Sunday, July 14, 2024

SHIO: BAB 3 - FENG SHUI

 Fikar mengajak El dan Dinda ke pesta selamatan kompleks rumah baru mereka, namun mulai curiga dengan perilaku para penghuninya. Ia terpaksa mengungkit kenangan lama demi mencari kebenaran.

 

Fikar seakan tak percaya ketika mendengarnya.

“Selama 20 tahun lebih lahan ini dibiarkan kosong karena tak ada yang berani menempatinya. Aku lupa dimana pernah mendengarnya, tapi katanya rumah ini dulu dikenal sebagai mansion sang juragan, salah satu orang terkaya di Jakarta kala itu. Rumahnya saat itu amat besar, bahkan pengembangnya sampai bisa mendirikan lima townhouse di atas reruntuhannya.”

“Lalu mansion itu dibakar?”

“Beserta penghuninya!” timpal Dinda, “Kami sering lewat di tanah kosong ini dan tahun lalu, kami heran ketika akhirnya ada yang berani membangun proyek baru di atasnya. Apalagi, ada yang sudi membelinya.”

“Jangan katakan rumah ini angker!”

“Tapi aku tak menyalahkanmu kok membeli rumah ini. Dari luarnya tampak bagus, aku jadi ingin sekali melihat bagian dalamnya. Interiornya pasti apa, Mediteranian? Ah tidak, pasti minimalis ya kan, seperti ala Skandinavia yang lagi viral itu? Apa furniturnya dari Ikea? Apa aku boleh masuk dan melihatnya?” tebak El.

“Kau mau masuk ke sana? Apa kau gila?’ tentang Dinda, sang gadis. Ia kemudian menatap Fikar dengan tajam, “Tapi kau mengaturnya sesuai feng shui kan? Tak ada tangga tepat di depan pintu masuk atau di tengah rumah?”

“Huh, mengatai aku gila tapi kau juga sama, pengen melihat ke dalam rumah itu juga.” dengus El dengan kesal.

“Ehm, kalian berdua …” Fikar menatap El dan Dinda dengan serius, “Mau datang ke rumahku malam minggu nanti?”

 

***

 

“Wow, teman baru?” Aiman dengan heran menatap kedatangan dua remaja itu di pesta selamatan rumah mereka, “That was fast.”

“Ya, ini namanya Dinda dan ini …” Fikar menatap El sambil menggaruk-garuk kepalanya, “Ehm, Nathan?”

“Elliot!” ia buru-buru membenarkan sembari menatap Fikar dengan kesal.

“Aku Sulaiman, kakaknya Zulfikar. Tapi panggil saja Aiman” ia menyalami mereka.

“Pacarmu sudah datang?” tanya Fikar penasaran.

“Entahlah, seharusnya mereka sudah datang tapi …” Aiman menatap arlojinya dengan cemas. Ia sengaja sudah berdandan serapi mungkin dan mengenakan pakaian formalnya yang terbaik. Namun ia takut ayah Nila lagi-lagi menolak menemuinya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa calon mertuanya itu menentang hubungan keduanya. Bahkan Fikar yakin, itulah salah satu alasan ayahnya menawari Pak Sinaga rumah ini, untuk memperlunak hatinya.

“Jangan khawatir! Mereka pasti datang.” Fikar menepuk bahu kakaknya itu, “Mama dimana?”

“Di dapur, membantu Tante Ummi. Kau belum berkenalan dengannya kan?”

“Oke, aku akan ke sana. Ayo masuk!” Fikar mengajak kedua temannya.

“Waaah, dekorasi interiornya sangat serasi dengan rumahnya! Apa semua ini bawaan dari rumahnya?” tanya El dengan kagum.

“Ya, kau benar. Semua perabot ini datang beserta rumahnya. Dengan harga yang bisa dibilang murah untuk sebuah rumah di Jakarta, kami masih diberi bonus furniture …”

“Sayang berhantu.” tambah Dinda tanpa tedeng aling-aling.

Fikar meliriknya dengan kesal, “Belum tentu!”

“Tapi feng shui rumah ini amat bagus, aku amat terkesan.” Dinda menoleh ke belakang, “Entrance rumah disebut ‘mulut chi’ karena menjadi gerbang masuknya chi, karena itu ada banyak aturannya. Namun, rumah ini sudah memenuhi semuanya. Pintu rumah yang dicat dengan warna merah menyala, cermin yang tegak lurus dengan arah pintu, bahkan tanaman anggrek itu …”

“Maaf, tadi apa katamu? Chi?”

“Chi itu …” namun sebelum Dinda sempat menjelaskannya, seseorang memotongnya.

“Energi positif yang masuk keluar di dalam rumah. Itu adalah prinsip di balik feng shui. Pada dasarnya, tata letak rumah dan perabotnya tidak boleh bertentangan dengan aliran chi tersebut.”

“Tante Mauliza?” Fikar hampir tak menyadari kehadirannya.

“Tante MJ, Sayang! Nama itu lebih kekinian jadi aku bisa bersaing dengan mamamu yang menyabet semua klien itu.” ia lalu menatap Dinda dengan seksama. “Kamu tahu banyak tentang feng shui untuk anak seumuranmu.”

“Ya, aku memang amat tertarik dengan filosofi kuno. Sekedar ralat, tak semua chi bersifat positif, namun yah, bisa disederhanakan seperti itu.”

“Menarik sekali bukan?” senyumnya, “Townhouse ini walaupun dari luar tampak berdesain Barat, tapi masih menghormati sejarahnya dengan menerapkan konsep feng shui di dalamnya, tanpa kecuali.”

“Sejarahnya? Berarti Tante tahu apa yang terjadi dengan tempat ini sebelum townhouse ini dibangun?” selidik Fikar. Namun pertanyaannya itu hanya dibalas dengan delikan dan senyuman misterius dari Tante MJ.

“Sampai nanti, Sayang. Jika mamamu tanya, katakan saja aku pulang lebih awal.”

Sambil terseok-seok, Tante MJ berjalan menuju ke pintu, sembari ketiga remaja itu menatapnya heran.

“Apa dia mabuk?” tanya Dinda dengan heran. “Aku bisa mencium napasnya, seperti napas ayahku …”

“Ayahmu?” tanya Fikar heran.

“Oh, maaf … ” Dinda tampak tersipu malu, “Lupakan saja!”

“Dih, Tante MJ? Aku punya teman yang dipanggil Sarah padahal nama aslinya Maesaroh.” cibir El.

“Daripada namamu yang terlalu susah, Elliot.” Fikar memutar-mutar bola matanya.

“Namaku nggak susah!” El tampak sewot, “E-LI-YET, mana susahnya?”

“Nama belakangmu Beilschmidt.”

El merengut, “Ayahku penggemar fanatik klub Jerman, jadi bukan salahku.”

“Sayang, teman-temanmu sudah datang?’ Bu Isma kemudian datang menghampiri, “Apa kau lihat Tante MJ?”

“Dia barusan pulang, Ma. Kurasa dia mabuk tadi …”

“Ah, dia pasti masih marah karena mengira aku merebut kliennya.”

“Merebut?” tanya Fikar dengan heran. Tadi rasanya Tante MJ juga menyebut hal yang sama.

“Semua townhouse ini sebenarnya dipasrahkan ke aku dan Tante MJ. Akan tetapi malah aku yang berhasil menjual semua unitnya. Mungkin dia agak sakit hati karena tidak mendapat komisi.”

Terdengar suara bel berbunyi dan dengan sigap Aiman membukakan pintu.

“Kau datang!” serunya, hingga membuat Fikar berbalik.

Di ambang pintu terlihat wanita pujaannya, Nila, datang bersama ayahnya.

Wanita pujaan yang takkan pernah ia dapatkan.

 

***

 

“Mama?”

Fikar menoleh ke arah suara itu. seorang pemuda berkursi roda keluar dari sebuah kamar dan menghampiri seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai Bu Ummi, salah satu tetangganya.

“Rio? Kenapa keluar, Sayang? Kau kan harus banyak istirahat. Apa suara kami terlalu berisik?”

“Aku haus, Ma.”

“Mama buatkan minuman sebentar ya? Kau mau sirup, Sayang?” Bu Ummi lalu mendorong kursi roda pemuda itu kembali ke arah dapur. Mata Fikar tanpa sengaja bertatapan dengannya hingga pemuda itu lenyap di balik tembok.

“Kasihan anak itu,” ujar Dinda dengan iba, “Apa yang terjadi kepadanya?”

“Polio.”

Mereka semua berbalik ke arah suara yang menjawab pertanyaan itu. Pak RW.

“Polio?”

“Ya, itu yang ia katakan saat mendaftarkan KK baru. Sebenarnya aku ingin meminta bantuan pada pemerintah. Tapi kalau rumah mereka saja sebagus ini, pastinya akan susah.”

“Tapi polio kan …”

Ya, penyakit primitif kan? Sayang ibunya …” Pak RW seakan tak tega untuk melanjutkan.

“Anti vaksin? Begitukah?” simpul Fikar.

“Alah, jangan pura-pura sok suci, Pak RW.” Fikar langsung gelagapan ketika mendengar suara wanita itu. Bu Ummi rupanya sudah keluar dari dapur dan mendengar pembicaraan mereka. “Bagaimana dengan istri tuamu itu? Sudah ridhokah ia kau memiliki istri baru?”

“Huh, dia kabur membawa anak-anakku dan sertifikat rumah kami, jadi ya, kurasa dia sudah ridho!” dengus Pak RW dengan kesal.

“TING TING TING!” Pak Fathur mendetingkan gelas yang ia pegang sehingga semua mata menatapnya.

“Wah, aku pikir tadi ada tukang bakso lewat.” kelakar Pak RW. Semua tertawa. Namun mata El tertuju pada wanita cantik yang duduk di samping pria paruh baya itu.

“Bukannya itu artis ya yang duduk bersama pria yang kau panggil Pak RW itu? Aku sering melihatnya main di sinetron FTV.” El lalu menyadari tatapan aneh kedua temannya, “Maksudku yang sering ibuku tonton. Aku sih mana mungkin nonton begituan hehehe …”

“Tapi kau betul, aku dengar dari papaku dia memang artis. Namanya Sekar Tandjoeng.” Fikar membenarkan.

“Dia istrinya? Kok mau?” Dinda keheranan, “Beda usia mereka pasti 20 tahun lebih?”

“Jangan remehkan Pak RW ya, dia juragan bemo kaya raya di sini.”

“Semua mohon perhatian!” seru Pak Fathur, “Terima kasih semuanya atas kedatangan kalian semua. Mulai sekarang, sebagai tetangga, kita harus saling membantu satu sama lain.”

Semua pun bersulang.

“Huh, aku hanya dapat sirup!” keluh El.

“Aku percaya lima keluarga kita berkumpul di sini, bisa memiliki properti sebaik ini, adalah awal dari keberuntungan kita. Hoki dalam istilah orang Tionghoa.” ujar Pak Fathur lagi, yang memimpin pesta itu, “Bahkan saking hokinya, pemilik tanah dimana townhouse ini berdiri dulu adalah salah satu orang terkaya di Jakarta.”

“Kalau begitu katakan, Papa …” Fikar tiba-tiba menimpali. Semua mata pun beralih ke arahnya. “Jika memang mereka hoki, mengapa mereka semua mati terbakar hidup-hidup di sini?”

 

BACA LANJUTANNYA DI SINI

No comments:

Post a Comment