Friday, November 10, 2017

REVIEW FILM JADUL: PENGABDI SETAN VERSI 1980

pengabdi setan

Hallo guys. Udah pada nonton “Pengabdi Setan” bikinan Joko Anwar khan? Filmnya keren banget dan ngasi gue harapan buat kemajuan perfilman Indonesia. Nah gara-gara nonton film itu, gue jadi ngebet banget pengen liat film versi aslinya, yakni “Pengabdi Setan” bikinan sutradara Sisworo Gautama Putra yang dirilis tahun 1980. Beruntung banget gue dengan mudah nemuin film jadul tersebut di youtube. Seperti apakah filmnya? Apa sajakah perbedaan antara versi lawas dan versi remake-nya? Yuk kita simak sama-sama :D

Di luar dugaan gue, jalan cerita “Pengabdi Setan” versi lawas dan versi remake ternyata cukup jauh berbeda. Kesamaannya hanyalah keluarga yang kebagian peran utama kedua film tersebut sama-sama ditinggal mati oleh ibunya. The rest ... well, garis besarnya cukup berbeda. Jika di film versi Joko Anwar, keluarga peran utama merupakan sebuah keluarga besar yang memiliki empat anak (hal yang cukup lumrah jika menilik settingnya di tahun 80-an), ternyata di film aslinya hanya ada dua anak, yakni Rini dan Tomy.

Keluarga merekapun tergolong keluarga tajir dengan rumah besar dan mewah (bahkan punya pembantu). Berbeda dengan keluarga di versi remake-nya yang dililit kesulitan keuangan gara-gara penyakit yang lama menggerogoti ibu mereka. Kesamaan lainnya, mereka jauh dari Tuhan. Jika di film aslinya terlihat jelas bahwa kekayaan keluarga tersebut membuat mereka kurang beriman, namun di film kedua nggak begitu dijelaskan mengapa mereka memilih tidak beragama.

Gue singkap dulu ya jalan ceritanya. Film ini diawali dengan kematian sang ibu (langsung ke adegan pemakaman, which is one thing that I like from the newer version better). Tomy, anak bungsu keluarga tersebut tampak begitu merindukan sang ibu hingga akhirnya tertarik mempelajari ilmu hitam hanya untuk mencari ketenangan. Sedangkan Rita, anak sulungnya justru sibuk pacaran dan berpesta untuk melupakan kesedihan akibat kematian ibu mereka.

Keluarga mereka lalu kedatangan pembantu baru bernama Bik Darminah (keren banget pemainnya, meyakinkan banget jadi sosok misterius dan antagonis hihihihi) yang ternyata ingin mengorbankan keluarga mereka menjadi pengabdi setan. Di film ini juga muncul HIM Damsyik (kalo yang lahir tahun 90-an pasti tak asing dengan sosok Datuk Maringgih di film “Siti Nurbaya”) sebagai pembantu keluarga tersebut.

Dilihat dari karakterisasi, entah kenapa gue lebih suka versi yang lama. Lebih believe-able menurut gue. Tokoh Tomy dan Rita di sini digambarkan sangat manusiawi. Tomy yang terpukul dengan kematian ibunya menjadi pribadi yang “hostile”, dingin, dan pemberontak. Berbeda jauh dengan reaksi Tony di versi remake “Pengabdi Setan”. Walaupun keduanya berdasarkan karakter yang sama, terlihat sekali perbedaannya. Sosok Tony terlalu “perfect” menurut gue, tapi yah mungkin karena di cerita dia anak lelaki tertua sehingga merasa memiliki tanggung jawab menjaga keluarganya, sedangkan Tomy di versi lama adalah anak bungsu jadi pantes aja kalo manja.

2

Gue juga kaget dengan sosok Rita di film ini. Gue pikir karena ini film 80-an, biasanya dia bakalan digambarkan lebih “innocent”. Tapi malah sosok Rita di sini bisa dikatakan lebih j*l*ng dan party-goers banget (yang kayaknya bertolak belakang ama busananya yang hampir selalu tertutup). Gue malah lebih suka sosok ini sih ketimbang Rini di film yang baru. Gue ngerasa aja Rini nggak pernah ngelakuin apapun selain menjadi pribadi yang skeptis. Hmmm ... skeptis kayak penari aja ya *udah lupakan*

Tokoh bapaknya udah, gue no comment aja. Gue tahu yang awewe-awewe pasti lebih demen ama bapak di film-nya Joko Anwar.

13

Bagaimana dengan segi setting? Hmmm ... gue nggak tahu sih dimana setting film “Pengabdi Setan” yang baru dimaksudkan. Soalnya dari dialog antara Rini/Tony dan bapaknya, keliatannya lokasi mereka jauh dari Jakarta. Suasananya juga masih asri (buset pohonnya gede-gede). Jadi gue simpulin aja mungkin setting film ini di Bekasi jauh sebelum adanya revolusi Industri dan melepaskan diri dari orbit Bumi.

Sedangkan setting di film versi jadul masih nggak jauh-jauh lah dari Jakarta.

3

*apaaaaa??? ini Jakarta???*

Bagaimana dengan adegan scare-nya? Hmmm ... mungkin ini terdengar agak mengejutkan guys, tapi gue lebih suka versi yang lama. WHAAAAAT??? Eits, sebelum protes, baca dulu review gue tentang “Pengabdi Setan” 2017. Di sana gue mengungkapkan kekecewaan gue karena film ini lebih mengandalkan jumpscare dan sound yang mengagetkan. Yap, kayak gue bilang di review terdahulu, Joko Anwar lebih cenderung “mengagetkan” penonton ketimbang “menakut-nakuti”. Dan gue sebagai penikmat film horor merasa itu adalah poin minus film remake ini.

Lalu bagaimana dengan film versi lama? They definitely will scare you sebab sejak awal memang itulah tujuan sang sutradaranya. Ada banyak adegan penampakan di film ini, mulai dari ini ...

7

*gue kepengen membuat efek ini pake telor asin*

Lalu ini ....

6

*taringnya agak berlebihan sih*

Dan terakhir ini ...

8

*WTF????*

Bahkan jika gue bandingin adegan yang sama-sama nongol di versi lama dan baru, yakni pas sang ayah bangun dan nemuin mayat hidup istrinya, gue lebih suka yang lama. Mata telor asinnya itu loh nggak nguatin. Tapi yah, walaupun di film versi baru, loncengnya adalah sentuhan yang bagus (cuman mungkin lebih mengena kali ya jika yang ngubur loncengnya juga bapaknya jadi dia bener-bener shock pas nemuin loncengnya lagi).

Salah satu adegan favorit gue adalah pas Rita ke kamar mayat buat mencari jenazah pacarnya. Hmmm .... kita bisa bedain banget reaksi Rita jika film ini bersetting tahun 2017.

Di film versi 80-an:

*penutup jenazah dibuka*

4

Reaksi Rita: “AAAAAA!!! TIDAAAAAAAK!!!” *sambil jambak rambut dan kamera zoom in*

Jika Rita adalah generasi millenial:

*penutup jenazah dibuka*

4

Reaksi Rita: “Eh BGST!!!”

Ada dua adegan favorit dan paling mengerikan di film jadul ini, dan kedua-keduanya adalah kemunculan arwah Herman, pacar Rita. Keliatan banget ya sosok Herman dan hantu-hantu lain di film ini amat terinspirasi oleh “Night of The Living Dead” dan film-film zombie lawas lainnya. Apalagi ada sentuhan pianonya ... hmmm keren dan kreatif menurut gue. Sayang adegan ini nggak muncul di film versi barunya. Cuma itu saja sih yang bikin gue kecewa jika disuruh bandingin antara versi lama dan baru.

Adegan pas trio zombie muncul juga seru banget. Zombie yang bergerak sangat pelan tapi tetap membuat para tokoh utamanya “helpless” menurut gue merupakan konsep “scare” yang nggak pernah usang, walau yah, sepertinya para sutradara jarang sekarang enggan menerapkannya.

12

Sayangnya momen mengerikan ini dirusak dengan munculnya sang tokoh antagonis, Darminah yang “JRENG JRENG JRENG” …

10

*Really? Is this supposed to be a jumpscare or something?*

Eamn tepat kalo Pak Joko Anwar tidak memunculkan Darminah sebagai tokoh utama di filmnya. Zaman sekarang mah nggak ada yang takut kalo Pengabdi Setannya kek beginian. Mungkin pas adegan ini muncul di bioskop tahun 80-an, beginilah reaksi penonton yang menyaksikannya:

Penonton: “YA AMPUN SETANNYA KRIBO!!! TAKUT … AAAAAAAAAK!!!”

Pacarnya: “MASYA ALLAH SEREM BANGET MAS!!! AKU MAU PULANG!!!”

Yang di sebelah nimbrung: “DANDANNYA MENOR LAGI! TIDAAAAAK!!!”

Padahal nggak ada serem-seremnya sama sekali. Pas gue SMP ada temen sekelas gue yang rambutnya kayak begini eh temen-temen gue malah bikin tarohan siapa yang bisa ngelemparin tisu terus nyangkut di rambut dia bakalan menang.

Adegan-adegan lain yang gue yang nggak gue sukai antara lain adegan dukun (I will pretend it never happened) dan adegan pas Rita tidur dan disorot pahanya. Bener sih adegannya secara visual emang estetis TAPI PENTING NGGAK SIH BUAT JALAN CERITA???

Sayangnya juga, endingnya yang udah ketebak juga menjadi kekurangan lain film ini (soalnya mainstream banget). Ada ustadz datang menyelamatkan mereka dengan membacakan doa, lalu setannya pada kebakar. Again, nothing wrong with that. Cuma gue lebih menekankan aja sih, tokoh ustadz di film baru lebih believe-able dan manusiawi, nggak digambarkan sebagai sosok suci tanpa dosa. And i prefer that.

Yah, walau mungkin di masa 80-an agak sukar dipercaya ya ada ustadz se-liberal dia, seperti tercermin di adegan film versi 2017-nya.

Bapak: *jalan di kuburan* “Kami sekeluarga nggak sholat kok Pak.”

Ustadz: “Oh.”

OH??? JUST THAT??? SERIOUSLY???

Film versi lama memiliki amanat dan pesan agar lebih mendekatkan diri dengan Tuhan. Adegan terakhir dimana keluarga ini dengan kompak keluar dari masjid setelah menunaikan ibadah mereka menurut gue cukup mengharukan. Yah, versi baru memang “lack” adegan ini, tapi mungkin ini karena Joko Anwar memiliki visi berbeda.

Akhir kata, berapa CD berdarah yang gue kasih untuk film ini? Karena statusnya yang “cult classic” gue kasih nilai 4,5 CD berdarah.

[030menunderwear2Copy_thumb1226_thumb%5B74%5D][030menunderwear2Copy_thumb1226_thumb%5B74%5D][030menunderwear2Copy_thumb1226_thumb%5B74%5D][030menunderwear2Copy_thumb1226_thumb%5B74%5D]030menunderwear2Copy2_thumb31_thumb6[5]

Nilainya lebih bagus ketimbang film remake-nya. Apa itu berarti gue suka film yang lama? Well, not necesserily like that. Gue suka banget ama versi yang baru, but I don’t know ... the only creepy thing from this movie menurut gue cuman pas adegan setan nyokapnya turun dari tangga pas adegan klimaks. The rest ... like I said, only jumpscares. Bahkan gue sama sekali nggak terkesan pas hantu nyokapnya muncul sehabis Rini mencoba sholat. Plot twist-nya juga ... hmm, not really surprising. Dan yang paling gue nggak bisa maafin adalah: NGGAK ADA ADEGAN HERMAN DI SINI!!! Padahal itu adalah adegan paling intense dalam film ini.

Akhir kata, I like the newer version, but the older one is memorable too. Karena itu gue ngasi skor yang lebih tinggi untuk versi orisinilnya.


NB: Yang gue pelajarin dari film ini: ketabrak truk pasir bisa membuat orang menjadi vampire!

9 comments:

  1. Begitu ada gambarnya,langsung ku tutupin pake tangan, biar bisa tetep baca tulisannya. :'D

    ReplyDelete
  2. Ketabrak truk tapi ga hancur. Cuma berdarah. Yeayyy :v

    ReplyDelete
  3. EH BGST !!! wkwkwkwk
    btw, ane dulu juga pny tmn sekolah kiting, duduknya pas depan gw lagi. jadilah dia pengobat kebosanan gw saat suntuk belajar. biasanya kertas gw gumpal kecil2, trus gw lomba ama tmn sebangku, yg paling banyak kertasnya nyangkut dia yg menang. lucunya si kiting kyk pasrah aja rambutnya dibuat maenan wkwkwk... jadi kangen gw...

    ReplyDelete
  4. Yg jadul serem.. film2 dlu serem loh... mgkn krna emng msh bocah...

    Yg skrg entahlah... conjuring aja mlh ngntuk gue😅😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekarang banyakan "hot"nya daripada horrornya

      Delete
    2. Sekarang banyakan "hot"nya daripada horrornya

      Delete
  5. Yg versi lama dulu pernah beberapa kali diputar di TV. Pernah sehabis nonton ini aku nggak bisa tidur, kebayang wajah Bibi Darminah terus... hahaha...

    ReplyDelete
  6. Reaksi rita millenial udah kayak korban prank aja wkwkwkwk

    ReplyDelete
  7. Abis nonton fimnya yang versi Joko Anwar (telat 5 taun lu ah)
    Langsung balik baca ulang review bang Dave.
    Yang versi ori endingnya dibacain doa2 sama pak ustadz terus setannya kebakar mungkin karena jaman itu film horror memang wajib masukin tokoh ustadz buat ngalahin setannya sih (pernah nyimak tentang ini di channel YT remotivi)
    Dan soal 'tahun 80-an ada kah ustadz se liberal itu' hmm.. menurutku malah tokoh2 agama jaman dulu lebih kalem bin selow sih bang gak kaya sekarang semuanya diperdebatkan...

    ReplyDelete