MILLENIUM BARU
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“AAAAAAA!!!”
Minarti menjerit ketika mereka berhasil merenggutnya.
“Minarti!”
aku berhasil menariknya, namun segera sisa zombie-zombie itu menyerangku.
Mereka
tampaknya berusaha merebut cincin berliontin biru yang ia pakai.
“Sudah,
serahkan saja benda itu!” seruku sambil berusaha menangkis gangguan mereka.
“Itu yang mereka inginkan!”
“Enak
saja!” jeritnya, “Aku berhak memilikinya setelah kau kecewakan! Ini hadiah
ulang tahunku!”
“Demi
Tuhan, Minarti!” aku bergelut dengan mereka dan berhasil menjatuhkan beberapa
dari mereka. Aku segera merebut Minarti dari tangan mereka. Namun mereka
kembali mengepungku. Jumlah mereka terlalu banyak.
“Menyingkir
kalian!” tiba-tiba saja aku merasakan tenaga keluar dari diriku diikuti cahaya
yang amat menyilaukan. Seketika, mereka semua tersungkur.
“A ...
apa yang terjadi?’ ujar salah seorang wanita. Yang lain segera bangun dan
kebingungan.
“Mereka
semua sadar ...” pikirku. Aku menatap kedua tanganku.
“Apa
yang barusan terjadi?”
***
“Tunggu
di sini, Minarti!”
“Kenapa
kita harus berada di labmu?” ia mendengus kesal.
“Ada
orang-orang yang mengejar kita! Tak ada salahnya kita bersembunyi di sini dulu.
Selain itu aku harus mengecek sesuatu.”
“Sancaka,
kau tidak hendak mengecek tesismu, kan?” selidiknya curiga.
“Tentu
saja bukan! Ada hal yang lebih penting. Tunggulah di sini dan jangan pergi!”
Aku
segera mencari multimeter, menyetelnya dalam posisi untuk mengukur voltase, dan
menaruh ujung sensornya ke tanganku.
Jarum
itu bergerak dengan kencang ke kanan.
“Sial!”
kecurigaanku terbukti.
Aku
kini bisa menghantarkan listrik.
Bukan,
tak hanya menghantarkan.
Aku menghasilkan listrik.
Bagaimana
ini mungkin? Aku adalah generator berjalan?
Petir
itu! Pasti ada hubungannya dengan petir itu! Satu-satunya kemungkinan adalah
sambaran itu membuat sel-sel tubuhku menjadi sebuah kapasitor.
Aku
menatap diriku di kaca. Tak ada perubahan berarti. Aku membuka kaosku dan
memeriksa tubuhku. Semua normal. Kemudian aku berbalik.
Ada
bekas sambaran di punggungku.
Aku
tertegun.
Aku
tak pernah menyadarinya sebelumnya. Awang juga tak pernah menceritakannya
padaku.
Sambaran
itu berbentuk menyerupai simbol listrik. Benar-benar ironis.
Aku
segera memakai bajuku buru-buru.
“Sancaka?”
tiba-tiba seorang pemuda masuk. Ia rekan labku yang pernah menceritakan padaku
bahwa serumku lenyap. Dan aku masih tak ingat namanya.
“Kenapa kau ada di ... AW!” pekiknya ketika ia
menyentuh bahuku.
“Astaga
...” ia memperhatikan tangannya dengan heran, “Aku kesetrum tadi.”
“Biasa
di cuaca seperti ini ...” aku mencari alasan, “Sudah ya ... aku harus segera
pergi ...”
“Hei,
tunggu!” cegahnya, “Tadi ada yang mencarimu ...”
“Siapa?”
aku menoleh.
“Hmmm
... siapa ya, aku tak tanya namanya. Namun ia seorang wanita yang cantik.”
“Bersepatu
hak tinggi??” tanyaku cemas.
Ia
mengangguk sambil tertawa, “Kuharap Minarti nggak cemburu karena dia mencarimu.
Tadi dia di sana juga ...”
“Astaga!”
aku segera berlari menuju lobi dimana aku tadi meninggalkan Minarti.
Seperti
yang kutakutkan, ia tak ada lagi di sana.
***
“Sekali
di tiap satu millenium ...” pria berjas putih itu berjalan di depanku, “Akan
ada perubahan drastis.”
“Kaisar-kaisar
akan membuat perubahan besar dan memimpin dunia. Millenium kedua, Genghis Khan
menguasai hampir seluruh Asia dan Eropa membangun kekaisaran terbesar dalam
sejarah. Millenium pertama, Roma di bawah kendali Julius Caesar meletakkan landasan
peradaban dunia yang kita anut sekarang. Jika kita menghitung lebih mundur
lagi, millenium pertama sebelum Masehi dimulai dengan Zaman Besi dimana raja
Troya berperang melawan para utusan dewa dari Yunani. Dan kini, millenium
ketiga, adalah saatku.”
“Siapa
kau sebenarnya?” ucapku geram. Tanpa perlu memperkenalkan diri, sudah terlihat
ego serta ambisi yang luar biasa tinggi terpancar dari pria itu.
“Aku
Ghazul.”
Aku
meringis, “Aku mengharapkan nama yang lebih spektakuler darimu.”
Jagad
Geni yang malah tertawa mendengar ejekanku, “Dan kau sendiri ... Gundala? Itu
bukan, nama yang kau perkenalkan tadi?”
Aku
bahkan tak ingat darimana aku memperoleh nama itu.
“Paling
tidak kau tak berpidato puitis seperti pria berjubah itu. Kurasa kau dan aku
sama, Gundala ... kita sama-sama suka langsung ke inti segala sesuatu tanpa
perlu bermanis-manis kata.”
Ia
memegang sesuatu yang kusadari sebagai serum anti-petirku.
“Aku
akan menawarkan sesuatu yang langka untukmu. Aku pernah menawarkan sesuatu yang
sama pada pemuda jenius yang menciptakan ini, namun ia menolak. Kuharap kau tak
melakukan hal yang sama.”
Jadi dia tak menyadari
identitasku yang sebenarnya?
“Bergabunglah
bersama kami. Aku akan menciptakan tatanan baru dan aku ingin kau menjadi
bagian darinya.”
Ia
lalu menatapku.
“Aku
menawarkanmu kekuasaan yang amat besar. Aku telah memiliki dua dari tiga
berlian langit: lapis lazuli dan meteor kunzite. Dengan dua kekuatan itu,
digabung dengan energi yang kau dan Jagad Geni miliki, takkan ada yang bisa
mengalahkan kita.”
“Tiga
berlian? Mengapa kau mengincar batu-batu itu?” tanyaku penasaran.
“Itu
bukan batu biasa. Mereka semua adalah kristal dunia.” jawabnya, “Dunia adalah
bahasa India yang digunakan untuk menyebut alam materi yang memiliki kehidupan.
Karena luasnya alam semesta ini, maka ‘dunia’ tak hanya mencakup planet ini
saja. Bangsa-bangsa kuno dari seluruh penjuru Bumi tahu benar hal itu.”
“Ketiga
kristal itu merupakan kristal dari planet lain yang jatuh ke bumi. Potensi
kekuatannya benar-benar tak terbayangkan.” Maya kali ini berkata. Terlihat
cincin Minarti telah menghiasi jemarinya.
“Sayang
sekali pria berjubah itu telah memiliki kristal ketiga. Namun tak apa, bila
kekuatan kita digabungkan, dengan mudah kita akan mengalahkannya.”
“Cih,”
cibirku, “Aku takkan mau bergabung dengan kalian!”
“Bahkan
demi nyawanya?” Jagad Geni mengangkat tubuh Minarti dan menaruh tangannya di
lehernya.
***
“Awang!
Aku butuh bantuanmu!”
“Sancaka,
dimana kau?” tanya Awang dari seberang telepon.
“Dengar,
kau harus menolongku! Minarti diculik! AW!!!” tiba-tiba saja telepon di labku
itu tersengat listrik dan terbakar. Aku segera melepaskannya dari tanganku dan
segera, benda itu meledak.
“Sial!
Kenapa aku jadi Raja Midas bertangan listrik seperti ini!”
Bahkan
aku tak bisa minta bantuan Awang. Ah, malang sekali nasibku.
Aku
menatap guntur yang menggelegar di langit. Entah darimana, seutas suara muncul.
“Apakah kau berpikir dunia ini
layak dipertahankan?”
Aku
menoleh dan melihat seseorang berdiri di belakangku.
Seorang
pria tua dengan pakaian yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Apa kau berpikir dunia ini
patut dilindungi?”
“Apa
yang kau katakan? Siapa kau?”
“Jika kau punya kekuatan, apa
yang akan kaulakukan?” pria
tua itu menatapku, “Menghancurkan ataukah
melindungi?”
“Jika
aku punya kekuatan untuk melindungi orang-orang yang kucintai, tentu saja aku
akan melakukannya.” jawabku tanpa ragu.
“Benarkah?” ia berjalan mendekatiku, “99% dari orang yang memiliki kekuatan dan
kekuasaan akan menyalahgunakannya. Apa kau termasuk di antaranya, Sancaka?”
“Siapa
kau sebenarnya?” rasa penasaranku makin membuncah, “Bagaimana kau tahu siapa
aku?”
“Kekuatan elemental semakin
kuat. Ini adalah pertanda.”
Aku terkejut mendengar suara lain. Aku segera menoleh dan melihat seorang
pemuda berada di belakangku, tengah menengadah ke langit malam, menyaksikan
kilat yang menggeliat di balik awan bak seekor naga.
“Jika
dua saja kristal bergabung, maka gerbang kehancuran akan terbuka. Itu tak bisa
kita biarkan terjadi.”
“A ...
apa maksud kalian?”
Pemuda
itu menoleh. Topeng di wajahnya membuatku tak bisa mengenalinya.
“Apa
Ayah pikir ia siap?”
“Harus.” jawab pria tua itu.
“Hei!
Apa yang sedang kalian bicarakan? Siapa kalian! Aku berhak tahu!” aku mulai
marah.
“Bukan
identitas kami yang perlu kau ketahui, Sancaka ... namun justru siapa dirimu
yang sesungguhnya!”
“Aku?
Aku adalah Sancaka, mahasiswa ...”
“Bukan,
kau tak lagi Sancaka. Tidak setelah kilat itu menyambarmu ...” pemuda bertopeng
itu berkata.
“Kau kini adalah Gundala.”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment