NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.
Ada
satu masalah dengan kepindahan Sancaka ke Yogya. Ia belum memulihkan seluruh
ingatannya. Parahnya, ia masih tak ingat dimana ia tinggal di Yogya, bahkan
siapa orang tuanya.
Mungkin
justru karena alasan itulah Sancaka memutuskan kembali ke kampung halamannya.
Untuk
mengingat.
Sekaligus
melupakan.
Minarti
lebih tepatnya.
Sancaka
memutuskan untuk kembali lebih dulu, sebab ada yang perlu kuurus sebelum aku
bisa ikut kepindahannya ke Yogya. Seperti keluar dari pekerjaanku, misalnya.
Sampai sekarang aku masih bingung pekerjaan apa yang bisa kulakukan di Yogya.
Dan lagi, aku juga tak bisa berbahasa Jawa. Tapi toh, tetap kuikuti saja
langkah Sancaka.
Lagipula
aku sudah memastikan Bandung aman untuk saat ini.
Aku
masih belum memikirkan tentang keempat kristal yang tersisa. Biarlah
kekhawatiran ini kusimpan untuk masa depan.
“Maaf,
ini kursi 16E bukan?” tanya seorang gadis.
Aku
mendongak, “Ah, maaf. Ini tempat dudukmu ya?”
Aku
bergeser dari kursi dekat jendela itu dan tersenyum ke arahnya.
Ia
membalas senyumku dan duduk di sampingku.
Ia
menatap ke jendela beberapa saat sebelum akhirnya berbincang denganku.
“Kau
akan ke Yogya?” tanyanya.
“Iya.”
aku harap ia menganggapku takjub menatap pemandangan indah di luar, bukan
karena tengah menikmati kecantikannya.
“Kau
tinggal di sana?” pastilah ia heran mendengar aksen Sundaku.
Aku
menggeleng, “Aku punya teman di sana. Kau? Dari Bandung juga?”
“Aku
di sana hanya untuk meliput. Kau tahu sendiri kan betapa heboh di sana,
percobaan penculikan presiden, jembatan Surapati runtuh, dan laboratorium EMP yang
meledak.”
“Kau
wartawati?”
Ia
mengangguk. “Sayang sekali aku sudah jauh-jauh ke sini tapi tak bertemu dia.”
“Dia?
Dia siapa?” tanyaku penasaran.
“Ksatria
berjubah itu, yang memegang palu kemana-mana.”
“Oh
dia,” aku merasa tersanjung ada yang mengagumiku, “Ehm, dia keren bukan?”
“Keren?”
cibirnya, “Kurasa dia pengecut”
Aku
nyaris tersedak “Maaf?”
“Iya,
pengecut. Sok misterius dan segala yang dia lakukan benar-benar jelas sebuah
pencitraan.”
“Kau
benar-benar seorang anti-superhero ya?” aku menyandarkan kepalaku ke kursi.
“Darimana
kau tahu dia superhero? Yang kutahu dia menimbulkan kerusakan berskala besar
sama seperti para penjahat super itu.”
“Bagaimana
dengan Yogya sendiri? Damai dan tentram bukan?”
Sebenarnya
aku juga mendambakan saat-saat dimana aku bisa hidup biasa tanpa perlu terbang
kesana-kemari membela kebenaran. Namun itulah tanggung jawab yang datang
sepaket dengan kekuatanku.
“Tidak
juga. Merapi sepertinya akan meletus kembali. Itu sebabnya aku mengakhiri
liputanku ke Bandung dan bergegas kembali. Ada badai listrik juga yang
mendekat.”
“Bagus
sekali, aku datang malah ada gunung meletus.” keluhku. Aku sudah menduga takkan
bisa bersantai di sana.
“Siapa
namamu?” tanyanya, “Kurasa kita sebaiknya berkenalan karena kita akan terjebak
di kereta ini selama 8 jam mendatang.”
Aku
tertawa, “Namaku Awang.”
“Sedhah
Esthy Wulan.” gadis itu tersenyum, “Namun
kau bisa memanggilku Esthy.”
No comments:
Post a Comment