NERAKA
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Dan di
sinilah aku, menutup semua cerita. Sampailah kita di awal cerita, dimana aku
terbaring tak berdaya, sementara aku menyaksikan Ghazul tertawa penuh
kemenangan. Lecutan energi menyambar-nyambar di sekitarku, membakar semua yang
ada.
Ia menang dan aku kalah.
Aku
hanya berharap, sebelum aku mati, aku diperbolehkan untuk melihat wajah Minarti
sekali lagi.
Tidak,
jangan! Jika ia di sini, ia akan terlibat dalam situasi berbahaya lagi.
Aku
sudah tak mampu lagi menahannya. Kini tubuhku terasa seperti lentera yang
kehabisan minyak, menanti angin berdesir memadamkannya.
Rasa
sakit ini perlahan mulai menghilang.
Dan
apapun yang tersisa dalam jiwaku, kini mulai padam.
***
“KURANG
AJAR KAU!!!” Godam mengamuk begitu menyadari bahwa ia telah terlambat. Gundala
kini terbaring, mungkin tak bernyawa. Ia segera menghantamkan palunya ke udara
dan gelombang EMP yang tadi Ghazul lancarkan berhembus kembali ke arahnya.
“Berikan
cincin itu atau kubunuh kau!” teriak Godam dengan murka.
Kemarahan
Godam serasa memberinya energi ekstra untuk menyerang Ghazul dengan
hantaman-hantaman yang membuatnya mulai kewalahan. Bahkan satu serangan Godam
mampu menghancurkan gedung dimana Ghazul berpijak.
Terpancar
rasa takut di wajah pria itu. Bagaimanapun ia adalah manusia biasa, bukan insan
berkekuatan adidaya seperti Jagad Geni, Gundala, ataupun Godam.
Ia
memiliki idealisme untuk menjadi yang terkuat, penguasa seluruh dunia ini.
Namun nyawanya lebih penting. Ia segera melepaskan cincin itu untuk menghindari
amarah Godam lebih lanjut, lalu lari dengan pengecutnya.
Godam
hendak mengejar penjahat itu, namun ia lalu teringat ada hal yang lebih
penting. Ia menoleh dan segera melayang ke arah tubuh Gundala yang kini terbaring.
Ia
berusaha menggunakan kekuatan pendengaran supernya untuk mendeteksi denyut
jantung pemuda bertopeng itu.
Namun
gagal.
Jantungnya
tak lagi berdetak.
***
“Apa kau benar
akan menyerah di sini?”
terdengar suara di tengah cahaya terang itu.
“Siapa itu?
Terang sekali ... dimana ini?”
Aku melihat wajah seorang gadis.
“Siapa kau?”
Wajahnya terasa sendu, namun sangat cantik.
Ia mengenakan berlian berwarna merah sebagai
liontin kalungnya.
“Jangan menyerah
di sini, Sancaka.”
Ia semakin menjauh.
“Jangan ... atau
kita takkan pernah bertemu.”
“Hei tunggu!!!”
Dan rasanya aku seperti tersambar petir untuk yang
kedua kalinya.
***
“JEDUG!”
Godam
tersentak.
Barusan
tubuh pemuda ini bergerak.
Dadanya
terdorong ke atas, seolah tersetrum.
“JEDUG!”
Terjadi
lagi.
Kali
ini cahaya listrik melingkupi seluruh tubuhnya, mulai dari dadanya dan menjalar
ke tangan, kaki, dan kepalanya.
”JEDUG!”
“Dia
sedang me-recharge dirinya sendiri,
bak sebuah mesih defibrilator,” calon dokter itu berpikir, “Hanya energi
listriknya berasal dari tubuhnya.”
Tiga
hentakan impuls listrik itu cukup untuk membangkitkan lagi denyut pemuda itu.
Sancaka
membuka matanya.
Namun
tak ada siapa-siapa di sana.
***
Sancaka
masih memegangi dadanya. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak lagi. Namun
bagaimana bisa?
Apakah kekuatan ini akan
menetap selamanya?
Apa ini berarti aku takkan bisa
mati?
Namun Sancaka
tahu, apapun yang terjadi padanya, akan memiliki konsekuensi.
Mungkin
takkan ada ancaman lagi dari Jagad Geni. Namun Ghazul telah kabur. Dan tak ada
yang menjamin ada berapa banyak orang gila selain dirinya di luar sana.
“Kau
ingin bertemu denganku?’
Sancaka
menoleh dan melihat Minarti. Sudah sehari semenjak ia terbaring nyaris (atau
bahkan sudah) mati. Itu memberinya waktu untuk berkontemplasi. Hari kini telah
menjelang petang. Mereka berada di kafe tepi sungai, tempat mereka dulu biasa
berbincang dan melepas tawa.
“Apa
ada, Sancaka?”
“Aku
minta maaf.” Sancaka memaksakan dirinya tersenyum, namun ia tahu Minarti
mengenal dirinya lebih baik. Ia selalu tahu ketika senyum itu dipaksakan.
“Tak
apa, Sancaka. Aku mengerti keadaanmu.”
Minarti
masih memandangnya.
Apa
Sancaka akan memintanya kembali kepadanya? Ia tahu Sancaka sering
mengecewakannya. Namun ia tahu, sebenarnya pemuda itu sama sekali tak bermaksud
menyakiti hatinya.
Jika
Sancaka hendak minta maaf dan berjanji takkan mengulangi, bagi Minarti itu
sudah cukup.
Dan
mereka akan kembali lagi seperti dulu.
“Aku
minta maaf telah meninggalkanmu.” katanya. Ia tak mampu meneruskannya, namun ia
tahu ia harus.
Ini
kesempatan terakhirnya.
“Namun
aku harus pergi.”
Minarti
tersentak.
“Aku
sadar, kau takkan bahagia denganku.”
Sancaka
terdiam sejenak, lalu mengumpulkan keberanian untuk meneruskannya.
“Aku
sadar aku takkan bisa terus menyakitimu. Kau akan menemukan seseorang yang
lebih sempurna, yang akan memperlakukanmu lebih baik ketimbang diriku dan
takkan mengecewakanmu. Dan jika itu terjadi, aku berjanji akan bahagia.”
Minarti
tak menyadari air mata mulai menetes di pipinya.
“Selamat
tinggal.”
Sancaka
sudah tak mampu lagi meneruskan perpisahannya dan berbalik pergi.
Tak
ada satupun dari mereka pernah berharap semuanya akan berakhir seperti ini.
***
Sancaka
memandangi lautan yang bergulung-gulung di depannya sembari duduk di atas
pasir. Sementara itu Awang berlari ke arahnya dan menjatuhkan dirinya ke
sampingnya.
“Aaaaaaaargh,
sudah lama sekali aku tak melihat pantai! Terima kasih sudah mengajakku ke
sini.”
Sancaka
tertawa dan ikut berbaring di atas pasir dan menatap ke langit.
“Aku
memang butuh sedikit refreshing, lepas dari Kota Bandung.”
“Aku
tak mengerti kenapa kau memutuskan gadis itu,” Awang menoleh ke arahnya,
“Padahal dia cantik.”
“Aku
ingin memulai segalanya dengan awal yang baru. Karena itu aku terpaksa
meninggalkannya.”
Ia
tahu dirinya bukanlah Sancaka yang dulu. Jika ia masihlah manusia biasa,
mungkin ia masih bisa mempertahankan
hubungannya dengan Minarti.
Namun
kini ia adalah anomali dan ia tahu, Minarti hanya akan berada dalam bahaya jika
bersamanya.
“Oh
ya, ada yang harus kulakukan.”
Sancaka
berdiri dan berjalan menuju ke tepi pantai. Awang yang keheranan ikut bangkit
dan mengikutinya.
Ia
melemparkan sebuah cincin bertahtakan lapis lazuli berwarna biru keemasan ke
arah laut.
“Kenapa
kau membuangnya?”
“Itu
milik Minarti. Saat aku mengucapkan perpisahan, ia memberikannya kepadaku.”
Sancaka menghadapnya, “katanya itu membawa kutukan dan ia tak menginginkannya
lagi.”
“Kau
telah membuat seorang gadis menangis, Sancaka.” Awang menepuk bahunya, “Kau
akan mendapatkan balasannya.”
“Omong-omong
soal gadis, aku bermimpi tentang seorang gadis kemarin.” Sancaka kembali
menatap ke laut yang berdesir.
“Oh
ya?”
“Saat itu aku ...” Sancaka mengganti kalimat
yang hendak diucapkannya (ia tak mungkin menjelaskan detail bahwa ia ‘mati’
kemarin), “Saat itu aku melihat seorang gadis dalam mimpiku. Dan anehnya, aku
tak pernah melihatnya sebelumnya.”
“Kau
pasti pernah melihatnya,” balasnya, “Mustahil kau memimpikan seseorang yang
wajahnya tak terekam ingatanmu. Kau hanya memimpikan muka orang yang pernah kau
saksikan sebelumnya.”
“Entahlah,
Awang. Itu rasanya bukan seperti mimpi, melainkan sebuah firasat.”
“Kau
bisa meramal sekarang?” Awang menaikkan alisnya.
“Tidak,
bukan seperti itu. Hanya .... aku merasa aku akan bertemu dengan gadis itu
suatu saat kelak. Tapi tentu saja ilmu kedokteran takkan mempercayai hal-hal
semacam itu, bukan?” Sancaka tertawa sambil menatapnya.
Mata mereka
bertemu. Ia diam.
“Sancaka,
ada yang ingin kuceritakan padamu.”
“Tentang?”
Ia
menghela napasnya, “Aku tahu memang aneh seorang sopir taksi sepertiku bisa
mendalami ilmu kedokteran seperti ini, namun dulu aku adalah seorang mahasiswa
kedokteran.”
“Dulu?”
pemuda itu mengernyit. “Lalu apa yang terjadi??”
Ia
menatap ke laut, sepertinya tak ingin aku melhat bola mata coklatnya yang mulai
membasah.
“Ayahku
adalah seorang pejabat yang disegani. Aku adalah anak tunggal yang selalu hidup
berkelimpahan. Aku dulu sempat mencicipi seperti apa rasanya menjadi mahasiswa
kedokteran, namun semua berbalik 180 derajat ketika ayah dijebloskan ke penjara
karena tuduhan korupsi.”
Sancaka
hanya terdiam mendengar ceritanya.
“Aku
tahu semenjak dulu bahwa ayahku bukanlah orang jujur. Aku hanya merasa terlalu
takut untuk menegurnya. Semenjak ayah ditangkap, perlakuan orang-orang kepada
aku dan ibuku berubah drastis. Mereka yang dulu memuja-muja kami, tiba-tiba
saja merasa jijik melihat kami, seakan kami onggokan sampah yang harus dijauhi.”
“Aku
ikut menyesal itu terjadi padamu.”
“Ibuku-lah
yang paling menderita karena keluarga kami jatuh miskin. Suatu ketika ia sakit
dan tak ada rumah sakit yang mau menerima kami. Aku terus menggendongnya di
tengah malam, membawanya ke satu rumah sakit kemudian rumah sakit lain. Namun
sikap mereka semua sama, memandang kami sebelah mata. Hingga akhirnya ...”
Aku
mendengar isakannya dalam sepersekian detik, sebelum suaranya berubah kembali
menjadi tegar.
“Ia
akhirnya meninggal di gendonganku. Sejak saat itu aku memutuskan mengubur
impianku menjadi dokter.”
Awang
menoleh kepada Sancaka, “Aku tak mau menjadi seperti mereka, yang membunuh
ibuku.”
“Kau
tak perlu menceritakan ini kepadaku, Awang, jika memang terlalu berat.”
“Tak
apa.” ia mengusap matanya, “Namun saat aku bertemu denganmu di jalan itu, aku
mengubah pandanganku. Ternyata aku masih bisa menggunakan ilmuku yang tersisa
untuk paling tidak berbuat sesuatu.”
“Kau
menyelamatkanku malam itu,” Sancaka tersenyum, “Dan untuk itu aku berterima
kasih.”
“Aneh
bukan, kita baru berjumpa beberapa hari, namun rasanya kita telah saling
mengenal selama bertahun-tahun.” ia tertawa.
“Aku
juga merasa begitu.” Sancaka ikut tertawa. “Aku akan pergi dari Bandung,
ikutlah denganku!”
“Hah,
apa? Kenapa kau tiba-tiba mengambil keputusan seperti itu?”
“Aku
sudah tak punya siapa-siapa lagi di sini. Kau juga kan? Ayo, ikutlah
bersamaku!”
“Kemana
kau akan pergi?”
“Pulang
ke kampung halamanku,” senyum Sancaka, “Yogya!”
TO BE CONTINUED
No comments:
Post a Comment