Monday, October 30, 2023

LOVELESS CREATION – CHAPTER 5: THE ASTRONAUTS

 


A LOVECRAFTIAN NOVEL

 

“Luke! Luke!” panggil Sam melalui radio. Ia dan Amara kini menuruni pesawat mereka dan berjalan di atas permukaan planet aneh itu. Mereka menggunakan hel astronot tentu saja, karena tak yakin dengan keamanan atmosfer planet tersebut.

“Luke!”

Luke menoleh. Ia tersenyum melihat kedatangan mereka dan berjalan menghampiri.

“Luke, apa yang kau lakukan di sini!” panggil Sam, “Ayo cepat kembali ke ...”

Namun, tiba-tiba saja Luke melakukan hal yang tak terbayangkan. Ia melepas helm yang menutupi kepala pemuda itu.

“Apa yang kau lakukan?” jeritnya berontak, “Kau bisa membunuh kita semua!”

“Bernafaslah, tak apa-apa. Planet ini dipenuhi oksigen.” ujarnya masih dengan seutas senyum.

Sam mau tak mau bernapas di atmosfer planet itu.

Ia lalu menoleh ke arah Amara.

“Ayolah, ini aman.”

Demi solidaritas, gadis itu akhirnya juga melepas helm yang ia kenakan.

“Aku pikir kita harus segera kembali.” kata Sam, “Kita harus segera menghubungi Houston. Mereka harus tahu kondisi kita.”

“Apa kau pikir alat komunikasi kita bisa mencapai mereka? Kau tak lihat, kita sudah berada jauh dari tata surya kita. Lihatlah sekelilingmu!”

“Tapi kurasa tak aman di sini.” kata Sam lagi, “Bagaimana jika ada kehidupan alien di planet ini? Mereka mungkin bisa mengancam kita!”

“Apa kau ini menyebut dirimu eksplorer, Sam? Apa tujuanmu ikut misi ini? Untuk mengeksplor Mars bukan? Planet ini sama dengan Mars; sebuah planet asing yang tak pernah dikunjungi oleh manusia. Di planet ini justru kita-lah alien-nya!”

Sam mau tak mau menyetujuinya. Rasa penasaran mau tak mau menggelitiknya. Rasa ingin tahunya sebagai ilmuwan sekaligus penjelajah mulai mengalahkan ketakutannya.

“Pilar-pilar hitam itu,” tunjuk Amara, “Apa itu? Dari teksturnya jelas itu bukan batu.”

“Kurasa itu jamur. Aku sudah memeriksanya.”

“Apa? Jadi benda itu hidup?”

“Ya, kau pernah mendengar Prototaxites, jamur purba raksasa yang merupakan salah satu kehidupan darat pertama di Bumi? Mirip dengannya.”

 

“Tapi jika itu jamur, darimana ia makan?” Sam melihat ke sekelilingnya, “Jamur butuh bahan organik. Di sini ... hanya ada tanah kering dan batuan.”

“Kurasa aku tahu dimana jamur itu mendapatkan bahan organik.” tunjuk Luke, “Di sana lanskapnya berbeda dengan di sini, tidak seperti gurun sama sekali. Ayo, kutunjukkan!”

Amara dan Sam saling memandang, sebelum kemudian setuju untuk mengikuti Luke.

“Oya, karena aku yang menemukannya duluan,” Luke berbalik ke arah sambil tersenyum, “Kita namakan planet ini Planet Lukoth.”

***

 

Sam terkesima dengan pemandangan di depannya. Jika ia melihatnya di Bumi, maka mungkin ia akan menganggapnya menjijikkan. Berbeda dengan wilayah tandus seperti gurun tempat pesawat mereka kandas tadi, daerah di sini begitu berbeda, bahkan kaya kehidupan. Tempat itu seperti rawa-rawa di Bumi dengan lumpur dan lumut sebagai lantainya, serta apa yang mereka lihat sebagai pohon, yakni batang-batang bercabang yang menjulang dari lantai rawa.

“Apa itu tanaman?” tanya Amara penuh keingintahuan,

“Kurasa tidak, lihatlah.” Luke menunjuk dan terlihat lubang-lubang di permukaan apa yang mereka sebut sebagai pohon itu. Permukaannya juga licin dan berlendir. Bahkan jika diamati, benda itu terlihat seperti tentakel ketimbang batang pohon.

“Seperti hewan laut, Bryozoa, yang hidup dengan cara menempel di dasar laut.” celetuk Sam, “Apa itu sejenis binatang?”

“Mungkin batas antara hewan ataupun tumbuhan di planet ini sangatlah kabur, berbeda dengan planet kita. Pasti akan sangat menarik melihat seperti apa penampakan sel-selnya di atas mikroskop!”

“Tidak, Luke!” cegah Sam, “Kita tidak akan menyentuhnya! Siapa yang bisa menjamin benda itu tidak menularkan penyakit?”

“Berhentilah berpikir dengan naif, Sam!” Luke terlihat mulai marah, “Kau pikir berapa lama kita akan selamat di sini? Sehari? Sebulan? Lalu apa yang akan kita lakukan? Menunggu NASA menyelamatkan kita?”

Sam dan Amara tertegun. Baru kali ini mereka memikirkan kemungkinan itu. Mereka tidak sedang terdampar di bagian lain Bumi, ataupun di Bulan, apalagi di Mars. Di sana mereka masih bisa diselamatkan. Paling tidak NASA masih bisa mencapai mereka.

Namun di sini ... mereka bahkan tak tahu dimana mereka. Mungkin mereka berada di ujung alam semesta yang lain? Bahkan, mungkin mereka berada di dimensi lain.

Luke benar, tak akan ada yang bisa menyelamatkan mereka dari planet ini.

“Ta ... tapi kita bisa memperbaiki pesawat kita, benar kan Sam?” Amara menoleh. Kepanikan mulai menelan wajahnya bulat-bulat, “Ki ... kita masih bisa pergi dari sini!”

“Lalu kemana? Kembali ke Bumi? Bagaimana caranya? Apa kau tahu arahnya?” tanya Luke dengan sinis.

“Hentikan, Luke!” tegur Sam, “Aku tahu kau skeptis, tapi perilakumu ini tidak akan membantu kita.”

“Kapan kalian akan sadar, kita semua adalah ilmuwan, eksplorer, pioner ... bukan pengecut! Jika kita adalah pengecut, bukankah sekarang kita semestinya berada di Bumi, duduk dengan nyaman di sofa rumah kita? Tapi nyatanya tidak ... kita semua punya ambisi untuk melakukan apa yang tak bisa dilakukan manusia lain. Dan inilah kesempatannya!”

“A ... apa maksudmu?” Amara bertanya-tanya.

“Kataku kita menjelajahi planet ini. Mempelajarinya. Memuaskan seluruh rasa ingin tahu kita. Planet ini seperti mata air pengetahuan yang menunggu untuk kita teguk!”

Mata Luke berbinar-binar ketika mengucapkannya.

Amara menatap Sam sejenak. Sam tahu apa yang ada di pikiran gadis itu. Tak biasanya Luke bersikap seperti ini. Justru dia-lah yang berkepala paling dingin di antara mereka bertiga. Oleh sebab itulah ia dipilih sebagai pemimpin misi ini. Prioritasnya pastilah keselamatan mereka bertiga, lebih dari sains apapun juga. Maka tak heran di mata mereka berdua, Luke bagaikan tengah meracau.

“Kurasa Luke benar, Sam.” jawaban itu mendadak meluncur dari mulut Amara, “Jika kita mempelajari planet ini dan mengenalnya lebih baik, maka kesempatan kita untuk bertahan hidup di sini akan meningkat. Mungkin juga kita akan menemukan cara untuk keluar dari sini pula.”

Dengan enggan Sam akhirnya mengangguk.

***

 

Sam menoleh ke arah Luke ketika mereka berjalan menapaki permukaan planet itu.

“Apakah menurutmu ada kehidupan cerdas di planet ini? Mungkin puncak evolusi?”

Luke memandang ke kejauhan, “Entahlah, tapi tak menutup kemungkinan kita akan menemukan kota di planet ini. Bukankah itu menarik?”

“Bagaimana jika kita malah menemukan puncak rantai makanan?” bisik Amara pada Sam, “Seperti predator?”

“Luke,” panggil Sam lagi, “Pada saat kapal kita masuk ke atmosfer dan terjadi goncangan yang membuat kami berdua pingsan, kau masih sadar bukan? Kau melihatnya kan? Apa yang sebenarnya terjadi pada kita?”

“Jembatan Einsten-Rosen.” Luke menoleh kembali dan menatap mereka berdua dengan tajam, “Koyakan di fabrik dimensi alam semesta. Dengan kata lain, Lubang Cacing atau Wormhole.”

“Jembatan Einsten-Rosen masihlah teori!” bantah Sam tak percaya, “Untuk membuatnya, kau perlu membuat lubang hitam dan untuk itu kau memerlukan partikel eksotis; sebuah partikel yang memiliki gaya gravitasi yang amat besar hingga bisa membengkokkan ruang dan waktu, bahkan merobek fabrik dimensi.”

“Kita sudah menemukan partikel eksotis itu. Melalui akselerator raksasa CERN di Eropa. Kita menyebutnya: Partikel Tuhan.”

Sam terkesiap. Bukan karena kenyataan bahwa teknologi manusia mampu menciptakan lubang hitam, namun karena pernyataan kapten mereka tadi membuatnya menyadari sesuatu.

“Be ... berarti kau mengetahui tentang wormhole tadi?” matanya membelalak, “Kalian yang membuatnya?”

“Apa?” seru Amara, “NASA yang membuatnya? Ki ... kita adalah kelinci percobaan?”

“Jika kalian tahu, kalian tak akan menyanggupinya bukan? Padahal kemampuan kalian unik, Amara sebagai ahli astrofisika sekaligus memiliki kemampuan medis serta Sam sebagai ahli biologi evolusioner sekaligus punya background militer. Kemampuan kalian sangat kami butuhkan, karena itu ...”

“Kalian membohongi kami!” jerit Amara penuh tangis. “Kalian bilang kalian akan membawa kami Mars!”

“Memang itu tujuannya! Wormhole itu seharusnya membawa kita ke Mars, namun ada kesalahan ...”

“Kesalahan? Maksudmu kita terdampar?” ujar Sam dengan marah.

“Namun lihatlah di sekeliling kalian! Fokuslah ke gambaran besarnya! Kita sudah menemukan kehidupan ekstraterestrial! Kehidupan alien di luar Bumi sudah tak terbantahkan! Ini terobosan baru yang ...”

“Yang takkan berguna jika kita tidak bisa kembali ke Bumi untuk menceritakannya!” sergah Amara.

Luke menghela napas, “Bagaimana apabila kukatakan, bahwa jika aku bisa membawa kalian ke sini, maka aku juga bisa membawa kalian kembali?”

“Apa maksudmu?”

“Aku bisa menciptakan Lubang Cacing itu lagi untuk kita semua. Kita bisa pulang kembali ke Bumi.”

“Be ... benarkah?”

“Namun dengan satu syarat!” Luke mengacungkan jarinya, “Kita akan mempelajari dan mendokumentasikan kehidupan yang ada di planet ini. Setuju?”

Amara dan Sam saling berpandangan kembali.

***

 

 “Planet ini ukurannya 500 kali Bumi. Besar sekali. Hampir sepertiga Jupiter.” Luke menyalakan sensor dari peralatan canggih mereka yang seharusnya mereka gunakan di Mars. Mereka saat itu berada di dalam pesawat untuk menyelidiki sampel mereka.

“Tunggu!”

“Ada apa, Luke? Apa ada yang aneh?”

“Planet ini juga hollow.”

Hollow? Berongga? Sama seperti dugaan kita tentang Mars?” tanya Sam heran. Salah satu yang mendorong dilaksanakannya misi mereka ke Mars adalah penemuan terbaru yang menyimpulkan bahwa ada rongga di dalam Planet Mars. Para ahli sebelumnya mengira bahwa inti planet Mars sama seperti Bumi, yakni berupa besi cair yang amat panas, dikelilingi batuan yang teramat padat hingga ke permukaan planet. Namun, teknologi terbaru membuktikan bahwa ada rongga-rongga menyerupai gua yang teramat masif di kedalam planet itu. Bahkan pusat planet itu sendiri adalah sebuah rongga besar sehingga planet tersebut lebih mirip bola pingpong atau kue onde-onde yang tak berisi.

Penemuan itu memicu perdebatan. Kemungkinan pertama, apapun yang menyebabkan terbentuknya rongga-rongga itu mungkin telah menyebabkan kehidupan di Mars hancur dan lenyap. Atau justru kebalikannya, kemungkinan kedua, justru kehidupan di Mars mampu bertahan di dalam rongga-rongga itu.

Ya, pertanyaannya memang bukan apakah ada kehidupan di Mars, tapi apakah kehidupan itu masih ada, dan jika masih ada, dimana?

Oleh sebab itulah, misi Aleithea 20 diluncurkan. Tak hanya sebagai ego umat manusia untuk mendaratkan spesiesnya di sana, melainkan demi tujuan yang lebih suci lagi: untuk memberikan salam yang pertama, setelah milyaran tahun, kepada saudara se-ciptaan di sana. Ya, jika memang di Mars terdapat kehidupan, maka hanya merekalah mungkin satu-satunya keluarga kita di tata surya ini.

“Apa yang menyebabkannya?” Sam masih bertanya tentang kondisi “hollow” di planet itu.

“Entahlah. Di sini hanya terlihat seperti sistem gua yang kompleks dan amat besar di bawah permukaan planet ini. Aku sendiri juga tak bisa melihat intinya. Kemungkinan berupa batuan padat.”

“Teman-teman, ini gawat!” terdengar suara Amara di radio. Sebagai satu-satunya ahli astronomi di tim itu, ia masih berada di luar, mempelajari langit planet tersebut.

“Ada apa Amara?” Luke membalasnya.

“Disini ada ... AAAAAAAAA!!!”

“Amara! Ada apa?” Sam segera merebut radio itu, “Amara!”

Namun suara itu kemudian terputus. Tanpa banyak bicara, kedua astronot itu segera bergegas keluar.

***

 

“AMARA!” teriak Sam. Apa yang dilihatnya di luar sama sekali di luar dugaannya.

Mereka telah melihat jamur dan rawa-rawa di planet itu, namun mereka tak menyangka akan secepat ini bertemu dengan hewan penghuni planet itu.

Mereka adalah serangga; dua ekor tawon raksasa tengah mengelilingi Amara, seolah sedang mengepungnya. Masing-masing panjangnya mencapai satu meter dengan mata besar dan sepasang sayap. Mereka memiliki enam kaki dengan ujung runcing seperti kait serta tubuh yang ditutupi eksoskeleton berwarna kuning. Suara “Zzzzzzz ...” terdengar ketika mereka melayang sembari mengepakkan sayapnya.

“TOLONG AKU!” jeritnya.

“Amara! Bertahanlah!” seru Sam, tapi ia sendiri tak tahu apa yang harus ia lakukan. Pendidikannya di NASA sebagai astronot tidak mencakup cara melawan alien di planet asing!

“DUAAAAR! DUAAAAAR!!!” suara yang amat keras terdengar ketika peluru-peluru menghantam tubuh kedua monster tersebut. Terdengar suara kernyitan makhluk itu dan merekapun terbang pergi, menjauhi kami.

Sam menoleh dan terkesiap melihat Luke tengah memegang sebuah senjata.

“Da ... darimana kau dapat itu?” Sam membelalakkan mata, “Kau ... kau sudah mempersiapkannya! Kau sudah tahu kita akan menghadapi makhluk itu!”

“Hanya untuk jaga-jaga semisal kita harus menghadapi alien.” Luke menyarungkan senjatanya kembali, “Misi kita berbahaya, Sam! Cepat, tolong Amara!”

Sam segera tersadar dan tak membuang waktu untuk memeriksa kondisi gadis itu.

“A ... aku tidak apa-apa ...” bisiknya dengan wajah pucat. Saat itu ia tengah terjerembap di tanah, “A ... aku hanya ketakutan melihat makhluk-makhluk itu ...”

“Monster apa tadi?” bisik Sam tak mengerti. “Tawon raksasa?”

“Mi-Go.” jawab Amara, masih dengan napas tersengal, “Mereka menyebut diri mereka ras Mi-Go.”

Sam dan Luke terkejut mendengar jawaban itu.

“Mereka bisa bicara?”

“En ... entah ... mereka sama sekali tak mengeluarkan suara, selain dengungan sayap mereka yang membuatku pusing, namun ...” Amara mencoba mengatur napasnya, “Suara mereka ... suara mereka terngiang begitu saja di kepalaku. Aku bahkan tak tahu bagaimana aku bisa memahami bahasa mereka ...”

“Telepati, apa itu maksudmu?” tanya Luke dengan kegirangan, “Kau berkomunikasi secara telepatis dengan mereka? Wow ... itu sangat menakjubkan sekali!”

“Ini sama sekali tidak lucu, Luke!” protes Sam, “Reaksimu sama sekali tidak pantas! Amara hampir saja mati!”

“Kurasa mereka tak bermaksud jahat. Kau dengar kan kata Amara, mereka memperkenalkan dirinya ...”

“Kalau begitu kau saja yang berkawan dengan makhluk-makhluk itu!” Sam segera menggenggam tangan Amara dan membantunya berdiri, “Aku akan membawa Amara kembali ke dalam pesawat kita.”

Luke hanya menatap kepergian mereka berdua sembari tersenyum. Kemudian ia menoleh dan menatap ke lembah kemana kedua makhluk itu terbang dan pergi.

 

BERSAMBUNG

 

 

2 comments: