PERCIKAN
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Aku
terbangun dengan kepala yang amat sakit.
Di depanku
terlihat percikan listrik saling menyambar. Kilatan itu biru, menunjukkan
suhunya telah mencapai ribuan derajat, setara dengan permukaan matahari.
Namun
aku sadar bahwa kilatan itu sama sekali tak menyambar kami.
Kami
berada di dalam sebuah kandang yang terbuat dari logam metalik.
Sangkar
Faraday.
Kami?
Ya,
aku tak sendiri di sangkar itu.
Aku
melihat Minarti terbaring dalam kondisi tak sadarkan diri di lantai, tak jauh
dariku.
“Apa
yang kalian lakukan padanya!” seruku. Aku segera menghampirinya. Untunglah, ia
masih hidup.
“Tenanglah.
Ia baik-baik saja.” terdengar suara tawa membahana. Aku ingat pria berjas putih
itu. Ia adalah pria yang menawariku bergabung dengan Project EMP itu. Gayanya
sungguh retro, bergaya ala 80-an dengan rambut klimis dan pakaian perlente yang
jelas ketinggalan zaman.
Dua
orang tampak bersamanya. Pertama adalah wanita yang matanya pernah membuaiku
hingga nyaris membunuh Minarti. Satu lagi adalah pria bertopeng yang kuduga
sebagai supervillain dari pakaiannya.
“Kalau
aku boleh berkomentar, pakaianmu sungguh ...” pria berjas putih itu tampak
berpikir, seolah mencari kata yang tepat untuk mencemoohku, “Norak?”
Aku
menatap kedua tanganku. Baru aku tersadar aku tengah mengenakan pakaian ketat
biru dan kurasakan juga topeng menutupi wajahku.
“Dan
sayap di telingamu itu,” komentar perempuan penghipnotis itu, “Benar-benar
konyol.”
Pria
bertopeng itupun terkekeh menertawakanku.
Tunggu, mulai dari awal!
Mengapa
aku di sini?
Dan
kenapa aku memakai pakaian ini?
Sial! Apa aku hilang ingatan
lagi?
***
Aku
merasakan tubuhku dibaringkan di atas sesuatu yang keras, aspal mungkin. Namun
materi yang menyentuh tubuhku tidaklah panas, jadi aku memikirkan sesuatu yang
merupakan konduktor panas yang bagus, jika bukan granit pasti pualam.
Ah,
kenapa selalu saja otak fisikawanku mengambil alih dalam situasi mencekam
seperti ini.
Aku
sudah terjaga semenjak tadi [cipratan air sungai yang menghujani tentu
membuyarkanku dari pingsanku]. Namun aku pura-pura masih belum sadarkan diri.
Bukan karena aku khawatir ia akan menjatuhkanku [aku sadar benar bahwa kami
sedang terbang], namun aku terlalu takjub menatap pemandangan yang terlihat.
Langit yang begitu dekat. Awan yang kami tembus bak kabut. Horizon dan
pegunungan yang terkecap dari perspektif yang belum pernah kurasakan
sebelumnya. Semuanya itu menakjubkan. Dan aku hanya ingin menikmatinya dalam
keheningan.
Aku
masih menutup mataku.
“Buka matamu! Aku tahu kau
sudah bangun.”
Aku
menyibakkan kelopak mataku dan menyaksikan pria berjubah yang wajahnya tak
terlihat karena membelakangi matahari.
“Kau
baik-baik saja? Kenapa orang-orang itu mengincarmu?”
“Mereka
tidak mengincarku,” aku terbangun, mencoba melihat wajahnya lebih saksama,
namun sepertinya itu percuma. Ia benar-benar memanfaatkan angle dimana ia berdiri, memastikan mataku akan silau dengan
matahari jika aku mencoba menatap wajahnya.
“Mereka
mengejar Minarti.” lanjutku.
“Kenapa?”
tanyanya.
“Entahlah.”
Aku
meraba perutku. Aneh, luka akibat belati tadi telah sembuh. Apakah pemuda yang
bisa terbang itu juga ...
“Kau
harus segera menemukan gadis itu.” ia mulai melayang pergi, “Ia dalam bahaya.”
“Tunggu!”
seruku, “Siapa kau? Bagaimana aku bisa menemukanmu jika aku membutuhkan bantuan
lagi?”
“Tak
usah khawatir.” jawabnya dengan suara berwibawa, “Godam akan selalu datang bila
marabahaya mengancam.”
Dalam
sekerjapan mata, superhero itu melesat, menghilang menembus langit.
“Puitis
sekali.” bisikku. “Ouch!”
Aku
merasa jariku seakan tersetrum. Aku segera menjauhkan jariku dari lantai.
Pada
saat itu aku hanya berpikir itu adalah listrik statis.
“Minarti!”
aku memanggil seorang gadis. Ia menyibakkan rambut panjang hitamnya ketika
menoleh ke arahku.
Aku
segera mendatanginya lalu menggenggam tangannya.
“Minarti,
kau baik-baik saja kan?”
Pipi
gadis itu memerah.
“A ...
aku ...”
“Minarti,
aku ingin minta maaf atas segala yang kulakukan ...”
Gadis
itu tampak kebingungan. Tentu saja, dia berhak merasa begitu. Aku membuatnya
kecewa, lalu berusaha membunuhnya, dan sekarang minta maaf segampang itu. Sudah
merupakan keajaiban jika ia tidak menamparku sekarang.
“Aku
benar-benar ...”
“Sancaka?”
Terdengar
suara lain dari belakangku. Suara gadis itu tak asing di telingaku.
Aku
menoleh.
“Minarti?”
Aku
kembali menghadap ke gadis yang kupegang tangannya. Ia masih tersipu malu.
Rambutnya panjang dan penampilannya feminim, namun baru aku tersadar itu
bukanlah Minarti. Rupanya aku masih belum begitu teringat seperti apa wajahnya.
“Kau
kurang ajar!” Minarti datang dan menamparku.
“A ...
aku ...”
“Kau
benar-benar kurang ajar!!!” Minarti menghentak-hentakkan kakinya ke atanh
[kebiasaan jika ia marah besar] dan sambil merengek, ia berjalan pergi.
“Mi
... Minarti tunggu!”
Aku
berhasil menghadangnya.
“Maaf
... tapi sesuatu terjadi padaku.
Semenjak kau meninggalkanku malam itu di tengah hujan, aku tersambar petir dan
hilang ingatan ...”
“Oh,
kau amnesia?” Minarti memutar-mutar bola matanya, “Kau mahasiswa jenius,
Sancaka. Bisakah kau mencari alasan yang lebih bagus lagi? Tersambar petir?
Mungkin itu akibat karena kau melanggar janjimu untuk tidak akan melupakan
ulang tahunku!”
Aku
berpikir sebentar sambil mengelus daguku, “Oh ... mungkin saja ya. Apa ada hubungannya?”
“PLAK!!!”
dia menamparku lagi.
“KAMU
MEMANG BENAR-BENAR TIDAK PEDULI PADAKU!”
Ia
berbalik pergi.
Namun
langkahnya terhenti.
Di
depan kami, puluhan orang tengah mengepung kami. Langkah mereka terseok-seok,
seolah-olah mereka adalah zombie yang tak memiliki pikiran, hanya boneka
panggung dengan tali tak terlihat mengendalikan gerakan mereka.
“Sial
...” kami berdua mundur, “Apa ini perbuatan wanita itu lagi?”
“Minarti!”
aku segera meraih tangannya, “Ayo kita pergi!”
Namun
ia segera mengibaskan tanganku, “Kita sudah putus! Ingat itu! Kau tak berhak
menyentuhku!”
“Tapi
kau barusan menamparku! Dua kali!” protesku, “Dan bisakah kita membahas ini
lain waktu!”
Aku
segera meraih tangannya kembali, namun kembali ia mengibaskannya.
“Minarti,
aku serius! Kita harus segera pergi dari sini!”
“Bukan
itu!” ia tampak kesakitan memegang tangannya sendiri, “Tapi kau barusan
menyetrumku!”
“Menyetrummu?”
Karena
perdebatan kami tadi, tanpa kami sadari, mereka sudah mendekat ... bahkan
terlalu dekat.
Tak
ada lagi waktu bagi kami untuk melarikan diri.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment