Monday, November 11, 2024

GUNDALA JAGAD GENI – CHAPTER 12

 


NERAKA

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Dan di sinilah aku, menutup semua cerita. Sampailah kita di awal cerita, dimana aku terbaring tak berdaya, sementara aku menyaksikan Ghazul tertawa penuh kemenangan. Lecutan energi menyambar-nyambar di sekitarku, membakar semua yang ada.

Ia menang dan aku kalah.

Aku hanya berharap, sebelum aku mati, aku diperbolehkan untuk melihat wajah Minarti sekali lagi.

Tidak, jangan! Jika ia di sini, ia akan terlibat dalam situasi berbahaya lagi.

Aku sudah tak mampu lagi menahannya. Kini tubuhku terasa seperti lentera yang kehabisan minyak, menanti angin berdesir memadamkannya.

Rasa sakit ini perlahan mulai menghilang.

Dan apapun yang tersisa dalam jiwaku, kini mulai padam.

 

***

 

“KURANG AJAR KAU!!!” Godam mengamuk begitu menyadari bahwa ia telah terlambat. Gundala kini terbaring, mungkin tak bernyawa. Ia segera menghantamkan palunya ke udara dan gelombang EMP yang tadi Ghazul lancarkan berhembus kembali ke arahnya.

“Berikan cincin itu atau kubunuh kau!” teriak Godam dengan murka.

Kemarahan Godam serasa memberinya energi ekstra untuk menyerang Ghazul dengan hantaman-hantaman yang membuatnya mulai kewalahan. Bahkan satu serangan Godam mampu menghancurkan gedung dimana Ghazul berpijak.

Terpancar rasa takut di wajah pria itu. Bagaimanapun ia adalah manusia biasa, bukan insan berkekuatan adidaya seperti Jagad Geni, Gundala, ataupun Godam.

Ia memiliki idealisme untuk menjadi yang terkuat, penguasa seluruh dunia ini. Namun nyawanya lebih penting. Ia segera melepaskan cincin itu untuk menghindari amarah Godam lebih lanjut, lalu lari dengan pengecutnya.

Godam hendak mengejar penjahat itu, namun ia lalu teringat ada hal yang lebih penting. Ia menoleh dan segera melayang ke arah tubuh Gundala yang kini terbaring.

Ia berusaha menggunakan kekuatan pendengaran supernya untuk mendeteksi denyut jantung pemuda bertopeng itu.

Namun gagal.

Jantungnya tak lagi berdetak.

 

***

 

“Apa kau benar akan menyerah di sini?” terdengar suara di tengah cahaya terang itu.

“Siapa itu? Terang sekali ... dimana ini?”

Aku melihat wajah seorang gadis.

“Siapa kau?”

Wajahnya terasa sendu, namun sangat cantik.

Ia mengenakan berlian berwarna merah sebagai liontin kalungnya.

“Jangan menyerah di sini, Sancaka.”

Ia semakin menjauh.

“Jangan ... atau kita takkan pernah bertemu.”

“Hei tunggu!!!”

Dan rasanya aku seperti tersambar petir untuk yang kedua kalinya.

 

***

 

“JEDUG!”

Godam tersentak.

Barusan tubuh pemuda ini bergerak.

Dadanya terdorong ke atas, seolah tersetrum.

“JEDUG!”

Terjadi lagi.

Kali ini cahaya listrik melingkupi seluruh tubuhnya, mulai dari dadanya dan menjalar ke tangan, kaki, dan kepalanya.

”JEDUG!”

“Dia sedang me-recharge dirinya sendiri, bak sebuah mesih defibrilator,” calon dokter itu berpikir, “Hanya energi listriknya berasal dari tubuhnya.”

Tiga hentakan impuls listrik itu cukup untuk membangkitkan lagi denyut pemuda itu.

Sancaka membuka matanya.

Namun tak ada siapa-siapa di sana.

 

***

 

Sancaka masih memegangi dadanya. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak lagi. Namun bagaimana bisa?

Apakah kekuatan ini akan menetap selamanya?

Apa ini berarti aku takkan bisa mati?

Namun Sancaka tahu, apapun yang terjadi padanya, akan memiliki konsekuensi.

Mungkin takkan ada ancaman lagi dari Jagad Geni. Namun Ghazul telah kabur. Dan tak ada yang menjamin ada berapa banyak orang gila selain dirinya di luar sana.

“Kau ingin bertemu denganku?’

Sancaka menoleh dan melihat Minarti. Sudah sehari semenjak ia terbaring nyaris (atau bahkan sudah) mati. Itu memberinya waktu untuk berkontemplasi. Hari kini telah menjelang petang. Mereka berada di kafe tepi sungai, tempat mereka dulu biasa berbincang dan melepas tawa.

“Apa ada, Sancaka?”

“Aku minta maaf.” Sancaka memaksakan dirinya tersenyum, namun ia tahu Minarti mengenal dirinya lebih baik. Ia selalu tahu ketika senyum itu dipaksakan.

“Tak apa, Sancaka. Aku mengerti keadaanmu.”

Minarti masih memandangnya.

Apa Sancaka akan memintanya kembali kepadanya? Ia tahu Sancaka sering mengecewakannya. Namun ia tahu, sebenarnya pemuda itu sama sekali tak bermaksud menyakiti hatinya.

Jika Sancaka hendak minta maaf dan berjanji takkan mengulangi, bagi Minarti itu sudah cukup.

Dan mereka akan kembali lagi seperti dulu.

“Aku minta maaf telah meninggalkanmu.” katanya. Ia tak mampu meneruskannya, namun ia tahu ia harus.

Ini kesempatan terakhirnya.

“Namun aku harus pergi.”

Minarti tersentak.

“Aku sadar, kau takkan bahagia denganku.”

Sancaka terdiam sejenak, lalu mengumpulkan keberanian untuk meneruskannya.

“Aku sadar aku takkan bisa terus menyakitimu. Kau akan menemukan seseorang yang lebih sempurna, yang akan memperlakukanmu lebih baik ketimbang diriku dan takkan mengecewakanmu. Dan jika itu terjadi, aku berjanji akan bahagia.”

Minarti tak menyadari air mata mulai menetes di pipinya.

“Selamat tinggal.”

Sancaka sudah tak mampu lagi meneruskan perpisahannya dan berbalik pergi.

Tak ada satupun dari mereka pernah berharap semuanya akan berakhir seperti ini.

 

***

 

Sancaka memandangi lautan yang bergulung-gulung di depannya sembari duduk di atas pasir. Sementara itu Awang berlari ke arahnya dan menjatuhkan dirinya ke sampingnya.

“Aaaaaaaargh, sudah lama sekali aku tak melihat pantai! Terima kasih sudah mengajakku ke sini.”

Sancaka tertawa dan ikut berbaring di atas pasir dan menatap ke langit.

“Aku memang butuh sedikit refreshing, lepas dari Kota Bandung.”

“Aku tak mengerti kenapa kau memutuskan gadis itu,” Awang menoleh ke arahnya, “Padahal dia cantik.”

“Aku ingin memulai segalanya dengan awal yang baru. Karena itu aku terpaksa meninggalkannya.”

Ia tahu dirinya bukanlah Sancaka yang dulu. Jika ia masihlah manusia biasa, mungkin ia masih bisa  mempertahankan hubungannya dengan Minarti.

Namun kini ia adalah anomali dan ia tahu, Minarti hanya akan berada dalam bahaya jika bersamanya.

“Oh ya, ada yang harus kulakukan.”

Sancaka berdiri dan berjalan menuju ke tepi pantai. Awang yang keheranan ikut bangkit dan mengikutinya.

Ia melemparkan sebuah cincin bertahtakan lapis lazuli berwarna biru keemasan ke arah laut.

“Kenapa kau membuangnya?”

“Itu milik Minarti. Saat aku mengucapkan perpisahan, ia memberikannya kepadaku.” Sancaka menghadapnya, “katanya itu membawa kutukan dan ia tak menginginkannya lagi.”

“Kau telah membuat seorang gadis menangis, Sancaka.” Awang menepuk bahunya, “Kau akan mendapatkan balasannya.”

“Omong-omong soal gadis, aku bermimpi tentang seorang gadis kemarin.” Sancaka kembali menatap ke laut yang berdesir.

“Oh ya?”

 “Saat itu aku ...” Sancaka mengganti kalimat yang hendak diucapkannya (ia tak mungkin menjelaskan detail bahwa ia ‘mati’ kemarin), “Saat itu aku melihat seorang gadis dalam mimpiku. Dan anehnya, aku tak pernah melihatnya sebelumnya.”

“Kau pasti pernah melihatnya,” balasnya, “Mustahil kau memimpikan seseorang yang wajahnya tak terekam ingatanmu. Kau hanya memimpikan muka orang yang pernah kau saksikan sebelumnya.”

“Entahlah, Awang. Itu rasanya bukan seperti mimpi, melainkan sebuah firasat.”

“Kau bisa meramal sekarang?” Awang menaikkan alisnya.

“Tidak, bukan seperti itu. Hanya .... aku merasa aku akan bertemu dengan gadis itu suatu saat kelak. Tapi tentu saja ilmu kedokteran takkan mempercayai hal-hal semacam itu, bukan?” Sancaka tertawa sambil menatapnya.

Mata mereka bertemu. Ia diam.

“Sancaka, ada yang ingin kuceritakan padamu.”

“Tentang?”

Ia menghela napasnya, “Aku tahu memang aneh seorang sopir taksi sepertiku bisa mendalami ilmu kedokteran seperti ini, namun dulu aku adalah seorang mahasiswa kedokteran.”

“Dulu?” pemuda itu mengernyit. “Lalu apa yang terjadi??”

Ia menatap ke laut, sepertinya tak ingin aku melhat bola mata coklatnya yang mulai membasah.

“Ayahku adalah seorang pejabat yang disegani. Aku adalah anak tunggal yang selalu hidup berkelimpahan. Aku dulu sempat mencicipi seperti apa rasanya menjadi mahasiswa kedokteran, namun semua berbalik 180 derajat ketika ayah dijebloskan ke penjara karena tuduhan korupsi.”

Sancaka hanya terdiam mendengar ceritanya.

“Aku tahu semenjak dulu bahwa ayahku bukanlah orang jujur. Aku hanya merasa terlalu takut untuk menegurnya. Semenjak ayah ditangkap, perlakuan orang-orang kepada aku dan ibuku berubah drastis. Mereka yang dulu memuja-muja kami, tiba-tiba saja merasa jijik melihat kami, seakan kami onggokan sampah yang harus dijauhi.”

“Aku ikut menyesal itu terjadi padamu.”

“Ibuku-lah yang paling menderita karena keluarga kami jatuh miskin. Suatu ketika ia sakit dan tak ada rumah sakit yang mau menerima kami. Aku terus menggendongnya di tengah malam, membawanya ke satu rumah sakit kemudian rumah sakit lain. Namun sikap mereka semua sama, memandang kami sebelah mata. Hingga akhirnya ...”

Aku mendengar isakannya dalam sepersekian detik, sebelum suaranya berubah kembali menjadi tegar.

“Ia akhirnya meninggal di gendonganku. Sejak saat itu aku memutuskan mengubur impianku menjadi dokter.”

Awang menoleh kepada Sancaka, “Aku tak mau menjadi seperti mereka, yang membunuh ibuku.”

“Kau tak perlu menceritakan ini kepadaku, Awang, jika memang terlalu berat.”

“Tak apa.” ia mengusap matanya, “Namun saat aku bertemu denganmu di jalan itu, aku mengubah pandanganku. Ternyata aku masih bisa menggunakan ilmuku yang tersisa untuk paling tidak berbuat sesuatu.”

“Kau menyelamatkanku malam itu,” Sancaka tersenyum, “Dan untuk itu aku berterima kasih.”

“Aneh bukan, kita baru berjumpa beberapa hari, namun rasanya kita telah saling mengenal selama bertahun-tahun.” ia tertawa.

“Aku juga merasa begitu.” Sancaka ikut tertawa. “Aku akan pergi dari Bandung, ikutlah denganku!”

“Hah, apa? Kenapa kau tiba-tiba mengambil keputusan seperti itu?”

“Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi di sini. Kau juga kan? Ayo, ikutlah bersamaku!”

“Kemana kau akan pergi?”

“Pulang ke kampung halamanku,” senyum Sancaka, “Yogya!”

 

TO BE CONTINUED

 

No comments:

Post a Comment