Tuesday, August 5, 2025

GUNDALA: PATRIOT – CHAPTER 12

 


PATRIOT BERSATU!

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“Si ... sial ...” Macan Kumbang sempat berpikir membunuh Presiden pastilah semudah membalik telapak tangan jika hanya harus menghadapi para pengawalnya yang manusia biasa. Namun ia tak pernah memperhitungkan para manusia adidaya juga turun tangan dalam laga pertempuran ini.

“Aku tak boleh gagal,” bisiknya, “Hanya ini kesempatanku satu-satunya. Tuan akan murka jika aku tak berhasil kali ini ...”

Tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu yang tengah melesat dengan amat kencang ke arahnya. Dengan gaya refleksnya yang selalu tepat, ia mengulurkan tangannya dan seketika itu juga menangkap leher Kalong.

Ia menoleh dengan santai ke arah Kalong yang kini sedang tercekik dalam genggaman tangannya,

“Kau tak pernah belajar ya?” ejeknya dengan sinis.

“Kau belum tahu kekuatanku yang sesungguhnya ...” Kalong pantang menyerah dan mengeluarkan sinyal yang segera mempengaruhi makhluk hidup di sekitarnya,

Dalam hal ini, burung-burung dara yang berumah di taman Monas.

Burung-burung itu tiba melesat ke arah Macan Kumbang dan terbang disekitarnya, mencoba mematukinya.

“AAAAARGH! APA INI” Macan Kumbang berusaha menyingkirkan burung-burung itu. Kalong menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri.

“Setahuku kucing memiliki pendengaran yang amat sensitif ...” Kalong menyilangkan kedua tangannya di depan membentuk huruf ‘X’, “Sekarang rasakan ini!”

Kalong berkonsentrasi dan mengeluarkan gelombang suara dengan frekuensi yang amat tinggi. Suara itu hampir-hampir tak mampu didengar manusia, namun di telinga Macan Kumbang suara itu memekik hingga membuat gendang telinganya nyaris pecah.

“AAAAARGH!!! HENTIKAN!!!”

***

 

“Ma ... Mariam? Apa yang kau lakukan?” Inspektur Garuda tak percaya menyaksikan wanita yang dicintainya itu masih hidup, namun juga ia sesungguhnya adalah musuh yang selama ini membuat onar. “Ka ... kau masih ...”

“Hidup?” ringisnya, “Kau sama sekali tak pernah berusaha menolongku, Garuda. Kenapa kau masih peduli aku masih hidup atau tidak?”

“A ... aku sudah berusaha, namun ...”

“Namun apa? Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu kan sebagai polisi? Bahkan ketika aku memohon agar kau menemaniku saat itu untuk berbelanja baju pengantin, kau lebih mementingkan tugasmu!”

Garuda merasa bersalah. Tunangannya itu benar. Jika saja ia hadir di sana untuk melindunginya, maka tragedi itu takkan terjadi.

“Na ... namun bagaimana kau bisa selamat?”

“Entahlah, aku tak tahu. Namun semua beton itu menembus tubuhku begitu saja, padahal semua penumpang busku tewas terhimpit. Mutasi, kurasa. Sesuatu yang telah lama kuwarisi, baru terekspresi ketika nyawaku berada di ujung tanduk, sebagai bentuk adaptasi ekstrim.” gadis itu mulai tertawa, “Kenapa? Kau tak suka pada mahluk mutan seperti aku?”

“A ... aku ...”

“Apa kau tahu? Setelah kejadian itu aku hanya berjalan dengan limbung bak hantu, tak bisa menyentuh apapun. Bahkan makanan dan minuman yang coba kutelan akan langsung jatuh menembus tubuhku. Barulah ketika aku bertemu Bastian Leo, yang juga memiliki kemampuan super setelah operasi yang ia jalani, aku mulai belajar mengendalikannya. Karena itulah, aku berhutang budi padanya!”

“Ta ... tapi mereka penjahat!”

“Dan kau bukan? Apa kau tahu siapa yang kau lindungi? Koruptor, pelanggar HAM, perusak lingkungan! Mereka semua yang duduk di pemerintahan, mereka pantas ditunggangbalikkan! Kami akan memulai revolusi untuk membersihkan tanah air ini dari parasit semacam mereka!”

“Astaga ... kau sudah teracuni oleh ideologi mereka!”

“Aku lebih suka pakai kata tercerahkan!” tiba-tiba saja anak buah Kitty datang sambil menyeret sang presiden. Kitty langsung mencengkeram leher sang presiden yang ketakutan di bawah kukunya hingga mulai mengeluarkan darah.

“Lepaskan dia, Mariam!”

“Atau apa?” ia menyeringai ke arah Kapten Nusantara, “Kau akan membunuhku?”

***

 

“Tidak! Jangan!” perhatian Kalong teralihkan pada presiden yang kini terancam nyawanya. Namun belum sempat ia menolong, tiba-tiba ia ditarik ke belakang sampai terjungkal.

Dengan geram iapun menoleh.

“Belum kapok juga kau? Mau dengar lagi gelombang supersonikku?”

“Sudah berapa kali kubilang, bukan aku yang membunuh ayahmu!”

“Lalu siapa? Gerombolan Kucing Merah-lah yang ...”

“Namun malam itu mereka tidak bertindak di bawah perintahku! Mereka anggotaku yang membelot!”

“Apa? Lalu siapa—“

“Cari saja Bhumipati! Merekalah yang bertanggung jawab!”

“A ... apa?”

***

 

“Sancaka! Bangun!”

Pemuda itu mulai membuka matanya.

“Aku masih mau tidur. Kuliahnya kan masih nanti siang ...”

“Sancaka! Cepat sadarlah!” Çakti berusaha membangunkannya.

Mendengar suara pertempuran di sekitarnya, pemuda itu dengan gelagapan bangkit, “A ... apa yang terjadi dengan Pak Presiden?”

“Gerombolan Kucing Merah berhasil mendapatkannya. Kita sama sekali bukan tandingan mereka.” sesal gadis itu. “Bahkan tadi kau langsung ambruk dengan satu tamparan saja.”

“Sial!” Sancaka menatap tank yang terparkir tak jauh dari mereka berada. “Jika masih ada serum itu di sini, aku takkan bisa berubah!”

“Berubah?” Apa maksudmu?” gadis itu kebingungan.

“Dengar!” tiba-tiba ia memegang kedua pundak Çakti hingga pipinya pun merah tersipu, “Apa kau bisa melakukan sesuatu untukku?”

“A ... apa itu?”

“Bawa serum itu sejauh mungkin dari sini, cepat!”

“Ba ... baik!” tanpa pikir panjang, Çakti segera berlari ke arah tank itu, kemudian memanjatnya ke dalam.

“Sial!” makinya walau ia berhasil menemukan serum anti petir di tengah huru-hara itu, ia baru sadar bahwa ia tak tahu caranya mengendarai tank ini.

“Tak ada cara lain!” iapun segera melompat keluar sambil membawa serum itu, kemudian naik sebuah moge yang terdampar di tengah pertikaian itu.

Lalu segera menderukan motor itu pergi.

 

***

 

“Bagus.” Sancaka menatap kepergian Çakti yang membawa pergi serum anti-petir itu.

“Sekarang aku bisa menggunakan kekuatanku ...”

Namun pemuda itu mendengar suara yang amat keras hingga mendongak ke atas. Dilihatnya Monas mulai miring dan runtuh, menghujaninya dengan runtuhan beton.

“Tu ... tunggu!”

***

 

Para veteran dan duta besar yang menyaksikan pertempuran para manusia adidaya itu mulai berteriak ketakutan ketika puncak Monas dimana mereka berada saat ini mulai miring dan oleng akibat dahsyatnya perkelahian para jagoan itu.

“AAAAAAAA!” mereka berteriak, melihat menara observasi mereka mulai jatuh untuk menghujam tanah.

 

***

 

Sancaka sudah bersiap untuk menerima takdirnya. Kekuatannya masih perlu di-recharge sebelum ia bisa berubah menjadi Gundala, sehingga takkan ada cukup waktu baginya untuk beteleportasi. Namun tiba-tiba saja, dilihatnya bayangan puncak Monas itu tertahan dan berhenti, tak terburu-buru menimpanya. Barulah ia berani menatap ke atas dan bersorak kegirangan melihatnya.

“Godam!”

***

 

Godam mengangkat puncak Monas itu kemudian menurunkannya perlahan ke atas tanah. Para superhero dan supervillain yang berlaga di Lapangan Merdeka kemudian menghentikan aksi mereka.

“Hentikan semua pertengkaran ini!” Godam kemudian menoleh ke arah Mariam yang masih menyandera sang presiden. “Aku tahu kau tak puas dengan kebijakan-kebijakannya, namun ini bukanlah solusinya. Lepaskanlah dia dan kita bisa bicarakan ini dengan baik-baik.”

“Lepaskan dia katamu?” cibir wanita itu, “Semua anggota Gerombolan Kucing Merah ... mereka adalah orang-orang terbuang, tersingkirkan ... hingga mereka terpaksa berpaling ke dunia hitam hanya demi menyambung hidup mereka ... semua gara-gara pria ini!”

“Mariam ... hentikan!” desak Kapten Nusantara yang masih enggan menggunakan kekuatannya pada wanita yang dicintainya itu.

“Hanya ini satu-satunya cara!” Mariam bersiap menghujamkan tangannya yang mampu menembus materi ke tubuh presiden untuk merenggut jantungnya, namun sebelum ia melakukannya ...

“A ... apa ini ...” Mariam tak mampu berkutik. Tubuhnya terasa tak mampu dikendalikannya ... kaku ... hingga akhirnya iapun ambruk tak bernyawa.

Semua terkejut ketika menyaksikannya.

“A ... apa yang kau lakukan?” tanya Dhana.

“Itulah kekuatannya, ferromagnetik.” Pengkor tiba-tiba muncul di sana diikuti dua pembantu setianya. “Jangan lupa, darah juga mengandung besi dalam hemoglobinnya sehingga Cro Magnon bisa mengendalikannya dengan medan magnet. Ia membuatnya berhenti berdesir, begitu bukan, Inspektur Garuda?”

“A ... apa maksudnya?” Mlaar masih tak memahaminya.

Sementara itu Garuda berlutut penuh penyesalan, air mata menggenangi matanya, bahkan tumpah ruah membasahi topeng yang semestinya menyembunyikan kerapuhannya itu.

“Ia menghentikan laju darahnya dengan kemampuan magnetiknya sehingga darah perempuan itu tak terpompa oleh jantungnya, menyebabkan gagal jantung.” Awang menjelaskan di balik topeng Godamnya.

“A ... aku tak sengaja melakukannya ... aku tak punya cara lain ...”

“Kau melakukannya untuk negara ...” Sancaka berusaha menenangkannya, “Kau sudah ...”

“TIDAK!” jeritnya, “Seharusnya ini tidak berakhir seperti ini! Aku melakukan semuanya untuknya! UNTUK DIA!”

Tiba-tiba saja gelombang energi yang besar memancar dalam dirinya. Pengkor tersenyum melihatnya.

“A ... apa yang terjadi, Tuan?” Gemati memeluk kembarannya, Gendhis, yang sama ketakutannya dengannya melihat pusaran energi itu melingkupi mereka yang ada di Monas.

“Ini semua adalah rencananya!” Esthy tiba-tiba muncul.

“A ... apa maksudmu?” Maza mengikutinya dari belakang.

“Pengkor sengaja memilih Inspektur Garuda sebagai pengguna zirah Manusia Cro Magnon karena tahu ia adalah pria yang tak stabil. Kini, setelah trauma seberat itu, zirah itu akan mengendalikannya dan menjadikan reaktor medan magnet raksasa .... semacam mesin MRI berkekuatan adidaya.”

“Un ... untuk apa?” Kanigara masih tak memahami penjelasan itu.

Pengkor tersenyum.

“Untuk menarik semua cincin kalian!”

Semua tersentak. Para manusia adidaya itu menyadari bahwa tubuh mereka mulai tertarik. Ah bukan, cincin mereka-lah yang tertarik ke pusaran medan magnet superkuat itu, menyeret tubuh mereka bersamanya. Kristal di cincin giok milik Godam, kristal Amethyst milik Kalong, kristal Kunzite milik Mlaar, kristal Lapis Lazuli milik Dhana, dan kristal Jade milik Kanigara; semua tertarik ke arah kristal Garnet milik Kapten Nusantara.

Bahkan reaksi itu menyebabkan tubuh Kapten Nusantara meluruh dan dahinya mulai menjelma menjadi titik hitam yang makin melebar, menyebabkan semua terhisap ke dalamnya.

“Ce ... celaka! Itu Singularity!” pekik Sancaka.

 

No comments:

Post a Comment