NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
JAKARTA 2045
“Astaga,
ini tak mungkin!” bisik Gundala. Ia tak ingin mempercayainya. “Jakarta sudah
hancur? Apa yang terjadi? Apa ada bom nuklir yang meledak di kota ini?”
Wajahnya
berubah pucat, “Apa mungkin bom kobalt itu tak berhasil ditangani Godam?”
Tiba-tiba
ia mendengar desingan suara pertempuran. Ia segera berlari menghampirinya.
Ia
bersembunyi di balik reruntuhan, menyaksikan sepasang manusia sedang bertempur.
“Siapa
itu?” bisik Gundala dalam hati, “Jelas sekali mereka adalah manusia adidaya,
aku bisa merasakan auranya. Namun siapa mereka?”
[Catatan penulis: mulai di sini
saya akan menggunakan istilah “adidaya” untuk menggambarkan kekuatan super,
istilah yang lebih membumi menurut saya]
Sosok
yang satu adalah seorang pemuda berpakaian serba hijau. Musuhnya di lain pihak,
tak terlihat dengan jelas. Ia dibungkus kegelapan pekat dari jubahnya yang
berkibar dan tudung yang menutupi kepalanya.
Jubah
itu? Apa itu Godam? Tidak, mustahil. Energi yang dikeluarkannya berbeda.
Kekuatan Godam adalah memanipulasi energi dan medan gaya. Namun sosok ini ...
Gundala merasakan sesuatu yang sangat kelam.
Energi
yang diemisikannya murni hanya untuk membunuh, menghancurkan, melenyapkan
segala yang hidup.
Dark energy? Apakah mungkin ini
dark energy?
Apa
dia yang menyebabkan semua kehancuran ini?
Ia
mengangkat tangannya dan segera, mobil-mobil rongsokan yang ada di sekeliling
mereka langsung terangkat ke atas.
“Gila!”
pikir Gundala. Dia dengan mudahnya mengendalikan gravitasi hanya dengan
mengangkat tangannya saja. Kekuatan macam apa ini?
Ia
segera melontarkan mereka ke arah superhero misterius itu, yang kemudian
menghajar mobil-mobil yang berterbangan ke arahnya satu demi satu. Hebat, kuat
sekali pemuda itu, pikir Gundala lagi. Namun tetap saja ia bukan Gundala
ataupun Godam yang mampu membentengi dirinya dengan medan elektromagnet.
Lama-kelamaan ia kewalahan dan sebuah pilar beton raksasa yang dihantamkan ke arah
segera membuatnya terpental dan tersungkur.
Gundala
merasa dirinya tak bisa tinggal diam. Ia tak begitu tahu apa permasalahannya,
namun ia tak bisa begitu saja berpangku tangan menyaksikan seseorang mati. Baru
saja ia hendak melaju dengan cepat untuk menyelamatkan pemuda itu, sosok
berkekuatan penghancur itu keburu menyadari keberadaannya.
“Siapa di situ?” sosok berjubah itu
menghempaskan energinya ke tempat persembunyian Gundala hingga tanah yang
dipijaknya terbelah. Dengan secepat kilat, Gundala menghindar dan menyaksikan
tempatnya berlindung tadi kini sudah hancur lebur. Bahkan gedung di belakangnya
juga terkoyak akibat serangan energi itu.
“Dahsyat
juga seranganmu!” ungkap Gundala sembari berdiri di atas sebuah reruntuhan air
mancur yang telah mengering. Ia masih berusaha tampil percaya diri, walaupun
serangan tadi sedikit banyak membuatnya gentar.
“Kau?” ucap sosok berjubah kegelapan
itu ketika melihatnya, “Gundala?”
“Gundala?”
pemuda yang tersungkur di depannya berusaha bangkit, “Be ... benarkah kau
Gundala ...”
Gundala
menoleh, “Kau tahu siapa aku?”
“Esthy
sering menceritakan tentang dirimu,” bisiknya sambil berusaha bangun dari
puing-puing yang menimpanya, “Bahkan dia menyebut namamu ... sebelum ia
meninggal ...”
“Apa?!”
Gundala tersentak. Namun tiba-tiba sayap di telinganya bergetar, mendeteksi
energi hitam yang hendak menyerangnya. Dengan cepat Gundala menghindar dengan
mengubah dirinya menjadi percikan energi listrik. Dengan sigap, ia berada di
belakang pemuda itu lalu memapahnya.
Ia
kemudian berteleportasi dan menghilang.
***
“Si
... siapa kau sebenarnya? Apa maksudmu dengan Esthy meninggal?” Gundala tak
tahu dimana mereka berada. Akan tetapi dari puing-puing pilar bergaya
Corynthian yang berdiri di sekelilingnya (sementara atapnya sudah lama hancur),
Gundala menduga mereka berada di sisa-sisa Istana Negara.
Namun
yang jelas, mereka sudah berada cukup jauh dari musuh misterius mereka. Ia tak
lagi merasakan keberadaan dark energy
yang dipancarkannya.
“Kemana
saja kau?” bisik pemuda itu, “Kau menghilang lama sekali. Dan sepeninggalmu,
segalanya berubah ....”
“Berubah?
Apa yang terjadi?” tiba-tiba Gundala menyadari sesuatu, “Apa maksudmu aku
terlempar ke masa depan?”
“Tak
ada waktu untuk menjelaskannya ...” ia dengan susah payah mengeluarkan dua buah
kristal dari kostum superheronya, “Kau
... kau harus kembali ... cegah semua ini ...”
“Ini
kristal milik Mlaar dan Dhana!” Gundala terkejut, “Darimana kau memperolehnya?”
“Mereka
memberikannya kepadaku ... sebelum mereka tewas dalam pertempuran ...”
“Apa?!”
sentak Gundala, “Mereka juga telah ...”
“Hanya
kau yang bisa menghentikan ini semua ...” ia memberikan kristal ketiga;
miliknya sendiri.
“A ...
aku tak bisa menerimanya,” tolak Gundala, “Ini sumber kekuatanmu. Kau akan mati
tanpanya!”
“Sudah
tak ada waktu lagi ... Hanya kau harapan kami satu-satunya ...” ia memuntahkan
darah, “Aku sudah sekarat ... Kumohon, lindungi dunia ini ... sebab aku tak
mampu melindunginya ...”
“Dimana
Godam? Ia pasti bisa menolong kita semua! Apa dia sudah mati pula?”
Nadi
Gundala serasa berdesir begitu menyadari aura kegelapan telah melingkupinya.
Ia
sudah menemukan mereka.
Gundala
mendongak, “Kau!”
Sang
Pemusnah itu terbang di atasnya, masih dengan jubah berkibar dan tudung
menutupi identitasnya.
“Tak
ada waktu lagi. Cepat pergi!!!” pemuda itu menyatukan ketiga kristal itu dan
seketika, sebuah lubang hitam muncul dan menghisap tubuh Gundala.
“Tidak!
Bagaimana denganmu?!”
Pemuda
itu hanya tersenyum. Senyum terakhir yang ia berikan sebelum serangan musuh itu
akhirnya meluluhlantakkan tubuhnya.
“TIDAAAAAAAAK!!!!”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment