KRISTAL
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Aish!
Apa kau tak risih tinggal di kamar seberantakan ini?” aku menggeleng-gelengkan
kepalanya melihat kondisi kamar Awang yang jauh dari kata rapi. Aku sudah
tinggal di sini semenjak pagi dan melihat kebiasaan Awang melemparkan
barang-barang seenak udelnya setelah menggunakannya.
Aku
memungut beberapa barang dari lantai dan menatanya ke atas meja.
“Hei!
Hei! Jangan!” cegah Awang, “Aku lebih suka begitu. Dengan begitu aku tahu
dimana harus mencarinya.”
“Kau
tipe orang seperti itu ya?” aku menatapnya dalam-dalam.
“Orang
seperti apa maksudmu?”
“Abstrak.
Pengguna otak kanan.”
“Dan
kau pasti teroganisir, pengguna otak kiri.”
Kami
berdua terdiam sejenak lalu tertawa terbahak-bahak.
“Astaga ... kenapa orang yang berbeda 180 derajat seperti kita bisa bertemu seperti ini.”
“Maaf
aku tak bisa menemanimu ke ITB. Kau tahu, semua jalan ditutup karena insiden
penyerangan presiden tadi. Aku bahkan tak bisa bekerja.”
“Tak
apa.” kataku. “Cincin yang bagus.”
Aku
menunjuk ke cincin giok yang ia kenakan, namun ia buru-buru menyembunyikan.
“Ah, ini
bukan apa-apa. Barang murah kok.”
“Cincin
akik seperti itu memang sedang trend. Bukankah presiden juga memakainya? Lalu
bagaimana dengan insiden tadi?”
“Benar-benar
mengerikan. Tol Cipularang ditutup. Akses ke kota Bandung semua disterilkan.
Hei, kau tahu?” Awang mengambil kunci motornya, “Toh aku tak bisa bekerja hari
ini, jadi kenapa kita tidak kita ke ITB saja.”
Aku
berdiri. Ia memang sudah berjanji akan membantuku menemukan siapa diriku.
Menurutnya kembali ke kampusku akan mengembalikan beberapa memori.
Entah.
Aku merasa ada sebagian dari diriku yang memang ingin melupakan masa lalu.
Aku
merasa telah mengalami sesuatu yang amat menyakitkan dan tak mau mengingatnya.
***
Minarti
hanya terduduk di atas kursinya. Menanti Sancaka. Ia tahu ia terlalu keras
padanya malam itu. Hingga kini ia belum memberi kabar sedikitpun kepadanya.
Bukannya ia menginginkan permintaan maaf Sancaka, bukan. Ia bukan gadis yang
tak dewasa seperti itu (at least, itulah yang ingin ia pikirkan tentang dirinya
sendiri). Namun insiden yang menimpa presiden tadi membuatnya khawatir. Aksi
teror semakin hari semakin berlanjut. Baru tadi ia menerima kabar tewasnya dua
penjaga museum dimana Sancaka bekerja paruh waktu.
Di
situasi genting semacam itu, pemuda itu justru menghilang selama sehari semalam
dari labnya. Padahal, tempat itu bisa dibilang adalah rumah keduanya. Mustahil
Sancaka sampai tak muncul seperti ini.
Ia
menoleh ke luar jendela. Tampak seorang pria dengan gugup menatap sungai yang
terbentang di depannya.
Ia
lalu memanjat dinding pembatasnya.
“Hei,
hei!” Minarti segera keluar dan menghentikannya. “Apa Bapak ingin melompat?”
Pria
itu berbalik dan keputusasaan jelas mengurat dalam wajahnya.
“Jangan
lakukan itu!” ujar Minarti, “Semua masalah ada jalan keluarnya.”
Ia
tampak memegang sebuah bungkusan.
“Aku
dikutuk ... aku telah dikutuk ...”
“Apa
yang terjadi dengan Bapak?” Minarti mulai khawatir, “Apa Bapak membutuhkan
bantuan?”
“Dikutuk!
Dikutuk!” pria itu makin menggila dan melemparkan bungkusannya ke arah Minarti.
Ia segera lari tunggang langgang, meninggalkan Minarti yang tengah kebingungan.
“Ada
apa dengan orang tua itu?” Minarti heran lalu memungut bungkusan itu.
Karung
kecil itu tampak lusuh. Gadis itu sangat kaget begitu melihat isinya.
Sebuah
cincin dengan mata indah berwarna biru.
***
“Kau
ingat? Ini adalah kampusmu.” Awang menghentikan taksinya dan akupun turun.
Aku
samar-samar mengingat bau pepohonan di sini. Aku juga ingat hal-hal kecil
seperti bagaimana fatamorgana terbentuk di atas aspal parkiran yang gersang saat
matahari bersinar terik.
“Aku
memang pernah berada di sini. Sering bahkan.”
“Tuh
kan!” kata Awang, “Aku menemukanmu di sini. Mungkin ada yang mengenalmu di
sini.”
Mataku
terbelalak begitu menatap ke bawah.
“Itu!”
aku menunjuk ke aspal yang menghitam, “Apa di sana kau menemukanku?”
“Astaga!”
Awang tampak terkejut. “Saat itu malam sehingga aku tak menyadarinya. Apa itu
bekas tempatmu berdiri saat tersambar? Pasti suatu keajaiban kau masih hidup!”
“Serum
anti-petir.” bisikku. Kata itu serasa terlintas begitu saja di kepalaku,
termasuk rumus kimia bahkan model tiga dimensi ikatan atom-atomnya.
Apa aku meminumnya? Apa itu
yang terjadi padaku malam itu?
***
“Reaktor itu perlu diisi.
Bakteri anaerob di dalamnya akan mati jika kita tidak mendeoksigenasi airnya.”
Semua
yang ada di ruangan itu menoleh begitu mendengarku masuk.
“Sancaka!
Ya Tuhan, kemana saja kau!” seorang pemuda berjas lab yang bahkan tak kuingat
namanya menghampiriku.
“Eh
aku ...” aku kebingungan untuk menjawab, “Bagaimana serumnya? Apakah aman?”
Semua
orang saling bertatapan.
“Apa
kau tak ingat? Serum itu hilang semalam.”
“Hilang?
Apa maksudnya hilang?”
Otakku
tiba-tiba terasa berdenyut. Aku ambruk sambil memegangi kepalaku.
“Sancaka,
kau baik-baik saja!” Awang segera menghampiriku. Aku merasakannya memeriksa
denyut nadiku, lalu menekan sisi kepalaku untuk mengecek gejala migrain.
“Kau
berusaha terlalu keras untuk mengingat masa lalumu. Sudah biarkan saja semuanya
kembali dengan pelan. Jangan berusaha membendungnya ataupun mempercepatnya.”
“Siapa
sebenarnya kau?” bisikku dengan geram. “Kau mengaku seorang supir ojol, tetapi
memeriksaku seperti seorang dokter ... Berhentilah membohongku!”
“Aku
hanya berusaha menolongmu, Sancaka.” Ia membalasku tatapan tajamku justru
dengan suara yang teduh, “Hanya itu niatku.”
“Ma
... maafkan aku.” Kemarahanku, yang tadi muncul entah darimana, kembali mereda.
“Sancaka,
apa kau baik-baik saja.” pemuda berjas lab itu terlihat khawatir.
“Aku
tidak apa-apa, aku hanya ...”
Aku
merogoh sakuku dan menemukan sesuatu. Aku menariknya dan melihat logo di kartu
nama itu.
“EMP?”
***
“Apa
serum itu penting untukmu?” Awang mengejarku dari belakang ketika aku keluar
dengan terburu-buru dari laboratorium fisika instrumentasi.
“Itu tesisku.”
jawabku singkat.
“Oke,
berarti itu sangat penting,” ujarnya, “Tapi apa kau benar-benar harus
mendatangi perusahaan EMP itu? Kurasa itu agak berbahaya.”
“Kenapa?”
aku berbalik.
“Apa
kau belum dengar? Serangan terhadap presiden tadi pagi ... teroris itu
menggunakan EMP untuk melumpuhkan Paspampres.”
“Aku
tak punya pilihan lain. Mereka tertarik dengan serumku dan aku menolak
bergabung dengan mereka; malamnya serumku hilang. Terlalu kebetulan bukan?”
“Tapi
tetap saja, mustahil kau mengkonfrontasi mereka ...”
“AAAAAARGH!!!”
kepalaku terasa berdenyut lagi, bahkan semakin menyakitkan. Seolah-olah ada
tangan tak kelihatan tengah memijat otakku.
“Ada
apa, Sancaka?”
Dan
akupun mulai limbung, kehilangan kesadaran.
“SANCAKA!”
***
Pria
itu terus berlari. Namun langkah kaki itu makin mendekat.
“BLAAAAR!!!”
tiba-tiba ada api yang menyambar di depannya. Pria itu langsung tersungkur ke
belakang.
“Mau
mencoba lari ya?” seorang pria muncul di depannya dan mencengkeram kerah
lehernya hingga tubuhnya terangkat.
“Le
... lepaskan aku!” pria itu berteriak dengan gugup.
Jagad
Geni melompat ke ujung gang, tempat tadi ia menyambarkan semburan plasmanya.
Maya muncul dari ujung satunya dengan langkah sepatu hak tingginya.
“Dimana
lapis lazuli itu! Kami menginginkannya!”
“Kumohon
Ghazul ... aku tak lagi memilikinya! Aku sudah membuangnya!”
“KEMANA!”
mata pria itu menyala ketika ia marah.
“A ...
aku tak tahu! Seorang gadis memungutnya!”
“Cari
benda itu!” Ghazul melemparkan tubuhnya ke tanah. Jagad Geni tertawa terkikik
melihatnya.
“Temukan
benda itu atau kau akan mati! Cepat!!!”
Pria
itu langsung lari terbirit-birit.
“Anda
melepaskannya begitu saja, Tuan?” tanya Maya di belakangnya.
“Awasi
dia, Maya!” bisik Ghazul, “Bunuh dia setelah permata itu ditemukan, beserta gadis
yang memilikinya juga. Kita tak bisa membiarkan ada saksi mata.”
Wanita
itu tersenyum.
TO BE CONTINUED
No comments:
Post a Comment