Sunday, April 25, 2021

KEKEJAMAN PASUKAN 731 JEPANG DAN SEJARAH SENJATA BIOLOGIS PADA PERANG DUNIA II

 


Jika kita membahas tentang perang berskala dahsyat yang dinamakan Perang Dunia II, maka yang pertama kali terngiang di benak kita adalah peristiwa “Holocaust” atau pembantaian jutaan warga Yahudi di Eropa oleh rezim Nazi di bawah pimpinan Hitler. Namun pada kenyataannya, kita tak perlu jauh-jauh untuk melihat kekejaman perang tersebut. Di Asia sendiri, sebuah unit ketentaraan Jepang bernama Unit 731 ternyata melakukan aksi yang sama-sama tak manusiawinya terhadap penduduk Asia, terutama yang bermukim di Tiongkok.

Pada masa Perang Dunia II, sebuah pasukan khusus yang dinamakan Unit 731 diutus oleh sang kaisar negeri Matahari terbit itu untuk mengembangkan senjata biologis dan kimia untuk memenangkan perang. Akibatnya, Unit 731 menggunakan wewenang yang diberikan kepada mereka untuk melakukan eksperimen-eksperimen biadab tak berperikemanusiaan, termasuk menguji coba berbagai penyakit-penyakit mematikan pada manusia, kemudian membedah mereka hidup-hidup.

Straight from a gore horror movie, this is the story of Unit 731, one of the cruelest human experiments in history.


TOGO UNIT: THE PRECURSOR OF EVIL


Markas Unit 731


Kita semua yang belajar sejarah pasti sudah mengenal kebengisan tentara Jepang pada masa kependudukan mereka setelah berhasil mengusir Belanda dari tanah air kita. Selama PD II, Jepang memang banyak melakukan kejahatan perang. Salah satu yang terkenal di negara mungkin adalah memaksa para wanita pribumi untuk melayani hasrat seksual mereka (alias para “jugun ianfu”). Namun sebenarnya bangsa kita cukuplah beruntung apabila dibandingkan dengan penduduk negara-negara lain seperti Tiongkok dan Flilipina yang menjadi korban kekejaman Unit 731. Namun apa itu Unit 731? Mengapa kita (kecuali kalau kalian penggemar fanatik sejarah PD II) tak pernah mendengar nama mereka sebelumnya jika memang kejahatan mereka benar-benar tak terperikan?

Alkisah pada 1932, seorang jenderal bernama Shiro Ishii ditugaskan oleh menteri ketentaraan Kerajaan Jepang bernama Sadao Araki di sebuah badan misterius bernama Army Epidemic Prevention Research Laboratory (AEPRL). Shiro kala itu tak hanya seorang jenderal perang yang piawai, namun ia juga memiliki background mumpuni sebagai seorang dokter bedah, sehingga kemampuannya dianggap sesuai untuk tugas barunya itu.

Dilihat dari nama yayasannya, AEPRL seakan memiliki misi mulia untuk mempaljari cara pencegahan penyebaran penyakit, sehingga diharapkan akan menyelamatkan banyak nyawa manusia (atau at least, para tentara Jepang yang ditempatkan di berbagai wilayah yang mereka duduki). Tapi ternyata, tak sesuci namanya, AEPRL justru memiliki tujuan kejam untuk mengembangkan senjata biologis berupa bibit penyakit.

Kala itu, tentara Kerajaan Jepang terkesan akan keberhasilan tentara Jerman yang menggunakan senjata kimia berupa gas klorin pada Second Battle of Ypres di Belgia, dimana mereka berhasil menghabisi sekitar 5 ribu tentara Sekutu. Tentara Jepang-pun mulai melirik penggunaan senjata kimia dan biologi untuk memenangkan perang dan mengukuhkan posisi mereka sebagai “Nippon Cahaya Asia”.

Jenderal Shiro kemudian membawahi sebuah unit bernama Unit Togo yang memiliki misi rahasia untuk meneliti penggunaan senjata biologis. Tak hanya militer di bawah pimpinan Menteri Sadao saja yang mendukung langkah Shiro tersebut, namun juga Menteri Kesehatan Jepang sendiri, bernama Kolonel Chikahiko Koizumi. Mengerikan ya, dokter dan menteri kesehatan yang seharusnya sudah disumpah untuk melindungi nyawa manusia, malah mengembangkan senjata yang bisa memusnahkan sebanyak mungkin manusia.

Tydack, ini bukan lokasi di game Silent Hill, melainkan markas Unit 731 di Harbin, Tiongkok

Unit Togo tentu saja tak menggunakan warga Jepang sendiri sebagai kelinci percobaan mereka. Mereka kemudian dikirim untuk bercokol di sebuah benteng bernama Benteng Zhongma yang berada di desa bernama Beiyinhe, sekitar 100 km dari kota Harbin, di wilayah Manchuria (wilayah timur laut Tiongkok yang berbatasan dengan Rusia). Alasannya, Benteng Zhongma, yang kala itu berada di bawah kekuasaan Jepang setelah mereka menginvasi Tiongkok, digunakan sebagai penjara untuk mengurung para tahanan perang.

Di luar dugaan, para tahanan di benteng tersebut diperlakukan dengan baik. Mereka diberi makanan yang cukup mewah, bahkan daging dan minuman beralkohol. Namun tentu saja, itu baru awalnya. Para tentara dari Unit Togo menginginkan semua “kelinci percobaan” mereka sehat sebelum melakukan eksperimen. Kemudian, mereka mencekoki para tahanan tersebut dengan berbagai bakteri dan virus penyebab penyakit, kemudian mengamati gejalanya. Tak hanya itu, mereka juga tak diberi makan dan minum apapun, bahkan tak jarang mereka kemudian dibedah hidup-hidup untuk melihat apa pengaruh penyakit tersebut terhadap kondisi organ dalam mereka. Tentu saja, para tahanan itu tidak dalam kondisi dibius kala mereka dibedah hidup-hidup.

Karena kekejaman itulah, pada 1934 terjadi “prison break” alias kerusuhan di penjara akibat perlawanan para tahanan. Benteng Zhongma bahkan terbakar habis akibat pemberontakan itu. Merasa tak aman lagi, Jendral Shiro kemudian memindahkan markas besar mereka ke kota Pingfang, sekitar 24 km dari kota Harbin. Celakanya, gedung baru yang mereka tempati jauh lebih megah dan berfasilitas lebih lengkap untuk melakukan segala eksperimen keji mereka.


MARUTA EXPERIMENT: THE BIRTH OF INFERNO


Diorama yang menunjukkan operasi tak manusiawi yang dilakukan oleh tim dokter bejad dari Unit 731

Pada 1936, melihat keberhasilan Unit Togo yang cukup menjanjikan, Kaisar Hirohito kemudian menggabungkan Unit Togo dengan Pasukan Kwantung. Kini dengan tambahan personil, tentara Jepang mengubah nama Unit Togo menjadi Unit 731. Untuk tujuan propaganda, tentu saja mereka memberi nama yang “tidak mengundang curiga”, yakni "Epidemic Prevention and Water Purification Department of the Kwantung Army”. Tentu saja melihat nama itu, tentu banyak yang mengira tugas mereka adalah untuk membantu masyarakat, namun kenyataannya, mereka meneruskan aksi biadab mereka untuk bereksperimen mengembangkan senjata biologis.

Tak hanya itu, dengan tambahan personil sebanyak ribuan, merekapun berani membuka “cabang”. Tak hanya di Manchuria, mereka juga “beraksi” di Beijing, Nanjing, Guangzhou, bahkan Singapura. Pada 1939, Unit 731 memiliki 10 ribu personel yang tak hanya berasal dari kalangan tentara, namun juga para dokter dan profesor dari Jepang. Kala itu, para akademisi merasa tertarik akan godaan melakukan “eksperimen” terhadap manusia, sesuatu yang jelas ilegal apabila dilakukan ada masa damai. Bagi mereka, PD II bak sebuah “The Purge” dimana mereka bisa melakukan apapun keinginan mereka demi memenuhi hasrat mereka. Banyak di antara para dokter dan peneliti itu juga sebelumnya sudah biasa melakukan eksperimen pada binatang, sehingga tak berkeberatan melakukannya pada manusia juga.

Kala itu, mereka menggunakan sebuah istilah sebagai kode rahasia bagi korban eksperimen mereka, yakni “Maruta”. Kata tersebut dalam bahasa Jepang berarti “gelondongan kayu”. Hal ini karena gedung berfasilitas lab yang mereka miliki disamarkan sebagai sebuah pabrik pemotongan kayu untuk menyembunyikan eksperimen rahasia mereka. Selain itu, dengan menyebut subjek mereka sebagai “maruta” juga bertujuan untuk merendahkan mereka supaya mereka tak lagi disebut manusia.

Lalu siapa saja para “maruta” yang menjadi kelinci percobaan mereka itu? Kebanyakan mereka adalah kriminal. Tak hanya bandit, namun mereka yang berani menentang kekuasaan Jepang, seperti para aktivis, tahanan perang, bahkan mereka yang ditangkap karena terlibat dalam “aktivitas mencurigakan”, apapun itu. Mereka yang dianggap “tak berguna” bagi masyarakat, seperti gelandangan dan orang-orang yang mengalami keterbelakangan mental juga akan ditangkap oleh Kempeitai atau polisi Jepang untuk mencukupi pasokan “maruta” mereka. Naasnya, tak jarang warga sipil tak berdosa seperti anak-anak, kaum lansia, hingga wanita hamil menjadi korban kekejaman mereka pula.

Bagi warga sipil yang tak curiga, para tentara Jepang mendekati mereka dan pura-pura melakukan kebaikan, semisal melaksanakan vaksinasi gratis atau memberi mereka makanan, minuman, bahkan permen. Namun sesungguhnya, semua yang mereka berikan tersebut ternyata sudah disusupi berbagai bakteri dan virus penyebab berbagai penyakit.

Shiro Ishii

Seperti yang tadi gue sebutkan, banyak tahanan yang dibedah hidup-hidup demi kepentingan penelitian sadis tersebut. Namun tak jarang, mereka sengaja diamputasi dan diambil organnya untuk melihat apa efeknya pada tubuhnya (semisal berapa lama mereka akan mati karena kehabisan darah). Tak jarang, demi memuaskan rasa “ingin tahu” mereka, organ-organ atau potongan tubuh para korban kemudian disambungkan ke bagian tubuh lain, hanya demi “bersenang-senang”.

Tentu saja melihat kesadisan mereka, muncul pertanyaan tentang tujuan sesungguhnya Unit 731 ini. Banyak yang menduga aksi-aksi sadis mereka sebenarnya didorong oleh hasrat psikopat mereka, ketimbang melakukan eksperimen medis semata. Contohnya, mereka kerap menggunakan manusia sebagai sasaran lemparan granat untuk melihat keefektifan senjata tersebut. Tak jarang, mereka mengikat korban mereka kemudian melempatkan bom, senjata kimia, hingga menghujamkan bayonet dan pisau, hanya sekedar untuk menyaksikan seperti apa dampaknya.

Di percobaan lain, korban tidak diberi sedikitpun makanan ataupun air untuk mengetahui berapa lama mereka bertahan hidup. Mereka juga ditaruh di sebuah kabin bertekanan rendah (semacam percobaan fisika) sampai (konon) mata mereka meledak. Eksperimen lain meliputi para korban dibakar, dibekukan (kemudian diamputasi), disuntikkan darah binatang, disinari radiasi X-ray, hingga dikubur hidup-hidup. Melihat semua “gaya” eksperimen tersebut, banyak yang menganggap Unit 731 hanyalah menjadi pelampiasan para psikopat berkedok sebuah percobaan medis.

Unit 731 kemudian mengembangkan penelitian mereka tak hanya sebatas di laboratorium saja, tapi juga melihat efeknya pada populasi luas. Contohnya, mereka menerbangkan pesawat ke kota-kota kecil yang didiami masyarakat kemudian melepaskan bibit penyakit dari udara. Warga kota Ningbo dan Changde di Provinsi Hunan pada 1940-1941 merasakan kekejaman ini. Akibat peristiwa ini, puluhan ribu warga kedua kota tersebut tewas akibat serangan wabah. Ketika tentara Jepang menduduki kota Nangking, mereka juga menyebarkan penyakit tifus kepada para warganya. Pada 1941, mereka kembali menyerang sebuah kota bernama Changda dengan penyakit kolera. Sekitar 10 ribu penduduk tewas dan uniknya, sekitar 1.700 ribu tentara Jepang sendiri juga ikut tewas karena mereka tak mampu mengendalikan wabah tersebut, bak senjata makan tuan.

Namun semua eksperimen yang dilakukan Unit 731 dianggap Kerajaan Jepang sebagai sebuah keberhasilan. Sehingga pada 1945, mereka memberanikan diri untuk mengajukan sebuah rencana untuk menyerang Amerika Serikat menggunakan senjata biologis yang mereka kembangkan. Rencananya, pada 22 September 1945 mereka hendak menyerang kota San Diego di California. Namun tentu saja kita tahu, rencana tersebut tak urung dilaksanakan karena pada 6 dan 9 Agustus 1945, Amerika Serikat keburu membom atom kota Hiroshima dan Nagasaki sehingga negeri Matahari terbit itupun menyerah tanpa syarat.

Namun tak ayal, sebelum mereka akhirnya menyerah, Unit 731 sudah keburu membunuh hampir separuh juta orang karena kekejaman mereka, kebanyakan korbannya berasal dari etnis Tionghoa.


THE INJUSTICE LEAGUE

Seandainya bom atom tak dijatuhkan, mungkin saja kekejaman Unit 731 akan terus berlanjut


Kekalahan Jepang sudah di depan mata. Para tentara Red Army kala itu menyerbu Manchuria hingga membuat sisa anggota Unit 731 menjadi panik. Banyak di antara mereka memutuskan kabur. Namun sebelum itu, mereka berusaha melenyapkan barang bukti dengan membakar habis lab mereka dan membunuh semua sisa tahanan yang ada. Tak hanya itu, di anatra para kru Unit 731 yang tersisa, mereka juga diperintahkan untuk menelan pil sianida apabila tertangkap, agar semua “rahasia” mereka dibawa ke dalam kubur.

Kemudian tentara Amerika Serikat, sebagai bagian dari bala tentara Sekutu yang dikenal sebagai protagonis PD II serta berada di pihak kebajikan datang. Unit 731 pun merasa inilah akhir bagi mereka. Mereka akan segera ditangkap dan dibunuh, apalagi mereka pernah merencanakan serangan ke San Diego yang tak pelak pasti membuat murka para tentara Amerika Serikat.

Namun apa yang terjadi berikutnya sungguh diluar dugaan.

Seorang petinggi militer AS kala itu tiba di Jepang yang sudah ditaklukkannya. Pria itu bernama Kolonel Murray Sanders yang mendarat di Yokohama pada 1945. Kolonel Muray yang sebelum perang berkecimpung di biologi sebagai peneliti di bidang mikrobiologi pun mencium keberadaab Unit 731. Segala kekejaman tak manusiawi yang dilakukan Unit 731 tentu adalah sebuah kejahatan perang yang harus dihukum dengan berat. Namun, Kolonel Murray sendiri tertarik akan hasil eksperimen yang mereka lakukan (yang jelas ilegal apabila dilakukan di negara yang “waras”). Iapun segera mengabari jenderal besar AS kala itu, yakni Jenderal Douglas MacArthur. Kita tentu mengira, AS yang konon amat menjunjung tinggi HAM, akan mengutuk aksi biadab Unit 731 ini. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

Sang Jenderal justru menawari untuk mengampuni para peneliti di Unit 731, bahkan memberikan imunitas atau kekebalan hukum terhadap semua kejahatan perang yang mereka lakukan. Semua itu bersedia ia lakukan dengan satu syarat, yakni asal Unit 731 memberikan semua hasil penelitian mereka dari eksperimen-eksperimen biadab itu kepada pihak AS. Alasannya, data-data penelitian itu dianggapnya terlalu “berharga” untuk jatuh ke pihak lain, terutama pihak Uni Soviet yang menjadi musuh mereka.

Tak hanya itu, ketika pihak Tiongkok dan Rusia (kala itu masih bernama Uni Soviet) bekerja sama untuk menuntut Unit 731 agar bertanggung jawab atas kejahatan mereka yang diluar batas kemanusiaan, pihak militer AS malah pasang badan melindungi mereka, bahkan menyebut tuduhan mereka sebagai “fitnah” dan “propaganda Komunis” semata.

Jenderal Douglas McArthur

Mengejutkan memang, namun hingga kini, semua anggota Unit 731 justru lepas dari semua hukuman yang seharusnya mereka terima, bahkan melenggang bebas, bahkan menikmati hidup tenang hingga usia tua yang jelas tak pantas mereka dapatkan.

Tercatat Shiro Ishii, sang pemimpin Unit 731 hidup damai hingga akhirnya meninggal di Tokyo pada usia 65 tahun. Ada rumor menyebutkan, bahwa selepas dari Unit 731, Shiro kemudian sempat hijrah ke Maryland untuk membantu pihak AS mengembangkan senjata biologis. Bahkan, salah satu dokter dari Unit 731 bernama Masami Kitaoka, kemudian melanjutkan eksperimennya pada manusia ketika ia bekerja di National Institute of Health Sciences di Jepang. Kala itu, seolah tak jera, ia mengadakan percobaan dengan menginfeksi tahanan dengan bakteri rickettsia dan pasien dengan keterbelakangan mental dicekokinya dengan penyakit tifus.

Bayang-bayang Unit 731 pun menggentayangi dunia medis Jepang sebab banyak “alumni”-nya lolos dan melanjutkan hidup mereka, menyusup di antara masyarakat. Pada 1952, diketahui sebuah percobaan menggunakan manusia dilakukan di rumah sakit pediatri di Nagoya yang mengakibatkan kematian pasiennya. Pelakunya dicurigai terkait dengan Unit 731. Bahkan, kasus Sadamichi Hirasawa yang pernah gue bahas juga dianggap banyak pihak sesungguhnya dilakukan oleh anggota Unit 731 yang lolos.

Namun ternyata tak semua pelaku Unit 731 yang lolos bertebaran menyebar maut. Salah satu “alumni” Unit 731 bernama Ken Yuasa justru insyaf dan malah berusaha keras membangkitkan kesadaran masyarakat Jepang akan kekejaman dan kejahatan perang yang pernah mereka lakukan. Kini, paling tidak Unit 731 dan segala kekejamannya sedikit diketahui publik, karena mulai disinggung di berbagai media. Komik “ My Hero Academia” pernah memunculkan tokoh bernama Shiga Maruta yang merupakan hasil eksperimen Maruta yang jika kalian masih ingat, merupakan kode alias bagi para korban Unit 731. Serial sci-fi horor “X-Files” hingga game “ Call of Duty: Black Ops 3” juga mengangkat tentang eksperimen Unit 731, walaupun hanya sekelumit.

Tentu di dunia damai seperti ini, sulit bagi kita membayangkan seperti apa kekejaman Unit 731 kala itu. Untuk menggambarkannya, konon salah seorang tentara Sekutu yang melihat langsung kekejaman Unit 731 konon mengutip novel Inferno yang ditulis sastrawan Eropa kuno Dante yakni “– abandon hope all ye who enter here ...." sebagai ucapan “selamat datang” bagi mereka yang memasuki lab Unit 731.

Di “Inferno” milik Dante, kata-kata itulah yang tertulis di pintu gerbang neraka.


NB: Gue menemukan artikel menarik ini yang menceritakan kemungkinan kiprah Unit 731 di tanah air kita Indonesia. Silakan diklik linknya di Historia.


A VERY SPECIAL THANKS TO:

Aulia Pratama Putri

별처럼 우리 빛나

SPECIAL THANKS TO MY SUPPORTER THIS APRIL:

Sinyo Kulik , Singgih Nugraha , Adhitya Sucipto , Rahadian Pratama Putra , Radinda , Kinare Amarill , Maulii Za , Rara , Sharnila Ilha , Victria tan , Ali Hutapea , Keny Leon , Rosevelani Manasai Budihardjo , Marcella F , Tieya Aulia , PJ Metlit , Marwah , Dana Xylin , Paramita . Amelia Suci Wulandari . Rivandy , Syahfitri , Dyah Ayu Andita Kumala , Fitriani , Ilmiyatun Ainul Qolbi , Ciepha Ummi , Riani Azhafa 


6 comments:

  1. bg, bahas panti gulag punya bapak stalin..

    ReplyDelete
  2. Sejarah tidak bisa berubah tapi bisa mengubah moga aja perang biologi bisa dicegah di masa depan

    ReplyDelete
  3. Parah sih, sakit jiwa parah

    ReplyDelete
  4. lasciate ogni speranza voi ch′entrate

    ReplyDelete