Jika
kalian suka dengan film-film atau series bergenre sci-fi seperti
“Star Wars”, “Star Trek”, atau mungkin buat kalian yang
anti-maintream, “Dr. Who”, banyak tema yang diangkat terlalu
futuristis dan bombastis (bahkan khayal). Space warp lah, wormhole
lah, mesin waktu lah. Namun tahun lalu gue menonton sebuah film
sci-fi thriller yang begitu dekat dengan kenyataan, bahkan seakan
“menyentuh” realita. Film itu berjudul “Ex-Machina”, sebuah
film besutan tahun 2014 yang dibintangi Alicia Vikander (yang kini
main “Tomb Raider”). Film tersebut menyinggung tentang “Turing
Test” yang langsung bikin gue penasaran. Apa itu “Turing Test”
atau “Tes Turing?”
Tes
Turing adalah sebuah tes untuk robot, dimana apabila robot itu lulus,
maka berarti robot itu sudah tak bisa dibedakan lagi dengan manusia.
Bagaimana akibatnya jika ada robot yang mampu lulus Tes Turing? Tentu
itu menjadi bukti kemajuan teknologi manusia yang mumpuni. Namun
bagaimana jika robot-robot yang kelewat cerdas tersebut memutuskan
untuk memberontak, seperti plot film “Terminator”? Ataukah
ketakutan kita itu terlalu dini dan justru tak beralasan?
AI:
THE RISE OF THE MACHINE
Kata
“robot” mungkin terlalu luas, maka di artikel ini gue akan mulai
menggunakan istilah “Kecerdasan Buatan” atau “Artificial
Intelligence” (AI). Salah satu contoh AI yang sudah kalian kenal
tentunya “Siri” bagi pengguna I-Phone. Tesla, perusahaan milik
Elon Musk, juga tengah mengembangkan kendaraan “self-driving car”
atau kendaraan yang bisa dikendalikan oleh AI sehingga manusia tak
perlu repot menyetir lagi. Keberadaan AI memang sangat berpotensi
membantu kehidupan kita, walaupun penggunanya baru segelitintir,
yakni kaum melek teknologi.
Namun
apakah kita perlu mengkhawatirkan perkembangan AI yang begitu pesat
tersebut?
Pada
1950, seorang pakar komputer dari University of Manchester, Inggris
bernama Alan Turing sudah memperdiksi, bahwa suatu saat nanti,
perkembangan ilmu komputer dan robotik akan sangat maju hingga kita
akan menciptakan AI yang tak bisa lagi dibedakan dengan manusia.
Beliau kemudian merancang sebuah tes yang kemudian dinamakan “Tes
Turing” untuk membuktikan teorinya tersebut. Bagaimana cara
kerjanya?
Tes
Turing terinspirasi oleh permainan klasik bernama “Imitation Game”.
Di game ini ada tiga peserta, katakanlah A, B, dan C. Adan B haruslah
memiliki jenis kelamin berbeda (satu laki-laki dan satu perempuan,
terserah yang mana), sedangkan C bebas. A dan B kemudian
disembunyikan, semisal berada di balik tirai, sehingga C tak bisa
melihat mereka. Peserta C kemudian harus menanyakan beberapa
pertanyaan kepada A dan B bergantian. Kemudian dari jawaban mereka, C
harus menyimpulkan yang mana yang laki-laki dan yang mana yang
perempuan.
Ilustrasi sederhana "Imitation Game" dimana sang juri harus menebak dari balik tirai yang mana laki-laki dan yang mana perempuan |
Permainan ini kemudian dimodifikasi oleh Alan Turing. A dan B kini digantikan oleh manusia dan AI. Sedangkan C adalah juri, dimana ia menanyakan beberapa pertanyaan dan kemudian menebak, yang manakah yang AI dan yang mana manusia sungguhan. Jika juri “tertipu”, dengan kata lain ia mengira sang AI adalah manusia, maka si AI menang dan dianggap lulus Tes Turing tersebut.
Ilustrasi sederhana Test Turing dimana sang juri harus menebak yang mana komputer (AI) dan yang mana manusia sungguhan tanpa melihatnya, hanya berdasarkan percakapan |
Sudah
adakah yang berhasil lulus Tes Turing tersebut? Dua kali, yakni pada
1966, sebuah AI bernama ELIZA buatan Joseph Weizenbaum dan tahun
1972, sebuah AI bernama PARRY buatan Kenneth Colby. Pada tahun 1991,
Tes Turing dijadikan sebuah ajang kompetisi dimana para ahli robotik
dari seluruh dunia berlomba-lomba merancang AI yang bisa melewati Tes
Turing ini. Sebuah award bernama Loebner Prize. Beberapa pemenangnya
antara lain ALICE (Artificial Linguistic Internet Computer Entity)
dan sebuah AI bernama Jabberwocky.
Namun
kemenangan-kemenangan itu sama sekali tak berarti apa-apa (akan gue
jelaskan nanti) sehingga secara garis besar, sesungguhnya hingga kini
belum ada sama sekali AI atau entitas robotik manapun yang berhasil
melewati Tes Turing. Lho, mengapa?
AKU
TERTIPU, AKU TERJEBAK, AKU TERPERANGKAP MUSLIHATMU ...
Pertama-tama
kita bahas dulu sejarah AI. Pada tahun 1956, penelitian resmi tentang
AI resmi dimulai semenjak sebuah workshop diadakan di Dartmouth
College, Inggris. 40 tahun kemudian, pada 11 Mei 1997, tercatat
sejarah dimana sebuah AI bernama “Deep Blue” dengan kecerrdasan
artifisialnya, berhasil mengalahkan Garry Kasparov, seorang
grandmaster catur kala itu, dalam sebuah permainan catur. Pada 2001,
sebuah AI bernama “Watson” bikinan perusahaan komputer, IBM,
berhasil mengalahkan dua juara dunia, Brad Rutter dan Ken Jennings
dalam pertandingan catur.
Wow,
robot aja bisa bermain catur (permainan yang bahkan buat manusia
biasa kayak kita dianggap sulit karena membutuhkan strategi yang tak
main-main). Jadi bisa disimpulkan, para AI sudah memiliki level
kecerdasan tinggi nan mengagumkan. Namun mengapa mereka belum
berhasil melewati Tes Turing? Apa yang menghambat mereka?
Well,
ternyata walaupun dinilai brilian, ide Alan Turing untuk membuat Tes
Turing tersebut ternyata kini justru mendapat banyak tentangan dari
pakar komputer dan robotik. Mereka berpendapat bahwa dengan menyuruh
robot agar bisa meniru manusia sehingga bisa memenangkan Tes Turing,
justru akan “menurunkan derajat” dan “memperbodoh” AI. Lho,
kenapa?
Untuk
memahaminya, kita perlu menelisik lebih jauh identitas para AI yang
konon sudah berhasil “memenangkan” Tes Turing. Mungkin kalian
masih ingat (soalnya namanya keren-keren), mulai dari ELIZA, PARRY,
ALICE, dan Jabberwocky. Jika membayangkan AI yang berhasil melewati
Tes Turing, mungkin kita akan membayangkan sebuah robot super canggih
dan supercerdas atau android yang penampilannya seperti manusia.
JRENG JRENG JRENG!!! |
Namun
tidak. Seluruh “pemenang” Tes Turing sesungguhnya hanyalah
“chatterbot”. Tahu kan bot untuk chat, yang biasanya dipake
jomblo-jomblo kesepian itu?
Dih, jomblo ... |
Sebenarnya
mereka tidaklah benar-benar memenangkan Tes Turing, melainkan
“mengakalinya”. Ketika ELIZA memenangkan Tes Turing pada 1966,
para jurinya kala itu terkesima bahwa sebuah robot ternyata mampu
berbicara seperti layaknya manusia biasa. Padahal, kala itu ELIZA tak
lebih baik dari chatterbot masa kini (yang biasanya nggak nyambung
kalo kita ngajak ngobrol). Lalu bagaimana ELIZA berhasil “menipu”
para jurinya kala itu?
ELIZA
sengaja didesain untuk meniru seorang psikiater bernama Carl Rogers
yang dikenal dengan metode “parroting” untuk membantu pasiennya.
Contohnya nih, jika ELIZA mendapat pertanyaan yang bisa ia jawab,
semisal “Hari apa ini?”, maka ia akan menjawab biasa, semisal
“Hari Minggu” (karena ia sudah dibekali kalender). Namun jika
ELIZA mendapat pertanyaan yang tak bisa ia jawab, maka ia akan
membalasnya dengan bertanya balik. Semisal, jika ELIZA mendapat
pertanyaan filosofis yang sulit seperti, “Apa makna kehidupan
bagimu?”, maka ELIZA akan balik bertanya, “Menurut kamu sendiri,
makna kehidupan itu apa?”.
ELIZA
sendiri, jika mau benar-benar ditelusuri, bukanlah AI yang
sesungguhnya. Agar bisa disebut AI, maka ia harus bisa belajar dan
memecahkan masalah. ELIZA sendiri nggak bisa belajar. Semua
pengetahuan baru haruslah ditambahkan sendiri oleh programmernya
dengan mengedit programnya. Tak hanya itu, dari paparan di atas,
ELIZA jelas tak bisa memecahkan masalah, ia bisanya cuman “ngeles”.
Tapi
jika kemampuan ELIZA cuma segitu-segitu aja, kenapa ia bisa menang
Tes Turing?
Jawabannya
karena ELIZA sendiri merupakan interaksi pertama antara manusia dan
AI dalam sejarah. Perlu kalian ketahui bahwa ELIZA dites pada tahun
1966, dimana kala itu adalah 15 tahun sebelum manusia bisa memiliki
komputer pribadi. Ya, kala itu bahkan komputer saja masih jarang dan
konsep “robot yang bisa berbicara dengan mereka” (walaupun itu
cuman “spam bot”) merupakan konsep yang begitu “wow” bagi
mereka.
Gimana
dengan PARRY? Apa dia lebih hebat? Ternyata PARRY juga tak kalah
“ngenes”. Ia diprogram untuk menyerupai perilaku seorang
penderita skizofrenia. Kalian semua pasti sudah tahu bahwa
skizofrenia adalah sebuah penyakit jiwa dan penderitanya sering
mengucapkan hal-hal yang tak masuk akal. Ketika PARRY bercakap-cakap
dengan seorang ahli jiwa, tentu saja ia akan mengira PARRY adalah
seorang penderita gangguan jiwa karena percakapannya ngawur dan nggak
nyambung.
AI seperti PARRY berhasil melewati Turing Test karena berpura-pura menjadi penderita gangguan jiwa. Adilkah? |
Begitu
pula dengan para pemenang Loebner Prize, sebuah ajang yang (katanya)
bergengsi dan setara dengan Piala Oscar buat robot? Para peserta
award ini sepertinya lebih berkonsentrasi untuk memenangkan
penghargaan tersebut sehingga justru merancang AI-AI yang “meniru”
kesalahan manusia. Beberapa trik yang mereka lakukan antara lain:
1.
Jeda dalam pembicaraan
Bayangkan
jika kalian berhadapan dengan android lalu kalian bertanya: “Berapa
akar pangkat dari 64?” maka si robot itu akan langsung menjawab
“8”. Namun lain halnya dengan AI yang “getol” ingin
memenangkan award ini. Semisal ditanya, “Jam berapa ini?”, ia
akan menjawab, “Hmmm ... (jeda beberapa detik), jam 8 kayaknya.”
seakan-akan ia sedang memeriksa jam atau apa. Jelas ini akan membuat
sang juri mengira ia adalah manusia biasa.
Nah
sekarang bayangkan jika kalian punya kalkulator super canggih dengan
prosesor AI di dalamnya. Di tengah suatu ujian matematika yang begitu
genting, kalian bertanya “Berapa 2log8?” dan jawabannya, “Hmmmm
.... (nunggu 15 detik) berapa ya? Ehm ... mungkin 3 kali?”
Langsung
lu banting pasti kalkulatornya.
2.
Typo
Inilah
salah satu trik sadis yang digunakan oleh robot untuk berpura-pura
jadi manusia. Katakanlah lu jadi juri Tes Turing dan lu bertanya ke
kontestan pertama, “Darimana asalmu?” dan dia menjawab, “Saya
dari Surabaya, koordinat 7o15'55''S, 112o44'33''E
dengan densitas penduduk 4.800/km2, terletak di Pulau Jawa
antara plat lempeng tektonik Asia dan Australia ...”
Lu pasti
mikir, “Hmmmm ... pasti robot nih.”
Tapi
beda semisal dia menjawab, “Suarbaya”
.
“Suarbaya?
Surabaya maksud lu?”
Pasti lu
akan berkesimpulan dia adalah manusia, sebab ada typo di sana.
Menurut logika, komputer dengan kecerdasan tingkat tinggi jelas nggak
akan pernah typo. Kecuali jika mereka sengaja.
3.
Bohong
Nah ini
nih yang paling berbahaya, salah satu ciri khas manusia adalah
bohong. Bayangkan jika demi meluluskan AI-nya dari Tes Turing, ia
akan memprogram AI-nya agar mampu berbohong. Semisal jika sang juri
pintar dan menanyakan pada kedua kontestan, “Apa kamu AI?”. Jika
sang AI (yang tentunya ingin menang) menjawab: “Tidak!” maka
jelas ia berbohong. Berabe kan?
INTELLIGENCE
IS INHUMAN?
Nah,
mungkin sekarang kalian bisa memahami ya mengapa banyak yang menolak
keberadaan Tes Turing ini. Mungkin dulu konsep tes ini sebegitu
cemerlang pada saat dicetuskan (dan tujuannya juga bagus untuk
menerapkan standar bagi kemajuan AI), namun Alan Turing kala itu
melupakan satu hal, yakni ambisi dan “kemanusiawian” para pembuat
AI tersebut. Tes Turing menjadi istilah yang amat populer dan
bergengsi sehingga para pemrogram AI berusaha keras melewatinya
sebagai bentuk kebanggaan mereka. Akibatnya, mereka justru berbuat
“curang” dengan memanipulasi AI mereka untuk mengeksploitasi
kelemahan manusia demi mengakali tes itu.
Tentu
hal tersebut justru menurunkan standar emas teknologi tingkat tinggi
yang sudah dicapai para AI terkemuka, katakanlah seperti Watson
buatan IBM di atas tadi. Bahkan, bagi Tes Turing, kecerdasan AI
justru dianggap sebuah “kelemahan” yang bisa membuatnya kalah di
ujian tersebut. Contohnya tadi sudah gue singgung sedikit sih di
atas. Semisal kalian menjadi juri dan bertanya pada kedua kontestan
Tes Turing, “Apa binatang kesukaan kalian?”
Kontestan
A menjawab, “Binatang kesukaan saya adalah ayam dengan nama Latin
“Gallus gallus domesticus” dan tahukah kamu, walaupun ayam bukan
burung migrasi, namun penemuan terbaru menyebutkan bahwa burung
migrasi menggunakan salah satu konsep Mekanika Kuantum yakni 'quantum
entanglement' dan protein yang sensitif terhadap cahaya bernama
'cryptochrome' yang apabila terkena partikel foton akan membuat
mereka bisa mendeteksi medan magnet Bumi ...”
Sedangkan
kontestan B menjawab: “Hmmmm ... binatang favorit aku ya? Apa
yaaaaa ... anuuuu ... mungkin ayam, soalnya ayam tuh enak seklai
apalagi kalo digoyeng ... h3h3h3 ....”
Lu pasti
menyimpulkan: “A JELAS ROBOT, B PASTI ORANG!!!”
Padahal
begitu tirainya dibuka, ternyata A adalah seorang profesor ahli
fisika kuantum dan B ternyata robot berbentuk penyedot debu (Oya,
efek ini, dimana manusia justru disalahartikan sebagai robot, disebut
dengan “Confederate Effect”)
Tapi gue
nggak menyalahkan jika kalian mengambil kesimpulan tersebut. Mengapa?
Karena kita sendiri perlu mengakui bahwa kita menganggap kecerdasan
bukanlah sesuatu yang manusiawi. Itulah dilema bagi AI yang harus
melalui Tes Turing, apakah mereka harus mempertahankan level
kecerdasan mereka ataukah “menurunkannya” sehingga mencapai
standar manusia? Jika AI tersebut memilih opsi kedua agar bisa
memenangkan Tes Turing, bukankah berarti kita mengajari mereka
berpura-pura, bahkan berbohong?
Maka
dari itu, tak berlebihan jika banyak para pakar di bidang AI
mengatakan bahwa Tes Turing justru menjadi “distraksi” bagi
mereka untuk melakukan riset yang benar-benar bermanfaat. Dengan
bahu-membahu berusaha menciptakan AI yang semakin menyerupai manusia,
kita justru malah menurunkan kualitas mereka. Mereka mengambil
pengandaian tentang teknologi pesawat terbang. Ketika pertama kali
diciptakan oleh Wright Bersaudara, prinsip pesawat terbang pertama
memang menyerupai burung. Namun pada perkembangannya, para ahli
penerbangan (semisal Pak Habibie) nggak malah berlomba-lomba
menciptakan pesawat yang bentuknya semakin mirip ama burung sehingga
bisa menipu burung asli hingga burung-burung itu mengira pesawat itu
sesama mereka kan? Perkembangan teknologi pesawat justru berkembang
ke arah manfaatnya, yakni menciptakan pesawat yang semakin aman,
nyaman, dan cepat.
Pesawat terbang memang didesain menyerupai burung, namun bukan berarti mereka harus bisa berkicau seperti burung kan? |
Salah
satu alternatif solusi selain Tes Turing adalah “Tes Feigenbaum”
dimana AI berkompetisi dengan manusia yang ahli di bidangnya
masing-masing. Syaratnya pun sama, seorang juri harus menilai siapa
yang AI dan siapa yang manusia biasa. Bedanya, karena pertanyaan yang
diajukan berdasarkan sebuah bidang ilmu tertentu (semisal Kimia) maka
jawaban yang diberikan pun bersifat akademis dan terhindar dari
percakapan casual (seperti yang butuh: “Hmmmm ... apa ya?”). Di
tes inipun sang AI tak perlu malu-malu menunjukkan kecerdasannya,
sebab ia berkompetisi dengan seorang pakar yang juga ahli di
bidangnya.
QUANTUM
SUPREMACY
Namun
benar berfungsi atau tidaknya Tes Turing, tentu ada pertanyaan yang
menggelitik kita semua ketika membahas tema ini, bagaimana jika suatu
saat kelak sebuah mesin benar-benar bisa melewati Tes Turing dengan
jujur (nggak main curang seperti di atas)? Apa yang akan terjadi jika
robot tak bisa lagi dibedakan dengan manusia?
Tentu
saja akan ada manfaat dan mudaratnya. Seperti yin dan yang, semua
pasti ada baik dan buruknya. Dampak baiknya tentu kita bisa
memanfaatkan AI di berbagai bidang, ambil saja satu contoh: medis.
Kita tahu kan di masa Covid-19 ini banyak dokter dan perawat yang
meninggal karena tertular virus berbahaya itu karena kontak dengan
pasiennya? Nah di masa depan mungkin para dokter akan digantikan AI
(yang jelas takkan terinfeksi penyakit) sehingga para dokter bisa
mengamatinya dari jarak yang aman. Bahkan bila bisa lebih canggih
lagi, robot-robot itu bisa langsung mengambil keputusan medis yang
cepat dan tepat untuk menyelamatkan pasien tersebut
Namun
dampak negatifnya, hmmm ... tentu tak sedikit. Bayangkan saja berapa
banyak pekerjaan manusia yang bakalan “tergulung” oleh keberadaan
AI ini. Diperkirakan hampir 50% pekerjaan manusia akan hilang
“direbut” oleh para AI ini. Dari contoh di atas saja, profesi
bergengsi seperti dokter saja bisa saja diambil alih oleh AI di masa
depan. AI yang semakin menyerupai manusia juga bisa dimanfaatkan
untuk kejahatan lho, terutama ”cybrecrime”.
Semisal
saja bot yang lolos Tes Turing bisa berpura-pura menjadi “cyberlover”
di dunia maya dan pura-pura “menggoda” user berupa manusia
(semisal masuk ke dalam game online) untuk menjalin “kisah kasih
palsu” hingga pada suatu titik, si korbannya ini mengungkapkan
identitas pribadi, semisal nomor rekening bank dan sebagainya.
Informasi itu lalu bisa disalahgunakan oleh penjahat asli (yang
memprogram bot tersebut) untuk menguras hartanya. Serem khan?
Ini lagi ... |
Bahkan
ilmuwan sekelas Stephen Hawking hingga milyuner kelas kakap seperti
Bill Gates sudah memperingatkan bahwa suatu saat kelak, bila AI
menjadi semakin cerdas, mereka bisa memberontak. Hal ini semakin
mengkhawatirkan karena AI mulai dipergunakan di bidang militer.
Bahkan, ketika pertama kali dicetuskan pada tahun 1950-an, pihak
pertama yang mendanai riset AI secara besar-besaran adalah militer AS
yang tertarik pada aplikasinya untuk memenangkan perang.
Anggap
saja sebuah contoh akan ada sebuah drone dengan kemampuan AI tertanam
di dalamnya sehingga ia bisa mengambil keputusan sendiri tanpa
perintah dari pusat. Ia dikirim ke Syria dalam misi menghancurkan
markas ISIS di kota Aleppo. Di sana, drone itu berhasil menemukan 10
petinggi ISIS berada di sebuah gedung yang dikelilingi pemukiman
penduduk dimana sekitar 1.000 penduduk sipil tinggal. Dengan
teknologi canggihnya, si AI berhasil mencuri dengar bahwa mereka akan
menyerang kota Damaskus dan drone itu memperkirakan serangan itu akan
menewaskan sekitar 100.000 penduduk sipil di Damaskus.
Misil
yang dimiliki drone itu adalah bom berkekuatan tinggi yang tak hanya
menghancurkan gedung dimana ISIS berada, namun juga seluruh bangunan
lain di sekitarnya. AI itupun mengambil keputusan, bahwa demi
menyelamatkan 100.000 orang, ia memilih mengorbankan 1.000 penduduk
sipil tak berdosa dan mengirimkan bom untuk meledakkan seluruh tempat
tersebut.
Lalu
bagaimana jika drone itu kembali dan melihat bahwa militer dan
pemerintah AS sama sekali tak lebih baik? Bagaimana jika ia
berpendapat bahwa demi menjaga kedamaian dunia, ia perlu menyerang
seluruh ibu kota negara bagian (ada 50) di Amerika Serikat dimana
dalam serangan itu, jutaan orang bisa tewas? Tapi jutaan orang itu
dianggap lebih baik ketimbang milyaran orang? Lalu bagaimana jika ia
mulai menyerang negara-negara lain, China semisal, dan memicu perang
besar-besaran?
Mungkin
kalian menjawab, ya jangan bikin AI-nya galak-galak dong Bang,
apalagi dikasi senjata. Bikin robotnya yang imut-imut aja kayak
Wall-E. Beres dong?
Bahkan
jika kita menciptakan android dengan prinsip AI yang ramah dan lemah
lembut-pun, hasilnya mungkin takkan jauh berbeda. Mungkin kita tak
merancang AI tersebut untuk peperangan, namun jika nantinya AI
semakin menyerupai manusia, bahkan memiliki kesadaran, AI tersebut
akan mulai mempertanyakan, mengapa ia cuma disuruh-suruh manusia,
padahal kemampuan mereka setara (bahkan secara teori, AI bakalan jauh
lebih cerdas daripada manusia). AI tersebut mungkin akan menuntut
hak-nya dan apabila manusia hendak mematikan AI tersebut, ia tentu
akan membela diri. Bisa-bisa nantinya dia memberontak, apalagi
bahayanya dia lebih pintar dari kita.
Mungkin
kalian bertanya, bagaimana caranya AI memiliki kesadaran? Kalo
kecerdasan sih bisa lah, kalkulator aja canggih banget bisa
menghitung angka sedemikian rumitnya. Tapi kesadaran? Jawabannya
adalah dengan Mekanika Kuantum (here we go again). Salah satu
aplikasi Mekanika Kuantum adalah riset tentang Quantum Computer
dimana nantinya sebuah partikel proton-pun bisa dibuat menjadi
komputer. Para pemerhati AI berpendapat bahwa suatu saat kelak nanti,
akan tercapai “Quantum Supremacy”, yakni kondisi dimana komputer
kuantum akan mengalahkan komputer “klasik”. Dan kita semua tahu,
sebuah partikel dilihat dari sudut pandang Teori Kuantum, memiliki
kesadaran. Jika kita bisa membangun AI berdasarkan prinsip Mekanika
Kuantum, bisakah mereka memiliki kesadaran pula?
Sebagai
penutup, gue akan mengutip pernyataan Stephen Hawkins yang
memperingatkan kita akan keberadaan AI di masa depan.
“Perkembangan Artificial Intelligence bisa mengakhiri umat manusia. AI akan mulai mengambil alih dan me-redesain sendiri lebih banyak AI. Manusia, yang terbatasi dengan evolusi biologis yang lamban, takkan mampu berkompetisi dan akhirnya akan tergilas ...”
Sumber
artikel: Wikipedia
CATATAN:
Artikel tentang “Test Turing” ini akan menjadi pengantar atau
prolog dari Series “Existential Crisis” yang akan menguak lebih
lanjut tentang dampak penggunaan AI yang akan membuat kalian
mempertanyakan eksistensi kalian sendiri. Tunggu saja kehadirannya!
Mantul bang Dave, bahasan nya semakin menarik 🔥🔥🔥
ReplyDeleteKalo denger tes turing, inget sheldon cooper (big bang theory, everyone??) pas dibully ama temennya Gegara sifatnya gak bisa dibedain ama robot😂
ReplyDeleteMenurut ane, robot yang paling sempurna adalah robot yang memiliki sentience (Akal budi), yang dapat membedakan mana yang baik dan buruk serta memiliki perasaan/emosi seperti manusia
ReplyDeleteArtikel ini ngingetin aku ama game Detroit Become Human :v. Oh iya, ada Webtoon tentang topik ini loh, judulnya "Seed" di Webtoon English. AI nya juga Chatbot dong wkkwkw
ReplyDeleteAh ada juga ya yang tau game itu disini :D
DeleteAI takkan pernah mampu melampaui manusia, selama CAPTCHA menghadang. Bahkan manusia sendiri kesusahan meng hadapinya. (-_-)
ReplyDeleteSebenarnya ini mau gue bahas juga sih dan ada di draft artikel ini, tapi ga gw masukin krn kepanjangan.
Deletejadi ada namanya Swirski Test, kebalikan dari Turing Test dimana mesin mengidentifikasi mesin lain/manusia, contohnya CAPTCHA. Tapi di tahun 2013 ada AI namanya Vicarius yg udah bisa melewati 98% capctha dari Google/Yahoo/Paypal. Tahun 2014 Google sendiri udah bisa bikin AI yang bisa membobol 99,8% tes captcha. Tahun 2015, Shuman Ghose Majumder yang dijuluki "click fraud czar" mengatakan bahwa ada organisasi cybercriminal yang menawarkan jasa AI yg bisa ngelewatin captcha dengan imbalan biaya tertentu
Ada di artikel wikipedia tentang tes turing kok
Ahahaha, aku lupa kalau pernah ada AI yang mampu melewati 98% CAPTCHA.
DeleteAnyway, aku masih skeptis dengan teori AI yang akan menguasai dunia. Sejauh yang kutahu, kecerdasan buatan kebanyakan hanya bisa mengikuti perintah yang diberikannya, kecuali suatu saat terciptanya kesadaran buatan (Artificial Consciousness). Tentu ada penelitian tentang hal tersebut,tetapi jauh lebih rumit karena kesadaran begitu abstrak dan mungkin akan membutuhkan waktu yang lama. Aku memprediksi akan terjadi di era teknologi Kuantum. Namun pada saat itu pula, aku berpikir manusia akan menjadi sempurna hingga menjadi Tuhan itu sendiri.
Ini merupakan pembahasan paling menarik yang ada di blog mengakubackpacker. Ngomong-ngomong soal AI, saya rekomendasikan sebuah novel dystopia berjudul "I Have no Mouth and I Must Scream", menceritakan sebuah AI militer kejam yang mempermainkan manusia.
ReplyDeleteDitunggu bangdep exsistential crisnya buat nemenin sahur dan buka para petjinja MBP UwU
ReplyDelete°be2c°