Haruka masih terisak dan aku serta yang lainnya juga tak tahu harus berbuat apa. Sekujur tubuh kami dibasahi keringat dingin karena ketakutan. Di lorong pintu masuk rumahku, Saori masih berdiri dengan tatapan kosong sambil mengunyah rambutnya.
“Ibu! Ibu!” panggilku. Ibuku keluar dan dengan mata membelalak menatap Saori. Aku mencoba menjelaskan kepadanya, namun dengan segera ia menampar wajahku dan ketiga anak lainnya. Ia menjerit ke arah kami semua.
“Kalian pergi ke sana kan? Kalian pergi ke rumah terlarang itu!”
Yang dapat kami lakukan hanya mengangguk. Kami tak mampu mengatakan apapun untuk membela diri kami.
“Masuk ke dalam, kalian semua! Aku akan memanggil orang tua kalian!” ibuku kemudian membawa Saori ke atas.
Aku melakukan perintah ibuku dan diam di ruang tamu. Aku bahkan tak bisa berpikir apa-apa lagi. kami hanya duduk di sana selama sejam hingga akhirnya semua orang tua kami datang.
Ketika orang tua kami datang, ibuku segera turun dari lantai atas.
“Mereka pergi ke rumah itu!” pekiknya.
Para orang tua tampak marah dan kecewa hingga berteriak kepada kami.
“Apa?! Apa yang kalian lihat di sana?”
Kami semua terkejut dengan semua bentakan itu dan tak mampu menjawabnya. Namun, Atsushi dan Kazuchika berhasil menjelaskannya kepada mereka.
“Kami melihat sebuah meja rias dan rambut yang aneh... aku juga memecahkan kaca depan...”
“Lalu....apa lagi yang kalian lihat?”
“Selain itu...kami meihat beberapa kertas dengan dua huruf tertulis di atasnya ...”
Kamar itu menjadi sunyi seketika, namun pada saat yang sama terdengar jeritan dari lantai atas.
Ibuku langsung berlari ke atas dan kemudian turun kembali. Ia memegang pundak ibu Saori. Pipinya basah dengan air mata.
“Saori...apa dia melihat ke dalam laci?” ibu Saori datang mendekati kami penuh rasa cemas.
“Apa kalian membuka laci ketiga dan melihat isinya?” ia mengulang pertanyaannya.
“Laci ketiga di meja rias di lantai atas. Apa kalian melihat ke dalamnya?” orang-orang tua lain mulai bertanya.
“Laci pertama dan kedua kami melihat isinya....tapi yang ketiga, hanya Saori yang melihat...”
Setelah aku mengatakannya, ibu Saori mencengkeram tanganku dan menjerit, “Kenapa kalian tak menghentikannya? Dia teman kalian! Mengapa kalian tak menghentikannya? Mengapa?”
Ayah Saori dan orang-orang tua lainnya berusaha menenangkannya.
“Tenanglah!”
“Kumohon, sayang! Tenangkan dirimu!”
Mereka berhasil menariknya, namun ia masih tampak histeris. Para orang tua mulai menenangkan diri mereka dan mulai bercerita.
“Tak ada yang pernah tinggal di rumah yang kalian datangi itu. Rumah itu dibangun khusus untuk meja rias dan rambut itu. Semacam kuil. Bangunan itu sudah ada sejak kami kecil.”
“Rambut itu rambut manusia asli,” ayah Kazuchika berkata, “Kalian melihat kertas yang ada di dalam laci itu kan? Apakah ini yang tertulis di sana?”
Ia mengambil sebuah kertas dan menuliskan sesuatu di sana.
“Ya benar! Tulisan itu yang kami lihat.”
Ayah Kazuchika lalu segera meremas-remas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Ia melanjutkan ceritanya.
“Kata itu sebenarnya adalah sebuah nama; nama dari perempuan yang rambutnya kalian lihat di sana. Nama itu memang tak biasa...” ia berhenti beberapa saat sebelum kembali bercerita, “Semua yang perlu kalian tahu adalah: kalian tak boleh, dengan alasan apapun, membicarakan tentang rumah itu lagi! Kalian tidak boleh berada dekat-dekat dengan rumah itu! Mengerti!”
Wajah ayah Kazuchika tampak serius saat itu dan kamipun mengangguk patuh.
“Sekarang sudah malam. Orang tua kalian akan membawa kalian pulang sekarang. Kalian pasti lelah.”
Tiba-tiba Kazuchika berdiri, “Bagaimana dengan Saori? Apa ia akan baik-baik saja?”
“Lupakan tentang dia.” jawab ayah Kazuchika dengan dingin, “Ia takkan pernah menjadi Saori yang kalian kenal dulu.” ia lalu menatap kami dengan sorot mata penuh kesedihan. “Ibunya akan terus menyalahkan kalian atas apa yang terjadi dengan putrinya. Ia takkan membiarkan kalian melihat Saori lagi.”
Sejak saat itu, hidup kembali berjalan normal, kecuali satu hal. Kami tak pernah melihat Saori lagi. Guru kami mengatakan keluarganya sudah pindah ke tempat lain.
Kamipun tak pernah membicarakan hal itu lagi. Sepertinya kabar bahwa kami mendobrak masuk ke rumah itu telah menyebar sehingga larangan-pun semakin ketat. Bahkan anak-anak pun sekarang sudah tak berani membicarakan rumah itu di belakang orang tua mereka. Kaca yang dipecahkan Atsushi pun sekarang ditutup dengan papan kayu sehingga tak seorangpun dapat mengintip ke dalam.
Kamipun menyelesaikan sekolah kami dan waktu serasa berjalan sangat cepat. Kami berempat yang semula bersahabat baik semakin menjauh ketika kami kuliah di kota-kota yang berbeda. Satu hal terjadi ketika aku lulus dari kuliah dan pulang ke rumah. Aku melihat ibuku membaca surat dari ibu Saori. Ketika aku bertanya dimana Saori, ibu menolak untuk menjawab. Ibuku juga menolak untuk menceritakan si surat itu kepadaku. Namun apa yang ia katakan masih menghantuiku sampai kini.
“Ia memilih untuk melakukan ini kepada Saori karena ia adalah ibunya. Jika kau ada di posisinya, kau pasti juga akan melakukan hal yang sama. Meskipun kau tahu itu adalah pilihan yang salah.”
Aku diam-diam menyelidikinya, tentang meja rias dan rambut itu. Akupun menemukan kenyataan yang mengerikan.
TO BE CONTINUED