Aku menoleh, dan tetap, aku tak melihat apapun di balik pintu kertas itu. Namun aku memperhatikan raut wajah Shoji amat ketakutan.
Biksu itu menoleh ke arah kami, “Jadi mana anak yang katamu bisa melihat mereka itu?”
“Shoji, anak ini.” ketika Ryuichi mengatakan hal itu, pria paruh baya dan pria tua itu saling menatap satu sama lain.
Sang biksu kemudian berbicara.
“Apa dia juga yang masuk ke dalam kuil?”
“Tidak.” Ryuichi menggeleng, “Itu adalah Yuuki.”
“Hmm...” hanya itu yang bisa dikatakan biksu itu.
“Shoji hanya di luar dan hanya mengamati, kurasa.” sambung Ryuichi.
“Begitukah?” biksu itu terdiam sesaat lalu berbicara dengan Shoji, “Apa ini kali pertamanya kamu mengalami hal seperti ini?”
“Mengalami hal seperti ini?” ia bertanya, tak yakin dengan apa yang dimaksud biksu itu.
“Ya, melihat roh atau hal-hal seperti itu.”
Shoji mengangguk, “Ini kali pertamaku.”
“Jadi begitu? Hmm...ini cukup aneh.”
“A....” Shoji tampak hendak berbicara dan semuanya menoleh ke arahnya.
“Bicaralah.” kata sang biksu.
“Apa aku akan mati?” ia tampak bergetar saat mengatakannya.
“Ya,” sang biksu menjawab tanpa tedeng aling-aling, “Jika ini terus berlanjut, kau pasti akan mati.”
Shoji kehilangan kata-kata. Gemetarnya berhenti seketika dan kepalanya menunduk.
Melihatnya, Takumi langsung berbicara, “Apa maksud anda dengan dia akan mati?”
“Maksudku ia akan dibawa pergi,” sang biksu menjawab. Takumi dan aku masih tak mengerti dengan apa yang ia maksud. Sesuatu akan membawa Shoji pergi?
Sang biksu melanjutkan perkataannya,
“Aku tak terkejut kalian tak memahami perkataanku.” Ia berpaling kepadaku, “Yuuki, ketika kamu masuk ke dalam kuil, apa kamu merasakan ada yang aneh?”
Kuil? Aku mengasumsikan yang ia maksud adalah lantai kedua hotel itu.
“Aku mendengar sesuatu. Suara garukan dan ada suara napas yang aneh. Ada banyak jimat menancap di pintu ...”
“Begitu,” kata sang biksu, “Kamu mungkin tak menyadarinya, namun yang tinggal di sana bukanlah manusia.”
Aku tak terkejut. Aku sudah menduganya sejak awal.
“Aku percaya bahwa kau dapat merasakan keberadaan mereka dengan indra pendengaranmu. Sedangkan Shoji, temanmu, bisa merasakan mereka lewat indra penglihatannya.” biksu itu menjelaskan, “Biasanya manusia tak mampu merasakan mereka. Mereka tinggal di suatu tempat, tanpa ada yang memperhatikan, meringkuk dalam kesunyian.
“Shoji,” ia berpaling ke temanku itu, “Apa kau melihatnya sekarang?”
“Tidak, namun aku bisa melihat bayangannya,” ia menoleh dengan gugup, menatap pintu geser kertas yang berada di samping kami. “Ia mencakari pintu dengan sangat keras.”
“Ia tak bisa masuk. Aku melindungi tempat ini, namun tetap saja ia berusaha menghancurkan pelindung itu.” Ia berhenti beberapa saat sebelum kembali melanjutkan, “Tapi kalian tak bisa tinggal di sini selamanya. Aku akan meminta kalian pergi ke suatu tempat. Dan Shoji, kau harus mengerti ... mereka akan mencoba muncul kembali di hadapanmu. Aku sadar ini akan sangat sulit bagimu. Namun kau harus tetap tenang dan mengikuti apapun perintahku.”
Shoji hanya mampu mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun. Kami mengikuti biksu itu dan meninggalkan rumah yang melindungi kami. Kami berjalan masuk ke torii dan menaiki tangga batu itu ke atas. Ryuichi hanya mengikuti kami sampai ke luar rumah. Ia kemudian membungkuk dan meninggalkan kami di tangan biksu itu.
Merasa ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang kami kenal, kami bertiga mengikuti biksu itu dengan enggan. Shoji terlihat sangat lelah dan ketakutan. Berupaya melindunginya, aku dan Takumi berjalan sambil mengapitnya. Kami berusaha sebisa mungkin menjaganya dari apapun yang ia lihat.
Begitu kami sampai di anak tangga terakhir, kami melihat sebuah kuil besar. Namun mengejutkan bagi kami, biksu itu tidak membawa kami ke sana; melainkan melewati sisi kanan kuil tersebut dan terus berjalan. Di sana terdapat sebuah torii lain dan tangga-tangga batu menuju ke atas. Namun sebelum kami tiba di bawah gerbang itu, sang biksu berbicara pada kami.
“Shoji, apa yang ia lakukan sekarang?”
“Ia berdiri ...” Shoji berkata, masih melihat ke sekeliling, “Ia selalu mengawasi dan mengikuti kita, kemanapun kita pergi.”
“Hmm... dia sudah berdiri? Dia pasti sangat bersemangat karena kau bisa melihatnya.” Biksu itu menjelaskan, “Kita sudah tak punya banyak waktu. Ayo, cepat!”
Ketika kami selesai menaiki anak-anak tangga tersebut, kami melihat kuil lain. Kuil ini lebih kecil, namun umurnya terlihat lebih tua daripada kuil yang ada di bawah tadi. Biksu itu berjalan ke bagian belakang kuil kemudian memanggil kami. Kami berjalan ke tempat dimana ia berdiri dan ia menjelaskan bahwa kami harus menghabiskan malam ini di dalam kuil untuk membersihkan diri kami dari apapun yang mencoba menempel pada kami. Begitu kami masuk, ternyata tak ada satupun sumber penerangan dan kami juga dilarang berbicara sepatah katapun hingga fajar tiba.
“Tentu kalian juga tak boleh menggunakan telepon genggam kalian juga.” Sang biksu menjelaskan, “Semua yang menghasilkan cahaya tidak diperbolehkan di dalam kuil ini. Aku juga melarang kalian untuk makan dan tidur selama kalian berada di dalam kuil.”
Ia memberikan kepada kami masing-masing sebuah kantong aneh dan mengatakan pada kami untuk menggunakannya apabla kami benar-benar membutuhkannya. Aku menatapnya lekat-lekat. Kantung ini untuk apa? Sebelum aku bertanya, biksu itu seakan sudah bisa membaca pikiranku dan menjelaskan bahwa kantong itu tahan air. Aku pikir itu adalah toilet kami untuk malam ini. Memang sukar dipercaya, namun kami terpaksa menerima semua peraturan yang diberikan kepada kami.
Setelah biksu itu selesai menjelaskan, kami diminta untuk meneguk air dari sebuah pipa bambu sebelum kami masuk ke dalam kuil.
Kami masuk ke dalam kuil satu-persatu, namun ketika Shoji masuk, ia menutup mulutnya tiba-tiba dan keluar untuk muntah. Takumi dan aku terkejut, namun ada yang lebih terkejut daripada kami. Biksu itu. Ia segera kehilangan postur tenangnya begitu melihat apa yang terjadi pada Shoji.
“Kalian tidak pergi ke kuil itu lagi hari ini, bukan?”
“Hah, tidak...tentu tidak.” jawabku.
“Aneh. Kalian hanya masuk sekali, namun upacara pembersihan langsung dimulai begitu kalian masuk. Bahkan kalian tak bisa masuk ke dalam kuil ini...”
Aku tak mengerti apa yang biksu itu katakan, namun ia menatap tas yang dibawa Shoji.
“Selama kalian tinggal di hotel, apa seseorang pernah memberikan kalian sesuatu?”
“Kami mendapat upah kami, namun hanya itu.”
Kemudian barulah kami teringat, “Oya, nyonya pemilik penginapan memberikan kami sebuah tas uang koin kecil.”
“Dan onigiri.” sahut Takumi.
Setelah mendengar hal tersebut, biksu itu bertanya pada Shoji, “Apa kau kebetulan membawa benda-benda itu?”
“Aku meninggalkan onigiri itu di tasku yang lain, namun kurasa aku punya uang koin dan amplop berisi upah kami.” Ia membuka tasnya dan mengeluarkan amplop dan tas uang koin yang kami terima. Sang biksu mengambil tas kecil itu dan membukanya.
Semula aku berpikir tas itu akan berisi uang-uang koin sebagai bagian dari upah kami.
Namun ketika ia membukanya dan memperlihatkan isinya pada kami, kami langsung mundur dengan ketakutan.
Tas kecil itu berisi potongan-potongan kuku, sama seperti potongan kuku yang menggores kakiku kemarin. Kuku-kuku berwarna putih dan merah.
Shoji muntah lagi dan biksu itu memutuskan untuk mengambil semua barang yang kami bawa. Kami memberikannya dompet, telepon genggam, dan benda lainnya yang kira-kira kami dapatkan dari hotel. Biksu itu mengangguk pada kami dan membiarkan Shoji minum dari pipa bambu itu kembali.
Kami bertiga masuk kembali ke dalam kuil.
“Kalian tak boleh membuka pintu ini,” kata sang biksu, “Aku akan berada di kuil utama. Aku akan kembali menjemput kalian esok pagi.”
Ia berhenti sesaat dan menatap kami.
“Kalian tidak boleh berbicara pada apapun yang mungkin akan datang dari balik dinding. Kalian tak boleh berbicara satu sama lain juga. Kam tidak mengatakan pada siapapun dimana kalian berada, jadi tidak akan ada siapapun yang datang untuk kalian malam ini, ingat itu! Aku akan berdoa bagi keselamatan kalian.”
Biksu menatap kami lagi dan kami mengangguk ke arahnya. Hanya itu yang bisa kami lakukan. Kami sudah tidak diperbolehkan berbicara, sehingga kami hanya diam, ketakutan.
Biksu itu meninggalkan kami dan menutup pintu kuil itu rapat-rapat.
TO BE CONTINUED