Wednesday, November 26, 2025

ATATAMETE KUDASAI (4): AKU-LAH PENYINTAS STASIUN SHINJUKU

Semenjak kecil, sudah menjadi mimpi gue untuk melihat Menara Tokyo secara langsung. Itu gara-gara gue liat banget “Magic Knight Rayearth” yang menceritakan tiga gadis cantik yang mengalahkan kejahatan dengan kekuatan cinta dan persahabatan  sambil memakai seragam rok mini.


Ekspresi readers: “Bentar, tontonan masa kecil lu apa Bang???”

Temen gue cuman geleng-geleng kepala aja liat gue siap-siap keluar lagi buat jalan lagi. Padahal udah jam 9 malam, tinggal tidur doang, masih ribet aja. Mungkin itulah yang ada di pikiran dia. Tapi yah, mau bagaimana lagi? Kan mumpung gue di Tokyo, yekan?

Seriusan deh, ini kayak lagi jalan-jalan di jembatan busway-nya Dukuh Atas. Kalo nggak ada tulisan Jepangnya, vibe-nya kayak jalan Jenderal Sudirman nggak sih wkwkwk.

Lihat nih, orang-orang Jepang punya budaya antre. Busnya belum dateng aja mereka udah serapi gini antrenya. Indonesia kapan???


Oya untuk mencapai Menara Tokyo, stasiun terdekat bernama Akabanebashi yang bisa dicapai dengan Oedo Line dari stasiun Shiodome. Sebenarnya bisa sih dari stasiun Shimbashi tempat gue balik ke hotel tadi, tapi kudu transit di stasiun yang namanya Daimon (keren ya namanya). Karena nggak mau ribet, gue akhirnya memutuskan menuju ke stasiun Shiodome (nyambung ama Shimbashi lewat terowongan) dan sampai di sini gue langsung shock karena stasiunnya sepi banget. Bahkan, stasiun bawah tanah ini ngingetin gue banget ama film “Exit 9”.


Anjir, kayak di backroom!

Ada satu lagi sih yang kocak. Pas gue sampai di Akabanebashi, ada elevator yang bikin gue merasa kayak gue terjebak di timeloop wkwkwk, apalagi kalo kalian ada seseorang di depan kalian. Pokoknya coba aja deh kalo kalian ke Menara Tokyo.

Di pintu luar udah tersingkap keindahannya.


Menurut gue ini pom bensin paling estetik se-Tokyo.

Nah dari hasil browsing, gue tahu banget lokasi terbaik menyaksikan keagungan Menara Tokyo adalah di taman yang berada tepat di samping menara ini.

Ketika mencari sudut-sudut foto estetik, gue menyadari bahwa pohon ini jenis pohon yang berubah warna pas musim gugur. Wah pasti keren kalo siang. Karena itu, gue berniat untuk kembali lagi ke tempat ini pas siang hari sebelum gue pulang.

Ya gitu doang sih pengalaman gue jalan-jalan malam hari menonton lampu-lampu di Menara Tokyo wkwkwk. Ada pengalaman lucu nih pas balik ke stasiun, gue salah nyebrang dan akhirnya malah menemukan lokasi keren lainnya buat melihat Menara Tokyo dengan jelas.

Nah selepas puas melihat Menara Tokyo saat malam (sebenernya belum puas sih, karena itu gue berjanji bakalan balik lagi), akhirnya gue kembali lagi dengan rute yang sama. Sesampainya di hotel, bisa kalian tebak berapa langkah yang sudah gue habiskan selama sehari di Tokyo?

Sebagai perbandingan, sebelum berangkat ke Jepang, gue sempat bertanya pada ChatGPT berapa estimasi langkah gue setelah gue ngasih semua itinerary gue ke dia selama hari pertama. ChatGPT menjawab kisaran 13 ribu langkah.

Jika kalian penasaran, inilah jumlah langkah gue selama hari pertama di Tokyo!

Gempor nggak seh kaki gue???

Beruntung di kamar hotel temen gue ada bathub jadi gue langsung berendam di air hangat biar kaki gue enakan wkwkwk. Hitung-hitung onsen jadi-jadian. Namun gue sama sekali nggak kapok lho. Di hari kedua gue berniat untuk jalan-jalan lagi sampe malam. Di hari kedua ini gue berniat untuk mengeksplor wilayah Shinjuku dan Shibuya. FYI gue menemukan peta ini yang membantu banget gue dalam menyusun rencana jalan-jalan gue, karena menunjukkan lokasi-lokasi mana yang berdekatan. Semisal daerah Ueno dan Asakusa itu sama-sama agak ke timur jadi doable buat sehari. Sama halnya dengan Shinjuku dan Shibuya yang sama-sama berada di wilayah barat.

Oya karena Shinjuku itu deket banget ama Harajuku, gaya gue juga nggak boleh malu-maluin dong. Hari ini gue pake kaos yang gue dobelin ama turtleneck plus kemeja jeans di luar biar tambah anget. Di Shinjuku gue berniat mengunjungi Tokyo Metropolitan Government Building dimana gue bisa naik ke atas menaranya dan melihat Tokyo dari ketinggian secara gratis. Yap, kalian nggak salah baca, GRATIS! Daripada ke Shibuya Sky yang viral tapi masuknya antre dan bayar itu, yekan? Selain itu gue juga pengen mengeksplor Kuil Meiji Jingu (masih di wilayah Shinjuku), barulah habis itu gue ke Shibuya untuk tahu lah, pastilah melihat Hachiko dan Shibuya Scramble Crossing yang viral banget.

Pagi-pagi kami berdua langsung menuju Shimbashi Station dengan pedenya (walaupun nggak tau mau naik kereta apa ke Shinjuku kikikik). Di sana kami menemukan bahwa untuk menuju Shinjuku, kami perlu naik Yamanote Line. Tapi tentu saja nggak semudah itu dong, alias kami pasti kesasar dulu. Beruntung Shimbashi itu stasiun gede jadi ada bagian Information Centre dimana pegawainya bisa bahasa Inggris. Dia bilang bahwa kami basically berada di stasiun yang salah (alias di stasiun subway). Kami harusnya naik ke atas.

Kami juga baru sadar bahwa Yamanote Line yang kami naiki ini adalah bagian dari perusahaan JR Line. Setiap line ternyata beda-beda perusahannya (beda dong ama di Indonesia yang semua kereta punya KAI) dan tiap perusahaan punya stasiun sendiri-sendiri. Intinya, gue tinggal ngikutin aja tanda dengan tulisan JR warna ijo. Untuk Yamanote Line sendiri memiliki kode tersendiri yakni JY. Jadi setelah kami masuk ke area JR, tinggal ngikutin aja tanda untuk menuju ke line kami yang ditandai dengan huruf JY.

Rel keretanya ternyata ada di atas permukaan kayak KRL di Jakarta Pusat dan begitu tiba, terlihatlah orang-orang pada antre. Tentu saja dong kami ikut antre. Perjalanan kami cukup mulus, namun ada dua hal yang gue amati di sini. Pertama orjep ternyata fashionable banget. It’s already obvious right, ini udah gue sadarin sejak day one gue di Tokyo. Namun gini, kan suhunya nggak terlalu dingin buat gue, tapi banyak yang make long johns baik wanita maupun pria. Gue simpulin itu cuman buat fashion doang, bukan karena mereka butuh buat kehangatan.

Buat mereka juga warna hitam juga sepertinya merupakan pilihan yang simpel buat tampil stylish (tips yang steal-able banget). Awalnya sih gue pikir mereka pake baju item-item karena mereka lagi kerja kali (supaya keliatan formal). Tapi di weekend gini mereka pun masih pake baju item-item, terutama yang cewek, pasti supaya terlihat lebih anggun. Oya soal fashion lagi, karena Yamanote Line ini lewat Shinjuku, banyak juga yang berpenampilan gaul, terutama cewek-cewek yang pake rok mini.

Kedua, orjep itu emang sopan-sopan, tapi gue merasa itu cuman di permukaan aja (terutama di kota semetropolitan Tokyo ini). Semisal ya pas gue lagi jalan-jalan di Harajuku (hari ketiga sih, tapi nggak apa-apa gue ceritain sekarang) gue ngeliat ada dua cewek yang nggak sengaja bertabrakan (karena kan orjep jalannya cepet-cepet). Mereka berdua langsung berhenti terus bilang “Sumimasen” sambil membungkuk, lalu melanjutkan perjalanan. Coba kejadiannya di Surabaya, yang ada pasti terlontar jargon iconic Jawa Timur yang diawali dengan huruf “J” (pasti tau sendiri lah apa).

Namun hal kebalikan gue alami pas gue pulang semalam sebelumnya. Jadi kan gue naik kereta malam dan ketemu ama Ojiisan yang lagi berdiri depan gue (ini Ojiisan ya jadi kake-kake). Karena lagi bawa barang, akhirnya gue persilakan Ojiisan ini duduk di kursi gue sambil ngomong “Douzo” (nggak paham sih artinya apa, tapi pernah ada yang bilang kalo mau ngasi tempat duduk kita harus bilang kata itu). Kebetulan penumpang di sampingnya turun jadi kursinya kosong dan gue duduk lagi. Lagi-lagi gue melihat ada Ojiisan lain yang berdiri dekat pintu. Gue langsung berdiri sambil “Douzo” juga, tapi dia bilang “Daijobu desu”, mungkin karena udah mau turun juga. Nah, percaya apa nggak, ada Oji san ketiga yang lagi-lagi nggak kebagian tempat duduk. Gue kasih dong tempat duduk gue ke Ojiisan ini.

Intinya adalah, orjep (terutama orang Tokyo) sepertinya enggan memberikan tempat duduk mereka bagi orang yang membutuhkan. Padahal di gerbong itu banyak lho anak-anak mudanya. Dan hal yang sama terjadi pas gue naik kereta ke Shinjuku. Pagi itu keretanya cukup crowded karena weekend, jadi gue berdiri, tapi temen gue dapet tempat duduk. Kemudian gue melihat ada ibu-ibu masuk lagi gendong anaknya yang masih kecil. Karena keretanya penuh, dia berdiri dong dan herannya, nggak ada satupun yang ngasih tempat duduk! Padahal di Jakarta sekalipun, kalo ada yang lihat ibu-ibu berdiri bawa anak kecil, pasti pada rebutan kasih tempat duduk. Malah temen gue yang notabene “gaijin” yang lalu ngasih tempat duduk dia ke ibu ini dan anaknya. Jadi heran, apa orang-orang Tokyo aslinya sadis-sadis ya?

Nah setibanya di stasiun Shinjuku kami berdua langsung shock karena ... STASIUN MACAM APA INI? Bayangin aja Stasiun Manggarai pas jam sibuk tapi isinya orang Jepang semua, nah itulah Stasiun Shinjuku. Hampir mustahi menavigasi stasiun segede ini dengan orang sebejibun banyaknya berjalan dengan arah yang berbeda-beda. Buat kalian yang nggak bisa bayangin, seperti inilah chaosnya stasiun Shinjuku saat itu dengan tanda panah menunjukkan arah orang-orang jalan.

 

Herannya nggak ada yang tabrakan!

FYI Shinjuku konon katanya adalah stasiun kereta api tersibuk di dunia dengan hampir 4 juta penumpang tiap harinya lalu lalang di sini! Jadi nggak heran sih kenapa sepadet ini.

Gue ama temen gue langsung puyeng liatnya. Belum lagi kita sama sekali nggak tahu mau pergi ke arah mana. Akhirnya gue melancarkan jurus andalan supaya nggak ketabrak-tabrak orang, yakni melipir ke pilar terdekat dan langsung googling cara buat sampai ke tujuan kami. Di internet gue menemukan bahwa untuk ke gedung pemerintahan, gue mesti keluar lewat West Exit. Namun teman gue ternyata nemuin papan petunjuk exit menuju Metropolitan Building, jadi lebih gampang nemuin jalannya. Tapi sumpah, kayaknya kami jalan di terowongan satu kilo ada deh sampai kami keluar exit-nya.

Oya kayaknya sih semua gedung di kompleks ini terhubung ama terowongan exit stasiun Shinjuku ini (bahkan ada universitas segala) yang pastinya berguna banget ya pas ujan atau musim dingin? Selain itu karena ini kompleks gedung pemerintahan, makanya bangunan dirancang seestetik mungkin (banyak dana soalnya). Banyak banget bangunan berarsitektur keren di sini.

Anehnya nih, di tempat seelit ini ternyata ada banyak banget gelandangan tidur di pinggir jalan. Mungkin fakta ini bikin kalian kaget; emang ada tunawisma di Tokyo? Nah itulah anehnya, sebab gue ngerasa para homeless ini terpusat di daerah ini dan sepertinya emang sengaja tidur dekat gedung pemerintahan deh, mungkin supaya mereka diperhatiin kali ya.

Nah, inilah gedung yang gue incer. Bentuknya khas banget mirip katedral dengan dua menara di atasnya. Great architecture!

 

Gue menemukan semacam plaza (alun-alun) dengan pilar-pilar tinggi. Nah nantinya alun-alun ini akan penting buat jalan cerita gue, pokoknya tunggu aja.

 


I mean, isnt it beautiful? Karena gue penyuka arsitektur makanya gue menikmati banget jalan-jalan di sini.


Di dalam sudah ada Oji-san dan Oba-san yang dengan ramah banget menyambut kami ketika antre di lift. Karena masih pagi, antreannya pun belum panjang. Liftnya juga cepet lho, walaupun kami naik ke lantai 45. Oya, sebelumnya gue udah browsing bahwa biar bisa melihat Gunung Fuji dengan jelas, kami mesti menuju ke Menara Selatan (South) dan begitu kami sampai ...


MANA GUNUNG FUJINYA? MANA???

Yap, di atas kami beruntung banget soalnya Gunung Fuji-nya nggak keliatan wkwkwk. Gue jadi nyesel, kemarin pas gue liat Gunung Fuji di lobby hotel harusnya gue meditasi dulu kali ya buat meresapi keindahannya dulu, daripada buru-buru jalan-jalan.

Namun pemandangan di sini masih oke kok, gue bisa lihat Tokyo Skytree dari sini, walau yah jauh dan kecil banget.

Pas gue lagi liat-liat pemandangan, ternyata temen gue lagi asyik ngobrol sama salah satu volunteer yang kerja di sana yang fasih banget berbahasa Inggris. Ternyata beliau pernah stay di Amrik, makanya kok bahasa Inggrisnya udah kayak native banget. Beliau ngasih gue ama temen gue stiker Hello Kitty hehehe.

Yang unik, selama di sini gue denger ada yang mainin piano indah banget. Gue pikir itu pasti talent yang di-hire pengurus gedung ini buat menghibur para pengunjung dong. Eh ternyata kata temen gue itu para pengunjung sendiri yang rela antre biar bisa mainin piano itu wkwkwk.

Di tengah observatorium ini ada toko suvenir yang lengkap banget dengan harga yang amat murah. Gue jadinya beli buku ini yang menurut gue khas Jepang banget. Pas liat barang yang mau gue beli, temen gue komentar, “Emang lu bisa baca?”. Yeee kan gue liat art-nya. Selain itu kan sekarang zamannya udah maju, bisa pakek Google Lens.

Tetep dong suvenirnya bertema HOROR 

Saat itu gue juga kepincut sama tenugui yang ada gambarnya Kanagawa Wave (kalo pernah liat lukisan ombak dari Jepang, nah itu dia yang gue maksud) yang cocok banget buat jadi pajangan di kamar gue. Cuman sayangnya gue ter-distract ama oleh-oleh unik lainnya, jadinya pas mau bayar gue malah lupa wkwkwk.

Ini kenapa ada orang di atas Gunung Fuji ya? Apa mau dikorbanin?

Tumbler kaca unik ini di bawahnya ada Gunung Fuji, cuman pas liat harganya gue nggak langsung mundur alon-alon wkwkwk

Ada juga stempel-stempel nama dalam tulisan Jepang yang bisa kalian pilih. Nama gue kebetulan ada, Dave, dan stempelnya pun keren. Cuman sayang pas gue baca ternyata “made in China” jadi kurang orisinil kali ya? Kan kalian tahu sendiri gue orangnya sukanya ama yang otentik ....

Ekspresi readers: “Ah gaya amat lu Bang!”

Pokoknya tempat oleh-oleh ini recommended banget. Walaupun cukup kecewa karena nggak bisa melihat Gunung Fuji, tapi at least gue dapet oleh-oleh unik di sini. Pas turun pun kami nggak antre lama dan begitu sampai di lantai dasar, gue nggak langsung melanjutkan perjalanan, melainkan cuci mata di Tourist Information yang ada di sana. Soalnya nih gue tertarik ama brosur-brosur yang estetik dan memanjakan mata banget!

Dengan berat hati kami kembali ke stasiun Shinjuku (heran ya, kok selama gue searching soal Jepang nggak ada yang meringatin gue soal keruwetan stasiun ini), kami langsung menuju ke destinasi berikutnya, yakni Meiji Jingu. Rupanya stasiun terdekat dengan Kuil Meiji adalah Stasiun Harajuku. Ini cukup bikin gue kaget ya, soalnya kan Harajuku terkenal dengan gaya anak muda modisnya yang modern dan rebelious, sedangkan Kuil Meiji pastinya menguarkan aura yang lebih religius dan tradisional. Kok bisa-bisanya mereka membaur dalam satu area?

Sebagai informasi, sepanjang perjalanan ke Kuil Meiji ini mata kalian akan dimanjakan dengan kesejukan alam karena lokasinya berada di dalam Yoyogi Park. Sebenarnya sebutan “taman” nggak pas ya buat lokasi ini. Lebih cocoknya sih “hutan” karena pohonnya gede-gede dan rindang. Bener-bener nggak merasa kita di dalam kota Tokyo deh.

Nah kuil ini sesungguhnya adalah makam Kaisar Meiji yang konon, suka banget dengan taman ini sehingga dimakamkan di sini. Di sini juga ada torii gate yang katanya terbesar di Jepang. Itu tiangnya dibuat dari satu kayu utuh lho.

 

 Entah kenapa ini ngingetin gue ama karakter Happy Tree Friends   

Gue bener-bener jatuh cinta dengan taman ini. FYI pada saat berangkat, gue sebenarnya lagi sakit flu sampai pakai masker. Selama di atas gedung tadi pun hidung gue meler terus. Namun begitu sampai di sini pilek gue langsung sembuh! Pasti karena udara segar di taman ini!


Setelah jalan di tanah yang berkerilkil (gue nggak begitu suka sih aslinya), akhirnya kami bertemu dengan torii lagi.

Total kita akan menemukan tiga torii sebelum tiba di kuilnya. Ini adalah torii ketiga.


Dan ini gerbang kuilnya yang instagrammable banget!

 


Karena kita di dalam lingkungan kuil, kalian harus behave ya karena bagi penganut Shinto ini tempat suci dan juga tempat ibadah. Gue ngomong gini karena gue liat ada aja turis yang nggak respect. Semisal aja nih, di sini temen gue tiba-tiba narik gue dan ngomong (pake bahasa Inggris tentunya).

Teman gue: “Deloken kae!”

Dia menunjuk ke awewe bule yang pake celana jeans ketat mini yang mecotot. Gue sih nggak akan mengomentari gaya berpakaian dia ya, terserah dia mau pakai apa, itu hak dia. Tapi please deh, tau tempat dan waktu dong. Ini kan kuil buat tempat ibadah, masa iya berkunjung pakai baju kayak gitu?


Ditambah lagi ini, sedih banget. Kalo ada tulisan kayak gini dalam Bahasa Inggris berarti pasti pernah kejadian. Intinya, dimana pun kalian berada hargailah budaya ama tradisi mereka. Jangan jadi turis yang ignorant.

Nah, balik lagi ke jalan-jalannya. Salah satu yang akan kalian saksikan (jika beruntung) di kuil Meiji ini adalah pernikahan tradisional Jepang. Bahkan, gue sampai lihat tiga kali lho iring-iringannya! Padahal gue palingan berada di sana palingan cuman sejam.

Akhirnya setelah selama ini hanya bermimpi, akhirnya gue bisa mendapatkan ramalan omikuji. Jadi omikuji ini basically ramalan yang bisa kalian peroleh dengan mengocok sebuah tabung bambu dimana dari dalamnya akan ada satu sumpit yang keluar (oya sumpitnya dirancang supaya nggak keluar dari tabung jadi jangan kaget kalo cuman stuck di sana). Nah sumpit itu punya nomor dan kalian tinggal tarik laci berisi puisi yang ada di nomor tersebut, kemudian baca. Itulah ramalan kalian.

 

Gue dapat ramalan ini. Nggak paham sih apa artinya hehehe. But at least it’s beatiful!

Harganya hanya 100 yen aja alias 10 ribuan, murah kan? Nah gue denger-denger nih, kalo semisal kalian dapat ramalan jelek, kalian bisa meninggalkannya di kuil dengan cara diikatkan di tempat khusus. Di sini gue juga berkesempatan membeli omamori alias jimat langsung dari shrine maiden (yang kawaii pastinya). Duh padahal selama ini gue cuman bisa liat shrine maiden dari anime-anime tapi sekarang bisa hadap-hadapan langsung (jadi grogi). Harga omamori ini bervariasi, tapi umumnya 1000 yen. Kalian juga bisa pilih jimatnya berdasarkan apa keinginan kalian, semisal ada yang pengen lulus ujian, pengen dapat rejeki, bahkan biar enteng jodoh hehehe.

Setelah puas jalan-jalan di Meiji Jingu, kamipun kembali ke tempat semula sembari menyusuri jalan yang tadi kita lewati. Namun tiba-tiba di sini kami merasa aneh.

Temen gue: “Eh, kita kesasar nggak ya?”

Gue: “Nggak kok. Ini ada plang yang nunjukin arah kalo Stasiun Harajuku ada di arah sana. Berarti kita masuknya dari sana juga. Tapi kok ...”

Akhirnya gue menyadari mengapa kami berdua merasa bahwa kami sedang kesasar, sebab di depan kami ada struktur gede yang menurut gue baca adalah drum-drum sake yang dipajang di entrance kuil ini.

Gue: “Kok bisa ya gue nggak liat ini tadi pas kita lewat?”

Temen gue: “Eh, gue juga nggak!”

Haaaaah ... apakah kami diusilin penghuni hutan ini???

 

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment