Monday, January 27, 2025

GUNDALA: SUPERNOVA – CHAPTER 5

 


SANG PANGERAN

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“Akhirnya kau mengungkapkan identitasmu yang sebenarnya, Buana.” Sancaka menyatakan kelegaannya, “Namun kau tak perlu berlutut kepadaku.”

“Aku tak memohon padamu, Tolol! Aku berbicara pada gadis itu.”

Sancaka yang telah kembali ke wujud mulanya hanya bisa mengerutkan dahi.

“A ... aku?” Dhana terlihat kebingungan, “Aku bahkan tak tahu bagaimana caraku membangkitkan tsunami tadi. Aku tak pernah melakukannya sebelumnya.”

Buana, yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai Pangeran Mlaar bangkit berdiri, “Itu karena kristal yang kau kenakan. Itu adalah Inti Atom dari planetmu.”

“Inti Atom?” tanya Dhana dan Sancaka bersamaan.

“Semua planet memiliki Inti Atom, sebuah batu yang merepresentasikan energi dan kehidupan yang dimiliki oleh planet tersebut. Bahkan Bumi pasti juga memilikinya, walau aku belum pernah melihatnya.”

“Batu yang kau miliki juga?” tanya Sancaka.

“Kristal lithium ini, yang oleh bangsa kalian disebut Kunzite, merupakan Inti Atom planetku, Covox. Sedangkan batu mulia berwarna biru itu pasti berasal dari planetmu, walaupun aku belum tahu darimana itu sebenarnya.”

“Tunggu dulu, apa maksudmu dengan planet? Aku berasal dari planet lain, itu yang kau coba bicarakan?” Dhana kelabakan menerima semua informasi itu.

Buana terlihat heran, “Kau sendiri tak tahu tentang hal itu?”

“Hei hei ... tunggu dulu! Jelaskan tentang tiga makhluk yang baru saja kita kalahkan itu. Siapa mereka?” potong Sancaka.

Sebuah hologram tiba-tiba muncul, menyentak mereka. Namun Buana justru tersenyum melihatnya.

“Ayah, kau datang.”

“Kurasa sudah aman sekarang karena Trio Disastro yang dikirim Telern untuk membunuhmu kini telah musnah.”

“Siapa sebenarnya kalian?” Sancaka kebingungan.

“Dahulu planet kami hidup damai, Sancaka. Hingga 2,5 juta tahun, di galaksi kami yang kalian sebut sebagai Andromeda, bintang kami meledak menjadi supernova.”

“Supernova?”

“Ya, akibatnya planet kami terpental dan menjadi, apa yang manusia sebut sebagai planet Rogue ...”

“Planet Rogue,” Sancaka mengerti istilah itu, “Planet yang kehilangan matahari sebagai pusat revolusinya dan terombang-ambing di alam semesta.” Ia sering mendengar tentang planet “Rogue” ini kala teori kiamat 2012 merebak. Banyak yang mengatakan sebuah planet Rogue bernama Nibiru akan menghantam Bumi. Namun kenyataannya tidaklah demikian.

“Planet kami memang terombang-ambing tanpa tuan dan mengembara ke berbagai penjuru alam semesta, terlontar dari satu galaksi ke galaksi lain. Di berbagai tempat yang kami lalui, kami mencoba bertahan hidup dengan mengambil materi yang ada pada bintang dan planet yang kami lewati. Karena itu, walaupun tak memiliki tata surya yang tetap, kami hidup dan berkecukupan hingga ...”

“Hingga Menteri Telern, orang kepercayaan ayahku berkhianat.” ucap Buana geram.

“Apa yang ia lakukan?” tanya Dhana.

Wajah seorang gadis yang amat cantik muncul bak hologram di hadapan mereka. Rambutnya berwarna keperakan, sinkron dengan kulitnya yang seputih salju.

“Ini adalah tunanganku, Dewi Argento yang dijuluki Putri Kepala Perak. Pada hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan kami, ia diculik oleh Menteri Telern yang juga berniat memperistrinya. Ia telah mendeklarasikan pemberontakan dan memberikan ultimatum pada ayahku untuk menyerahkan tampuk kekuasaan. Tentu saja kami menolak, namun Menteri Telern justru mengutus para pembunuh bayarannya untuk mengincarku. Demi keselamatanku, akupun melarikan diri hingga ke sini.”

“Terima kasih kalian telah menjaga putraku hingga saat ini. Kurasa inilah saatnya putraku kembali untuk merebut apa yang telah menjadi haknya.”

“Bagaimana kau bisa pulang? Kau memiliki UFO atau semacamnya?”

Buana menggeleng, “Mereka telah menghancurkan pesawatku. Namun ada jalan lain. Tiga Inti Atom, jika disatukan, akan membentuk sebuah gerbang. Dengan melalui gerbang itu, aku akan bisa pulang.”

“Tiga Inti Atom? Dengan milikmu dan milkku, kita hanya membutuhkan satu kristal lagi.” ucap Dhana.

“Kurasa Godam juga memiliki satu,” Sancaka teringat, “Kurasa tak masalah jika kita meminjamnya.”

“Tak perlu,” seutas suara mengagetkan mereka. Tak ada yang menyangka siapa pemilik suara itu. Ia mengulurkan kristal Zirconium ke arah mereka.

Gadriel.

“Kau?” ucap Buana terkejut. Ia langsung memasang kuda-kuda untuk melawannya.

“Jangan khawatir! Aku tak lagi berhasrat membunuhmu.” pria berseragam hijau itu mengangkat telapak tangannya, “Tidak setelah Xandroid sialan itu berusaha membunuhku. Aku justru berterima kasih telah menyingkirkannya.”

“Baguslah. Apabila tiga kristal telah terkumpul maka gerbang dapat dibuka.”

“Tunggu!” Buana menoleh, “Ayah tak sungguh percaya pada orang ini kan? Ia anak buah Telern!”

“Kau mau bantuanku atau tidak?” tawar Gadriel.

Buana tak memiliki pilihan lain. “Bagaimana dengan pesawatmu kalau begitu? Kau masih memilikinya?”

“Hancur saat menghantam bumi,” jawabnya, “Pendaratan kami kurang mulus saat itu.”

“Mengapa kita masih membutuhkan pesawat?” tanya Dhana, “Bukankah kita sudah memiliki tiga kristal yang sudah cukup untuk membuka gerbang seperti yang kau katakan itu?”

Buana menggeleng, “Gerbang itu sebaiknya dibuka di ruang vakum, agar tidak menimbulkan dampak yang tidak diinginkan di Bumi. Satu-satunya cara adalah pergi ke antariksa.”

“Bagaimana cara kita pergi ke sana?” Sancaka berpikir, “Kita tak punya roket.”

“Kalian membutuhkan pesawat luar angkasa?”

Mereka semua menoleh dan melihat Willy berdiri di depan reruntuhan rumahnya.

***

 

Mereka membantu Willy mengangkat reruntuhan dari lantai rumahnya dan terlihatlah sebuah pintu rahasia. Willy mengangkat pintu itu dan sebuah tangga terlihat menuju ke ruang bawah tanah.

Ia menyalakan lentera dan menuntun putri dan para tamunya masuk. Di dalam sana, mereka semua takjub akan apa yang mereka lihat.

Sebuah UFO yang penuh dengan debu, namun masih fantastis untuk dilihat.

“Anda menyimpan pesawat alien di bawah rumah?” tanya Sancaka tak percaya.

“Di sinilah kami menemukanmu, Dhana.” Ayahnya mengusap debu dari permukaan benda itu dan terlihatlah permukaan metaliknya yang mengkilat dan inkripsi dari bahasa yang tak dikenal dari bumi.

Gadis itu hanya melongo melihatnya.

“16 tahun lalu, aku sedang berlayar ketika melihat bintang jatuh dari langit. Aku melajukan kapalku mendekatinya dan melihat kapal ini mengapung di atas permukaan laut. Begitu membukanya, ada dirimu di dalamnya. Saat itu kau masih bayi. Ketika aku menunjukkannya pada mendiang ibumu, ia bersikeras untuk merawatmu.”

Air mata tanpa sadar mengaliri pipi Dhana. Ternyata Bumi dan lautannya bukanlah kampung halamannya.

Karena itulah ia selalu merasa berbeda.

“Apakah kau bersedia ikut, Gundala?”

Pemuda itu menoleh, “Tentu saja, Kaisar. Anggap saja ini adalah balas budiku karena kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku hanya belum bisa mengerti, mengapa kau begitu berbaik hati padaku.”

“Karena aku tahu,” jawab hologram itu, “Bahwa kau akan menjadi ksatria yang kuat!”

Kristal Kunzite-mu akan menavigasi pesawat ini untuk kembali ke planetmu.” ujar Gadriel, “Dan aku dengan senang hati akan ikut untuk menunggangbalikkan kekuasaan Telern.”

Dalam hati, Sancaka masih belum bisa percaya dengan pengkhianat itu.

“Apa benar kau mau ikut?” Sancaka berbalik mengalihkan perhatiannya pada Dhana.

Gadis itu mengusap air matanya, “Aku akan ikut. Aku kasihan pada gadis berambut perak itu.”

Dhana menatapnya, “Kurasa nasibnya sama denganku. Dipermainkan lelaki.”

Sancaka menyipitkan matanya, “Apa kau berusaha menyindirku? Dengar ya, ini semua ide Buana!”

“Heh, enak saja kau menyalahkanku!” Buana mengulurkan tangannya untuk memukul kepala Sancaka.

Mereka berdua kembali berdebat.

“Hei, hei!” seru Willy, “Usahakan kalian kembalikan putriku dalam keadaan selamat, oke?!”

“Aku tahu kalian berdua tidak akur,” Kaisar Kronz berkata, “Namun kalian harus ...”

Tiba-tiba hologram itu terkoyak, seperti transmisi siaran televisi yang terganggu.

“Mereka...datang...”

“Ayah!” Buana mencium ada yang tidak beres.

“Mereka...su...dah...ada...di...sini...”

“Ka...lian...ha...rus...cep...at....”

Hologram itupun lenyap.

“Ayah! Ayah!!!!” seru Buana.

“Sepertinya tentara Telern sudah mencapai istanamu, Pangeran.” kata Gadriel.

“Kita tak punya banyak waktu!” perintah Sancaka, “Kita harus bergegas!”

***

 

Pesawat luar angkasa milik Dhana sangatlah tidak nyaman, apalagi jika mereka berempat harus berdesak-desakan dalam ruangan yang sempit.

“Kapal ini dulu hanya muat untuk bayi Dhana dan sekarang harus menampung kita semua?” Gundala terlihat kesal, “Aku harap perjalanan kita tidak akan makan waktu lama.”

“Tentu tidak!” jawab Buana, “Lubang hitam akan membawa kita ke planetku dalam waktu sekejap!”

“TUNGGU!!!” seru Gundala terkejut, “LUBANG HITAM APA?”

“Kau pikir gerbang apa yang akan membuka dan membawa kita ke planetku? Tentu saja portal yang kalian sebut sebagai Jembatan Einstein-Rosen.”

“HEI TUNGGU!” seru Gundala tak setuju, “Kalian tak pernah mengatakan apapun tentang lubang hitam! Bagaimana jika kita tak bisa keluar dari sana!”

“Tenang saja. Ilmu fisika kami jauh lebih canggih daripada planet kalian. Kami tahu cara mengatasinya.” jawab Gadriel dengan enteng. “Yah, walaupun bagi beberapa orang yang sensitif, mungkin perjalanan melalui wormhole akan memiliki efek samping.”

“Efek samping seperti apa?” tanya Gundala dengan curiga.

“Kau pikir bagaimana aku mendapatkan kekuatan melar seperti ini. Karena gaya gravitasi lubang hitam tentu saja.”

“HEI! KEPARAT KALIAN! BATALKAN PERJALANAN INI!!!”

***

 

Terlambat bagi Gundala, ketiga kristal itu keburu membuka portal ke dunia lain. Perjalanan itu amat disesalinya. Ia tak pernah merasa semual itu dalam hidupnya. Namun Dhana tampaknya malah menikmati perjalanan itu sebab bisa bersandar pada Gundala karena sempitnya ruangan itu.

Begitu Gundala sadar, mereka telah tiba di galaksi lain. Ia menghembuskan napas lega. Terlihat di luar jendelanya keajaiban alam semesta. Beribu-ribu bintang bertaburan dan sebuah cahaya amat benderang menyinari galaksi itu.

“Apakah itu supernovanya?” tanya Gundala takjub.

“Jangan heran dulu. Cahayanya lebih terang ketika planet kami masih berada di dekatnya. Kini planet kami semakin menjauh.”

“Aku tak mengerti. Tanpa matahari, bagaimana planet kalian mendapatkan energi?”

“Supernova itu memberi kami pengetahuan. Hanya kami bangsa di alam semesta ini yang tak musnah walaupun berada cukup dekat dengan sebuah supernova. Kami memiliki waktu untuk mempelajarinya. Bahkan menciptakannya.”

“Menciptakannya?”

“Kekuatan fusi hidrogen menjadi helium yang menjadi bahan bakar sebuah planet bahkan tak ada apa-apanya jika dibandingkan energi yang dikeluarkan supernova. Kami menyebutnya sebuah ‘Dian’, prototipe supernova yang berhasil kami kembang biakkan dalam sebuah botol vial kecil, mungkin hanya seukuran tabung evendorff di planet kalian.”

Gundala semakin takjub. Ingin rasanya mempelajarinya juga untuk dibawanya ke Bumi. Namun ia mengurungkan niatnya tersebut. Pengetahuan itu terlalu berbahaya bagi mansuia yang haus akan perang dan kekuasaan. Energi fisi dan fusi nuklir saja sudah dikembangkan menjadi senjata pemusnah massal, apalagi jika manusia mengetahui cara menciptakan supernova. Bisa-bisa seluruh tata surya musnah akibat keserakahan manusia.

“Sayang sekali, energi seindah ini hendak dimanfaatkan Telern sebagai senjata untuk memusnahkan planet kami.”

“Benarkah? Dari semua ceritamu Telern tampaknya amat berbahaya. Ia harus dihentikan.”

“Aku setuju.”

“Apa itu planetmu?” tanya Gundala ketika menyaksikan sebuah planet mendekati mereka. Planet itu amat unik, berupa bola raksasa yang dikelilingi 2 cincin, satu vertikal dan satu horisontal, menjadikannya dua kali lebih indah ketimbang Saturnus. Cincin-cincin itu, Gundala menduga, pasti terbentuk akibat ledakan supernova yang menghancurkan planet-planet dan bulan-bulan kecil di sekitarnya yang kemudian reruntuhannya tertarik oleh gravitasi Covox.

Dilihat dari polanya, sepertinya planet itu memiliki empat kutub magnet, tidak seperti Bumi yang memiliki dua saja. Mungkin itu pulalah yang menyelamatkan planet itu dari kehancuran, karena kekuatan sabuk radiasi Van Allen yang melindunginya juga dua kali lebih kuat dari Bumi.

UFO itu masuk ke dalam atmosfer planet Covox disertai guncangan. Mereka melihat lembah-lembah berbatu yang tandus di bawah mereka, kontras dengan langit yang gelap dengan cincin menjulang di atas mereka. Cincin itu meninggalkan jalur bayangan hitam di daratan planet tersebut.

“Karena aku sudah pulang ke planet ini,” Gadriel tersenyum licik, “Maka keberadaan kalian tak kubutuhkan lagi!”

“Apa?” sentak Gundala.

Tiba-tiba saja Gadriel membuka kokpit dan melontarkan mereka bertiga dari dalam pesawat.

Tertarik gaya gravitasi planet tersebut, mereka meluncur, menghujam bak peluru ke tanah.

BERSAMBUNG

 

No comments:

Post a Comment