Friday, November 1, 2024

GUNDALA JAGAD GENI – CHAPTER 8

 


MILLENIUM BARU

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“AAAAAAA!!!” Minarti menjerit ketika mereka berhasil merenggutnya.

“Minarti!” aku berhasil menariknya, namun segera sisa zombie-zombie itu menyerangku.

Mereka tampaknya berusaha merebut cincin berliontin biru yang ia pakai.

“Sudah, serahkan saja benda itu!” seruku sambil berusaha menangkis gangguan mereka. “Itu yang mereka inginkan!”

“Enak saja!” jeritnya, “Aku berhak memilikinya setelah kau kecewakan! Ini hadiah ulang tahunku!”

“Demi Tuhan, Minarti!” aku bergelut dengan mereka dan berhasil menjatuhkan beberapa dari mereka. Aku segera merebut Minarti dari tangan mereka. Namun mereka kembali mengepungku. Jumlah mereka terlalu banyak.

“Menyingkir kalian!” tiba-tiba saja aku merasakan tenaga keluar dari diriku diikuti cahaya yang amat menyilaukan. Seketika, mereka semua tersungkur.

“A ... apa yang terjadi?’ ujar salah seorang wanita. Yang lain segera bangun dan kebingungan.

“Mereka semua sadar ...” pikirku. Aku menatap kedua tanganku.

“Apa yang barusan terjadi?”

 

***

 

“Tunggu di sini, Minarti!”

“Kenapa kita harus berada di labmu?” ia mendengus kesal.

“Ada orang-orang yang mengejar kita! Tak ada salahnya kita bersembunyi di sini dulu. Selain itu aku harus mengecek sesuatu.”

“Sancaka, kau tidak hendak mengecek tesismu, kan?” selidiknya curiga.

“Tentu saja bukan! Ada hal yang lebih penting. Tunggulah di sini dan jangan pergi!”

Aku segera mencari multimeter, menyetelnya dalam posisi untuk mengukur voltase, dan menaruh ujung sensornya ke tanganku.

Jarum itu bergerak dengan kencang ke kanan.

“Sial!” kecurigaanku terbukti.

Aku kini bisa menghantarkan listrik.

Bukan, tak hanya menghantarkan.

Aku menghasilkan listrik.

Bagaimana ini mungkin? Aku adalah generator berjalan?

Petir itu! Pasti ada hubungannya dengan petir itu! Satu-satunya kemungkinan adalah sambaran itu membuat sel-sel tubuhku menjadi sebuah kapasitor.

Aku menatap diriku di kaca. Tak ada perubahan berarti. Aku membuka kaosku dan memeriksa tubuhku. Semua normal. Kemudian aku berbalik.

Ada bekas sambaran di punggungku.

Aku tertegun.

Aku tak pernah menyadarinya sebelumnya. Awang juga tak pernah menceritakannya padaku.

Sambaran itu berbentuk menyerupai simbol listrik. Benar-benar ironis.

Aku segera memakai bajuku buru-buru.

“Sancaka?” tiba-tiba seorang pemuda masuk. Ia rekan labku yang pernah menceritakan padaku bahwa serumku lenyap. Dan aku masih tak ingat namanya.

 “Kenapa kau ada di ... AW!” pekiknya ketika ia menyentuh bahuku.

“Astaga ...” ia memperhatikan tangannya dengan heran, “Aku kesetrum tadi.”

“Biasa di cuaca seperti ini ...” aku mencari alasan, “Sudah ya ... aku harus segera pergi ...”

“Hei, tunggu!” cegahnya, “Tadi ada yang mencarimu ...”

“Siapa?” aku menoleh.

“Hmmm ... siapa ya, aku tak tanya namanya. Namun ia seorang wanita yang cantik.”

“Bersepatu hak tinggi??” tanyaku cemas.

Ia mengangguk sambil tertawa, “Kuharap Minarti nggak cemburu karena dia mencarimu. Tadi dia di sana juga ...”

“Astaga!” aku segera berlari menuju lobi dimana aku tadi meninggalkan Minarti.

Seperti yang kutakutkan, ia tak ada lagi di sana.

 

***

 

“Sekali di tiap satu millenium ...” pria berjas putih itu berjalan di depanku, “Akan ada perubahan drastis.”

“Kaisar-kaisar akan membuat perubahan besar dan memimpin dunia. Millenium kedua, Genghis Khan menguasai hampir seluruh Asia dan Eropa membangun kekaisaran terbesar dalam sejarah. Millenium pertama, Roma di bawah kendali Julius Caesar meletakkan landasan peradaban dunia yang kita anut sekarang. Jika kita menghitung lebih mundur lagi, millenium pertama sebelum Masehi dimulai dengan Zaman Besi dimana raja Troya berperang melawan para utusan dewa dari Yunani. Dan kini, millenium ketiga, adalah saatku.”

“Siapa kau sebenarnya?” ucapku geram. Tanpa perlu memperkenalkan diri, sudah terlihat ego serta ambisi yang luar biasa tinggi terpancar dari pria itu.

“Aku Ghazul.”

Aku meringis, “Aku mengharapkan nama yang lebih spektakuler darimu.”

Jagad Geni yang malah tertawa mendengar ejekanku, “Dan kau sendiri ... Gundala? Itu bukan, nama yang kau perkenalkan tadi?”

Aku bahkan tak ingat darimana aku memperoleh nama itu.

“Paling tidak kau tak berpidato puitis seperti pria berjubah itu. Kurasa kau dan aku sama, Gundala ... kita sama-sama suka langsung ke inti segala sesuatu tanpa perlu bermanis-manis kata.”

Ia memegang sesuatu yang kusadari sebagai serum anti-petirku.

“Aku akan menawarkan sesuatu yang langka untukmu. Aku pernah menawarkan sesuatu yang sama pada pemuda jenius yang menciptakan ini, namun ia menolak. Kuharap kau tak melakukan hal yang sama.”

Jadi dia tak menyadari identitasku yang sebenarnya?

“Bergabunglah bersama kami. Aku akan menciptakan tatanan baru dan aku ingin kau menjadi bagian darinya.”

Ia lalu menatapku.

“Aku menawarkanmu kekuasaan yang amat besar. Aku telah memiliki dua dari tiga berlian langit: lapis lazuli dan meteor kunzite. Dengan dua kekuatan itu, digabung dengan energi yang kau dan Jagad Geni miliki, takkan ada yang bisa mengalahkan kita.”

“Tiga berlian? Mengapa kau mengincar batu-batu itu?” tanyaku penasaran.

“Itu bukan batu biasa. Mereka semua adalah kristal dunia.” jawabnya, “Dunia adalah bahasa India yang digunakan untuk menyebut alam materi yang memiliki kehidupan. Karena luasnya alam semesta ini, maka ‘dunia’ tak hanya mencakup planet ini saja. Bangsa-bangsa kuno dari seluruh penjuru Bumi tahu benar hal itu.”

“Ketiga kristal itu merupakan kristal dari planet lain yang jatuh ke bumi. Potensi kekuatannya benar-benar tak terbayangkan.” Maya kali ini berkata. Terlihat cincin Minarti telah menghiasi jemarinya.

“Sayang sekali pria berjubah itu telah memiliki kristal ketiga. Namun tak apa, bila kekuatan kita digabungkan, dengan mudah kita akan mengalahkannya.”

“Cih,” cibirku, “Aku takkan mau bergabung dengan kalian!”

“Bahkan demi nyawanya?” Jagad Geni mengangkat tubuh Minarti dan menaruh tangannya di lehernya.

***

 

“Awang! Aku butuh bantuanmu!”

“Sancaka, dimana kau?” tanya Awang dari seberang telepon.

“Dengar, kau harus menolongku! Minarti diculik! AW!!!” tiba-tiba saja telepon di labku itu tersengat listrik dan terbakar. Aku segera melepaskannya dari tanganku dan segera, benda itu meledak.

“Sial! Kenapa aku jadi Raja Midas bertangan listrik seperti ini!”

Bahkan aku tak bisa minta bantuan Awang. Ah, malang sekali nasibku.

Aku menatap guntur yang menggelegar di langit. Entah darimana, seutas suara muncul.

“Apakah kau berpikir dunia ini layak dipertahankan?”

Aku menoleh dan melihat seseorang berdiri di belakangku.

Seorang pria tua dengan pakaian yang tak pernah kulihat sebelumnya.

“Apa kau berpikir dunia ini patut dilindungi?”

“Apa yang kau katakan? Siapa kau?”

“Jika kau punya kekuatan, apa yang akan kaulakukan?” pria tua itu menatapku, “Menghancurkan ataukah melindungi?”

“Jika aku punya kekuatan untuk melindungi orang-orang yang kucintai, tentu saja aku akan melakukannya.” jawabku tanpa ragu.

“Benarkah?” ia berjalan mendekatiku, “99% dari orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan akan menyalahgunakannya. Apa kau termasuk di antaranya, Sancaka?”

“Siapa kau sebenarnya?” rasa penasaranku makin membuncah, “Bagaimana kau tahu siapa aku?”

“Kekuatan elemental semakin kuat. Ini adalah pertanda.” Aku terkejut mendengar suara lain. Aku segera menoleh dan melihat seorang pemuda berada di belakangku, tengah menengadah ke langit malam, menyaksikan kilat yang menggeliat di balik awan bak seekor naga.

“Jika dua saja kristal bergabung, maka gerbang kehancuran akan terbuka. Itu tak bisa kita biarkan terjadi.”

“A ... apa maksud kalian?”

Pemuda itu menoleh. Topeng di wajahnya membuatku tak bisa mengenalinya.

“Apa Ayah pikir ia siap?”

“Harus.” jawab pria tua itu.

“Hei! Apa yang sedang kalian bicarakan? Siapa kalian! Aku berhak tahu!” aku mulai marah.

“Bukan identitas kami yang perlu kau ketahui, Sancaka ... namun justru siapa dirimu yang sesungguhnya!”

“Aku? Aku adalah Sancaka, mahasiswa ...”

“Bukan, kau tak lagi Sancaka. Tidak setelah kilat itu menyambarmu ...” pemuda bertopeng itu berkata.

“Kau kini adalah Gundala.”

 

BERSAMBUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment