Monday, October 9, 2023

LOVELESS CREATION: CHAPTER 2 – THE TALL ONE

A LOVECRAFTIAN NOVEL

                                                             

               

“Kisah-kisah ini,” ujar Elena sembari membuka-buka manuskrip itu, “Siapa yang menulisnya?”

“Entah.” profesor itu mengangkat bahunya, “Nama mereka jelas tercantum di situ, tapi kami tak pernah berhasil melacak keberadaan mereka. Kami berkesimpulan, mereka yang tidak berasal dari dunia ini.”

“Apa maksudnya?” Elena tercengang.

“Kisah dari dimensi lain. Dunia yang mirip dengan kita, tapi mengalami nasib yang jauh dari serupa.”

“Dunia paralel?” multiverse bukan lagi konsep asing di kalangan ilmuwan, sehingga sama sekali tak membuatnya heran, apalagi meragukannya.  “Lalu kisah-kisah ini, semuanya tentang apa? Mengapa kampus kita menganggapnya amat penting sehingga harus menyembunyikannya dari dunia luar seperti ini?”

“Karena jantung perpustakaan kita hanya menyimpan pengetahuan yang tak boleh dimiliki manusia, Elena. Termasuk tentang makhluk-makhluk itu dan sejarah mereka, bahkan cara memanggil mereka.”

“Dari tadi kau terus menyebutkan tentang mereka, Prof. Namun, sebenarnya siapa mereka itu?”

“Percuma jika aku sendiri yang menjelaskannya. Mungkin kau takkan mampu menalarnya. Lebih mudah jika kau baca saja cerita-cerita itu, mulai dari yang ini.” Profesor Eldritch menunjuk ke salah satu halaman manuskrip, “Cerita ini tidaklah berat untuk dipahami karena hanya menggambarkan entitas rendahan, dewa kelas teri.”

Rasa penasaran menarik Elena untuk membuka halaman tersebut dan mulai membacanya.

***

 

LAUT hari ini begitu muram. Semua pasti akan berkesimpulan sama jika melihat warna samudra dan langit yang sama-sama suram ini. Amelia bahkan menyangka bahwa selama sejenak, dirinya menjadi buta warna. Sebab, hanya ada warna kelam abu-abu yang ia lihat sepanjang perjalanan ini.

Kapalnya akan merapat satu jam lagi. Udara dingin berhembus, akan ada badai katanya. Apabila cuaca buruk, maka tak akan ada kapal ferry yang berani berlayar dan pulau itu akan terputus dari dunia luar. Namun, Amelia siap mengambil resiko itu. Toh, dia juga tak tahu berapa lama waktu yang akan ia habiskan di pulau itu. Iapun tak berniat pulang sebelum ia menyelesaikan misinya.

“Kau mau berlibur ke Pulau Merah?” tanya seorang pemuda. Dilihatnya ia bersandar sambil merokok. “Ini musim hujan, waktu yang agak aneh untuk berjemur di pulau itu.”

Amelia tertawa, “Hanya ini satu-satunya waktu yang kupunya untuk liburan. Kau sendiri?”

“Wartawan!” pemuda itu menunjukkan kartu identitasnya.

“Muhammad Luthfi?” tanya gadis itu, “Nama yang bagus.”

“Makasih, kau sendiri?”

“Amelia.” ia tersenyum, “Kau wartawan travel?”

“Yah, bisa dibilang begitu.” Luthfi melepas rokoknya dan menghembuskan asap putih berbentuk donat, mungkin untuk mengesankan gadis itu. “Pulau ini terkenal akan pariwisatanya kan? Yah, walaupun nggak sekencang Bali atau Raja Ampat sih. Bahkan di majalah Lonely Planet, kepopuleran pulau ini masih di bawah Nusakambangan. Nusakambangan, bayangkan itu! Padahal itu pulau penjara.”

Amelia tertawa, “Yah, pulaunya kan memang kecil. Belum lagi jaraknya dengan daratan utama juga cukup jauh.”

“Apa karena itu kau ke sini? Kau mencari pulau yang masih sepi untuk menghindari turis lain?”

“Yah, bisa dibilang begitu.” Amelia menatapnya, “Boleh kutanya sesuatu? Kenapa pulau itu dinamakan Pulau Merah? Nama itu cukup seram menurutku.”

“Merah,” pemuda itu menghembuskan asap dari mulutnya lagi, “Karena di pulau ini banyak tumbuh pohon aren yang getahnya bisa untuk membuat gula merah. Bahkan saking banyaknya, konon gula merah dari pulau ini dijual sampai ke pulau-pulau lain. Tapi ada cerita lain pula tentang asal-usul nama pulau ini.”

“Cerita apa?” Amelia menaikkan alisnya.

“Konon dulu pulau ini tak bernama. Penduduknya tak repot-repot memberinya nama karena toh mereka takkan pernah pergi dari pulau ini. Mereka juga jarang kedatangan pendatang. Kemudian datanglah VOC dan seperti yang mereka lakukan di Banda Naira, mereka melakukan genosida besar-besaran. Hanya beberapa puluh penduduk yang katanya selamat dari ribuan orang yang dulu mendiami pulau ini.”

Luthfi menghentikan ceritanya sebentar dan menatap Amelia, “Katanya akibat kejadian itu, air laut di pulau ini berubah dari biru menjadi merah. Konon selama bulan purnama dan air pasang, air laut di pantai pulau ini akan berubah menjadi semerah darah.”

“Benarkah?” Amelia teringat bahwa bulan purnama akan terjadi beberapa hari lagi.

Pemuda itu tertawa, “Tapi tentu itu bukan karena kutukan atau apa. Saat bulan purnama, permukaan air laut naik dan ganggang merah terbawa ke pantai. Karena itu, lautnya jadi terlihat seperti darah.”

Amelia tertawa. “Kau ini memang penghamba logika ya?”

“Itu kemudian diperparah lagi oleh Tragedi 1965. Konon saat itu banyak mayat dari daratan utama tersapu ke pantai dan lagi-lagi, lautan berubah menjadi seperti darah. Tapi itu hanya cerita. Boleh percaya atau tidak.”

“Jadi sepertinya ada banyak tragedi di pulau ini.” ujar Amelia, “Aku pernah membaca kalau ganggang merah itu beracun dan membuat ikan mati. Pasti fenomena itu memukul industri perikanan di tempat ini.”

“Yah, kau benar. Dulu memang mayoritas penduduk di sini bekerja sebagai nelayan. Namun sekarang, tidak lagi.”

“Mereka bekerja di hotel?” Amelia menarik kesimpulan.

“Haha, industri pariwisata di pulau ini belum semaju itu. Palingan hanya ada beberapa penginapan kecil. Maksudku, semua laki-laki di pulau ini pergi ke luar negeri untuk bekerja menjadi TKI. Itulah salah satu keunikan pulau ini.”

Luthfi menoleh dan menatap karang-karang di Pulau Merah yang mulai terlihat. Amelia sempat merasa pulau itu diombang-ambingkan oleh laut, padahal seharusnya kapal mereka-lah yang tengah dipermainkan ombak.

“Hanya tersisa perempuan saja di seluruh penjuru pulau itu.”

***

 

Jika saja ia belum mendengar cerita Luthfi tadi, Amelia tentu akan heran mengapa penduduk yang menyambutnya, membawakan tasnya untuk meraup sedikit uang jasa, hingga melayaninya di penginapan, seluruhnya adalah perempuan. Bahkan selama perjalanan ke satu-satunya desa di pulau ini dengan menaiki delman, hanya wanitalah yang ia lihat bercengkerama, berjalan-jalan, dan duduk di teras rumah mereka, menatap kedatangannya dengan paras ingin tahu. Tentu, karena kecilnya pulau ini, mereka bisa membedakan dengan mudah siapa penduduk asli dan siapa yang pendatang.

“Kau juga menginap di sini?” Amelia heran melihat Luthfi keluar dari salah satu kamar di losmennya.

“Ya, hanya losmen ini saja yang buka di seluruh penjuru pulau. Hanya kita juga turis di sini. Kan ini memang bukan peak season.”

“Omong-omong, kau benar. Hanya ada perempuan di seluruh penjuru pulau. Aku masih merasa agak aneh.”

Ia tersenyum. “Cerita unik pulau inilah yang ingin kurekam. Aku ingin berjalan-jalan, kau mau ikut?”

“Cuacanya terlihat jelek. Aku ingin cari makan dulu.”

“Oke, sampai ketemu nanti.” Luthfi tersenyum sambil meraih sepuntung lagi rokok dari sakunya, “Aku punya feeling kita bakalan sering bertemu.”

***

 

Pulau ini menyimpan rahasia, tapi Amelia tak menyalahkannya. Ia sendiri juga menyimpan rahasia.

Ia sudah berbohong pada wartawan itu. Ia tak ke sini untuk berlibur. Suasana pulau ini pada musim hujan terlalu gloomy bagi siapapun untuk menikmatinya. Bahkan kuda-kuda yang berkeliaran di sekitar jalan terlihat murung. Juga burung-burung tak terdengar seperti bernyanyi, melainkan riuh menjerit. seakan mereka tengah terperangkap dalam kandang tak terlihat dan ingin lepas. Ironis, sebab mereka berada di alam dan bebas terbang kemana saja, kapanpun mereka mau.

Alasannya datang bukanlah berwisata. Ia ke sini untuk menemui seseorang.

Sebuah warung menarik perhatiannya. Warung itu bercat biru dengan atap dari rumbai dan berdiri kokoh di tepi pantai. Jika saja ini musim yang ramah, Amelia membayangkan betapa menyenangkannya duduk di sana sembari mendengar deburan ombak dan terbuai angin yang tertiup dari laut. Sayang, langit abu-abu ini bahkan tak membiarkan sesuap sinar matahari-pun turun menjelajahi pantai ini.

Amelia duduk di sana, kemudian seorang gadis berpakaian tradisional keluar. Amelia diam-diam kagum bagaimana pulau ini masih menjaga adat istiadatnya. Bahkan para wanita di pulau ini semuanya masih bersanggul.

“Selamat siang, Anda ingin memesan apa?” gadis itu tersenyum dengan ramah, “Kalau boleh menyarankan, warung kami membuat milkshake paling enak di pulau ini.”

Amelia balas tersenyum. “Apa benar ini Warung Bu Mutia?”

“Iya benar.” senyum gadis itu masih belum luntur.

“Apa saya bisa menemuinya?”

Pertanyaan itu mengagetkan pelayan itu.

“Anda ingin menemui ibu saya? Untuk apa?”

“Nora, dengan siapa kamu berbicara? Apa ada tamu?” seorang wanita muncul dari balik bilik yang Amelia duga adalah dapur. Wanita itu terlihat terkejut ketika melihat Amelia.

Amelia pun sama terkejutnya.

“Ma ... Mama?” bisiknya.

***

 

Amelia menyodorkan kertas hasil tes DNA itu ke arah Bu Mutia.

“Dua tahun lalu saya membutuhkan transfusi darah setelah kecelakaan yang menimpa saya. Darah saya amatlah langka, tapi dokter mendapatkan seorang donor bergolongan darah sama dari pulau ini yang katanya menjual darahnya. Uang sama sekali bukan masalah bagi orang tua angkat saya. Akan tetapi semenjak itu saya penasaran, sebab dokter mengatakan tipe darah saya ini hanya bisa diturunkan oleh kerabat dekat saja. Karena itu, saya berusaha mencocokkan DNA darah saya dengan darah Ibu dan hasilnya cocok.”

Bu Mutia hanya terdiam.

“Bu Mutia adalah mama kandung saya.” ujar Amelia dengan tatapan tajam.

“Aku punya kakak?” Nora menatap ibunya tak percaya, “Kenapa Ibu tak menceritakannya kepadaku? A ... apa Ayah tahu?”

Amelia terkesiap mendengar nama itu. Ia bahkan tadinya tak berani berharap ayah kandungnya masih hidup. “Dimana Papa sekarang?”

“Berlayar jauh, seperti semua laki-laki di pulau ini.” guman Bu Mutia, “Tapi dia tidak boleh tahu.”

“Kenapa?” Amelia dan Nora berseru hampir bersamaan.

“Karena dia bahkan tak tahu aku pernah mengandungmu. Sekarang pergilah!” Bu Mutia bangkit dan kembali ke dapur warung berbilik bambu itu.

“Tu ... tunggu!” Amelia berusaha mencegahnya, tapi sia-sia.

***

 

Amelia melangkah dengan gontai ke arah kamarnya. Rasa kecewa kembali menyeruak ketika mengingat perlakuan ibu kandungnya tadi. Ia tak berharap bisa menjalin hubungan yang harmonis dengan ibu yang baru saja ditemukannya. Tetapi Amelia juga tak menduga ibunya akan sekejam itu menolak darah dagingnya sendiri.

Ia berjalan-jalan di pantai tadi untuk mengusir rasa sedihnya. Namun, cuaca yang memburuk memaksanya kembali ke losmen.

“Hei, kau sudah kembali?” Luthfi memanggilnya, “Ada yang mencarimu tuh.”

“Mencariku?” Amelia heran. Tak ada yang mengenalnya di pulau itu.

Ia menoleh dan melihat Nora duduk menantinya.

***

 

“Maafkan perlakuan Ibu tadi.” Nora akhirnya berkata setelah beberapa menit mereka terdiam, “Ibu mungkin hanya shock melihatmu setelah lebih dari 20 tahun.”

“Apa Mama tak menceritakannya kepadamu? Apa dia tak mengatakan kenapa dia membuangku?”

Nora menggeleng, “Mungkin karena terpaksa. Kondisi ekonomi pulau ini terpuruk sejak 20 tahun lalu. Semua laki-lakinya terpaksa harus bekerja di luar pulau dan meninggalkan kami sendiri di sini. Mungkin Ibu tak sanggup merawatmu sendirian, jadi terpaksa memberikanmu kepada orang lain.”

“Tapi Mama mau merawatmu.” dalam hati Amelia merasa iri pada adiknya itu, akan tetapi buru-buru ia menghapus perasaan itu.

“Yah, mungkin karena kondisinya berbeda. Setiap kali pulang, para pria membawa uang yang cukup untuk kami. Mungkin setelah itu, Ibu mampu untuk merawat seorang anak dan mempertahankanku.” Nora menatap mata Amelia dengan hampir terisak, “Kumohon jangan marah kepadanya.”

Amelia menggeleng, “Tentu tidak. Aku tak berharap banyak saat datang ke sini. Aku hanya ingin tahu kenapa, itu saja.”

“Apa kau akan pergi setelah ini?”

Amelia menatap ke langit yang mengintip dari patio losmennya, “Mungkin besok atau lusa, jika cuaca membaik. Aku dengar di pelabuhan tadi kapal ferry belum akan berlayar jika cuaca terus memburuk.”

“Tinggallah selama yang kau mau di pulau ini.” Nora menggenggam tangannya, “Aku yakin Ibu akan berubah pikiran.”

Amelia tersenyum.

***

 

“Kau mau menjual ceritamu ke stasiun televisi? Mungkin mereka akan membuat satu episode reality show khusus untukmu.”

Amelia tertawa mendengar candaan Luthfi itu. “Kupikir kau justru malah tertarik menulis kisahku untuk surat kabarmu.”

“Aaaah, aku tidak mengejar cerita semacam itu. Aku lebih tertarik pada pulau ini.”

“Memangnya apa sih yang kau kerjakan?” sebagai satu-satunya turis di pulau itu, Amelia mau tak mau hanya bisa berkeluh kesah pada Luthfi. Apalagi mereka memang terjebak di pulau ini karena tak ada kapal yang beroperasi. “Seperti kau bilang sendiri, ini bukan musim yang bagus untuk pelesiran di sini. Pasti kau mengerjakan sesuatu yang lain, bukan laporan travelling.”

“Aku lebih tertarik dengan mitologinya.” Luthfi menjelaskan.

“Oh, itu menjelaskan kenapa kau tahu legenda asal mula nama Pulau Merah yang menyeramkan itu. Kau juga benar! Lihat! Ganggang merah!” tunjuk Amelia.

Luthfi tersenyum melihatnya. Teori itu benar. Lautan yang berdebur di depan mereka seolah larut dalam warna merah menyala. Namun bukannya menyeramkan, samudra justru terlihat makin indah. Warna terangnya begitu kontras dengan suasana langit yang muram.

“Samudra seolah berdenyut. Lihat, nyala warnanya seirama dengan deburan ombak, seolah-olah mereka sedang bernapas.” Amelia menunduk dan melihat seekor makhluk yang terdampar di pantai itu. “Dan kau salah, mereka bukan alga merah. Mereka sejenis ubur-ubur.”

“Oh ya? Kau benar. Bentuknya seperti jeli dan kenyal.” Luthfi hendak menyentuhnya, tapi Amelia buru-buru melarangnya.

“Apa kau gila? Itu adalah sejenis Portuegese Man O’War, salah satu hewan paling beracun di dunia!”

“Beracun? Kalau begitu, kenapa kerang-kerang itu menempel di atas tubuhnya?” tunjuk Luthfi heran.

Amelia mendekat dan Luthfi ternyata benar. Lantunan ombak membuat ubur-ubur merah itu tergulung-gulung dan kulit-kulit kerang serta pasir menempel di sekelilingnya begitu ia menggelinding di air.

“Mungkin ubur-ubur itu mengekskresikan sejenis zat perekat? Seperti lem? Sebagai bentuk adaptasinya untuk mencari makan?” Amelia tampak berpikir, “Namun hewan-hewan yang menempel ini … mereka tak terlihat kesakitan, bahkan tak mencoba melarikan diri? Bukankah ubur-ubur ini harusnya beracun?”

“Hmmm ... makhluk ini aneh sekali. Sama anehnya dengan mitologi pulau ini.”

“Mitologi apa lagi? Bukannya kita baru saja mendapat jawaban kenapa pulau ini disebut Pulau Merah?”

“Bukan, lebih dari itu. Kau benar-benar belum pernah mendengar desas-desus tentang pulau ini ya?”

“Desas-desus apa?” Amelia terlihat tertarik.

“Pengorbanan manusia.”

 

BERSAMBUNG


3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Bang Dave, Teddy ada Chat di Karyakarsa. Semoga bisa dibaca ya😁👍.

    Terima Kasih Bang Dave

    ReplyDelete
  3. Mana chapter 1 nya bang?

    ReplyDelete