Van de Graaf yang kugunakan untuk memecutkan listrik statis sebagai
model lompatan halilintar. Tentu saja mereka terkejut dan seketika itu juga
tertawa terbahak-bahak.
“Petir.”
ujarku singkat untuk mendramatisir, “Sambaran petir di laut primordial
mengkatalisis reaksi kehidupan pertama – mengubah molekul anorganik yang selama
ini mengapung tanpa tujuan untuk menemukan takdir mereka, yakni menjadi senyawa
organik pertama. Di antaranya adalah purin
dan pirimidin, basa-basa nitrogen
primitif yang menyusun DNA makhluk hidup. Bagi yang ingin mendalaminya lebih
lanjut, silakan saksikan tayangan video berikut ini.”
Para
pengunjung bersila dengan manis di lantai berkarpet dan mulai menyaksikan video
yang diputar di proyektor, sementara aku mengakhiri tugas tour guide-ku.
“Aku
tak tahu apakah kecerdasanmu, ketampananmu, ataukah gaya bicaramu yang
mendramatisir segala sesuatu, yang mempesona para pengunjung itu hingga terpaku
dengan semua bualanmu.”
Aku
menoleh dengan wajah cerah mendengar suara merdu gadis itu.
“Minarti,
kau datang!”
“Sebagai
salah satu korbanmu, perlu aku akui hingga kinipun aku sendiri tak tahu
jawabannya.”
Aku
tertawa, “Tumben kau datang. Sejak dulu kau tak pernah tertarik dengan sains.”
“Hari
ini kan spesial. Apa kau tidak ingat?”
“Tentu
saja aku ingat!” adrenalin membuat
darahku berdesir makin cepat dan meningkatkan frekuensi denyut nadiku.
Aku
sedang berbohong.
Hmmm
... ada apa ya hari ini? Malam minggu masih dua hari lagi dan tidak ada premiere film box office dalam waktu dekat. Apa yang dinanti-nanti Minarti hari
ini ya?
“Baguslah,
nanti malam aku tunggu ya di restoran kesukaan kita. Kau masih harus
menyelesaikan project-mu?”
“Ah,
tinggal sedikit kok. Hanya perawatan rutin reaktor seperti biasa.”
“Luar
biasa.” seorang pria menepuk pundakku. Akupun menoleh. “Baru kali ini aku
mendengarkan seseorang menjelaskan teori evolusi kimia Miller-Urey dengan
sebegitu puitisnya.”
Aku
tersenyum melihat wajah pria separuh baya itu. Baru kali ini aku melihatnya,
pengunjung dari luar kota mungkin. Namun aku selalu “excited” dengan
orang-orang yang memahami sains sepertiku.
Minarti,
kebalikannya, walaupun sangat manis, namun hanya menguap apabila aku
menjelaskan tentang teori kontroversial Dawkins mengenai gen egois ataupun
mengenai biografi Tesla, fisikawan pujaanku. Aku bisa melihat mata sayunya yang
mengantuk ketika aku dengan berapi-api menjelaskan bahwa ide tentang teori
evolusi sebenarnya diciptakan oleh Alfred Wallace dalam penelitiannya di
Indonesia sebelum akhirnya dicuri oleh Darwin, walaupun teori evolusi
sebenarnya pernah dicetuskan oleh ilmuwan Muslim berabad-abad sebelumnya.
“Jadi
halilintar-lah yang memberi kita jiwa?”
“Maaf?”
“Listrik
... dalam tubuh manusia mengalir listrik dalam bentuk impuls saraf,
melompat-lompat di antara nodus ranvier
dan terkoneksi melalui ujung dendrit. Itulah yang membuat jantung kita
berdenyut. Jika listrik itu berhenti mengalir, maka manusia akan mati –
kehilangan jiwanya. Jadi, bisa disimpulkan, halilintar – yang memberi nenek
moyang protosel kita kehidupan – adalah jiwa?”
Aku
berpikir sebentar, “Saya pikir jika kita membicarakan jiwa, maka itu adalah
sisi spiritual manusia. Semua orang memiliki nyawa – yang mungkin Anda maksudkan
– namun jika mereka hanya habiskan untuk ke sana kemari tanpa tujuan, tanpa
hasrat hidup, tanpa sesuatu yang dicintai, saya tak menyebut mereka memiliki
jiwa.”
“Lalu
bagaimana denganmu sendiri? Apa kau sudah menemukan tujuan hidupmu, Anak Muda?”
Aneh
rasanya berbicara dengan orang asing seperti ini tentang idealisme paling
fundamentalis dalam diriku. Namun entah mengapa, aku menemukan kenyamanan
berbincang dengan orang ini.
“Memanfaatkan
sains demi kehidupan manusia – itulah mengapa saya ada.”
“Berarti
Anda akan sangat cocok bergabung dengan kami. Saya ingin mengajak seorang
fisikawan muda berbakat dan kharismatik seperti Anda.” dia mengulurkan kartu
namanya, namun melihat lambangnya, aku langsung menolak.
“Tidak!”
aku mengangkat telapak tanganku, “Saya tidak akan bergabung dengan penelitian
EMP!”
Dia
menaikkan alisnya, “Seharusnya kau tersanjung! Hanya kau satu-satunya mahasiswa
yang saya ajak bergabung, Sancaka. Lainnya adalah profesor dan peneliti
senior!”
Minarti
tampak terkejut ketika ia mengetahui namaku, lebih daripada aku sendiri.
“EMP
akan digunakan sebagai senjata bukan? Hanya itu faedahnya di mata saya.”
“E ...
EMP?” tanya Minarti yang kebingungan, “Apa itu?”
“Electro Magnetic Pulse” jelas Sancaka,
“disrupsi energi elektromagnetik yang bisa mengganggu komunikasi dan merusak
peralatan elektronik. EMP bisa tercipta secara alami, seperti badai matahari, namun
bisa juga diciptakan oleh manusia, apabila memiliki teknologi yang tepat.”
“Penelitian
serum anti-petirmu – itu bukan namanya? – akan membantu menanggulangi serangan
EMP.” potong pria itu.” Ada ketakutan bahwa teknologi itu akan dikembangkan
oleh teroris. Indonesia, negara archipelago
terluas dan terkaya, sang zamrud khatulistiwa, tentu akan menjadi sasaran
empuk.”
“Anda
salah paham dengan serum anti-petir yang saya kembangkan untuk tesis saya.”
untuk kesekian kalinya, kucoba untuk menjelaskan pada orang-orang, “Serum
anti-petir tak hanya untuk menyelamatkan orang yang tersambar petir saja, walau
itu penerapan praktisnya. Serum ini mampu mengobati sel-sel saraf yang terbakar
akibat aliran listrik dan meregenerasinya secara cepat. Tujuan saya lebih untuk
memberikan harapan, walau secuil, bagi penderita degenerasi saraf seperti
Alzheimer dan Parkinson agar mampu menyembuhkan penyakitnya. Saya tak mau ikut
campur dengan masalah militer seperti itu!”
“Namun
serum anti petir itu mampu melindungi rakyat kita dari serangan ledakan energi
dari EMP, bahkan bisa dikembangkan untuk melawan radiasi ...”
“Lalu
apa? Menciptakan tentara super?”
Ia
menatapku dengan amarah yang menyala, namun masih berusaha meredamnya, “Apa kau
bukan patriot, Sancaka? Apa kau tak ingin melindungi negaramu dengan
mengembangkan teknologi ini sebelum keduluan bangsa lain?”
“Perkataan
anda sama persis seperti yang dikatakan pemerintah Amerika Serikat ketika
meminta Albert Einstein memulai penelitian tentang bom atom.” kataku sambil
mencoba menjaga ketegasan dalam mimik mukaku. “Dan kita semua tahu bagaimana
itu berakhir.”
“Tanpa
perang,” dia berbalik dan pergi, “Takkan ada kedamaian.”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment