Sunday, July 14, 2024

SHIO: BAB 1 – AWAL BARU

 Dalam episode pertama ini, Fikar dan keluarganya pindah ke sebuah rumah baru dan diperkenalkan kepada para tetangganya. Namun apakah ini akan menjadi awal baru yang indah, ataukah permulaan dari mimpi buruk?


1740


“TIDAK! JANGAN!” teriak wanita itu, terus berlari menuju ke kampungnya, menembus hutan.

Ia menatap ke belakang sesekali di tengah dengusan napasnya yang berderu tiada henti. Ia masih mendengarnya; suara babi hutan itu.

“Ta … aku tak sengaja melakukannya!” teriaknya. “Tameng VOC dengan semua senjata itu … kami harus memajangnya … Jika tidak, kami akan dianggap pengkhianat! Kumohon mengertilah!”

Ia makin terengah-engah, memohon ampun, “Ma … Maafkan aku! Aku tak berniat menyinggungmu!”

Namun suara meringkik itu masih mengejarnya.

Ia menarik anting mutiara di kedua daun telinganya, lalu melemparkannya ke arah suara itu. Rasa perih menjalarinya ketika darah menetes dari cupingnya yang kini sobek, namun ia tak peduli.

“Ini! aku tak menginginkannya lagi!”

NGOIK NGOIK!” suara itu seakan menyahutnya dari dalam belantara hutan.

“Masih kurang? Akan kukembalikan semuanya!” ia meraih cincin giok di jemarinya lalu melemparkannya kembali, namun tak ada tanda-tanda babi hutan itu berhenti mengejarnya.

“Tolong aku … “ teriaknya lagi ketika ia sadar semua usahanya sama sekali tak membuahkan hasil, “To ….”

Ia menyibak rimbunnya dedaunan palem di hadapannya, namun tersentak ketika melihat kampungnya kini tengah terbakar. Para tentara dengan simbol VOC berjaga dengan senapan mereka, menatap para warga yang kini berlarian tak karuan mencoba menyelamatkan diri.

“Masih ada yang lain!” teriak mereka ketika melihatnya keluar dari dalam hutan. Ia berjalan mundur, namun ia tahu, ia tak bisa lari lagi.

Gadis itu menoleh ke belakang, ke arah babi hutan yang menerjangnya.

*** 


MASA SEKARANG


Dalam episode pertama ini, Fikar dan keluarganya pindah ke sebuah rumah baru dan diperkenalkan kepada para tetangganya. Namun apakah ini akan menjadi awal baru yang indah, ataukah permulaan dari mimpi buruk?

“Fikar, lepaskan earphone-mu itu dan mulai bantu Papa dengan …” ia lalu menoleh ke arah anak tertuanya, Aiman. “Apa itu namanya?”

“Waze,” bisik Aiman sambil masih menorehkan tatapan matanya ke layar handphone-nya yang bercahaya, seperti nyala lentera yang menggoda ngengat api.

“Huh, kenapa sih nggak pakai hapenya Aiman saja?” Fikar menggerutu sambil melepas earphone bluetooth-nya, “Kan dia juga nggak ngapa-ngapain?”

“Hapemu kan lebih bagus dan mahal, Kar.” balas Aiman sambil masih menatap layar, sesekali tertawa terkikik dan menggerakkan kedua jempolnya untuk mengetik di keypad maya itu.

“Huh, bilang saja kamu lagi sibuk pacaran!” Fikar masih menggerutu sembari membuka aplikasi map itu, “Lagian kenapa sih nggak suruh Mama aja share-loc lewat Whatsapp?”

“Kan Papa sedang menyetir, Kar. Mana bisa buka hape dalam waktu bersamaan?” dengus sang ayah. “Kau mau kita ditilang?”

“Lagian pakai gaya-gayaan segala lewat jalur alternatif setelah keluar tol tadi. Kejebak macet sih enggak, tapi kesasar iya!”

“Sudah! Masukkan saja namanya, Townhouse Dharmaraja, pasti akan langsung muncul.” Pak Fathur, sang ayah, mulai kesal dengan kekeraskepalaan anak bungsunya yang masih SMA itu.

“Nggak perlu susah-susah. Belok saja sebelah sana!” tunjuk Aiman dengan matanya masih melekat ke layar, namun jemarinya terangkat, menuding ke arah kanan.

“Apa? Ke sana?” karena belokan itu sudah di depan mata, mau tak mau Pak Fathur langsung mengikutinya, “Darimana kau tahu? Ayah saja sering kesasar di sini karena perubahan Pecinan ini yang begitu cepat.”

“Sudah, ikuti saja.” Aiman tampak melongok ke arah jendela, mencari seseorang.

“Di sebelah kiri jalan … Nah, itu dia!”

Pak Fathur menepikan mobilnya dan parkir di bawah pepohonan yang rindang.

“Lho kita sudah sampai?” tanya Fikar keheranan.

“Yap, itu townhouse-nya!” tunjuk ayahnya.

Pemuda itu kemudian menatap ke luar jendela dan terperangah. Suasana di depannya sudah bukan lagi terlihat seperti kota Jakarta yang panas dan macet. Ia merasa seperti di jalanan kota London dengan ruko-ruko bergaya arsitektur Inggris kolonial. Teduhnya pepohonan juga menambah kesan ia seperti berada di sebuah taman di luar negeri, tempat orang-orang bule biasa mengajak anjing mereka jalan-jalan.

“Wah, pengembangnya memang bukan main-main.” Pak Fathur pun ikut terpana. “Pasar Pecinan juga tinggal jalan ke situ sedikit dan Kota Tua juga hanya 5 menit perjalanan dari halte busway yang ada di sana. Benar-benar strategis.”

“Belum ada satu menit sampai, otak bisnis Papa sudah jalan aja ya?” ujar Fikar dengan kesal, “Kalau dijual lagi, pasti untung milyaran, iya kan?”

“Tidak, Nak!” balas ayahnya, seakan mengerti apa maksud anak bungsunya itu. “Ini akan menjadi rumah kita selamanya. Kita tidak akan pindah lagi.”

Namun Fikar sudah bosan dengan janji-janji itu. Ayahnya adalah seorang arsitek lulusan UI, akan tetapi ia tak kunjung mendapat pekerjaan tetap semenjak firma tempatnya dulu bekerja bangkrut. Akhirnya mau tak mau, ayahnya memutar otak mencari penghasilan lain.

Bukan kebetulan jika Pak Fathur memiliki pengalaman dalam membangun rumah, belum lagi istrinya juga bekerja sebagai agen real estate. Untuk itu ia kemudian memutuskan untuk membeli rumah, merenovasinya, kemudian menjualnya kembali dengan harga tinggi. Flip istilahnya, sebuah konsep yang dipopulerkan HGTV, sebuah stasiun televisi yang menayangkan acara khusus desain interior. Keuntungan yang mereka dapat memang lumayan, tapi tentu saja dengan mengorbankan kenyamanan kedua anak mereka.

Karena pekerjaan itu mereka terpaksa sering berpindah-pindah rumah, bahkan bisa sekali dalam setahun. Begitu rumah mereka selesai direnovasi dan dijual kembali, merekapun mencari proyek berikutnya. Bahkan tak jarang, mereka harus berpindah kota. Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Bogor, bahkan sekali mereka sampai di Karawang. Akibatnya, kedua anak mereka selalu berpindah sekolah. Belum lagi ketika pulang, hanya debu, plastik terpal, dan suara alat pertukangan yang menyambut mereka.

Aiman lebih beruntung ketimbang adiknya. Ketika memutuskan kuliah, iapun berhasil keluar dari siklus “kumal” orang tuanya dan tinggal sendirian. Walaupun sekedar ngekost dekat kampusnya, namun ia amat mensyukuri ketenangan batin yang bisa ia cicipi. Kini, tinggal Fikar yang berada di tahun terakhir sebagai senior di sekolahnya, yang harus menanggungnya.

“Ah, itu dia! Hai!” Aiman yang semenjak tadi menempelkan handphone-nya di telinganya lalu melambaikan tangan dan berlari ke arah trotoar dekat mereka. Seorang gadis yang tengah menunggunya langsung memeluknya.

Hati Fikar terasa berdegup lebih kencang menyaksikannya.

“Pantesan tiba-tiba Aiman tahu lokasinya,” Pak Fathur menghampirinya, “Rupanya ada informannya.”

“Halo, Pak Fathur” Nila, gadis itu, segera sungkem kepadanya, “Bapak tidak bareng Bu Isma?”

“Dia ada di dalam kok, menunggu kita. Dimana Pak Sinaga?”

“Ah, maaf. Ayah sedang sibuk dan tak sempat ke sini, jadi saya yang kesini untuk mewakilkannya.” Jawab Nila, nama panggilan akrab gadis itu. Ia lalu melihat kehadiran Fikar dan melambai ke arahnya, “Hai, Fikar!”

“Hai!” dengan gugup Fikar membalas lambaian itu.

“Oh,” raut wajah Pak Fathur terlihat kecewa, “Padahal beliau terdengar bersemangat sekali waktu kami membicarakan townhouse ini tadi malam.”

“Sibuk? Ayahmu?” Aiman berbisik ke arah pacarnya, “Kita semua tahu kalau ayahmu itu pensiunan polisi yang sehari-hari hanya leyeh-leyeh. Apa ayahmu sengaja tak mau datang karena tahu aku di sini?”

“Jangan bilang begitu, Man!” balas Nila, “Kau tahu sendiri kan ayahku punya bisnis sampingan barang antik? Kadang kliennya datang dari luar kota. Aku yakin ayah pasti sibuk menemui mereka.”

“Ah iya, hobi ayahmu itu.” Aiman memutar-mutar bola matanya. “Ayahmu sudah presbiopi bahkan sebelum ia pensiun, Nil. Apa kau yakin dia masih bisa membedakan mana barang antik yang asli dan yang palsu?”

“Hei, Aiman!” teriak Fikar. “Mama manggil tuh!”

Ia mendongak dan melihat Bu Isma melambaikan tangan dari atas lantai dua townhouse itu. Iapun segera masuk mengikuti ayahnya.

“Aku benar-benar iri dengan kalian.”

“Hah?” Fikar menengok dengan keheranan.

“Kau tak repot-repot memanggil Aiman ‘Kak’, padahal selisih usia kalian sangat jauh. Hampir sembilan tahun kan?” Nila mendekat, “Itu bukti bahwa kalian sangat dekat.”

“Huh, ‘Kak’ itu untuk saudara yang dihormati. Sedangkan Aiman, ih, amit-amit jabang bayi!” cibirnya.

“Hei, aku dengar itu!” seru Aiman dari dalam rumah. Nila hanya tertawa mendengarnya.

Fikar ikut tersenyum. Ia selalu bahagia, entah mengapa, ketika melihat gadis itu gembira dan tertawa.

“Memangnya …” ucapan Fikar membuat perhatian Nila kembali teralihkan kepadanya, “Hubunganmu dengan saudara-saudaramu tak begitu dekat?”

Nila mengangkat bahunya, “Saat kami kecil iya, namun setelah kami dewasa dan memiliki kehidupan sendiri, perlahan-lahan hubungan kami mengendor. Lalu ibu meninggal dan ayah tinggal sendirian, jadi mau tak mau aku sebagai anak terkecil harus merawatnya.”

“Oh, maaf …” Fikar merasa bersalah telah mengingatkannya.

“Lelah ...”

“Eh?” Fikar keheranan.

“Kadang sangat melelahkan … hidup seperti ini …” gadis itu menatapnya. Sebutir air mata seolah siap menitik dari pelupuk matanya.

“Kau tidak apa-apa?”

“Ah, maaf. Aku malah meracau seperti ini.” Nila segera menghapus air mata itu sebelum siapapun menyaksikannya, “Ayo kita masuk dan melihat-lihat. Kita juga nanti akan jadi tetangga kan?”

Fikar segera mengantar Nila masuk dan di dalam sana, ibunya melambaikan tangan memanggilnya.

“Sayang, cepat ke sini! Akan Mama perkenalkan pada tetangga baru kita!”

Namun sebelum Fikar sempat menghampirinya, tiba-tiba Nila meraih tangannya.

“Fikar, tolong jangan bilang kakakmu tentang tadi ya?” pintanya. Fikar hanya bisa menjawabnya dengan anggukan singkat sembari memalingkan wajahnya, supaya kekasih kakaknya itu tak melihat raut mukanya yang memerah.

“Fikar, cepat sini! Lihat itu mamamu memanggilmu!” tiba-tiba saja seorang wanita berpakaian blazer abu-abu segera meraihnya dan menyeretnya. Fikar hanya mendengus kesal mengikutinya.

“Tante Mauliza, pelan-pelan …”

“Panggil aku MJ, Sayang!”

Fikar selalu saja dibuat kesal dengan rekan kerja ibunya itu. Intrusif dan kelewat bersahabat. Seorang sangunis; ekstrovert sejati. Berbeda sekali dengan dirinya yang introvert dan melankolis.

“Nah, itu dia datang!” Bu Isma segera mendekap anaknya itu.  “Nah, ini anak saya yang bungsu, Akhmad Zulfikar namanya. Nak, perkenalkan ini tetangga baru kita, Mas Adit dan istrinya yang orang asing!”

“Adhitya Soetjipto,” pria itu menyalaminya, “Dan ini istriku, Yoonji Min.”

Fikar hanya mengangguk melihatnya. “Korea?” tanyanya penasaran.

“Ya, tapi saya sudah hampir 10 tahun di sini. Bahkan SMA saya di Jakarta, jadi sudah fasih berbahasa Indonesia.” wanita itu tersenyum.

“Sebentar lagi mereka juga jadi orang tua lho, Nak!” Bu Isma melirik perut Yoonji yang tengah membuncit, “Kapan lahirannya?”

“Tiga bulan lagi jika semua berjalan sesuai rencana.”

“Ya benar, setelah lahiran kami akan meninggalkan Indonesia dan pindah ke Korea. Tempat yang aman untuk membesarkan anak, bukan?” Adit mencium kening istrinya itu, “Lalu rumah yang kami beli ini akan kami kontrakkan untuk penghasilan tambahan.”

“Waaaaah! Selamat! Punya anak dan rumah baru dalam waktu bersamaan, kalian sungguh beruntung!” Tante MJ langsung berteriak penuh rasa girang. Fikar yang ada di sampingnya sampai harus menutup telinganya gara-gara pekikan yang entah berapa desibel itu.

“Tentu saja, semua yang pindah ke townhouse ini dijamin bakalan hoki!” sang ayah menimpali. “Nah semuanya, kenalkan ini adalah Pak Ocot. Pak Adit mungkin sudah mengenalnya saat merubah KK kemarin, karena semua administrasi kan harus lewat bapak ini.”

“Pak Ocot?” tanya Fikar dengan heran.

“Ya, gara-gara nama yang mengundang salah paham itu saya lebih suka dipanggil Pak RW sesuai jabatan saya di lingkungan ini.” pria paruh baya itu tertawa terbahak-bahak atas leluconnya sendiri. Perutnya yang gembul terlihat naik turun ketika ia tertawa. Dalam hati Fikar merasa ngeri, apakah ia akan terlihat seperti itu ketika dewasa dan menua nanti?

“Nona itu,” tunjuk Pak Fathur ke arah Nila yang tengah berduaan dengan Aiman, “adalah Sharnila, putri Pak Sinaga yang juga akan tinggal di sini.”

“Ada lima keluarga bukan yang akan tinggal di kompleks townhouse ini?” tanya Adhitya, “Saya, keluarga Pak Fathur, Pak RW, Pak Sinaga … lalu yang terakhir?”

“Ah, yang Mas Adit maksud pasti Bu Ummi. Dia sedang mengantar anaknya untuk terapi di rumah sakit jadi tidak bisa ikut ke sini.” jawab Bu Isma.

“Huh, sama sekali tak berubah.” dengus Pak RW sembari meneguk minuman kaleng yang ada di tangannya. Fikar memandangnya dengan heran. Apa mereka saling mengenal?

Townhouse ini amat mewah, letaknya juga amat strategis. Saya heran bisa mendapatkannya dengan harga murah seperti ini.” ucap Adit. “Apalagi sebagai pasangan muda yang terbiasa ngontrak seperti kami, rumah ini bak durian runtuh.”

“Apalagi saya,” timpal Pak RW, “Selama ini saya yang tinggal di pemukiman kumuh dekat sini, hanya bisa ngiler punya tanah di tempat seelit ini.”

“Ah, Pak RW ini hanya merendah. Kan di sini Bapak dikenal sebagai bos bemo yang kaya raya.” goda Pak Fathur. “Istri pun sudah ada beberapa.”

“Beberapa?” lirik Bu Isma dengan curiga.

“Kapan-kapan saya akan kenalkan.” Pak RW menyeringai, “Kapan kita kumpul lagi? Malam minggu?”

“Ah iya, sebagai permintaan maaf karena tak bisa hadir hari ini, Bu Ummi mengajukan diri untuk menyiapkan pesta selamatan di rumahnya Sabtu ini. Kita semua pasti sudah pindah ke sini kan pada hari itu?”

“Kau juga bisa mengajak temanmu kok, Kar.” ibunya menoleh ke arahnya.

Fikar menghela napasnya. Teman yang mana? Gara-gara orang tuanya, kini ia harus pindah sekolah lagi. Beberapa tahun terakhir semenjak masuk SMA, ia sudah berhenti berusaha untuk berteman. Toh, pada akhirnya ia juga akan pindah lagi kan?

“Teman yang mana, Bu? Aku kan baru masuk sekolah yang baru hari Senin kemarin.”

“Temanmu dari sekolah yang lama dong, Nak.”

Fikar memutar-mutar bola matanya, “Yah, aku yakin mereka akan kegirangan jika harus menempuh perjalanan dari Bekasi untuk berpesta semalam suntuk dengan sekumpulan bapak-bapak.”

“Jangan ngomong begitu, Sayang. Mama yakin kau akan segera menemukan teman baru. Percaya saja.” ujarnya sambil mengelus kepala Fikar.

Fikar hanya menghela napas lagi, apalagi menyaksikan kakaknya memamerkan kemesraannya dengan kekasihnya di hadapannya.

Namun ketika memutuskan keluar, Fikar amat terkejut melihat siapa yang kini berdiri di depan rumah barunya itu.


BERSAMBUNG

 

 

1 comment: