Kuakui dari aku kepengen maen ke Borobudur. Kebetulan karena aku dapat THR (, maka aku ambil kesempatan libur sehari sebelum Idul Fitri untuk travelling ke Borobudur brg nyokap. Aku pilih timing itu karena aku yakin kalau sesudah idul Fitri, tempat ini pasti akan sangat dipenuhi dengan massa manusia berjuta-juta jumlahnya (halah lebay).
Pagi-pagi buta jam 5 aku dan nyokap berangkat dari rumah menuju stasiun Balapan Solo untuk naik kereta prameks jurusan Yogya yang paling pagi. Ingat, namanya pramex ya! Soalnya temen nyokap prnh slh ngomong pesen tiket paramex. Yah, tuh mah obat puyeng kalee. Harga tiketnya murah, cuma 10 ribu. Kereta berangkat jam 5.35. Karena masih pagi sekali, keretapun lengang dan kami leluasa memilih tempat duduk. Sekitar sejam kami sampai di Yogya dan langsung meluncur ke jalan Malioboro untuk naik bus Trans Yogya jurusan terminal. Ternyata kami harus oper, yaitu dari halte Malioboro naik bus 3A, lalu turun di halte Ahmad Dahlan (Rumah sakit PKU), lalu melanjutkan perjalanan dengan bus 2B yang langsung menuju Terminal Jombor. Jangan sampai salah terminal lho! Soalnya kalau naik bus ke arah Magelang, sebaiknya ke terminal Jombor, jangan ke terminal Giwangan, nyasar ke Bali malah entar (mlh asik dong?). Walaupun naik bus dua kali, tapi kami cuma harus membayar satu tiket seharga 3 ribu per orang.
Bus yang kami naiki sangat nyaman dan rutenya pun sangat teratur. Sampai di terminal Jombor, ada dua jenis bus yang menuju ke Borobudur, yaitu bus besar (menuju Semarang) dan minibus (menuju Magelang). Kami pun memilih naik minibus, tarifnya 12 ribu, entah harga normalnya emang segitu atau karena hampir lebaran, lalu tarifnya sengaja dinaikin (soalnya aku baca di blog harganya cuma 10 ribu). Perjalanan memakan waktu sekitar sejam melewati kota Muntilan. Di perjalanan, jangan lupa menegok ke arah kanan karena kalian akan melewati Candi Mendut.
Sesampainya di terminal Borobudur, kami langsung dikejar-kejar tukang becak yang menawarkan jasanya. Tapi karena kami ingin jalan kaki saja (dan mengirit uang saku tentunya hehehe), kami pun menolak dengan halus. Tapi si tukang becak kayaknya tetep kekeuh. Hmm, walaupun cukup terganggu tapi aku salut juga dengan kegigihan pak becak ini, benar-benar enterpreneur sejati (eh, tukang becak termasuk enterpreneur bukan sih?). Sayangnya pak becak ini salah target, sama-sama orang miskin kok dikejar-kejar hahaha.
Begitu sampai di terminal Borobudur, aku terpengarah, “Ya ampun gede banget candinya!”. Eh setelah diliatin lagi, ternyata itu bukan candi tapi gunung hehehe. Jangan harap kalian bisa melihat Borobudur dari kejauhan lho, karena candi ini tidak seperti Prambanan yang dibuat menjulang ke atas, tapi dibuat melebar ke samping.
Lumayan capek juga jalan dari terminal ke candinya. Kalau kalian nggak kuat jalan, coba aja naik becak (paling cuma 5 ribu) atau dokar yang banyak bersliweran di jalan. Di sepanjang jalan menuju candi, banyak toko-toko berjejeran. Yang paling aneh tuh ada toko yang menjual pelampung (di Magelang???).
Di kawasan candi, kami sempat kebingungan mencari jalan masuk, apalagi karena terlalu banyak pasar disini. Ini pemandangan pasar di jalan masuk candi.
Agak membingungkan memang jalannya, tapi akhirnya kami berhasil menemukan loket tiket. Wah tiketnya naik rupanya dari 23 ribu menjadi 30 ribu. Untung tampangku nggak kayak bule, soalnya kalo bule aku dengar tarifnya bisa jadi 150 ribu hehehe. Kami sempat dicek bawaannya (saran: tidak usah bawa makanan ke dalam!) dan harus melewati detektor logam. Maklum sih soalnya Borobudur dulu kalo nggak salah pernah dibom. Tapi kesannya pengecekan itu cuma asal-asalan aja, soalnya pas aku lewat detektornya bunyi (aku bawa jam tangan sama hape) tapi dibiarin lewat.
Sesampainya di dalam, suasana tampak gersang. Maklum lah, ini kan musim kemarau, ditambah lagi efek letusan Merapi beberapa bulan lalu yang menebarkan abunya kemana-mana sehingga banyak tumbuhan mati. Nah, joglo ini adalah tourism centre, jadi jika kalian nggak bisa berbahasa Indonesia, tinggal cari aja guide disini (kalau kalian nggak bisa berbahasa Indonesia, ngapain juga kalian baca blog-ku ya?).
Begitu masuk kami harus melewati taman yang panjaaaang sekali (huh, nggak tau apa kita dah jalan dari tadi?). Kalau kalian takut capek, naik aja kereta trans kelinci ini (itu sih aku sendiri yang ngasih nama).
Lalu kami bertemu stand tempat pengambilan kain sarung. Memang sempat kubaca dari blog waktu survey dulu, kalo kita diwajibkan memakai sarung sebelum memasuki candi. Sarungnya biasa sih, cuma putih gitu. Nah, dari sini nih mulai terlihat kemegahan candi, walaupun masih tertutup pepohonan. Setelah memakai sarung, kami pun naik tangga yang cukup curam ke atas candi (untung bokap nggak ikut, nggak kuat pasti naik tangga segini banyak). Sesampainya di depan candi, kami langsung disapa macan yang dadah dadah ini, OMG how cute???
Lalu aku juga melihat meriam ini. Wah ini pasti digunakan ksatria pada zaman dinasti syailendra untuk menumpas musuh-musuh dari luar angkasa.
Hehehe…bo’ong ding. Ini kalo nggak salah saluran air yang dihiasi seperti moncong gajah. Kami lalu naik ke tangga candi melewati berbagai gerbang, seperti ini gambarnya.
Eh, adiknya lucu banget. Well, kemudian sampailah kami di area stupa, wah rame banget!
Jualan disini laris kali ya, tapi kan nggak boleh hehehe. Sebenarnya salah satu tujuanku kesini adalah menguji keampuhan stupa yang katanya kalau kita menyentuh patung di dalamnya, keinginan kita bisa terkabul. Akan tetapi, jreng…jreng…jreng…
Waa, sialan! Mana langsung diusir lagi. Hehehe…bukan ding itu papan penunjuk jalan. Ternyata bagian stupa masih belum selesai dibersihkan dari abu vulkanik Merapi. Wah, gagal dong keinginanku menyentuh stupa, padahal siapa tahu keinginanku married sama Lindsay Lohan tercapai (walah). Akhirnya kami cuma bisa puas memfoto bagian stupa tanpa bisa menyentuhnya.
Kami pun melanjutkan jalan-jalan. Iseng-iseng aku memfoto benda aneh ini.
Itu bukan prasasti lho, tapi peringatan dilarang corat-coret hahaha. Wah keren, dari atas candi bisa terlihat pemandangan pegunungan yang indah ini.
Kami lalu beranjak turun untuk memutari candi. Aku dan nyokap terkagum-kagum dengan teknik bangsa Indonesia dulu dalam membangun candi sebesar ini dan dengan ukiran se-intricated ini. Bagaimana ya cara mereka mengangkut batu-batu sebesar ini? Diukir dulu baru diangkut apa diangkut dulu baru diukir? Apa mereka dibantu alien? Huu jadi maniak ancient aliens gara-gara blog yang kubaca kemarin.
Aku pun iseng-iseng berburu relief dengan tema tertentu. Relief di bawah ini kurasa ada di bagian arupadhatu (hayoo masih ingat nggak pelajaran sejarah dulu? Kalo aku sih dah nggak ingat hehehe). Soalnya dah ada Buddha di khayangan.
Taunya khayangan? Ya iyalah bisa terbang gitu. Terus yang ini di Kamadhatu kayaknya, soalnya menggambarkan Buddha masih jadi raja.
Iseng-iseng aku mencari relief-relief binatang. Ada macem-macem lho. Ada gajah.
Ada monyet.
Ada kerbau mau dimaem singa, hauuuum…
Kura-kura ama ikan.
Ada burung terbang di atas candi. Wah candi di dalam candi, keren tuh.
Terus ada angsa. Hayoo dicari coba!
Eh, ini kok kayak relief nabi Yunus dimakan ikan ya (tapi sepertinya nggak mungkin)?
Yang ini aku sebut “Rayuan Pulau Kelapa” hehehe.
Terus aku juga nggak sengaja nemuin relief terkenal ini. Pasti kalian semua pernah melihatnya di buku sejarah sebagai relief yang menggambarkan keperkasaan bangsa kita sebagai bangsa maritim.
Wah, bener-bener mau nangis pas bisa ngeliat relief ini dengan mata telanjang, eh, maksudku dengan kedua bola mataku sendiri. Sayangnya banyak relief yang nggak lengkap (hilang mungkin) dan diganti sama batu candi biasa. Jadinya agak aneh, nih dia contohnya.
Denger-denger sih dulu pas penjajahan, Gubernur jenderal Belanda ada yang ngasih berton-ton batu candi Borobudur ke Raja Thailand. Wah nggak tau diri bener, nggak cukup apa ngejajah kita 350 tahun dan juga membuat Nyai Dasimah menderita (lho)?
Aku juga pernah baca, kalau kalian nemuin batu yang ditandai, batu itu adalah batu tambahan untuk mengganti batu candi yang hilang. Seperti ini nih tandanya.
Yang lebih disayangkan, aku banyak banget nemuin patung Buddha tanpa kepala.
Aduh jadi miris. Yang terakhir tuh malah jadi kayak patung modern minimalis gitu. Nah, kalo patung dan dekorasinya lengkap kayak gini nih.
Indah banget khan? Detailnya benar-benar mengagumkan. Tapi salah satu hal yang paling nyebelin dan merusak keindahan candi ini justru adalah PAPAN-PAPAN PERINGATAN yang berceceran dimana-mana. Kayak ini nih, pas aku mendapat spot yang artistik banget (patung Buddha dengan background pegunungan yang indah dan relief-relief keren), malah ada papan peringatan ini.
Sakit jiwa apa orang mau manjat-manjat disini? Sekalian aja tulis dilarang lompat dan bunuh diri! Terus pas aku geser kameraku ke kanan (ini spot yg sama lho)….
ADA LAGI???! Huh, sekalian aja pasang plakat “Dilarang Melahirkan”, bete gue!!! Payah bener, padahal petugas keamanannya aja dah banyak banget (di deket stupa aja pada seliweran udah kayak pos ronda aja), kenapa nggak mereka aja yang patroli? Lagian di depan kan udah ada pemeriksaan barang-barang bawaan jadi alat-alat buat corat-coret pasti udah disita, ya nggak?
Yang lebih hebat lagi ini nih, tempat sampah dari dinasti Syailendra!
Keren banget kan? Jadi penasaran, zaman Syailendra dulu udah ada pemisahan sampah jadi sampah organik ama sampah non-organik belum ya?
Aku juga melihat banyak turis-turis bule yang mengikuti seorang guide yang penjelasannya membingungkan (sedikit-sedikit aku ngerti bahasa Inggris dan penjelasan pak guide-nya justru bikin puyeng).
Tapi penjelasan paling seru aku dapet dari bapak-bapak yang sedang jelasin ke anaknya, “Candi ini dah ada nih sejak zaman dino”. Zaman dino??? Yang bener aja pak, emg sih ABG-ABG sekarang tuh lebay, tp bapaknya jangan ikut-ikutan lebay dong! Hahaha…bener-bener kocak banget tuh bapak.
Setelah capek, kami pun turun dan membaca sedikit tentang sejarah Borobudur dan orang-orang Belanda yang dulu menemukan reruntuhan Borobudur (now that’s the real Lara Croft!). Ah, akhirnya setelah berpanas-panas ria, kami menemukan joglo dan air mancur yang benar-benar membuat sejuk suasana.
Di joglo ada museum yang menggambarkan arti tiap-tiap relief. Ternyata ada relief yang memperingatkan manusia agar tidak bergunjing (di bagian kamadhatu kalau nggak salah). Wah kok tadi aku tidak bertemu dengan relief ini ya? Kalau artis dikejar-kejar infotainment, boleh juga nih langsung memajang relief ini sebagai peringatan hehehe. Orang zaman dahulu aja dah tahu bergosip itu dosa.
Di sana kami juga menemukan barisan batu-batu candi yang mungkin belum sempat direstorasi. Ada banyak sekali.
Batu-batu itu ditandai dengan nomor. Lalu aku melihat lubang segiempat di salah satu batu. Hmm, mungkin begitu cara mereka memasangnya dulu.
Begitu kalian keluar dari kawasan candi, tantangan ternyata belum berakhir. Kalau tadi tantangannya menapaki tangga-tangga berbatu, sekarang tantangannya adalah: menghadapi para penjual suvenir, hahaha. Kuperingatin lho, mereka cukup gigih. Tapi kegigihan mereka tak berarti apa-apa melawan kegigihanku menawar. Akhirnya aku membeli patung kepala Buddha kecil seharga 5 ribu dan gantungan kunci kecil seharga seribu. Aku jadi salut dengan cara seorang gadis cilik (anak Jakarta sepertinya) menolak penjual suvenir. Ini nih percakapannya.
“Mau cari apa dik?”
“Mau tauuuu aja.”
Hahaha pede banget adiknya (siapa tuh orang tuanya). Aku jadi dapet ide beberapa cara untuk menolak kejaran pedagang suvenir.
Cara artis:
“Cari apa mbak?”
“Tolong ya…tolong hargai privacy saya!”
Cara Dian Sastro:
“Dagangannya dilarisin mbak!”
“Ooo, jadi dagangan loe nggak laris tuh semua salah gue? Salah temen-temen gue gitu?”
Cara Bule:
“Beli gantungan kuncinya Mas!”
“I’m sorry I can’t speak bahasa” (nggak mempan kalo mukanya muka lokal)
Cara backpacker:
“Murah mas, murah mas!”
“Nggak punya duit bu (sambil menarik saku yang memang udah nggak ada isinya, cara ini dijamin paling ampuh)
Well, that’s only a joke. Jangan bener-bener diterapin guys, apalagi blg kl dapetnya dr blog gue hehehe. Kami pun pulang dengan jalur yang sama seperti waktu kami berangkat tadi. Di Yogya, tak lengkap rasanya kalau tidak mampir ke Malioboro dan menghabiskan uang THR-ku (hiks). Tapi begitu nyampe di sebuah toko, ternyata aku ditolak masuk!
Wah, yang bener aja dong? Dah jauh-jauh kesini. Hehehe, tapi orang Yogya memang kreatif bikin warning sign.
That’s my trip to Borobudur. Singkat, panas, melelahkan, tapi berkesan.