Friday, January 17, 2025

GUNDALA: SUPERNOVA – CHAPTER 3

 


THALASSOPHOBIA

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Monday, January 13, 2025

GUNDALA: SUPERNOVA – CHAPTER 2

 


TRIO DISASTRO

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Friday, January 10, 2025

GUNDALA: SUPERNOVA – CHAPTER 1

 


PUTRI DUYUNG 

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Gadis itu menatap angin laut yang tengah meniup baling-baling yang dianyamnya dari kertas. Ia tersenyum menatap samudera biru yang terbentang di hadapannya hingga ke cakrawala. Untaian kerang menghiasi lehernya, kerang-kerang yang telah ia pilih karena cangkang ulirnya yang indah.

Kapal ini naik turun dipermainkan ombak, namun gadis itu sama sekali tak terganggu. Ia sudah terbiasa.

“Dhana, kau di sana? Bantu kami melemparkan jaring ini!”

Gadis itu menuruti perintah ayahnya dan membantu membentangkan jaring itu ke dalam air bersama awak kapal lain. Bak sarang laba-laba yang menjerat mangsanya, jaring itu menyergap ikan-ikan yang segera menggelinjang sekarat di atasnya ketika ditarik dari dalam laut.

Tiba-tiba para nelayan itu menjatuhkan jaring itu. Ikan-ikan yang tadinya tertangkap kemudian buyar dalam air, kembali bebas, larut dalam lautan.

Mereka melihat mangsa yang lebih besar.

“Lihat, ikan paus!”

Sebenarnya itu bukanlah ikan, Dhana mendengus. Gurunya menjelaskan perbedaan paus dan ikan. Paus adalah mamalia, seperti juga dugong, hewan yang buruk rupa itu. Ia tak mengerti, mengapa orang menyebut makhluk itu sebagai putri yang cantik.

Padahal selama ini aku-lah yang mereka sebut putri duyung itu.

Kapal itu segera berubah arah. Harga paus (sekali lagi bukan ikan!) jauh lebih mahal, bahkan ketimbang seisi kapal ini, karena kelangkaannya. Tak heran mereka begitu bernafsu memburunya.

Desahan ombak dan buaian angin yang secara naluriah menghantar mereka ke daratan mereka lawan. Mereka lebih memilih menembus semua rintangan untuk mendapatkan paus itu, bahkan jika badai mengancam sekalipun. Kapal itu naik turun makin kencang dengan amplitudo makin tinggi. Tiba-tiba terdengar suara ceburan di laut. Sang nahkoda menoleh dan panik melihat putrinya tak lagi berada di atas dek.

“Dhana!” panggilnya sambil melihat ke buritan. Benar adanya, ada bekas riak air di sana dan bayangan seorang gadis berenang di kedalaman.

“Apa yang kau lakukan di sini?” bisik gadis itu dalam air, “Cepat pergi!”

Suara itu dibalas dengan lenguhan yang hanya dapat didengarnya. Makhluk raksasa itu kemudian berenang lebih cepat sembari menghempaskan ekornya hingga mengombang-ambingkan kapal di atasnya. Dhana menarik napas lega di dalam air ketika paus itu akhirnya lenyap ditelan kegelapan air.

Namun di dasar laut, ia melihat sesuatu yang bersinar.

Apa itu?

Gadis itu memutuskan menyelam lebih dalam untuk melihatnya.

Iapun mengangkat benda itu dari dasar air. Beberapa ekor kepiting dan hewan air lainnya merangkak pergi ketika ia membenamkan tangannya ke dalam pasir.

Dhana takjub melihatnya. Tak pernah seumur hidup ia melihat sesuatu seperti ini sebelumnya.

Benda itu adalah sebuah cincin bertahtakan permata biru yang amat indah.

Lapis lazuli.

***

 

“SANCAKA!” seru Awang. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri sahabatnya berubah menjadi lecutan listrik dan lenyap merasuk ke dalam ketiadaan.

“Apa yang kalian lakukan kepadanya?!” ia berteriak marah.

“Kau masih hidup rupanya,” Maya menginjakkan kakinya ke reruntuhan beton, dimana Yoga dan Nathan terbaring tak sadarkan diri.

“Gali!” Maya mengangkat tangannya ke arah raksasa yang selama ini ia manfaatkan untuk membantu aksinya mencuri perhiasan, “Bunuh semua orang di sini!”

Raksasa itu bergerak mendekati orang yang berada paling dekat dengannya kala itu.

Maya.

“Apa-apaan kau?” ia terkejut ketika Gali justru mengangkatnya ke udara dan mencekik lehernya.

“Hen ... hentikan ...” gadis itu merintih di sela-sela napasnya yang tercekal.

“Kau memerintahkan untuk membunuh semua orang di sini ...” bisik Awang, “Bukankah itu berarti termasuk kau juga.”

Pemuda itu memalingkan mukanya, tak mampu menyaksikan ketika bunyi “KRAAAAK!” yang keras terdengar. Tubuh gadis itupun limbung tak bernyawa, tercampak begitu saja di lantai.

Awang segera meluncur menghantamkan tubuhnya ke arah Gali, mendorongnya hingga dinding di belakangnya jebol. Nathan terbangun mendengar suara deburan yang keras itu dan terperangah melihat pacarnya terbaring tewas.

“Maya!” tangisnya, “Maya!!!”

Ia menoleh keluar dan melihat seorang ksatria bersenjatakan godam.

Gali kini tak sadarkan diri di tanah, dengan retakan di aspal hanya untuk menggambarkan betapa dahsyat mereka tadi bertarung. Ia menghunuskan palunya ke arah tubuh raksasa itu, bersiap memusnahkannya dari muka bumi. Namun akhirnya ia mengurungkan niatnya dan menurunkannya.

Sancaka pasti melarangnya.

***

 

Sancaka terbangun tiba-tiba dan menyaksikan awan-awan berarak di hadapannya.

“Hah, apa ini?!”

Kemudian ia menyadari yang dilihatnya adalah jendela dan ia tengah terduduk di sebuah kursi dengan sabuk pengaman.

“Kau sudah bangun rupanya.”

Sancaka menoleh mendengar suara di sampingnya.

“Siapa kau? Dimana aku?” tanyanya pada pemuda di sebelahnya.

Pemuda itu menoleh.

“Kau ini selalu banyak bertanya, Sancaka.”

“Bagaimana kau tahu namaku?!”

“Kau benar-benar tak ingat padaku ya?” wajah pemuda itu sama sekali tanpa ekspresi.

“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Sancaka heran. “Aku ingat ada banyak salju ... tak masuk akal, dimana aku ini?”

“Buana menemukanmu saat sedang mendaki di Jayawijaya. Katanya kau tersesat dan tak sadarkan diri.” seorang pria separuh baya yang ada di sebelah pemuda itu menjawab. Ia seorang pendeta dengan wajah dan aksen bule, namun berbahasa Indonesia dengan sempurna.

Pemuda yang dipanggil Buana itu berbincang kepadanya dengan bahasa Jerman yang fasih, lalu menoleh kepada Sancaka.

“Kita sudah beruntung diperbolehkan menumpang pesawat para misionaris ini ke Jayapura. Sebentar lagi kita akan tiba dan dari sana kita mungkin mendapatkan penerbangan lagi ke Yogya. Kau tinggal di sana kan sekarang?”

“Kurasa kalau aku menanyakan darimana kau tahu hal itu, kau pasti tidak menjawabnya juga, kan?”

Pemuda itu tertawa, “Untuk saat ini panggil saja aku Buana. Cukup itu saja yang perlu kau tahu.”

Sancaka terperangah melihat kalung dengan batu berwarna keperakan yang melingkar di jarinya. Ia mengenali dengan baik batu itu. 

Namun ia memilih diam, menunggu saat yang tepat.

BERSAMBUNG

 

 

Monday, January 6, 2025

GUNDALA: SUPERNOVA – PROLOG

 


 

Kita semua tersusun atas debu alam semesta. Semua partikel dan atom dalam tubuh kita, semua tercipta saat sebuah bintang lahir kemudian mati.

Beberapa menjadi supernova yang meledak, menghamburkan tiap materinya ke penjuru alam semesta. Bintang lainnya, yang tak cukup kuat, collapse menjadi lubang hitam, menghisap setiap energi ke dalamnya.

Mengertikah kalian?

Satu adalah pencipta dan satunya adalah pemusnah.

***

 

GUNDALA: SUPERNOVA

 


SERI KETIGA DARI FANFICTION GUNDALA

Sancaka dalam pertarungan terakhirnya tanpa sengaja berteleportasi ke pedalaman Papua. Di sana ia ditolong oleh pemuda misterius. Kembali, kejahatan datang mengancam Bumi. Namun kali ini, asalnya bukan dari planet ini. Gundala dan teman-teman superhero barunya harus bertempur dalam perang antariksa, dimana para manusia super bentrok untuk memperebutkan kekuatan terbesar di alam semesta ini ...

Supernova.

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

Friday, December 27, 2024

GUNDALA: ANGKARA MERAPI – EPILOG

 


 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Sunday, December 22, 2024

GUNDALA: ANGKARA MERAPI – CHAPTER 7

 


DUEL IDEALISME

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.