Monday, March 10, 2025

GUNDALA: PATRIOT – PROLOG (1)



NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

JAKARTA 2045


“Astaga, ini tak mungkin!” bisik Gundala. Ia tak ingin mempercayainya. “Jakarta sudah hancur? Apa yang terjadi? Apa ada bom nuklir yang meledak di kota ini?”

Wajahnya berubah pucat, “Apa mungkin bom kobalt itu tak berhasil ditangani Godam?”

Tiba-tiba ia mendengar desingan suara pertempuran. Ia segera berlari menghampirinya.

Ia bersembunyi di balik reruntuhan, menyaksikan sepasang manusia sedang bertempur.

“Siapa itu?” bisik Gundala dalam hati, “Jelas sekali mereka adalah manusia adidaya, aku bisa merasakan auranya. Namun siapa mereka?”

[Catatan penulis: mulai di sini saya akan menggunakan istilah “adidaya” untuk menggambarkan kekuatan super, istilah yang lebih membumi menurut saya]

Sosok yang satu adalah seorang pemuda berpakaian serba hijau. Musuhnya di lain pihak, tak terlihat dengan jelas. Ia dibungkus kegelapan pekat dari jubahnya yang berkibar dan tudung yang menutupi kepalanya.

Jubah itu? Apa itu Godam? Tidak, mustahil. Energi yang dikeluarkannya berbeda. Kekuatan Godam adalah memanipulasi energi dan medan gaya. Namun sosok ini ... Gundala merasakan sesuatu yang sangat kelam.

Energi yang diemisikannya murni hanya untuk membunuh, menghancurkan, melenyapkan segala yang hidup.

Dark energy? Apakah mungkin ini dark energy?

Apa dia yang menyebabkan semua kehancuran ini?

Ia mengangkat tangannya dan segera, mobil-mobil rongsokan yang ada di sekeliling mereka langsung terangkat ke atas.

“Gila!” pikir Gundala. Dia dengan mudahnya mengendalikan gravitasi hanya dengan mengangkat tangannya saja. Kekuatan macam apa ini?

Ia segera melontarkan mereka ke arah superhero misterius itu, yang kemudian menghajar mobil-mobil yang berterbangan ke arahnya satu demi satu. Hebat, kuat sekali pemuda itu, pikir Gundala lagi. Namun tetap saja ia bukan Gundala ataupun Godam yang mampu membentengi dirinya dengan medan elektromagnet. Lama-kelamaan ia kewalahan dan sebuah pilar beton raksasa yang dihantamkan ke arah segera membuatnya terpental dan tersungkur.

Gundala merasa dirinya tak bisa tinggal diam. Ia tak begitu tahu apa permasalahannya, namun ia tak bisa begitu saja berpangku tangan menyaksikan seseorang mati. Baru saja ia hendak melaju dengan cepat untuk menyelamatkan pemuda itu, sosok berkekuatan penghancur itu keburu menyadari keberadaannya.

“Siapa di situ?” sosok berjubah itu menghempaskan energinya ke tempat persembunyian Gundala hingga tanah yang dipijaknya terbelah. Dengan secepat kilat, Gundala menghindar dan menyaksikan tempatnya berlindung tadi kini sudah hancur lebur. Bahkan gedung di belakangnya juga terkoyak akibat serangan energi itu.

“Dahsyat juga seranganmu!” ungkap Gundala sembari berdiri di atas sebuah reruntuhan air mancur yang telah mengering. Ia masih berusaha tampil percaya diri, walaupun serangan tadi sedikit banyak membuatnya gentar.

“Kau?” ucap sosok berjubah kegelapan itu ketika melihatnya, “Gundala?”

“Gundala?” pemuda yang tersungkur di depannya berusaha bangkit, “Be ... benarkah kau Gundala ...”

Gundala menoleh, “Kau tahu siapa aku?”

“Esthy sering menceritakan tentang dirimu,” bisiknya sambil berusaha bangun dari puing-puing yang menimpanya, “Bahkan dia menyebut namamu ... sebelum ia meninggal ...”

“Apa?!” Gundala tersentak. Namun tiba-tiba sayap di telinganya bergetar, mendeteksi energi hitam yang hendak menyerangnya. Dengan cepat Gundala menghindar dengan mengubah dirinya menjadi percikan energi listrik. Dengan sigap, ia berada di belakang pemuda itu lalu memapahnya.

Ia kemudian berteleportasi dan menghilang.

***

 

“Si ... siapa kau sebenarnya? Apa maksudmu dengan Esthy meninggal?” Gundala tak tahu dimana mereka berada. Akan tetapi dari puing-puing pilar bergaya Corynthian yang berdiri di sekelilingnya (sementara atapnya sudah lama hancur), Gundala menduga mereka berada di sisa-sisa Istana Negara.

Namun yang jelas, mereka sudah berada cukup jauh dari musuh misterius mereka. Ia tak lagi merasakan keberadaan dark energy yang dipancarkannya.

“Kemana saja kau?” bisik pemuda itu, “Kau menghilang lama sekali. Dan sepeninggalmu, segalanya berubah ....”

“Berubah? Apa yang terjadi?” tiba-tiba Gundala menyadari sesuatu, “Apa maksudmu aku terlempar ke masa depan?”

“Tak ada waktu untuk menjelaskannya ...” ia dengan susah payah mengeluarkan dua buah kristal dari kostum superheronya,  “Kau ... kau harus kembali ... cegah semua ini ...”

“Ini kristal milik Mlaar dan Dhana!” Gundala terkejut, “Darimana kau memperolehnya?”

“Mereka memberikannya kepadaku ... sebelum mereka tewas dalam pertempuran ...”

“Apa?!” sentak Gundala, “Mereka juga telah ...”

“Hanya kau yang bisa menghentikan ini semua ...” ia memberikan kristal ketiga; miliknya sendiri.

“A ... aku tak bisa menerimanya,” tolak Gundala, “Ini sumber kekuatanmu. Kau akan mati tanpanya!”

“Sudah tak ada waktu lagi ... Hanya kau harapan kami satu-satunya ...” ia memuntahkan darah, “Aku sudah sekarat ... Kumohon, lindungi dunia ini ... sebab aku tak mampu melindunginya ...”

“Dimana Godam? Ia pasti bisa menolong kita semua! Apa dia sudah mati pula?”

Nadi Gundala serasa berdesir begitu menyadari aura kegelapan telah melingkupinya.

Ia sudah menemukan mereka.

Gundala mendongak, “Kau!”

Sang Pemusnah itu terbang di atasnya, masih dengan jubah berkibar dan tudung menutupi identitasnya.

“Tak ada waktu lagi. Cepat pergi!!!” pemuda itu menyatukan ketiga kristal itu dan seketika, sebuah lubang hitam muncul dan menghisap tubuh Gundala.

“Tidak! Bagaimana denganmu?!”

Pemuda itu hanya tersenyum. Senyum terakhir yang ia berikan sebelum serangan musuh itu akhirnya meluluhlantakkan tubuhnya.

“TIDAAAAAAAAK!!!!”

BERSAMBUNG

 

 

No comments:

Post a Comment