Thursday, November 14, 2024

GUNDALA: JAGAD GENI – EPILOG

 


 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“Apakah kota ini benar sudah aman?” Godam melayang sembari menyilangkan kedua tangannya di dada dan menatap kelap-kelip kota Bandung di bawahnya. Jalanan yang dipenuhi kendaraan yang lalu lalang membuatnya tampak seperti sungai cahaya.

“Kau hendak meninggalkan kota ini?” tanya hologram yang melayang di belakangnya.

“Ya, untuk sementara waktu, atau bahkan mungkin selamanya. Aku tak tahu.” Godam tahu ia akan merindukan kota ini. Namun tak ada yang tersisa baginya di sini.

Sejak dulu ia berhasrat ingin meninggalkannya dan memulai awal yang baru. Namun ia tak pernah punya alasan untuk melakukan itu. Sama seperti ia tak punya alasan untuk tinggal.

“Aku tak lagi merasakan ancaman bahaya dari manusia berkekuatan super. Kurasa kota ini akan aman kau tinggalkan.”

“Baguslah,” kata Godam, “Jika hanya kriminalitas biasa, aku yakin polisi bisa menanganinya.”

Ia menatap ke kristal Kunzite yang berhasil direbutnya dari Ghazul.

“Ghazul juga kurasa akan memerlukan waktu yang lama untuk membuat rencana baru dan mengumpulkan pengikut. Semoga saja peristiwa kemarin membuatnya jera. Jika tidak, aku sudah lebih dari siap untuk menghadapinya.”

Ia juga memandangi cincin yang dikenakannya. Cincin yang memberinya kekuatan ini.

“Apa kedua kristal ini berasal dari tempat yang sama?”

“Mereka adalah Inti Atom ... batu yang memiliki kekuatan tanpa batas.”

Awang menoleh ke arahnya.

“Ada berapa permata seperti ini di Bumi? Hanya tiga kan?”

Hologram itu tak menjawab.

“Jawab, Orthorb! Ini planetku! Aku berhak tahu jika ada ancaman bagi dunia ini!”

“Ada tujuh yang terdampar di Bumi, Awang.”

“Sial!” Godam menatap hamparan kota di hadapannya, “Masih ada 4 lagi benda seperti ini?”

 

***

 

Sementara itu, jauh di pelosok Pulau Sulawesi, sesosok bayangan bergerak di antara bebatuan, menatap dengan curiga sosok lain yang baru saja memasuki gua.

Pemuda itu menyesuaikan matanya dengan kegelapan, kemudian menyadari keberadaan manusia lain yang tengah mengawasinya.

“Keluarlah, aku tahu kau ada di sana!”

Sosok itu segera menyergapnya, namun pemuda itu mengulurkan tangannya bak karet dan melilit sosok itu, menjatuhkannya ke lantai gua.

“Gedebuk!”

“Lepaskan aku!” suara anak kecil menggema di antara dinding bebatuan.

“Aku tahu kenapa kau di sini dan aku bisa mengeluarkanmu.”

“Aku tak ingin keluar!” serunya, “Aku nyaman di sini!”

“Dasar bocah antisosial! Keluarkan batu permatamu!”

“Batu apa?”

“Kau tahu maksudku!” ia menarik tangannya kembali dan memeriksa anak itu.

Tanpa mempedulikan tatapan marah anak itu, dia merebut permata yang menempel di gespernya.

“Hei, kembalikan itu!” seru anak itu.

“Bukan,” pemuda itu memeriksanya dengan seksama, “Bukan ini.”

Ia melepaskan anak itu dan melemparkan kristal itu kembali padanya. Bocah itu dengan sigap menangkapnya, walaupun berada di tengah kegelapan, dan mengembalikannya ke gespernya.

“Aku punya tugas untukmu.”

“Cuih, untuk apa aku membantumu.” anak itu kembali bergerak di antara bebatuan.

“Jika kau membantuku, akan kubantu kau menemukan pembunuh ayahmu.”

 

END OF GUNDALA: JAGAD GENI

 

PLEASE CONTINUE TO GUNDALA: ANGKARA MERAPI

 

1 comment: