Thursday, October 3, 2024

GUNDALA JAGAD GENI – CHAPTER 2


GENESIS

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.


DUA HARI SEBELUMNYA

“Pada awalnya hanya ada lautan. Air memenuhi muka bumi. Udara masih primitif, dipenuhi gas-gas eksotis yang melakukan reaksi kimia purba di permukaan bumi yang masih hampa dan belum berpenghuni. Sang surya masih menyiksa planet kita dengan radiasi ultraviolet yang belum tersaring karena ozon bahkan belum terformasi.”

Aku menjelaskan di depan para pengunjung Museum Geologi. Beberapa dari mereka masih asyik mengikuti tur, sementara lainnya sudah berpencar, mengamati beberapa koleksi museum. Sebagian besar terpana dengan kilauan batu amethyst dan kristal-kristal lainnya yang memancar dari balik balok kaca.

“Kemudian keajaiban terjadi ketika langit dan lautan bertemu. BLAAAR!” aku menyalakan generator Van de Graaf yang kugunakan untuk memecutkan listrik statis sebagai model lompatan halilintar. Tentu saja mereka terkejut dan seketika itu juga tertawa terbahak-bahak.

“Petir.” ujarku singkat untuk mendramatisir, “Sambaran petir di laut primordial mengkatalisis reaksi kehidupan pertama – mengubah molekul anorganik yang selama ini mengapung tanpa tujuan untuk menemukan takdir mereka, yakni menjadi senyawa organik pertama. Di antaranya adalah purin dan pirimidin, basa-basa nitrogen primitif yang menyusun DNA makhluk hidup. Bagi yang ingin mendalaminya lebih lanjut, silakan saksikan tayangan video berikut ini.”

Para pengunjung bersila dengan manis di lantai berkarpet dan mulai menyaksikan video yang diputar di proyektor, sementara aku mengakhiri tugas tour guide-ku.

“Aku tak tahu apakah kecerdasanmu, ketampananmu, ataukah gaya bicaramu yang mendramatisir segala sesuatu, yang mempesona para pengunjung itu hingga terpaku dengan semua bualanmu.”

Aku menoleh dengan wajah cerah mendengar suara merdu gadis itu.

“Minarti, kau datang!”

“Sebagai salah satu korbanmu, perlu aku akui hingga kinipun aku sendiri tak tahu jawabannya.”

Aku tertawa, “Tumben kau datang. Sejak dulu kau tak pernah tertarik dengan sains.”

“Hari ini kan spesial. Apa kau tidak ingat?”

“Tentu saja aku ingat!”  adrenalin membuat darahku berdesir makin cepat dan meningkatkan frekuensi denyut nadiku.

Aku sedang berbohong.

Hmmm ... ada apa ya hari ini? Malam minggu masih dua hari lagi dan tidak ada premiere film box office dalam waktu dekat. Apa yang dinanti-nanti Minarti hari ini ya?

“Baguslah, nanti malam aku tunggu ya di restoran kesukaan kita. Kau masih harus menyelesaikan project-mu?”

“Ah, tinggal sedikit kok. Hanya perawatan rutin reaktor seperti biasa.”

“Luar biasa.” seorang pria menepuk pundakku. Akupun menoleh. “Baru kali ini aku mendengarkan seseorang menjelaskan teori evolusi kimia Miller-Urey dengan sebegitu puitisnya.”

Aku tersenyum melihat wajah pria separuh baya itu. Baru kali ini aku melihatnya, pengunjung dari luar kota mungkin. Namun aku selalu “excited” dengan orang-orang yang memahami sains sepertiku.

Minarti, kebalikannya, walaupun sangat manis, namun hanya menguap apabila aku menjelaskan tentang teori kontroversial Dawkins mengenai gen egois ataupun mengenai biografi Tesla, fisikawan pujaanku. Aku bisa melihat mata sayunya yang mengantuk ketika aku dengan berapi-api menjelaskan bahwa ide tentang teori evolusi sebenarnya diciptakan oleh Alfred Wallace dalam penelitiannya di Indonesia sebelum akhirnya dicuri oleh Darwin, walaupun teori evolusi sebenarnya pernah dicetuskan oleh ilmuwan Muslim berabad-abad sebelumnya.

“Jadi halilintar-lah yang memberi kita jiwa?”

“Maaf?”

“Listrik ... dalam tubuh manusia mengalir listrik dalam bentuk impuls saraf, melompat-lompat di antara nodus ranvier dan terkoneksi melalui ujung dendrit. Itulah yang membuat jantung kita berdenyut. Jika listrik itu berhenti mengalir, maka manusia akan mati – kehilangan jiwanya. Jadi, bisa disimpulkan, halilintar – yang memberi nenek moyang protosel kita kehidupan – adalah jiwa?”

Aku berpikir sebentar, “Saya pikir jika kita membicarakan jiwa, maka itu adalah sisi spiritual manusia. Semua orang memiliki nyawa – yang mungkin Anda maksudkan – namun jika mereka hanya habiskan untuk ke sana kemari tanpa tujuan, tanpa hasrat hidup, tanpa sesuatu yang dicintai, saya tak menyebut mereka memiliki jiwa.”

“Lalu bagaimana denganmu sendiri? Apa kau sudah menemukan tujuan hidupmu, Anak Muda?”

Aneh rasanya berbicara dengan orang asing seperti ini tentang idealisme paling fundamentalis dalam diriku. Namun entah mengapa, aku menemukan kenyamanan berbincang dengan orang ini.

“Memanfaatkan sains demi kehidupan manusia – itulah mengapa saya ada.”

“Berarti Anda akan sangat cocok bergabung dengan kami. Saya ingin mengajak seorang fisikawan muda berbakat dan kharismatik seperti Anda.” dia mengulurkan kartu namanya, namun melihat lambangnya, aku langsung menolak.

“Tidak!” aku mengangkat telapak tanganku, “Saya tidak akan bergabung dengan penelitian EMP!”

Dia menaikkan alisnya, “Seharusnya kau tersanjung! Hanya kau satu-satunya mahasiswa yang saya ajak bergabung, Sancaka. Lainnya adalah profesor dan peneliti senior!”

Minarti tampak terkejut ketika ia mengetahui namaku, lebih daripada aku sendiri.

“EMP akan digunakan sebagai senjata bukan? Hanya itu faedahnya di mata saya.”

“E ... EMP?” tanya Minarti yang kebingungan, “Apa itu?”

Electro Magnetic Pulse” jelas Sancaka, “disrupsi energi elektromagnetik yang bisa mengganggu komunikasi dan merusak peralatan elektronik. EMP bisa tercipta secara alami, seperti badai matahari, namun bisa juga diciptakan oleh manusia, apabila memiliki teknologi yang tepat.”

“Penelitian serum anti-petirmu – itu bukan namanya? – akan membantu menanggulangi serangan EMP.” potong pria itu.” Ada ketakutan bahwa teknologi itu akan dikembangkan oleh teroris. Indonesia, negara archipelago terluas dan terkaya, sang zamrud khatulistiwa, tentu akan menjadi sasaran empuk.”

“Anda salah paham dengan serum anti-petir yang saya kembangkan untuk tesis saya.” untuk kesekian kalinya, kucoba untuk menjelaskan pada orang-orang, “Serum anti-petir tak hanya untuk menyelamatkan orang yang tersambar petir saja, walau itu penerapan praktisnya. Serum ini mampu mengobati sel-sel saraf yang terbakar akibat aliran listrik dan meregenerasinya secara cepat. Tujuan saya lebih untuk memberikan harapan, walau secuil, bagi penderita degenerasi saraf seperti Alzheimer dan Parkinson agar mampu menyembuhkan penyakitnya. Saya tak mau ikut campur dengan masalah militer seperti itu!”

“Namun serum anti petir itu mampu melindungi rakyat kita dari serangan ledakan energi dari EMP, bahkan bisa dikembangkan untuk melawan radiasi ...”

“Lalu apa? Menciptakan tentara super?”

Ia menatapku dengan amarah yang menyala, namun masih berusaha meredamnya, “Apa kau bukan patriot, Sancaka? Apa kau tak ingin melindungi negaramu dengan mengembangkan teknologi ini sebelum keduluan bangsa lain?”

“Perkataan anda sama persis seperti yang dikatakan pemerintah Amerika Serikat ketika meminta Albert Einstein memulai penelitian tentang bom atom.” kataku sambil mencoba menjaga ketegasan dalam mimik mukaku. “Dan kita semua tahu bagaimana itu berakhir.”

“Tanpa perang,” dia berbalik dan pergi, “Takkan ada kedamaian.”

 

BERSAMBUNG

 

 

 

No comments:

Post a Comment