Monday, November 18, 2024

TEASER GUNDALA 2: ANGKARA MERAPI

 


NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Ada satu masalah dengan kepindahan Sancaka ke Yogya. Ia belum memulihkan seluruh ingatannya. Parahnya, ia masih tak ingat dimana ia tinggal di Yogya, bahkan siapa orang tuanya.

Mungkin justru karena alasan itulah Sancaka memutuskan kembali ke kampung halamannya.

Untuk mengingat.

Sekaligus melupakan.

Minarti lebih tepatnya.

Sancaka memutuskan untuk kembali lebih dulu, sebab ada yang perlu kuurus sebelum aku bisa ikut kepindahannya ke Yogya. Seperti keluar dari pekerjaanku, misalnya. Sampai sekarang aku masih bingung pekerjaan apa yang bisa kulakukan di Yogya. Dan lagi, aku juga tak bisa berbahasa Jawa. Tapi toh, tetap kuikuti saja langkah Sancaka.

Lagipula aku sudah memastikan Bandung aman untuk saat ini.

Aku masih belum memikirkan tentang keempat kristal yang tersisa. Biarlah kekhawatiran ini kusimpan untuk masa depan.

“Maaf, ini kursi 16E bukan?” tanya seorang gadis.

Aku mendongak, “Ah, maaf. Ini tempat dudukmu ya?”

Aku bergeser dari kursi dekat jendela itu dan tersenyum ke arahnya.

Ia membalas senyumku dan duduk di sampingku.

Ia menatap ke jendela beberapa saat sebelum akhirnya berbincang denganku.

“Kau akan ke Yogya?” tanyanya.

“Iya.” aku harap ia menganggapku takjub menatap pemandangan indah di luar, bukan karena tengah menikmati kecantikannya.

“Kau tinggal di sana?” pastilah ia heran mendengar aksen Sundaku. 

Aku menggeleng, “Aku punya teman di sana. Kau? Dari Bandung juga?”

“Aku di sana hanya untuk meliput. Kau tahu sendiri kan betapa heboh di sana, percobaan penculikan presiden, jembatan Surapati runtuh, dan laboratorium EMP yang meledak.”

“Kau wartawati?”

Ia mengangguk. “Sayang sekali aku sudah jauh-jauh ke sini tapi tak bertemu dia.”

“Dia? Dia siapa?” tanyaku penasaran.

“Ksatria berjubah itu, yang memegang palu kemana-mana.”

“Oh dia,” aku merasa tersanjung ada yang mengagumiku, “Ehm, dia keren bukan?”

“Keren?” cibirnya, “Kurasa dia pengecut”

Aku nyaris tersedak “Maaf?”

“Iya, pengecut. Sok misterius dan segala yang dia lakukan benar-benar jelas sebuah pencitraan.”

“Kau benar-benar seorang anti-superhero ya?” aku menyandarkan kepalaku ke kursi.

“Darimana kau tahu dia superhero? Yang kutahu dia menimbulkan kerusakan berskala besar sama seperti para penjahat super itu.”

“Bagaimana dengan Yogya sendiri? Damai dan tentram bukan?”

Sebenarnya aku juga mendambakan saat-saat dimana aku bisa hidup biasa tanpa perlu terbang kesana-kemari membela kebenaran. Namun itulah tanggung jawab yang datang sepaket dengan kekuatanku.

“Tidak juga. Merapi sepertinya akan meletus kembali. Itu sebabnya aku mengakhiri liputanku ke Bandung dan bergegas kembali. Ada badai listrik juga yang mendekat.”

“Bagus sekali, aku datang malah ada gunung meletus.” keluhku. Aku sudah menduga takkan bisa bersantai di sana.

“Siapa namamu?” tanyanya, “Kurasa kita sebaiknya berkenalan karena kita akan terjebak di kereta ini selama 8 jam mendatang.”

Aku tertawa, “Namaku Awang.”

“Sedhah Esthy Wulan.” gadis itu tersenyum,  “Namun kau bisa memanggilku Esthy.”

 

 BERSAMBUNG

 

No comments:

Post a Comment