PATRIOT BERSATU!
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Si
... sial ...” Macan Kumbang sempat berpikir membunuh Presiden pastilah semudah
membalik telapak tangan jika hanya harus menghadapi para pengawalnya yang
manusia biasa. Namun ia tak pernah memperhitungkan para manusia adidaya juga
turun tangan dalam laga pertempuran ini.
“Aku
tak boleh gagal,” bisiknya, “Hanya ini kesempatanku satu-satunya. Tuan akan
murka jika aku tak berhasil kali ini ...”
Tiba-tiba
ia merasakan ada sesuatu yang tengah melesat dengan amat kencang ke arahnya.
Dengan gaya refleksnya yang selalu tepat, ia mengulurkan tangannya dan seketika
itu juga menangkap leher Kalong.
Ia
menoleh dengan santai ke arah Kalong yang kini sedang tercekik dalam genggaman
tangannya,
“Kau
tak pernah belajar ya?” ejeknya dengan sinis.
“Kau
belum tahu kekuatanku yang sesungguhnya ...” Kalong pantang menyerah dan
mengeluarkan sinyal yang segera mempengaruhi makhluk hidup di sekitarnya,
Dalam
hal ini, burung-burung dara yang berumah di taman Monas.
Burung-burung
itu tiba melesat ke arah Macan Kumbang dan terbang disekitarnya, mencoba
mematukinya.
“AAAAARGH!
APA INI” Macan Kumbang berusaha menyingkirkan burung-burung itu. Kalong
menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri.
“Setahuku
kucing memiliki pendengaran yang amat sensitif ...” Kalong menyilangkan kedua
tangannya di depan membentuk huruf ‘X’, “Sekarang rasakan ini!”
Kalong
berkonsentrasi dan mengeluarkan gelombang suara dengan frekuensi yang amat
tinggi. Suara itu hampir-hampir tak mampu didengar manusia, namun di telinga
Macan Kumbang suara itu memekik hingga membuat gendang telinganya nyaris pecah.
“AAAAARGH!!!
HENTIKAN!!!”
***
“Ma
... Mariam? Apa yang kau lakukan?” Inspektur Garuda tak percaya menyaksikan
wanita yang dicintainya itu masih hidup, namun juga ia sesungguhnya adalah
musuh yang selama ini membuat onar. “Ka ... kau masih ...”
“Hidup?”
ringisnya, “Kau sama sekali tak pernah berusaha menolongku, Garuda. Kenapa kau
masih peduli aku masih hidup atau tidak?”
“A ...
aku sudah berusaha, namun ...”
“Namun
apa? Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu kan sebagai polisi? Bahkan ketika aku
memohon agar kau menemaniku saat itu untuk berbelanja baju pengantin, kau lebih
mementingkan tugasmu!”
Garuda
merasa bersalah. Tunangannya itu benar. Jika saja ia hadir di sana untuk
melindunginya, maka tragedi itu takkan terjadi.
“Na
... namun bagaimana kau bisa selamat?”
“Entahlah,
aku tak tahu. Namun semua beton itu menembus tubuhku begitu saja, padahal semua
penumpang busku tewas terhimpit. Mutasi, kurasa. Sesuatu yang telah lama
kuwarisi, baru terekspresi ketika nyawaku berada di ujung tanduk, sebagai
bentuk adaptasi ekstrim.” gadis itu mulai tertawa, “Kenapa? Kau tak suka pada
mahluk mutan seperti aku?”
“A ...
aku ...”
“Apa
kau tahu? Setelah kejadian itu aku hanya berjalan dengan limbung bak hantu, tak
bisa menyentuh apapun. Bahkan makanan dan minuman yang coba kutelan akan
langsung jatuh menembus tubuhku. Barulah ketika aku bertemu Bastian Leo, yang
juga memiliki kemampuan super setelah operasi yang ia jalani, aku mulai belajar
mengendalikannya. Karena itulah, aku berhutang budi padanya!”
“Ta
... tapi mereka penjahat!”
“Dan
kau bukan? Apa kau tahu siapa yang kau lindungi? Koruptor, pelanggar HAM, perusak
lingkungan! Mereka semua yang duduk di pemerintahan, mereka pantas
ditunggangbalikkan! Kami akan memulai revolusi untuk membersihkan tanah air ini
dari parasit semacam mereka!”
“Astaga
... kau sudah teracuni oleh ideologi mereka!”
“Aku
lebih suka pakai kata tercerahkan!” tiba-tiba saja anak buah Kitty datang
sambil menyeret sang presiden. Kitty langsung mencengkeram leher sang presiden
yang ketakutan di bawah kukunya hingga mulai mengeluarkan darah.
“Lepaskan
dia, Mariam!”
“Atau
apa?” ia menyeringai ke arah Kapten Nusantara, “Kau akan membunuhku?”
***
“Tidak!
Jangan!” perhatian Kalong teralihkan pada presiden yang kini terancam nyawanya.
Namun belum sempat ia menolong, tiba-tiba ia ditarik ke belakang sampai
terjungkal.
Dengan
geram iapun menoleh.
“Belum
kapok juga kau? Mau dengar lagi gelombang supersonikku?”
“Sudah
berapa kali kubilang, bukan aku yang membunuh ayahmu!”
“Lalu
siapa? Gerombolan Kucing Merah-lah yang ...”
“Namun
malam itu mereka tidak bertindak di bawah perintahku! Mereka anggotaku yang
membelot!”
“Apa?
Lalu siapa—“
“Cari
saja Bhumipati! Merekalah yang bertanggung jawab!”
“A ...
apa?”
***
“Sancaka! Bangun!”
Pemuda
itu mulai membuka matanya.
“Aku
masih mau tidur. Kuliahnya kan masih nanti siang ...”
“Sancaka!
Cepat sadarlah!” Çakti berusaha membangunkannya.
Mendengar
suara pertempuran di sekitarnya, pemuda itu dengan gelagapan bangkit, “A ...
apa yang terjadi dengan Pak Presiden?”
“Gerombolan
Kucing Merah berhasil mendapatkannya. Kita sama sekali bukan tandingan mereka.”
sesal gadis itu. “Bahkan tadi kau langsung ambruk dengan satu tamparan saja.”
“Sial!”
Sancaka menatap tank yang terparkir tak jauh dari mereka berada. “Jika masih
ada serum itu di sini, aku takkan bisa berubah!”
“Berubah?”
Apa maksudmu?” gadis itu kebingungan.
“Dengar!”
tiba-tiba ia memegang kedua pundak Çakti hingga pipinya pun merah tersipu, “Apa
kau bisa melakukan sesuatu untukku?”
“A ...
apa itu?”
“Bawa
serum itu sejauh mungkin dari sini, cepat!”
“Ba
... baik!” tanpa pikir panjang, Çakti segera berlari ke arah tank itu, kemudian
memanjatnya ke dalam.
“Sial!”
makinya walau ia berhasil menemukan serum anti petir di tengah huru-hara itu,
ia baru sadar bahwa ia tak tahu caranya mengendarai tank ini.
“Tak
ada cara lain!” iapun segera melompat keluar sambil membawa serum itu, kemudian
naik sebuah moge yang terdampar di tengah pertikaian itu.
Lalu
segera menderukan motor itu pergi.
***
“Bagus.”
Sancaka menatap kepergian Çakti yang membawa pergi serum anti-petir itu.
“Sekarang
aku bisa menggunakan kekuatanku ...”
Namun
pemuda itu mendengar suara yang amat keras hingga mendongak ke atas. Dilihatnya
Monas mulai miring dan runtuh, menghujaninya dengan runtuhan beton.
“Tu
... tunggu!”
***
Para
veteran dan duta besar yang menyaksikan pertempuran para manusia adidaya itu
mulai berteriak ketakutan ketika puncak Monas dimana mereka berada saat ini
mulai miring dan oleng akibat dahsyatnya perkelahian para jagoan itu.
“AAAAAAAA!”
mereka berteriak, melihat menara observasi mereka mulai jatuh untuk menghujam
tanah.
***
Sancaka
sudah bersiap untuk menerima takdirnya. Kekuatannya masih perlu di-recharge sebelum ia bisa berubah menjadi
Gundala, sehingga takkan ada cukup waktu baginya untuk beteleportasi. Namun
tiba-tiba saja, dilihatnya bayangan puncak Monas itu tertahan dan berhenti, tak
terburu-buru menimpanya. Barulah ia berani menatap ke atas dan bersorak
kegirangan melihatnya.
“Godam!”
***
Godam
mengangkat puncak Monas itu kemudian menurunkannya perlahan ke atas tanah. Para
superhero dan supervillain yang berlaga di Lapangan Merdeka kemudian
menghentikan aksi mereka.
“Hentikan
semua pertengkaran ini!” Godam kemudian menoleh ke arah Mariam yang masih
menyandera sang presiden. “Aku tahu kau tak puas dengan kebijakan-kebijakannya,
namun ini bukanlah solusinya. Lepaskanlah dia dan kita bisa bicarakan ini
dengan baik-baik.”
“Lepaskan
dia katamu?” cibir wanita itu, “Semua anggota Gerombolan Kucing Merah ...
mereka adalah orang-orang terbuang, tersingkirkan ... hingga mereka terpaksa
berpaling ke dunia hitam hanya demi menyambung hidup mereka ... semua gara-gara
pria ini!”
“Mariam
... hentikan!” desak Kapten Nusantara yang masih enggan menggunakan kekuatannya
pada wanita yang dicintainya itu.
“Hanya
ini satu-satunya cara!” Mariam bersiap menghujamkan tangannya yang mampu
menembus materi ke tubuh presiden untuk merenggut jantungnya, namun sebelum ia
melakukannya ...
“A ...
apa ini ...” Mariam tak mampu berkutik. Tubuhnya terasa tak mampu
dikendalikannya ... kaku ... hingga akhirnya iapun ambruk tak bernyawa.
Semua
terkejut ketika menyaksikannya.
“A ...
apa yang kau lakukan?” tanya Dhana.
“Itulah
kekuatannya, ferromagnetik.” Pengkor tiba-tiba muncul di sana diikuti dua
pembantu setianya. “Jangan lupa, darah juga mengandung besi dalam hemoglobinnya
sehingga Cro Magnon bisa mengendalikannya dengan medan magnet. Ia membuatnya
berhenti berdesir, begitu bukan, Inspektur Garuda?”
“A ...
apa maksudnya?” Mlaar masih tak memahaminya.
Sementara
itu Garuda berlutut penuh penyesalan, air mata menggenangi matanya, bahkan tumpah
ruah membasahi topeng yang semestinya menyembunyikan kerapuhannya itu.
“Ia
menghentikan laju darahnya dengan kemampuan magnetiknya sehingga darah
perempuan itu tak terpompa oleh jantungnya, menyebabkan gagal jantung.” Awang
menjelaskan di balik topeng Godamnya.
“A ...
aku tak sengaja melakukannya ... aku tak punya cara lain ...”
“Kau
melakukannya untuk negara ...” Sancaka berusaha menenangkannya, “Kau sudah ...”
“TIDAK!”
jeritnya, “Seharusnya ini tidak berakhir seperti ini! Aku melakukan semuanya
untuknya! UNTUK DIA!”
Tiba-tiba
saja gelombang energi yang besar memancar dalam dirinya. Pengkor tersenyum
melihatnya.
“A ...
apa yang terjadi, Tuan?” Gemati memeluk kembarannya, Gendhis, yang sama
ketakutannya dengannya melihat pusaran energi itu melingkupi mereka yang ada di
Monas.
“Ini
semua adalah rencananya!” Esthy tiba-tiba muncul.
“A ...
apa maksudmu?” Maza mengikutinya dari belakang.
“Pengkor
sengaja memilih Inspektur Garuda sebagai pengguna zirah Manusia Cro Magnon
karena tahu ia adalah pria yang tak stabil. Kini, setelah trauma seberat itu,
zirah itu akan mengendalikannya dan menjadikan reaktor medan magnet raksasa
.... semacam mesin MRI berkekuatan adidaya.”
“Un
... untuk apa?” Kanigara masih tak memahami penjelasan itu.
Pengkor
tersenyum.
“Untuk menarik semua cincin
kalian!”
Semua
tersentak. Para manusia adidaya itu menyadari bahwa tubuh mereka mulai
tertarik. Ah bukan, cincin mereka-lah yang tertarik ke pusaran medan magnet
superkuat itu, menyeret tubuh mereka bersamanya. Kristal di cincin giok milik
Godam, kristal Amethyst milik Kalong, kristal Kunzite milik Mlaar, kristal
Lapis Lazuli milik Dhana, dan kristal Jade milik Kanigara; semua tertarik ke
arah kristal Garnet milik Kapten Nusantara.
Bahkan
reaksi itu menyebabkan tubuh Kapten Nusantara meluruh dan dahinya mulai
menjelma menjadi titik hitam yang makin melebar, menyebabkan semua terhisap ke
dalamnya.
“Ce
... celaka! Itu Singularity!” pekik
Sancaka.
No comments:
Post a Comment