Fikar bertemu dengan dua teman baru yang akan menjelaskan, mengapa kepindahannya ke rumah baru itu mungkin saja suatu langkah yang akan membawa malapetaka bagi keluarga mereka.
Fikar
akhirnya memutuskan keluar. Hanya jokes
garing ala bapak-bapak yang ia dengar di dalam dan ia pun hanya bisa menggerutu
melihat kemesraan kakaknya yang dirasanya tak tahu malu itu. Begitu menginjakkan
kaki di tangga depan, ia melihat dua anak SMA, masih dengan seragam putih
abu-abu, tengah berbicara tepat di depan townhouse
yang baru dibeli orang tuanya itu.
“Halo?” Fikar
tertarik dengan logo sekolah yang mereka kenakan di saku baju mereka. “Kalian
dari SMA Taruna Bakti Husada juga?”
Mereka
berdua, satu lelaki dan satu perempuan, menatapnya keheranan.
Melihat wajah
kebingungan mereka, Fikar segera menyibak jaketnya. “Lihat, aku dari SMA yang
sama, kelas tiga. Namun aku baru masuk Senin ini, jadi wajar kalian jika nggak
mengenaliku.”
“Oh, kau
siswa baru itu!” tunjuk sang gadis, “Aku sudah dengar tentangmu. Aku anak kelas
3 juga, tapi beda kelas.”
“Dan aku anak
kelas 2, tapi aku lebih tua dari kalian karena aku sempat tak naik tiga kali,
ah sudahlah …”
“Maaf, kalian
….” tunjuk Fikar.
“Namaku
Elliot, yah aku tahu, nama kebarat-baratan, tapi kau bisa memanggilku El.” Pemuda
itu mengajaknya bersalaman, “Dan ini …”
“Aku Radinda,
tapi kau bisa memanggilku Dinda.” gadis itu tersenyum ke arahnya, “Senang
berkenalan denganmu.”
“Oh, namaku
Zulfikar.” balasnya.
Gadis itu
kembali tersenyum, “Ya, kami tahu.”
“Uhm, kau
menempel namamu di baju seragammu.” tunjuk El. “Tak ada yang melakukannya di
sekolah kami. Karena itu kami tahu kau anak baru.”
“Eh,” Fikar
dengan heran menatap namanya, “Tapi ini diberikan dari sekolah kok.”
“Ya, kami
tahu. Tapi kau bisa jadi sasaran bully
jika orang-orang tahu namamu. Apalagi jika bertemu anak dari sekolah lain, kau
bisa jadi incaran.” balas Dinda.
“Oh, aku
tidak tahu itu! Nanti aku akan melepasnya. Terima kasih!”
“Ehm, kau
tidak kebetulan tinggal di tempat ini kan?” tanya El dengan ragu-ragu.
Fikar menatap
rumah-rumah lain di deretan townhouse
itu. tampak baru dan indah. Namun cara kedua teman barunya itu memandang
rumahnya, entahlah, seperti rasa takut?
“Sayangnya iya,”
jawab Fikar, “Papaku baru saja membeli rumah ini dan mamaku juga kebetulan
adalah agen properti yang menjual keempat rumah lainnya di townhouse ini kepada para pemiliknya sekarang. Ada apa memangnya?”
“Kutebak
ayahmu membelinya dengan harga murah?” selidik El lagi.
“Ya, kurasa
begitu. Jika dibandingkan dengan amenities
yang kami dapatkan, maksudnya ada tiga lantai, lokasinya di pusat kota dan
dekat halte busway, kurasa iya.”
El dan Dinda
saling menatap.
“Apa kau tak
curiga mengapa mereka menjualnya dengan harga murah?”
“Kenapa
memang?” Fikar memicingkan mata.
“Astaga, jadi
kau benar-benar tak tahu?” tanya Dinda keheranan.
“Tahu apa?”
“Kita
tunjukkan kepadanya?” El menatap Dinda, meminta persetujuannya. Fikar hanya
mampu menatap mereka dengan keheranan.
***
Kedua remaja
itu mengajak Fikar memutari kompleks townouse
itu. Mereka bahkan terlihat lebih mengenal tempat itu ketimbang Fikar sendiri.
“Lihat!
Untung belum dirubuhkan!” El menunjuk ke sebuah tembok dengan warna putih yang
kusam, sebagian juga telah menyerah ditelanjangi waktu dan menyisakan fasad batu
bata merah yang berlumut. Namun, masih ada yang tersisa dari masa lalunya: sebuah
tulisan masih terbaca di dindingnya.
“Pribumi?” tanya Fikar heran. Iapun
menoleh ke arah kedua teman barunya itu. “Apa ini?”
“Kau pernah
dengar Tragedi Kerusuhan Mei 1998?” tanya Dinda.
“Tentu saja,
kita pernah belajar itu kan pas pelajaran sejarah di sekolah? Kerusuhan yang
terjadi saat krisis moneter yang menyebabkan mundurnya Presiden Soeharto dan
menandai berakhirnya masa Orde Baru?”
“Jadi kau
pasti tahu asal tulisan ‘Pribumi’ ini?”
Fikar menoleh
ke arah tembok yang menyisakan relik tempo dulu itu dan menatapnya lekat-lekat.
“Ya sepertinya aku ingat. Kala itu banyak yang menuliskan kata ini di tembok
luar kediaman mereka supaya rumah mereka tidak dijarah atau dibakar.
Jangan-jangan …”
“Ya benar.
Rumahmu dan rumah lain di townhouse
itu, semua dibangun di atas rumah-rumah yang dibakar pada saat kerusuhan 1998
itu.”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment