Sunday, October 15, 2023

LOVELESS CREATION: CHAPTER 3 – THE TALL ONE

 


A LOVECRAFTIAN NOVEL

 

Mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka menyusuri pantai, tak lagi tertarik dengan hewan aneh yang mereka temui tadi.

“Jadi kau benar-benar belum pernah mendengar desas-desus itu?”

Amelia menggeleng, terlihat tak sabar.

Luthfi menghela napas. “Baik, akan kuceritakan dari awal. Pada musim kemarau, pulau ini bisa dibilang makmur. Angin yang bertiup ke arah daratan utama juga disertai arus air yang membawa banyak ikan. Jadi, para nelayan di musim itu mendapat banyak tangkapan. Mereka juga bisa mengirimnya ke dataran utama berserta komoditi gula merah bersama kapal mereka mereka menggunakan angin itu. Namun, kebalikannya terjadi pada musim hujan.”

“Musim seperti ini?”

“Tepat sekali. Pada musim ini, angin bertiup ke arah sebaliknya. Begitu juga arus air membawa ikan menjauhi pulau ini. Singkatnya, musim ini adalah bencana bagi mereka.”

“Karena itu seluruh pria di pulau ini pergi pada musim ini dan kembali di musim berikutnya?”

“Tidak sesimpel itu! Apa kau menyadari bahwa benar-benar tak ada satu priapun di pulau ini? Benar-benar tak ada? Maksudku, jikapun mereka harus bekerja, paling tidak ada satu dua orang perangkat desa seperti lurah atau kepala desa. Atau paling tidak, mereka meninggalkan laki-laki untuk menjadi penjaga keamanan atau polisi. Namun, kenyataannya tidak.”

“Oke,” Amelia berpikir sejenak, “Kuakui itu memang aneh.”

“Dan yang lebih ganjil lagi, apa kau tahu bahwa ada konsensus tak tertulis bagi semua nelayan atau pemilik kapal untuk menghindari pulau ini pada musim hujan. Bahkan kapal ferry-pun tak mau berlayar ke sini saat malam.”

“Kurasa itu masuk akal. Ada banyak karang kan di sini? Mereka mungkin mau menghindarinya? Apalagi musim hujan cuacanya buruk.”

Luthfi menunduk dan mengambil bungkus rokoknya, seolah menimbang-nimbang apakah ia akan menyesapnya.

“Aku mendengar rumor di dermaga bahwa mereka amat takut dengan pulau ini.”

“Takut? Takut kenapa? Pada penduduknya?”

Luthfi menggeleng, “Mereka semua mengatakan bahwa saat malam, kapal-kapal yang melintasi pulau ini melihat sesuatu yang aneh dari kejauhan.”

“Aneh? Aneh bagaimana?”

“Seperti sesosok raksasa, keluar dari dasar laut dan berjalan ke pulau ini.”

Amelia nyaris tertawa, bukan karena betapa konyolnya cerita itu terdengar, tapi karena ekspresi muka Luthfi yang amat serius.

“Kau boleh menertawakannya semaumu, tapi aku mendapat banyak sekali laporan saksi mata mengatakan hal yang sama. Kau sendiri tak bisa menepis bahwa pulau ini sangatlah aneh, bukan?”

“Iya, pulau ini memang tidak biasa, seperti fakta bahwa tak ada laki-laki satupun di sini dan ubur-ubur merah tadi. Tapi monster?”

“Bukan monster. Mereka lebih menggambarkannya seperti dewa.”

“Dewa?”

“Ya, semacam dewa pelindung pulau ini.” ujar pemuda itu, “Kau pernah mendengar tentang conquistador Spanyol yang membantai suku Aztec pada abad ke-15? Mereka melakukannya karena melihat Suku Aztec melakukan pengorbanan manusia, yang amat bertentangan dengan agama yang mereka yakini.”

“Maksudmu? Karena alasan itu pula VOC membantai penduduk pulau ini dahulu?”

“Penduduk pulau ini konon percaya pada dewa yang sesat, sesosok makhluk yang bisa mengabulkan permintaan mereka dan menjaga pulau ini, tetapi dengan menuntut imbalan mengerikan ...”

“Mengerikan bagaimana?”

“Semacam … tumbal.”

“Tumbal? Itukah pengorbanan manusia yang tadi kau maksud itu?” tanya Amelia heran. “Namun tumbal semacam apa?”

Luthfi mengangkat bahunya, “Entahlah. Itu tujuanku datang ke sini, untuk memastikan kebenarannya.”

Sembari bercakap-cakap, tanpa sadar mereka telah tiba kembali di losmen tempat mereka menginap.

“Bu Amelia?” seorang pelayan losmen tiba-tiba mendatangi mereka, “Ada pesan untuk Anda.”

Ia menyodorkan secarik kertas yang kemudian dibacanya.

***

 

“Adikmu yang mengundangmu ke sini?” Luthfi memutuskan menemani gadis itu karena hari sudah malam. Pulau itu sebenarnya cukup aman bagi perempuan, ironisnya karena tak ada laki-laki di pulau itu. Namun, tetap saja Luthfi merasa bertanggung jawab untuk menjaganya.

“Malam-malam begini?” tanya pemuda itu lagi, “Untuk apa sih?”

“Katanya Mama mau bertemu.” jawab Amelia sambil menjejakkan sandalnya di atas pasir. Debur ombak di pantai terdengar jelas, walaupun lautan tampak menghitam karena awan kelam yang menggelayuti langit tak menyisakan cahaya bulan sedikitpun. “Dan ia menegaskan bahwa kami hanya bisa berjumpa pada jam ini saja, tak lebih awal, tak lebih larut.”

“Lihat!” pemuda itu menunjuk ke arah laut ketika mendung mulai tersibak dan sinar rembulan purnama perlahan menaungi laut dan menyingkapkan warnanya.

“Astaga!” Amelia menahan napas, “Airnya masih berwarna semerah darah walaupun hari sudah semalam ini?”

“Itu artinya ubur-ubur itu memiliki kemampuan bioflouresensi atau menyala dalam gelap” Luthfi segera mengambil beberapa foto, kemudian Amelia mulai mendengar sesuatu yang aneh.

“Kau dengar itu?” ia menepuk pundak pemuda itu.

“Apa?”

“Seperti suara dentuman!”

“Kau benar!” Luthfi merasa pasir yang ia injak mulai bergetar. “Apa ada gempa kecil? Atau ada sesuatu yang terjatuh?”

“Sebesar apa sampai getarannya seperti ini?”

Amelia mengikuti arah suara dentuman itu. Tanah yang ia injak juga bergetar semakin kencang begitu ia makin dekat dengan asal suara itu.

Ia menyingkap dedaunan palem yang menutupi tepi pantai dan terkesiap.

***

 

Amelia tak percaya akan apa yang ia lihat.

Raksasa.

Semua yang diucapkan Luthfi ternyata benar.

Makhluk itu amat besar; hanya bayangannya saja yang tampak karena kelamnya malam. Tubuh makhluk itu pasti setinggi puluhan meter dan dentum kakinya saat melangkah cukup untuk membuat tanah bergetar. Sosok itu tampak seperti manusia dengan tangan dan kaki serta kepala. Namun, semuanya terlihat hitam kelam karena suasana malam yang gelap. Hanya satu yang dikenali Amelia dengan baik, yakni jalur-jalur seperti urat saraf yang menjalar di tubuh raksasa itu, berwarna merah menyala dan berdenyut-denyut.

“A ... apa kau melihat ini semua?”

Luthfi sepertinya terperangah hingga tak ingat lagi dengan kamera di tangannya.“Li ... lihat! Di sebelah sana!”

Amelia melihat ke arah lain dan menyaksikan sesuatu yang jauh lebih mengejutkan.

Di sana berdiri para perempuan yang ada di pulau itu, semuanya memakai gaun yang sama, semacam batik. Namun pakaian tradisional mereka itu berbeda dengan apa yang biasa ia lihat atau kenakan. Batik itu memiliki motif … gurita? Atau sesuatu dengan tentakel, Amelia tak bisa melihatnya dengan jelas. Namun satu hal yang pasti, mereka tengah melakukan ritual; terbukti dengan sesajen di atas kepala mereka. Mereka berbaris, seolah menyambut makhluk itu.

Makhluk itu berhenti di depan mereka. Tanah tak lagi bergetar karena dentuman langkahnya. Makhluk itu membuka tangannya dan menuangkan sesuatu dari dalam kepalannya.

Suara gemerincing yang tercipta saat benda-benda itu jatuh ke tanah. Tak salah lagi, pikir Amelia, itu adalah suara koin-koin emas.

Cahaya bulan akhirnya menyisip dari balik awan dan menerangi makhluk itu.

Amelia menjerit sekeras-kerasnya ketika akhirnya melihat wujud makhluk itu lebih jelas.

Makhluk itu terdiri atas manusia ... ya, ratusan tubuh manusia yang saling menempel. Tangan mereka saling berkait dengan tangan atau kaki manusia teranyam menjalin tubuh sang raksasa.

Tak hanya itu, Amelia juga menyadari bahwa yang tadinya ia pikir sebagai urat saraf sebenarnya merupakan jel dari ubur-ubur merah yang digunakan untuk merekatkan tubuh para manusia itu menjadi satu, seperti semacam lem.

Teriakan itu membuat penduduk pulau itu menyadari kehadiran Amelia dan Luthfi. Semua mata dalam tubuh raksasa itu menatap ke arah mereka.

“Ce ... celaka! Kita harus pergi dari sini!” tarik Luthfi.

“Kemana? Ini kan pulau di tengah lautan!”

“Apa kau menyukainya, Kak?” terdengar seutas suara yang tak asing lagi di telinga Amelia. Gadis itupun menoleh.

“Nora?” bisiknya tak percaya, “Kaukah yang mengundangku ke sini? Ke ... kenapa? Apa kau ingin aku melihat semua ini?”

“Ini yang kau inginkan kan? Semua keingintahuanmu ... dan juga wartawan itu?” Nora menatap Luthfi dengan sinis, “Apa kau menyukainya? Kebenaran ini?”

“Makh ... makhluk apa itu?”

“Dewa kami,” jawabnya sambil tersenyum, “Sekarang kau tahu kan kenapa semua laki-laki di pulau ini menghilang? Mereka menjadi tubuh dewa kami yang kami juluki 'Sang Tinggi'.”

Dia Yang Tinggi.” bisik Luthfi, “Aku tak percaya mitos itu benar-benar ada.”

“Dewa itu yang membuat kami bertahan tahun demi tahun. Ketika pulau kami menderita dan ikan-ikan pergi, 'Dia Yang Tinggi' membawakan kami harta dari dasar lautan.”

“Kapal VOC yang tenggelam itu,” ujar Luthfi lagi, “Ada legenda yang menyatakan kapal VOC itu karam sebagai bentuk hukuman dari dewa kalian.”

“Begitu juga kapal-kapal lain yang dimurkai 'Dia Yang Tinggi' karena melintasi wilayah kami tanpa izin. Harta tak terhingga itu berada jauh di dasar laut dan untuk mendapatkannya, kami harus menggabungkan tubuh kami dengan Sang Dewa untuk meraihnya, menggunakan berkah alam berupa ubur-ubur yang ia damparkan di pantai kami tiap kali musim hujan datang.”

“Hanya laki-laki ... itulah pengorbanan yang diminta Dewa kalian!” bisik Luthfi dengan geram.

“A ... apa maksudnya?” Amelia terlihat tak mengerti.

“Apa kau tak lihat? Dentuman itu. Orang-orang yang berada paling bawah menjadi alas kakinya tentu tubuhnya akan remuk redam. Itulah pengorbanan yang diinginkan Dewa itu!”

“Ini semua demi kebaikan desa dan pulau ini!” Nora bersikeras.

“Nora!” jerit Bu Mutia yang berlari menghampiri mereka, “Kau memberitahunya tentang semua ini?”

Matanya lalu menatap ke arah Amelia penuh kemarahan, “Kau! Bukankah sudah kukatakan untuk pergi dari pulau ini? Kenapa kau kembali dan mencampuri urusan kami?”

“Ibu selalu ingin dirinya aman kan? Kenapa Ibu justru membuangnya? Bukan aku? Aku tak ingin tinggal di pulau terkutuk ini!” jerit Nora.

“Karena itukah Mama membuangku?” Amelia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, “Su ... supaya aku jauh dari semua ini?”

Amelia mulai sadar selama ini ia salah paham. Ibunya membuangnya bukan karena membencinya, akan tetapi justru sebaliknya. Ia menyayanginya dan menginginkannya memiliki kehidupan yang normal, jauh dari jajahan dewa bejat yang menuntut tumbal darah manusia.

“Sekarang kau harus jadi tumbal, Amelia!” Nora tiba-tiba mengeluarkan sebilah pisau, “Dewa kami amat membenci siapapun yang tidak menyembahnya, termasuk pendatang seperti kalian! Kalian tak boleh keluar dari pulau ini dan menyebarkan rahasia kami!”

“Nora, apa yang kau lakukan?” Bu Mutia segera berusaha menghentikannya dengan mencengkeram tangan anaknya, “Amelia! Cepat pergi dari sini!”

“Sial, kita harus cepat pergi dari sini!” Luthfi kembali menarik lengan Amelia, “Lihat itu!”

Mata gadis itu membelalak ketika raksasa itu mulai berjalan ke arah mereka. Dentuman kembali terdengar, kali ini diiringi suara raungan yang amat keras, masing-masing bersahutan dari mulut para penduduk pria desa itu yang terikat menjadi satu dalam tubuh sang raksasa.

Namun, mata salah pria di tubuh raksasa itu menatap Amelia dengan raut berbeda. Bukan kemarahan, melainkan kerinduan. Gadis itu segera mengenali siapa pria itu, walaupun ini baru kali pertama ia berjumpa dengannya.

“Papa!” jeritnya, “Papa!”

Pria itu terlihat menggeliat dan berusaha memberontak. Ia berniat membebaskan diri dari belitan anyaman manusia itu. Kulitnya bahkan mengelupas ketika ia berusaha melepaskan diri dari kulit pria di sebelahnya yang menempel erat padanya berkat cairan ubur-ubur itu. Akan tetapi, satu rontaan kecil itu membuat koordinasi seluruh tubuh raksasa itu menjadi kacau balau. Satu ikatan yang lepas memicu reaksi berantai yang menyebabkan seluruh tubuh itu mulai tercerai berai. Terdengar teriakan yang amat keras, baik dari tubuh raksasa itu maupun para wanita yang berjaga di pantai, ketika sang “dewa” itu mulai runtuh. Satu demi satu pria yang menyusun tubuh itu terjatuh dan rubuh.

“Tidaaaaak!” jerit Nora, “Kau merusak segalanya!”

Iapun menikam perut ibunya hingga wanita itu tersungkur di tanah.

“Ibuuuu!!!” jerit Amelia.

“Berikutnya kau!” dengan tatapan yang tak waras ia mengacungkan pisau itu ke arah Amelia dan hendak menerkamnya. Namun ...

“Amel, cepat lari!” Luthfi segera menyalakan lampu flash kameranya dan memecah perhatian Nora. Gadis itu terkejut dengan terangnya kilatan itu dan menjatuhkan pisau itu. Pemuda itu segera memanfaatkannya dengan menggamit lengan Amelia dan menariknya pergi.

“Ayo, cepat!”

Ta ...tapi ...”

Tubuh raksasa itu jatuh tepat di air laut dan menimbulkan tsunami yang langsung menerpa para wanita dan seluruh desa itu. Hantaman ombak itu juga langsung menyapu tubuh Amelia dan Luthfi hingga mereka tak sadarkan diri.

***

 

Baik Amelia dan Luthfi tak tahu apa yang terjadi berikutnya. Yang jelas begitu sadar, mereka telah berada di dalam helikopter SAR. Para petugas penyelamat mengatakan bahwa guncangan itu terbaca oleh alat pendeteksi tsunami sehingga memperingatkan para seismolog di daratan utama. Mereka segera mengirimkan tim SAR ke sana untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari pulau itu.

Namun, tak banyak.

Tim SAR memutuskan mengevakuasi mereka berdua dan membawanya dengan helikopter. Anehnya, walaupun membutuhkan bantuan medis, warga lain yang selamat menolak pergi dari pulau itu. Mereka memutuskan tinggal, walaupun bencana tadi menghempaskan seluruh desa mereka dan konon, menewaskan sebagian besar populasi pria di pulau itu.

Semenjak kejadian itu, Amelia tak pernah lagi mendengar kabar tentang keluarga kandungnya. Polisi dan tim penyelamat tak berkata apa-apa. Mereka hanya mengatakan bahwa tsunami itu disebabkan oleh letusan vulkanik sebuah gunung berapi di dasar laut, tak lebih dari itu. Sebuah fenomena alam yang tragis, namun memang rentang terjadi di Ring of Fire.

Akan tetapi tak ada yang menyebutkan kenapa tubuh para pria itu telanjang, beberapa dengan tubuh masih terikat satu sama lain oleh substansi merah yang aneh, hingga koin-koin emas Belanda itu. Hanya ada sekilas berita bahwa saat kejadian itu, para penduduk kebetulan sedang melakukan sebuah upacara keagamaan yang diadakan tiap bulan purnama, sehingga banyak korban jiwa yang lenyap.

Amelia sempat menghubungi Luthfi setelah kejadian itu. Ia bertanya kenapa pemuda itu tidak membuat berita tentangnya, padahal ia beruntung menjadi saksinya. Luthfi hanya mengatakan bahwa ia sudah menulisnya, tapi atasannya menolak untuk menerbitkan berita itu. Pemuda itu juga meminta Amelia agar tak lagi menghubunginya. Entah apa yang sudah dialami pemuda itu.

Tak ada kabar lain tentang pulau itu, sekeras apapun Amelia mencari. Artikel terakhir menyebutkan pulau itu ditutup dari kunjungan wisatawan untuk pemulihan kondisi pulau itu pasca-tsunami.

Hingga pada hari ini, Amelia tak sengaja menyaksikan sebuah berita tentang kecelakaan pesawat yang terjadi tepat di atas pulau itu. Tak ada yang tahu penyebabnya dan barang-barang milik korban juga belum ditemukan.


BERSAMBUNG

 

 

1 comment: