Rumah tradisional Indonesia mungkin kalian sudah tidak asing. Tapi kalo rumah tradisional Eropa? Gue nggak ngomongin kastil atau gereja khas Eropa lho yang emang punya ciri arsitektur khas, namun rumah kediaman rakyat biasa. Nah jika kalian beruntung bisa berkunjung ke pedesaan-pedesaan di pelosok Eropa, terutama Jerman dan Prancis, mungkin kalian akan masih bisa menemui rumah-rumah tradisional yang disebut “half-timbered house”.
Ciri khas utama rumah tradisional Eropa ini adalah adanya rangka-rangka kayu yang terlihat jelas pada permukaan bangunan. Disebut “half-timbered” karena “timber” atau balok kayu yang menjadi kerangka rumah tersebut terlihat membagi-bagi dinding menjadi separuh. Rumah jenis ini dikenal ramah lingkungan karena menyesuaikan diri dengan lingkungannya di Eropa serta ringkas dan cepat untuk dibangun. Yuk kita bahas lebih mendalam mengenai rumah jenis ini.
“Half-timbered” secara definitif dapat diartikan sebagai metode membangun rumah dimana dinding luar dan dalam dibangun dengan kerangka dari balok kayu (timber) dan ruang di antara kerangka tersebut diisi dengan material-material penguat seperti batu bata, plaster, atau bahan pengisi tradisional yang disebut “wattle and daub”.
Ada tiga ciri khas utama rumah “half-timbered”. Pertama, rumah jenis ini menggunakan kerangka berupa batang kayu berukuran besar yang tentu juga kuat dan kokoh dalam menopang bentuk rumah. Penggunaan kayu sangat menyesuaikan dengan kondisi alam Eropa kala itu yang dipenuhi kekayaaan alam berupa pohon yang hidup di empat musim sehingga lebih kuat. Bangsa Eropa kuno juga kala itu tidak memiliki peralatan memadai dalam memotong batang kayu sehingga potongan yang digunakan pun umumnya berukuran besar.
Penggunaan kerangka kayu ini amat terlihat jelas, sebab warna kayu yang lebih gelap ketimbang dindingnya (hal ini disengaja sebagai unsur dekoratif yang menyolok). Hal ini berbeda dengan konstruksi rumah zaman sekarang yang cenderung menyembunyikan kerangkanya. Namun hal ini mudah dimengerti karena pada zaman dahulu teknologi konstruksi tak semaju sekarang dan penduduk Eropa zaman dulu tak memiliki pilihan lain selain menampilkan penyokong-penyokong kayu tersebut di fasad rumah.
Penggunaan kerangka kayu yang terlihat jelas dari luar ini menyebabkan rumah tradisional Eropa terlihat bermotif “kotak-kotak”. Sesekali juga terlihat kerangka kayu berbentuk miring yang bertujuan memperkokoh kerangka rumah dan disebut dengan istilah “braces”. Sedangkan jika kerangka kayunya berbentuk “X” maka disebut “saltires” atau “salib St. Andrew”.
Ciri khas kedua adalah adanya panel-panel di antara kerangka kayu (dalam bahasa Jerman, panel ini disebut “fächer”) yang kemudian diisi dengan berbagai bahan pengisi tembok untuk memperkokoh rumah. Pada zaman dulu, bahan pengisi tembok ini berupa material-material sederhana yang biasa diperoleh di masyarakat pertanian, semisal jerami yang disatukan dengan tanah lempung, batu kapur, air, bahkan urine dan kotoran sapi. Teknik ini disebut “wattle and daub”. Namun seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Eropa mulai menggunakan bahan berupa batu bata yang tentu lebih praktis dan tahan lama.
Ciri khas ketiga dan yang paling unik adalah, dalam menyambungkan berkas-berkas kayu tersebut, masyarakat Eropa kuno tak pernah menggunakan paku, melainkan menyambungkannya dengan teknik “mortise dan tenon”. Pada ujung kedua batang kayu yang akan dipertemukan, salah satu dipahat membentuk lubang dan satunya sebagai penancap yang apabila disatukan akan pas dan menempel dengan kuat. Bisa dibayangkan, diperlukan presisi yang amat tinggi dalam melakukan teknik ini. Namun masyarakat Eropa kuno yang hidup sederhana dengan bercocok tanam-pun bisa melakukannya.
Istilah “half-timbered” sendiri adalah istilah baru yang mungkin malah tak dikenal masyarakat Eropa kuno yang membangunnya. Bangsa Jerman menyebut rumah buatan mereka sebagai “fachwerk” dan masyarakat Prancis menyebutnya “colombage”. Istilah “half-timbered” dipopulerkan oleh penulis Mary Martha Sherwood (1775–1851) yang menggunakannya dalam novel karangannya “The Lady of the Manor” untuk menggambarkan keindahan rumah-rumah pedesaan Eropa dan suasana romantis yang melingkupinya. Istilah ini kembali dipertegas oleh Joseph Gwilt (1784–1863) yang memasukkannya ke dalam kamus “The Encyclopedia of Architecture”.
Istilah lain yang juga dikenal untuk rumah jenis ini adalah “Tudor Style” karena rumah jenis ini amat marak dibangun di Inggris pada masa Dinasti Tudor pada abad ke-16. Namun penggunaan nama “Tudor” ini terkadang menyesatkan, sebab rumah jenis ini rupanya sudah lama dikenal oleh bangsa Eropa jauh sebelum era Tudor, bahkan semenjak kekaisaran Romawi kuno.
Rumah “half-timbered” tertua yang pernah ditemukan terkubur di bawah letusan Gunung Vesuvius (gunung berapi yang sama meluluhlantakkan Pompeii), tepatnya di reruntuhan kota Herculaneum. Rumah ini disebut “Opus Cratium” dan paling tidak berasal dari tahun 79 M. Namun para sejarawan menduga, sejarah rumah “half-timbered” jauh lebih tua ketimbang itu, bahkan mungkin sudah ada sejak zaman Neolitikum.
Walaupun dikenal sebagai rumah tradisional Eropa, namun salah kaprah jika menganggap teknik ini hanya dikenal di benua biru saja. Masyarakat Jepang dan Tiongkok juga membangun rumah jenis ini (walau dengan corak yang amat berbeda). Contohnya bisa dengan jelas dilihat pada rumah-rumah tradisional Jepang dan kuil-kuil kuno mereka. Bahkan teknik “mortise dan tenon” dan penggunaan balok kayu besar untuk membangun rumah tahan gempa juga dikenal oleh masyarakat Nias.
Di Eropa sendiri, rumah jenis ini banyak dibangun di wilayah Inggris, Prancis, Jerman, Denmark, hingga Swiss dimana pohon oak (jenis kayu yang paling digemari untuk membangun rumah jenis ini) banyak ditemukan tumbuh subur. Sementara itu di Rusia serta negara-negara Skandinavia seperti Finlandia, Swedia, dan Norwegia yang beriklim lebih dingin, teknik ini kurang populer sebab masyarakatnya lebih memilih rumah yang dibangun dari tumpukan “log” (gelondongan kayu) dari pohon pinus dan cemara yang tetap hijau sepanjang tahun.
Salah satu keistimewaan rumah jenis ini adalah strukturnya yang cukup stabil walaupun hanya ditopang bahan-bahan kayu, bukan beton seperti rumah zaman sekarang. Bahkan, rumah “half timbered” ini bisa dibangun hingga tujuh lantai!
Keistimewaan lain bagi rumah jenis ini adalah adanya “jetty” yakni lantai atas yang dibuat menjorok ke arah jalan untuk menambah massa ruangan. Di kota York, Inggris, terdapat jalan dengan perumahan jenis ini (dikenal dengan nama “The Shambles”), dimana “jetty” yang ada di lantai atas rumah nyaris bertemu dengan “jetty” yang ada di seberangnya.
Saking lekatnya dengan identitas masyarakat Eropa (dan juga para imigran Eropa di Amerika) ada banyak tradisi berkaitan dengan pembangunan rumah jenis ini. Pada saat membangun rumah “half—timbered” biasanya bagian yang paling terakhir selesai dibangun adalah puncak atapnya. Pada saat pemasangan puncak atap inilah dilakukan upacara perayaan yang disebut “topping out ceremony” yang tradisinya sudah berumur amat tua, yakni sejak tahun 700 M.
Tradisi lainnya yang juga dipegang teguh di masyarakat agraris, terutama oleh pendatang di Amerika, adalah “barn raising”. “Barn” (lumbung) merupakan bangunan yang amat besar dan dibangun dengan kayu-kayu yang berukuran amat besar, sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja. Nah, ada adat istiadat di masyarakat agraris Barat untuk membangun lumbung tetangga mereka bersama-sama, tanpa dibayar. Yah mirip lah dengan budaya “gotong royong” di Indonesia. Jika ada keluarga yang menolak ikut bergotong royong, maka akibatnya bisa dikucilkan oleh masyarakat lho. Wow, keren ya.
Tak hanya rumah rakyat biasa saja yang dibangun dengan teknik ini. Namun juga manor (rumah megah milik para bangsawan), penginapan, balai kota, hingga istana juga dibangun dengan teknik “half-timbered”. Image rumah “half-timbered” juga lekat dengan suasana kota tua dan pedesaan Eropa yang tenang dan damai. Berikut ini contohnya.
Balai kota bergaya hal-timbered
Kastil dengan balkon dan menara bergaya half-timbered di Rumania
Salah satu lokasi yang menyimpan keindahan rumah “half-timbered” yang masih lestari selama ratusan tahun adalah kota Colmart di Alsace, Prancis.
ini galeri rumah-rumah half-timbered di berbagai penjuru Eropa.
Ada banyak keuntungan membangun rumah “half-timbered”. Rumah kuno jenis ini tentulah memiliki prinsip menyatu dengan alam dan ramah lingkungan karena bahan-bahannya memanfaatkan apa yang didapat dari sekitarnya. Bahan-bahan remeh seperti jerami yang dicampur kotoran sapi ternyata juga malah ampuh sebagai insulasi menghadapi musim dingin yang menyiksa di Eropa. Selain itu ada berbagai keuntungan lain:
1. Rumah jenis ini amat mudah dan cepat didirikan, bahkan bisa selesai dalam 2-3 hari saja!
2. Mudah diproduksi secara massal serta mudah direnovasi pula
3. Bisa menggunakan bahan daur ulang seperti balok kayu bekas
4. Menawarkan fleksibilitas tinggi sebab dinding di panel antara rangka kayu bisa dibuka menjadi jendela ataupun pintu tanpa sama sekali melemahkan struktur bangunan. Hal ini jelas tak bisa dilakukan di rumah modern berbahan batu atau beton.
Berhasrat memiliki rumah jenis ini supaya bisa merasakan atmosfer pedesaan Eropa di kediaman kalian? Eits ... pertimbangkan dulu beberapa kerugian yang bisa ditimbulkan dengan rumah jenis ini.
1. Bahan kayu yang “murni” (alias sama sekali tak dipoles) bisa menimbulkan berbagai masalah yang serius. Apabila lembap, kayu dapat ditumbuhi jamur dan bakteri yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
2. Kayu dapat membusuk dan menimbulkan masalah struktural.
3. Bahan-bahan alami yang digunakan dalam “wattle and daub” juga dapat membusuk dan menyebabkan masalah kesehatan penghuninya.
4. Kayu juga dapat menjadi rumah berbagai serangga penganggu seperti kumbang, rayap (tentu saja), kecoa, bahkan hama meresahkan seperti tikus. Bahkan kalau dipikir-pikir, hama tikus menjadi salah satu tema terkenal dalam dongeng kuno Eropa, seperti dongeng sang peniup seruling.
5. Bahaya terbesar dari rumah berbahan kayu tentu saja adalah bahaya kebakaran.
6. Struktur kayu yang lentur terhadap serangan gempa ternyata lemah dan rentan apabila harus menghadapi bencana banjir serta pergeseran tanah akibat longsor.
Nah setelah menilik keuntungan dan kerugiannya, bagaimana pendapat kalian mengenai rumah “half-timbered” ini? Yang jelas, gue bisa menyimpulkan, jiwa rumah “half-timbered” yang ramah lingkungan serta nilai estetis dan sejarahnya yang tinggi patutlah kita kagumi, walaupun ini bukan rumah tradisional kita.
Well, kalo dipikir-pikir semua rumah tradisional, termasuk yang ada di negara kita, memiliki sisi adaptif yang tinggi terhadap lingkungan serta diikuti oleh nilai budaya dan estetika yang adiluhung. Mungkin sudah saatnya kita berpaling dari bangunan rumah yang mementingkan nilai ekonomis serta trend saja dan mulai berpaling pada kearifan lokal rumah-rumah tradisional. Bagaimana menurut kalian?
Tradisional yg bagaimana dulu ?
ReplyDeleteMasalahnya adalah rumah pedesaan kita
Melambangkan identitas Indonesia kagak
Melambangkan kemelaratan iya
Maaf ya bukanya b'maksud menghina
Sama sekali nggak
Tapi lihat saja realitanya di pinggiran kota
Halo, mau nanya dong, sumber sumber yg dijadikan acuan penulisan ini dari mana aja ya? Kebetulan sy sedang membahas half-timbered house juga. Thanks
ReplyDeleteWah maaf, artikelnya sendiri udah saya buat sejak 3 tahun lalu jadi nggak ingat, biasanya sih dari berbagai sumber yg saya dapat dari artikel2 bahasa inggris di google dan wikipedia
DeleteArtikel menarik! Rumah half timbered ini sering sy liat di ilustrasi buku dongeng.
DeleteSangat menarik artikelnya. Sy sering liat rumah model ini di ilustrasi buku2 dongeng.
Delete