NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Apakah
kota ini benar sudah aman?” Godam melayang sembari menyilangkan kedua tangannya
di dada dan menatap kelap-kelip kota Bandung di bawahnya. Jalanan yang dipenuhi
kendaraan yang lalu lalang membuatnya tampak seperti sungai cahaya.
“Kau hendak meninggalkan kota ini?” tanya hologram yang melayang di belakangnya.
“Ya,
untuk sementara waktu, atau bahkan mungkin selamanya. Aku tak tahu.” Godam tahu
ia akan merindukan kota ini. Namun tak ada yang tersisa baginya di sini.
Sejak
dulu ia berhasrat ingin meninggalkannya dan memulai awal yang baru. Namun ia
tak pernah punya alasan untuk melakukan itu. Sama seperti ia tak punya alasan
untuk tinggal.
“Aku tak lagi merasakan ancaman
bahaya dari manusia berkekuatan super. Kurasa kota ini akan aman kau
tinggalkan.”
“Baguslah,”
kata Godam, “Jika hanya kriminalitas biasa, aku yakin polisi bisa
menanganinya.”
Ia
menatap ke kristal Kunzite yang berhasil direbutnya dari Ghazul.
“Ghazul
juga kurasa akan memerlukan waktu yang lama untuk membuat rencana baru dan
mengumpulkan pengikut. Semoga saja peristiwa kemarin membuatnya jera. Jika
tidak, aku sudah lebih dari siap untuk menghadapinya.”
Ia
juga memandangi cincin yang dikenakannya. Cincin yang memberinya kekuatan ini.
“Apa
kedua kristal ini berasal dari tempat yang sama?”
“Mereka adalah Inti Atom ...
batu yang memiliki kekuatan tanpa batas.”
Awang
menoleh ke arahnya.
“Ada
berapa permata seperti ini di Bumi? Hanya tiga kan?”
Hologram
itu tak menjawab.
“Jawab,
Orthorb! Ini planetku! Aku berhak tahu jika ada ancaman bagi dunia ini!”
“Ada tujuh yang terdampar di
Bumi, Awang.”
“Sial!”
Godam menatap hamparan kota di hadapannya, “Masih ada 4 lagi benda seperti
ini?”
***
Sementara
itu, jauh di pelosok Pulau Sulawesi, sesosok bayangan bergerak di antara
bebatuan, menatap dengan curiga sosok lain yang baru saja memasuki gua.
Pemuda
itu menyesuaikan matanya dengan kegelapan, kemudian menyadari keberadaan
manusia lain yang tengah mengawasinya.
“Keluarlah,
aku tahu kau ada di sana!”
Sosok
itu segera menyergapnya, namun pemuda itu mengulurkan tangannya bak karet dan
melilit sosok itu, menjatuhkannya ke lantai gua.
“Gedebuk!”
“Lepaskan aku!” suara anak kecil menggema di
antara dinding bebatuan.
“Aku
tahu kenapa kau di sini dan aku bisa mengeluarkanmu.”
“Aku tak ingin keluar!” serunya, “Aku nyaman di
sini!”
“Dasar
bocah antisosial! Keluarkan batu permatamu!”
“Batu apa?”
“Kau
tahu maksudku!” ia menarik tangannya kembali dan memeriksa anak itu.
Tanpa
mempedulikan tatapan marah anak itu, dia merebut permata yang menempel di
gespernya.
“Hei, kembalikan itu!” seru anak itu.
“Bukan,”
pemuda itu memeriksanya dengan seksama, “Bukan ini.”
Ia
melepaskan anak itu dan melemparkan kristal itu kembali padanya. Bocah itu
dengan sigap menangkapnya, walaupun berada di tengah kegelapan, dan
mengembalikannya ke gespernya.
“Aku
punya tugas untukmu.”
“Cuih, untuk apa aku membantumu.” anak itu kembali
bergerak di antara bebatuan.
“Jika
kau membantuku, akan kubantu kau menemukan pembunuh ayahmu.”
END OF GUNDALA: JAGAD GENI
PLEASE CONTINUE TO GUNDALA: ANGKARA
MERAPI
bang bikin riddles lagi dong 2024
ReplyDelete