Saturday, July 22, 2023

FINAL GIRLS: CHAPTER 1 PART 1


Pembaca, kisah ini akan dimulai dengan bab pertama berjudul “Kisah Telaga Angker”. Seorang keluarga baru saja pindah untuk merintis usaha sebuah resort di tepi sebuah danau dengan masa lalu yang kelam. Kita akan berkenalan dengan Ratna, sang final girl yang pertama, bersama dengan tragedi yang akan menggentayanginya.

Siapkah kalian?

 

LOKASI: TEMPAT YANG MASIH DIRAHASIAKAN (2019)

 

“Saya perlu mengatakan di awal bahwa percakapan kita ini akan direkam,” wanita itu berkata, “Apa Anda keberatan?”

Gadis itu menatap kamera sejenak dengan canggung, kemudian menggeleng.

“Baik, silakan sebutkan nama Anda!”

“Ratna,” gumam gadis itu, “Ratna Sari Dewi.”

“Umur Anda?”

“20 tahun.”

“Umur Anda saat kejadian itu?” psikiater berpakaian putih itu terlihat mencatat sesuatu di bukunya.

“Uhm, 17 tahun.” jawabnya dengan enggan.

“Jadi, sudah tiga tahun berlalu. Bagaimana perasaan Anda sekarang?”

“Entahlah,” gadis itu menunduk, “Saya tidak tahu.”

“Coba jelaskan dari awal, Ratna.” psikiater itu melepaskan tatapannya dari buku catatan dan beralih kepada gadis itu. Ia juga mencoba lebih ramah dengan bersahabat dengan menggunakan kata ganti yang lebih akrab untuk meminimalkan jarak di antara mereka. “Apa yang terjadi malam itu? Apa kamu ingat?”

“Saya ... saya ....” gadis itu terbata-bata. Hingga akhirnya ia memejamkan mata, menghirup napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, dan mulai bercerita. Bau tanah saat hujan bahkan terasa hinggap di hidungnya ketika ia mulai bercerita.

“Saya ingat, saat itu adalah musim hujan ...”

 

***

 

TAMAN NASIONAL SENDANG BIRU (2017)

 

Hujan kembali mengguyur siang itu. Berkat kelamnya mendung dan dinginnya udara kala itu, Ratna sampai melupakan bahwa saat itu masihlah jam 11 siang. Terasa seperti malam di sini saking pekatnya. Suara guntur yang menggelegar semakin membuatnya tak nyaman dan gadis itupun ingin segera masuk ke dalam pondok, merengkuh kehangatan di balik dinding-dinding kayunya.

Pondok, tak pantas rasanya menyebut rumah itu sebagai pondok. Tempat itu sama sekali tak kecil, luas malahan. Ada total 10 kamar di sana, sebagian besar tak terawat. Namun danau indah yang terbentang di depannya; itulah alasan utama mengapa ayahnya membelinya. Tempat itu memiliki potensi yang bagus, meskipun umurnya sudah amat tua dan menyisakan hanya lantai kayu reyot yang berdecit apabila ia injak serta dinding dan atap yang mungkin sama berlapuknya.

“Lihatlah, Ratna!” gadis itu masih ingat kala pertama ayahnya mengajaknya ke sini tahun kemarin, “Bukankah pemandangannya indah?”

Dari semua danau yang bertebaran di Taman Nasional Sendang Biru, danau inilah yang menurut Ratna paling indah. Namun Ratna tak habis pikir, mengapa namanya begitu menakutkan? Telaga Angker. Terang saja danau ini jarang sekali dikunjungi dan hotel ini akhirnya hanya melapuk dimakan usia.

Kata sang penjaga taman nasional, ada alasan mengapa tak ada yang tertarik tinggal di hotel itu. Letaknya terdalam dan paling terpencil di antara semua resort yang ada di wilayah wisata ini. Semua provider yang dihubungi ayahnya-pun menyerah jika harus memasang wifi di sini. Jangankan sinyal telepon genggam, listrikpun sukar untuk menyusup begitu dalam hingga ke lubuk hutan ini. Ayahnya-pun sampai harus rela mengeluarkan uang lebih demi sebuah generator.

Namun beliau juga menceritakan, ada alasan lain mengapa danau seindah ini menyandang nama yang begitu menyeramkan hingga dijauhi orang-orang.

“Hati-hati, Nak. Jangan keluar dari resort ini setelah matahari terbenam,” ayahnya memperingatkan sambil menyeringai, “Joko Lelono bisa menangkapmu!”

“Bawa belanjaannya ke dapur ya.” ucapan ayahnya membuyarkan lamunannya begitu mereka sampai di dalam hotel dan mengibaskan jas hujan mereka yang basah kuyup, “Nanti Ayah yang akan menyiapkannya untuk para tamu.”

Ratna yang pendiam seperti biasanya hanya menjawab dengan seutas anggukan. Ia berjalan ke dapur dengan menggotong belanjaan, kemudian tersenyum ketika melihat ibunya berdiri di ambang tangga.

“Mau kubantu, Sayang?” ibunya membalas senyumannya. Ia masih mengenakan gaun tidur putih dengan rambut hitamnya, yang mulai tumbuh kembali semenjak kemoterapinya usai, menjuntai di bahunya.

“Tidak usah, Bu.” ujarnya, “Bunda istirahat saja di atas.”

“Bagaimana, apa para tamu sudah datang?”

“Baru sepasang suami istri itu. Tamu lainnya, Kak Andri, sepertinya masih memancing.”

“Danau yang indah,” Ambar merengkuh putri semata wayangnya itu dan mencium keningnya, “Bunda begitu bahagia bisa menghabiskan hidup Bunda di tempat seindah ini bersama kalian berdua, selamanya.”

Ratna hanya tersenyum, larut dalam dekapan hangat ibunya.

 

***

 

“Hei!” seorang gadis yang tengah menyandang backpack di punggungnya berteriak ke arah seorang pemuda yang tengah mengail ikan di danau, “Resortnya dimana?”

“Di ujung!” pemuda bernama Andri itu menunjuk, “Nggak mungkin kelewatan kok.”

“Ok, thanks!” gadis itu berjalan kembali ke arah yang ditunjukkan pemuda itu. Begitu baik pria itu, menawarinya pekerjaan ketika ia menganggur. Katanya pria itu mendengar tentang PHK massal di department store tempatnya dulu bekerja dan ingin membantunya. Katanya, ia dan istrinya dulu sering berbelanja ke sana. Tapi Cindy sendiri tak ingat siapa pria itu.

Ah, sudahlah. Yang penting ia kini memiliki pekerjaan. Uang yang ditawarkannya tak tanggung-tanggung, walaupun Cindy dengan jelas mengatakan bahwa ia sama sekali tak memiliki ketrampilan untuk bekerja di hotel. Sebelumnya selain pramuniaga, ia hanya pernah bekerja sebagai sales promotion girl. Namun entahlah, mungkin penampilannya yang menurutnya menarik ini sudah cukup membantu, pikir gadis itu.

Pria itu kemudian menyambut Cindy ketika ia melangkah masuk ke dalam resort itu. Rasa lelahnya berjalan akhirnya menguar ketika ia membayangkan uang yang akan ia peroleh setelah bekerja di resort ini. Toh, sepertinya takkan banyak yang tamu yang datang. Hotel ini kan baru saja dibuka, jadi pekerjaannya pastilah enteng.

“Mbak Cindy, kan? Saya Machmuri.” ia menyalaminya.

“Ya, Pak. Bapak yang mengirimkan email itu kan? Terima kasih banyak atas tawaran pekerjaannya.”

Pria itu tersenyum, “Bagaimana pendapatmu tentang hotel ini?”

“Perlu banyak perbaikan,” ujarnya ketika ia melihat kondisi hotel itu. “Tapi danau di depan luar biasa indahnya. Apa benar danau itu adalah ...”

“Telaga Angker? Ya benar, begitulah mereka menyebutnya.”

Gadis itu tertawa, “Aku pikir bakal ada kuburan mengelilinginya. Kenapa namanya seperti ...”

“Aku sudah menaruhnya di dapur, Yah.” Ratna datang sembari membawa senampan makanan, “Aku akan membawakan ini kepada Bunda.”

“Oh, ini pasti putri Anda, Ratna! Anda pernah menceritakannya.” Cindy melambaikan tangan pada gadis itu. “Dimana istri Anda?”

“Oh istri saya ... ehm, dia terkena kanker.” ucap Machmuri dengan enggan, lalu ia mengalihkan perhatiannya pada putrinya, “Terima kasih, Sayang. Ini pegawai baru Ayah, namanya Kak Cindy. Sekarang naiklah!”

Ratna tersenyum malu-malu pada gadis itu, lalu beranjak menaiki tangga.

“Maafkan dia. Ratna mengalami banyak masa-masa sulit, jadi saya harap Anda memakluminya.”

Cindy menaikkan alisnya, “Maksud Anda?”

 

***

 

“Makan malam yang lumayan.” ujar Agesta sambil menatap keluar. “Sayang danaunya tak nampak malam-malam begini. Pasti exciting rasanya makan sambil melihat pemandangan seindah itu.”

“Tapi kan kita bisa melihat hamparan bintang-bintang ini, babe. Ini baru pertama kalinya lho aku menyaksikan Bima Sakti sejelas ini.” balas Lola, istrinya.

“Separuh dari ikan-ikan yang Anda santap barusan berasal dari tangkapan saya, lho.” ujar Andri ketika ia menghampiri mereka di balkon.

“Kau selebgram kan? Aku yakin pernah melihatmu di Instagram.” ujar Lola.

“Anda sendiri kalau tidak salah vlogger kan?”

“Ya, kami vlogger spesialis traveling.” senyum Lola. “Tapi suamiku kebanyakan bekerja di belakang layar, jadi kau takkan pernah melihatnya di videoku.”

“Tak heran Pak Machmuri menawari Anda juga liburan gratis di sini.”

“Lho, kau juga?” Agesta terlihat heran, “Aku pikir hanya kami berdua yang diundang gratisan ke sini. Ya kan, Sayang?” ujarnya sambil mengecup pipi istrinya.

“Dia selebgram terkenal, Sayang. Hotel ini baru dibuka dan pastinya butuh banyak publikasi dan endorse kan? Jadi wajar lah.”

“Hei, siapa itu?” tunjuk Andri.

Pasangan itu menoleh, “Siapa?”

“Tadi di sana, di balik kabut … aku melihat seseorang berdiri di sana.”

Andri memang benar, kabut mulai merangkak naik dari dalam danau karena dinginnya udara sehabis hujan mereda. Namun, suami istri itu tak melihat siapapun di sana, mungkin sudah ditelan kabut. Atau mungkin saja bayangan itu hanya imajinasi Andri belaka.

“Tak ada siapapun di sana.” balas Lola, “Mungkin kau terlalu banyak minum bir saat makan malam tadi.”

“Tapi aku bersumpah melihat seseorang berdiri di sana! Dia sangat  misterius sekali ...”

Agesta tertawa mendengarnya, “Hati-hati! Kau mungkin baru saja melihat Joko Lelono.”

 

***

 

“Ceritakan satu kisah saja, Bunda. Please!” rengek Ratna. Kala itu mereka berada di kamar ibundanya di loteng. Suara musik ala 60-an mengalun perlahan, mengisi kesunyian di kamar itu. Ibunya memang selalu menyukai musik tersebut. Mengingatkannya pada masa kecilnya, katanya.

“Kau ini,” Ambar mengelus kepala putrinya, “Umurmu sudah 17 tahun, tapi masih saja manja seperti anak kecil.”

“Bunda kan jarang bercerita selama di rumah sakit. Sekarang kita kan bebas.”

“Baik, baik,” Ambar tersenyum, “Tapi cerita ini agak menyeramkan. Bunda harap kau tidak ketakutan mendengarnya.”

“Aku kan suka sekali dengan cerita horor.” Ratna makin tertarik mendengarnya. “Cerita apa itu, Bun?”

“Cerita tentang Joko Lelono,” jawab ibunya, “Apa kau pernah mendengarnya?”

“Ayah pernah menyebut namanya. Kata Ayah, dialah alasan mengapa danau ini disebut Telaga Angker.”

“Benar, tempat ini memang terlalu indah untuk disemati nama seburuk itu. Bahkan, dulu ada sebuah pemukiman di sini seratus tahun lalu, karena penduduknya begitu mengagumi keindahan danau ini. Kemudian, seorang pemuda misterius datang ke desa itu. Tak ada yang tahu nama asli pemuda itu, jadi para penduduk memanggilnya 'Joko Lelono', artinya pemuda yang suka berkelana. Namun, ada alasan mengapa pemuda itu selalu berpindah-pindah.”

“Kenapa itu, Bunda?”

“Karena ia memiliki penyakit kulit yang membuat tubuhnya terlihat buruk rupa. Para penduduk takut kepadanya karena mengira penyakit itu menular, padahal bukan. Sama seperti Bunda, ia menderita kanker. Tapi berbeda dengan kanker darah yang Bunda derita, ia menderita kanker kulit.”

“Apa ia lalu sembuh juga, seperti Bunda?”

Ambar menggeleng, “Sayangnya, kala itu ilmu pengobatan belumlah semaju sekarang dan iapun pemuda yang miskin. Penduduk banyak yang mengolok-oloknya, bahkan ada yang melemparkan tongkat yang ia pakai untuk membantunya berjalan ke dalam danau. Penyakit yang menggerogoti tubuhnya itu membuatnya lemah sehingga ketika ia mencoba mengambilnya, iapun tenggelam.”

“Astaga, mengerikan sekali!”

“Namun, bukan itu akhir ceritanya. Suatu hari, seorang pegawai pemerintahan Belanda datang ke desa itu untuk memungut pajak. Namun begitu sesampainya ia di sana, ia menemukan hal yang amat mengerikan. Seluruh penduduk desa kala itu telah meninggal dengan menggenaskan. Tak ada yang tersisa satupun.”

“Lho? Apa yang terjadi pada mereka?”

Ibunya menggeleng, “Tak ada yang tahu pasti. Legenda menyebut Joko Lelono bangkit dari kematiannya, muncul dari dalam danau, dan menghabisi seluruh penduduk desa untuk membalas dendam. Namun sejarawan menyebut bahwa mereka semua meninggal karena wabah malaria. Entah mana yang benar. Tapi semenjak itu, desa itupun menghilang dari peta dan hanya menyisakan rumah tua ini saja, yang dulunya adalah rumah sang ketua desa. Akan tetapi, konon katanya, Joko Lelono masih berkeliaran mencari mangsa di sekitar danau ini, sembari mengenakan topeng untuk menyembunyikan wajahnya yang mengerikan.” Ambar menekuk jemari tangannya menyerupai cakar-cakar yang siap menerkamnya, tapi putrinya hanya membalas dengan gelak tawa.

“Apa Joko Lelono benar-benar ada? Apa dia masih hidup?”

“Entahlah,” Ambar menoleh keluar jendela, menatap kabut yang merayap keluar dari dalam danau, “Mungkin kita akan mengetahuinya malam ini.”

 

BERSAMBUNG

3 comments:

  1. Ratna Sari Dewi, tapi kepikiran Desi Ratna Sari

    ReplyDelete
  2. Bang Dave, apa ceritanya terinspirasi dari serial Friday at13,yg judulnya crystal lake?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Novel ini emang homage bagi film-film slasher Hollywood, semua tokoh utamanya dikisahkan adalah final girls dari kasus-kasus pembunuhan berantai yang emang diinspirasi dari empat film slasher legendaris. Silakan baca novelnya dengan lengkap di Karyakarsa sampai selesai deh hehehe

      Delete