Bagi yang pernah merasakan era 90-an, pasti
sudah tak asing lagi dengan film slasher
remaja berjudul "Scream", ceritanya tentang sekelompok anak SMU yang
dikejar-kejar pembunuh bertopeng misterius yang disebut “Ghostface”. Trilogi
besutan Wes Craven ini amat terkenal di masanya dan seolah ingin mengulangi
kesuksesan yang sama, MTV membuat serial TV-nya. Secara keseluruhan, serial ini
cukup enjoyable, walaupun tentu
banyak kekurangan di sana-sini. Tapi worth
it nggak sih buat ditonton? Simak yuk review-nya.
"Scream" yang “asli” bercerita
tentang sosok Sidney Prescott (diperankan Neve Campbell) yang diteror pembunuh
misterius yang menghabisi teman-teman terdekatnya satu demi satu karena masa
lalu keluarganya yang kelam. Namun justru bukan sosok Sidney yang menjadi karakter
yang memorable di trilogi tersebut,
namun Gale Wheaters (diperankan Courtney Cox dari serial Friends), seorang
wartawati gigih dengan perilaku menyebalkan.
Serial "Scream" yang baru
ini memiliki jalan cerita yang tak jauh berbeda. Ceritanya bersetting di kota
kecil bernama Lakewood yang tersohor berkat aksi pembunuh berantai bernama
Brandon James yang melakukan sederetan aksi pembantaian karena terobsesi dengan
seorang gadis remaja bernama Daisy. Brandon James (yang menjadi sosok ikonik
karena topeng yang dikenakannya) akhirnya ditembak polisi, namun tubuhnya
terjatuh ke danau dan tak pernah ditemukan. 20 tahun kemudian, dipicu oleh
sebuah kasus cyber bullying,
pembunuhan berantai kembali terjadi di kota tersebut. Seorang podcaster bernama Piper (jelas sebagai sosok Gale yang lebih kekinian) kemudian
datang ke kota itu untuk menyelidikinya.
Tokoh utamanya sendiri adalah Emma Duval, seorang gadis yang masa lalunya terkait
dengan Brandon James, sebab ibunya adalah Daisy, gadis yang digilai oleh sang
pembunuh. Benarkah sang pembunuh legendaris itu kembali dari kematiannya?
Ataukah sang pelakunya justru salah satu di antara teman-teman Emma sendiri?
Secara umum, kelemahan serial ini sudah
dibeberkan oleh salah satu tokohnya di episode pilotnya, bahwa cerita slasher aslinya nggak bisa dibikin
serial TV. Alhasil, kebanyakan adegan di serial ini berujung pada aksi
kucing-kucingan antara sang pembunuh dan korbannya yang berujung pada
antiklimaks yang menjengkelkan. Udah tegang-tegangnya, eh tiba-tiba polisi udah
dateng. Kan jadi nggak seru. Tapi yah patut dimaklumi, karena adegan-adegan itu
bertujuan untuk memperpanjang durasi serial slasher
ini.
Gue juga agak terganggu sama
beberapa karakter di sini. Karakter-karakternya annoying as hell. Bahkan saking ngeselinnya, gue malah sedih pas
mereka ternyata malah selamat dari kejaran pembunuh dan nggak jadi mati
beneran. Ambil contoh karakter utama di serial ini, yakni Emma Duval. Emang dia
cantik banget dan enak dipandang (sexy
lagi), namun karakternya sama sekali nggak simpatik. Bahkan kalo boleh gue berpendapat,
dia banyak mengambil keputusan goblok yang akhirnya berujung pada kematian
teman-temannya.
Tokoh lain yang sebenarnya cukup
berpotensi di serial ini adalah Brooke Maddox yang b*tchy, tapi lalu dijelaskan bahwa dia sebenarnya damaged karena kehidupan keluarganya
yang kurang harmonis. She could be the
next Caroline Forbes dari "Vampire Diaries" dengan karakternya
yang kompleks. Namun kenyataannya, tokoh itu juga nggak di-flesh out lebih dalam dan cuma hadir buat nambah-nambahin konflik
aja.
Tokoh yang cukup prominent dan unik di serial ini justru
Audrey Jensen, "mantan" sahabat Emma yang terang-terangan lesbian.
Gue biasanya nggak setuju kalo karakter LGBT ditempelin di sebuah serial atau
film cuma buat lebih diverse aja
tanpa ada kaitan dengan jalan cerita (kayak “Riverdale” semisal, ada karakter gay di sana tapi sama sekali nggak
ngaruh ama penokohan dan jalan cerita). Tapi gue akuin, karakter Audrey yang tough dan tomboy memberi warna unik
sekaligus fresh bagi serial ini serta
membuat “Slasher” ini beda dengan serial remaja lain.
Hal yang juga membuat gue cukup kecewa
di serial ini adalah topeng Ghostface yang nggak sesuai dengan versi filmnya.
Emang sih dijelasin dengan logis asal usul topengnya kenapa bentuknya seperti
itu, tapi tetap saja itu membuat serial ini jadi kurang berasa "Scream"
banget.
Bagaimana dengan segi misterinya?
Serial "Scream" terdiri atas dua season, dimana season 1 gue rasa cukup "so so" lah alias lumayan. Salah
satu keistimewaan season 1 adalah
kita sama sekali nggak bisa menduga siapa korban selanjutnya. Kirain dia yang
mati tapi malah tokoh lain yang sama
sekali nggak kita sangka. Kita pikir
dia selamat eh tapi ujung-ujungnya mati juga. Tapi sayang, bagi gue kurang banyak
darah ditawarkan di season 1.
Korbannya kurang banyak. I mean, one
murder every 3 episodes? That kinda lame. Pelaku pembunuhannya juga
(menurut gue pribadi sih) udah tertebak dan nggak bikin gue kaget-kaget amat
(walau emang plot twist-nya cukup smart menurut gue).
Nah, baru di season 2 serial ini baru mendapat "nyawanya". Tiap
episodenya jauh lebih seru, membuat kita tak sabar melihat episode lanjutannya.
Misteri yang ditawarkan jauh lebih mencekam. Masih banyak sih adegan kucing-kucingan
yang berujung antiklimaks, namun ada banyak misteri yang membuat para penonton
bertanya-tanya. Dan yang membuat gue terkejut dan kagum adalah karakter-karakter
baru yang diperkenalkan di season 2 ini benar-benar keren penokohannya.
Gue biasanya nggak demen kalo di
season baru sebuah serial diperkenalkan tokoh baru selain tokoh-tokoh inti yang
udah ada. Biasanya ini menandakan para writer-nya
udah stuck dengan ide dan ada hingga
terpaksa nambahin karakter baru. Tapi ternyata gue salah. Di season 2 ini,
tokoh-tokoh barunya amat menarik dan nggak sekedar nongol buat jadi calon
tersangka yang harus dicurigai saja. Salah satu karakter kesukaan gue adalah
sheriff baru dan anaknya yang misterius.
Namun sayang, misteri yang sudah
terjalin sedemikian bagusnya justru berakhir di season finale yang mengecewakan. Identitas pelaku yang sebenarnya
sangat membuat gue kecewa, bukan karena siapa dia, tapi karena motifnya yang
terlewat simpel. Padahal misteri yang dibangun, termasuk masa lalu Brandon
James, sudah ditata sedemikian apiknya. Dan dua episode terakhir dimana Emma
dkk terjebak di pulau dengan pembunuh berantai baru, don't bother to watch it. It’s a piece of trash.
Kesimpulannya, gue kudu ngasi
penilaian berbeda untuk dua season
"Scream" ini.
Sedangkan adegan “panas”-nya, yah lumayan banyak (namanya
juga serial remaja Amrik) tapi nggak ada nudity-nya kok.
Serial ini lumayan sih
buat mengisi waktu luang kalian, just
don't have any high expectation. Or even, don't have any expectation at all.