Friday, September 27, 2024

RITUAL ILMU HITAM: BAB 2 – GUBUG DI TENGAH HUTAN

Ketika Poppy tiba-tiba menghilang di dalam hutan, itu menjadi awal sebuah petaka, tak hanya bagi teman-teman sekelasnya, namun juga semua orang yang tak beruntung berpapasan dengannya di hidup mereka.

 


“Poppy!” panggil mereka. “Dimana kau?”

Mereka melintasi pepohonan di hutan itu, masih memanggil namanya.

“Poppy!” teriak guru itu, “Bus akan segera berangkat!”

Suara gemerisik dedaunan sesekali terdengar. Daun-daun kering mulai berguguran di sekitar mereka, tertiup angin. Panas menyengat sesekali dari sela-sela ranting yang telanjang, siap menyambut kemarau yang panjang. Menderitalah, mungkin itu yang akan dibisikkan pohon-pohon meranggas itu jika mereka bisa berbicara.

“Kalian ini gimana sih?” keluh sang guru dengan kesal, “Kan kalian sudah kusuruh saling menjaga satu sama lain!”

“Maaf, Pak …” jawab mereka dengan gugup, “Anak itu sukanya menyendiri jadinya …”

Brama menatap murid-muridnya dengan tajam begitu mendengar jawaban itu, “Kalian tidak melakukannya lagi kan?”

“Melakukan apa, Pak?”

“Merundungnya!”

“Ka … kami? Kami bukan tukang bully!”

“Jangan pura-pura memasang wajah tak berdosa seperti itu,” ujarnya marah, “Aku tak mau insiden terakhir terulang kembali! Nama baik sekolah kita bisa … ”

“Lihat! Ada sebuah gubuk!” salah satu anak menunjuk. Pria itupun menoleh.

Benar, sebuah gubuk tengah berdiri diam di tengah hutan itu, seolah menanti kedatangan mereka. Atapnya terbuat dari rumbai daun kelapa yang menjuntai dan dindingnya pun tersusun dari papan-papan kayu yang telah lapuk. Sebuah pintu tampak menggantung, hampir patah dimakan usia. 

“Mungkin dia ada di sana. Cepat kalian cek!”

“Huh, merepotkan saja!” keluh salah satu murid yang masih berseragam putih abu-abu itu, “Darmawisata kita bisa runyam nanti. Belum sampai saja sudah ada anak yang hilang!”

“Lagian tujuannya juga ngebosenin kok. Gue sih lebih mending ke pantai.”

“Wisata edukatif,” dengusnya, “Apaan tuh? Mana kita bayar lagi!”

Mereka berdua akhirnya sampai di gubuk reyot itu. Anehnya, walaupun seluruh bagian pondok itu sudah lusuh dan terlihat mau ambruk, ada bekas cor semen yang masih baru di lantai. Bahkan, itu satu-satunya tempat yang mereka anggap aman untuk berpijak, alih-alih lantai kayu yang berlubang karena mulai digerogoti serangga. Bahkan, mungkin tak terhitung makhluk menggelikan yang tengah berkeriapan di bawahnya.

“Hei, apa itu dia?” tunjuk salah satu dari mereka.

Seorang gadis dengan baju seragam sekolah mereka tengah tertunduk di ruangan itu. Rambutnya yang hitam panjang terurai menutupi wajahnya.

“Hei, Poppy! Apa yang kau lakukan di situ? Seisi kelas mencarimu!”

Namun gadis itu masih tak bereaksi.

“Sialan, dia malah pura-pura nggak dengar.” bisik salah satu dari mereka.

“Hei, kembali ke bus sekarang! Kalau nggak, Pak Brama akan marah sekali!”

“Anak culun itu emang selalu nyusahin!” gerutu kedua siswa itu saat berbalik pergi, meninggalkan Poppy di sana. Mereka sama sekali tak melihat, bahwa ketika Poppy akhirnya mendongak, seluruh bola matanya berwarna putih dan ia mengomat-ngamitkan perkataan yang sama sekali tak dimengerti siapapun. Sebuah bahasa kuno.

Ia kemudian berjalan ke sebuah kotak kayu yang terpuruk di sudut gubuk itu.  Dari dalamnya, ia mengambil sebilah clurit dan sehunus parang berkarat.

Gadis itu menyembunyikan kedua senjata itu di dalam tasnya dan melangkah pergi, keluar dari gubug, mengikuti dua teman sekelasnya itu.

***

 

“APA? KEMBALI?” tanya Pak Brama dengan heran. “Kenapa? Kita kan sudah separuh perjalanan?”

“Apa Bapak tidak tahu apa yang sedang terjadi di ibu kota? Benar-benar kacau! Kepala sekolah juga amat khawatir dengan keselamatan anak-anak!”

Pak Brama mendengus napas kesal. Namun sopir itu tadi menyebutkan nama kepala sekolah; autoritas yang tak mampu dibantahkan.

“Baiklah, kalau begitu. Tapi anak-anak pasti kecewa.” Pak Brama berbalik ke arah murid-muridnya ketika bus mulai melaju. “Ada pengumuman. Darmawisata kita dibatalkan!”

Tak ia duga, justru terdengar suara riuh gembira anak-anak yang sepertinya memang sejak awal tak menantikan perjalanan study tour itu. Seorang remaja, yang dikenal sebagai badut kelas, tiba-tiba saja bangkit dan menengadahkan tangannya, memimpin mereka untuk bernyanyi merayakannya.

“GO GO GO, ALE ALE ALE!”

Sorakan itu segera disambut oleh teman-temannya dengan tepuk tangan. Semua pun ikut menyanyikannya.

“Halo? Halo?” seorang anak berusaha berbicara dengan orang tuanya melalui telepon genggam Nokia berantena yang dipegangnya. Namun, suara gegap gempita teman-temannya yang bernyanyi membuatnya kesulitan mendengar apa yang dikatakan lawan bicaranya.

“Huh, kamu sok banget sih pamer di depan kita?” ujar teman sebangkunya dengan kesal, “Iya percaya deh kamu yang pertama megang telepon keluaran terbaru itu di kelas kita.”

“Bukan itu!” ia menaruh telepon genggamnya kembali dengan gusar, “Ayahku terlihat sangat panik dan menyuruhku pulang sesegera mungkin. Sepertinya terjadi sesuatu.”

“Ada apa memangnya?” tanyanya heran.

“Mana kutahu, aku tadi nggak bisa dengar apa-apa gara-gara suara bising ini!” ujarnya jengah, apalagi ia adalah anak introvert yang tak berani serta-merta mengoreksi kerusuhan kelasnya. Pak Brama yang segalak itu saja tak bisa berbuat apa-apa, apalagi dia.

“Hei, diam—“ ia ingin sekali berteriak, namun tiba-tiba saja, suara itu terhenti.

Seseorang di kursi belakang telah melemparkan sesuatu yang langsung membuat bus itu sunyi senyap, begitu benda yang berputar beberapa kali di udara itu akhirnya tertancap di kepala sang badut kelas.

Ia bahkan tak sadar apa yang telah terjadi kepadanya. Yang jelas, seisi kelas menatap dengan ngeri sabit yang kini tertusuk di dahinya. Ketika darah yang mengalir melalui sela-sela retakan yang timbul di tengkorak pemuda itu menitik ke lantai, barulah mereka berani menggumamkan teriakan.

“AAAAAAAAAA!!!”

Tubuh pemuda itu langsung tersungkur tak bernyawa. Tak ada yang sempat menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang barusan melemparnya. Hanya dalam selisih waktu kurang dari sedetik setelah seisi kelas menyadari apa yang terjadi di hadapan mereka, sang pelakunya sudah bergeser ke depan, menyusuri lorong di antara bangku-bangku di dalam bus itu. Ia mencabut sabit itu dari kepalanya hingga darah mengucur deras dari luka di tengkoraknya yang kini menganga lebar; pertanda bahwa ia belumlah selesai.

Baginya, ini barulah permulaan.

Ia lalu menyabetkan sabit itu ke arah perut salah satu anak yang duduk di sampingnya. Kemudian ia menariknya, memburaikan isi perutnya yang langsung terciprat ke arah teman-teman sekelasnya.

“AAAA!” pemuda yang tadi memegang handphone menjadi sasaran berikutnya ketika sang penjagal itu menjambak rambutnya dan langsung memenggal kepalanya dengan sekali tebas.

Teman sebangkunya segera panik dan berusaha membuka jendela, namun sang pembantai itu berhasil menariknya kembali, tanpa peduli rontaannya. Anak itu hanya berhasil menongolkan kepalanya di luar, yang langsung membuatnya tersadar bahwa itu adalah kesalahan terbesarnya. Sebab, kepalanya yang terjuntai di luar jendela itu segera menghantam sebuah papan petunjuk jalan, memisahkannya dari sisa tubuhnya yang masih terjebak di dalam bus.

“AAAAAAAAAA!” jerit mereka setelah darah yang terbawa angin terciprat di jendela-jendela. Teriakan mereka makin menjadi-jadi, terutama setelah ia kembali menebas dan menusuk teman-temannya yang lain menggunakan parang yang ia bawa di tangan satunya.

“A … apa yang terjadi di sana?” teriak Pak Brama yang tak mampu melihat jelas apa yang tengah terjadi karena anak-anak yang bangkit dan berlarian ke arahnya dengan panik.

Semua teriakan itu tiba-tiba menghening. Pak Brama bahkan tak sempat menyadari butiran-butiran darah yang terciprat di wajahnya. Ia hanya menatap murid-muridnya di hadapannya yang kini terdiam, seolah nyawa mereka telah tercabut dari tubuh mereka dan membungkam jasad mereka selamanya.

Tubuh mereka segera terpisah-pisah dan berjatuhan, bak daging yang dicemplungkan ke dalam kaldu sop ketika sang koki menyiapkannya. Potongan-potongan tubuh itu tenggelam dalam genangan darah mereka sendiri.

Dari baliknya, Pak Brama bisa melihat siapa pelakunya.

“Poppy?” ujarnya merinding, “Ke … kenapa kau melakukan ini semua?”

Gadis itu hanya tersenyum sembari menghunus parang yang barusan ia gunakan untuk menebas tubuh teman-temannya dengan sekali sabet. Dari balik bibirnya yang terkunci dalam seringainya itu, lidahnya masih menggeliat tak tenang di dalam rongga mulutnya, seolah belumlah puas mencicipi aroma darah.

Akan tetapi, matanya yang haus darah itu tak terarah kepada guru itu, melainkan pada sopir yang berada di belakangnya.

Brama menoleh dengan perlahan ke arahnya.

“Ce … celaka …”

Dalam hitungan detik, Poppy segera menancapkan parangnya menembus kursi sopir itu hingga mencuat dari balik perut gembulnya. Segera, tubuh pria itu ambruk dan menimpa setir yang terputar ke arah kanan, membawa bus itu terhujam tanpa kendali ke arah hutan yang membujur di sisi jalanan.

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment