SANG PANGERAN
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Akhirnya
kau mengungkapkan identitasmu yang sebenarnya, Buana.” Sancaka menyatakan
kelegaannya, “Namun kau tak perlu berlutut kepadaku.”
“Aku
tak memohon padamu, Tolol! Aku berbicara pada gadis itu.”
Sancaka
yang telah kembali ke wujud mulanya hanya bisa mengerutkan dahi.
“A ...
aku?” Dhana terlihat kebingungan, “Aku bahkan tak tahu bagaimana caraku
membangkitkan tsunami tadi. Aku tak pernah melakukannya sebelumnya.”
Buana,
yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai Pangeran Mlaar bangkit berdiri, “Itu
karena kristal yang kau kenakan. Itu adalah Inti Atom dari planetmu.”
“Inti Atom?”
tanya Dhana dan Sancaka bersamaan.
“Semua
planet memiliki Inti Atom, sebuah batu yang merepresentasikan energi dan
kehidupan yang dimiliki oleh planet tersebut. Bahkan Bumi pasti juga
memilikinya, walau aku belum pernah melihatnya.”
“Batu
yang kau miliki juga?” tanya Sancaka.
“Kristal
lithium ini, yang oleh bangsa kalian disebut Kunzite, merupakan Inti Atom planetku,
Covox. Sedangkan batu mulia berwarna biru itu pasti berasal dari planetmu,
walaupun aku belum tahu darimana itu sebenarnya.”
“Tunggu
dulu, apa maksudmu dengan planet? Aku berasal dari planet lain, itu yang kau
coba bicarakan?” Dhana kelabakan menerima semua informasi itu.
Buana
terlihat heran, “Kau sendiri tak tahu tentang hal itu?”
“Hei
hei ... tunggu dulu! Jelaskan tentang tiga makhluk yang baru saja kita kalahkan
itu. Siapa mereka?” potong Sancaka.
Sebuah
hologram tiba-tiba muncul, menyentak mereka. Namun Buana justru tersenyum
melihatnya.
“Ayah,
kau datang.”
“Kurasa sudah aman sekarang
karena Trio Disastro yang dikirim Telern untuk membunuhmu kini telah musnah.”
“Siapa
sebenarnya kalian?” Sancaka kebingungan.
“Dahulu planet kami hidup
damai, Sancaka. Hingga 2,5 juta tahun, di galaksi kami yang kalian sebut
sebagai Andromeda, bintang kami meledak menjadi supernova.”
“Supernova?”
“Ya, akibatnya planet kami
terpental dan menjadi, apa yang manusia sebut sebagai planet Rogue ...”
“Planet
Rogue,” Sancaka mengerti istilah itu, “Planet yang kehilangan matahari sebagai
pusat revolusinya dan terombang-ambing di alam semesta.” Ia sering mendengar
tentang planet “Rogue” ini kala teori kiamat 2012 merebak. Banyak yang
mengatakan sebuah planet Rogue bernama Nibiru akan menghantam Bumi. Namun
kenyataannya tidaklah demikian.
“Planet kami memang
terombang-ambing tanpa tuan dan mengembara ke berbagai penjuru alam semesta,
terlontar dari satu galaksi ke galaksi lain. Di berbagai tempat yang kami
lalui, kami mencoba bertahan hidup dengan mengambil materi yang ada pada
bintang dan planet yang kami lewati. Karena itu, walaupun tak memiliki tata
surya yang tetap, kami hidup dan berkecukupan hingga ...”
“Hingga
Menteri Telern, orang kepercayaan ayahku berkhianat.” ucap Buana geram.
“Apa
yang ia lakukan?” tanya Dhana.
Wajah
seorang gadis yang amat cantik muncul bak hologram di hadapan mereka. Rambutnya
berwarna keperakan, sinkron dengan kulitnya yang seputih salju.
“Ini
adalah tunanganku, Dewi Argento yang dijuluki Putri Kepala Perak. Pada hari
yang seharusnya menjadi hari pernikahan kami, ia diculik oleh Menteri Telern
yang juga berniat memperistrinya. Ia telah mendeklarasikan pemberontakan dan
memberikan ultimatum pada ayahku untuk menyerahkan tampuk kekuasaan. Tentu saja
kami menolak, namun Menteri Telern justru mengutus para pembunuh bayarannya
untuk mengincarku. Demi keselamatanku, akupun melarikan diri hingga ke sini.”
“Terima kasih kalian telah
menjaga putraku hingga saat ini. Kurasa inilah saatnya putraku kembali untuk
merebut apa yang telah menjadi haknya.”
“Bagaimana
kau bisa pulang? Kau memiliki UFO atau semacamnya?”
Buana
menggeleng, “Mereka telah menghancurkan pesawatku. Namun ada jalan lain. Tiga Inti
Atom, jika disatukan, akan membentuk sebuah gerbang. Dengan melalui gerbang
itu, aku akan bisa pulang.”
“Tiga Inti
Atom? Dengan milikmu dan milkku, kita hanya membutuhkan satu kristal lagi.”
ucap Dhana.
“Kurasa
Godam juga memiliki satu,” Sancaka teringat, “Kurasa tak masalah jika kita
meminjamnya.”
“Tak
perlu,” seutas suara mengagetkan mereka. Tak ada yang menyangka siapa pemilik
suara itu. Ia mengulurkan kristal Zirconium ke arah mereka.
Gadriel.
“Kau?”
ucap Buana terkejut. Ia langsung memasang kuda-kuda untuk melawannya.
“Jangan
khawatir! Aku tak lagi berhasrat membunuhmu.” pria berseragam hijau itu
mengangkat telapak tangannya, “Tidak setelah Xandroid sialan itu berusaha
membunuhku. Aku justru berterima kasih telah menyingkirkannya.”
“Baguslah. Apabila tiga kristal
telah terkumpul maka gerbang dapat dibuka.”
“Tunggu!”
Buana menoleh, “Ayah tak sungguh percaya pada orang ini kan? Ia anak buah
Telern!”
“Kau
mau bantuanku atau tidak?” tawar Gadriel.
Buana
tak memiliki pilihan lain. “Bagaimana dengan pesawatmu kalau begitu? Kau masih
memilikinya?”
“Hancur
saat menghantam bumi,” jawabnya, “Pendaratan kami kurang mulus saat itu.”
“Mengapa
kita masih membutuhkan pesawat?” tanya Dhana, “Bukankah kita sudah memiliki
tiga kristal yang sudah cukup untuk membuka gerbang seperti yang kau katakan
itu?”
Buana
menggeleng, “Gerbang itu sebaiknya dibuka di ruang vakum, agar tidak
menimbulkan dampak yang tidak diinginkan di Bumi. Satu-satunya cara adalah
pergi ke antariksa.”
“Bagaimana
cara kita pergi ke sana?” Sancaka berpikir, “Kita tak punya roket.”
“Kalian membutuhkan pesawat
luar angkasa?”
Mereka
semua menoleh dan melihat Willy berdiri di depan reruntuhan rumahnya.
***
Mereka
membantu Willy mengangkat reruntuhan dari lantai rumahnya dan terlihatlah
sebuah pintu rahasia. Willy mengangkat pintu itu dan sebuah tangga terlihat
menuju ke ruang bawah tanah.
Ia
menyalakan lentera dan menuntun putri dan para tamunya masuk. Di dalam sana,
mereka semua takjub akan apa yang mereka lihat.
Sebuah
UFO yang penuh dengan debu, namun masih fantastis untuk dilihat.
“Anda
menyimpan pesawat alien di bawah rumah?” tanya Sancaka tak percaya.
“Di
sinilah kami menemukanmu, Dhana.” Ayahnya mengusap debu dari permukaan benda
itu dan terlihatlah permukaan metaliknya yang mengkilat dan inkripsi dari
bahasa yang tak dikenal dari bumi.
Gadis
itu hanya melongo melihatnya.
“16
tahun lalu, aku sedang berlayar ketika melihat bintang jatuh dari langit. Aku
melajukan kapalku mendekatinya dan melihat kapal ini mengapung di atas
permukaan laut. Begitu membukanya, ada dirimu di dalamnya. Saat itu kau masih
bayi. Ketika aku menunjukkannya pada mendiang ibumu, ia bersikeras untuk
merawatmu.”
Air
mata tanpa sadar mengaliri pipi Dhana. Ternyata Bumi dan lautannya bukanlah
kampung halamannya.
Karena
itulah ia selalu merasa berbeda.
“Apakah kau bersedia ikut,
Gundala?”
Pemuda
itu menoleh, “Tentu saja, Kaisar. Anggap saja ini adalah balas budiku karena
kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku hanya belum bisa mengerti, mengapa kau
begitu berbaik hati padaku.”
“Karena aku tahu,” jawab hologram itu, “Bahwa kau akan menjadi ksatria yang
kuat!”
Kristal
Kunzite-mu akan menavigasi pesawat ini untuk kembali ke planetmu.” ujar Gadriel,
“Dan aku dengan senang hati akan ikut untuk menunggangbalikkan kekuasaan
Telern.”
Dalam
hati, Sancaka masih belum bisa percaya dengan pengkhianat itu.
“Apa
benar kau mau ikut?” Sancaka berbalik mengalihkan perhatiannya pada Dhana.
Gadis
itu mengusap air matanya, “Aku akan ikut. Aku kasihan pada gadis berambut perak
itu.”
Dhana
menatapnya, “Kurasa nasibnya sama denganku. Dipermainkan lelaki.”
Sancaka
menyipitkan matanya, “Apa kau berusaha menyindirku? Dengar ya, ini semua ide Buana!”
“Heh,
enak saja kau menyalahkanku!” Buana mengulurkan tangannya untuk memukul kepala
Sancaka.
Mereka
berdua kembali berdebat.
“Hei,
hei!” seru Willy, “Usahakan kalian kembalikan putriku dalam keadaan selamat,
oke?!”
“Aku tahu kalian berdua tidak
akur,” Kaisar
Kronz berkata, “Namun kalian harus ...”
Tiba-tiba
hologram itu terkoyak, seperti transmisi siaran televisi yang terganggu.
“Mereka...datang...”
“Ayah!”
Buana mencium ada yang tidak beres.
“Mereka...su...dah...ada...di...sini...”
“Ka...lian...ha...rus...cep...at....”
Hologram
itupun lenyap.
“Ayah!
Ayah!!!!” seru Buana.
“Sepertinya
tentara Telern sudah mencapai istanamu, Pangeran.” kata Gadriel.
“Kita
tak punya banyak waktu!” perintah Sancaka, “Kita harus bergegas!”
***
Pesawat
luar angkasa milik Dhana sangatlah tidak nyaman, apalagi jika mereka berempat
harus berdesak-desakan dalam ruangan yang sempit.
“Kapal
ini dulu hanya muat untuk bayi Dhana dan sekarang harus menampung kita semua?”
Gundala terlihat kesal, “Aku harap perjalanan kita tidak akan makan waktu
lama.”
“Tentu
tidak!” jawab Buana, “Lubang hitam akan membawa kita ke planetku dalam waktu
sekejap!”
“TUNGGU!!!”
seru Gundala terkejut, “LUBANG HITAM APA?”
“Kau
pikir gerbang apa yang akan membuka dan membawa kita ke planetku? Tentu saja
portal yang kalian sebut sebagai Jembatan Einstein-Rosen.”
“HEI
TUNGGU!” seru Gundala tak setuju, “Kalian tak pernah mengatakan apapun tentang
lubang hitam! Bagaimana jika kita tak bisa keluar dari sana!”
“Tenang
saja. Ilmu fisika kami jauh lebih canggih daripada planet kalian. Kami tahu
cara mengatasinya.” jawab Gadriel dengan enteng. “Yah, walaupun bagi beberapa
orang yang sensitif, mungkin perjalanan melalui wormhole akan memiliki efek samping.”
“Efek
samping seperti apa?” tanya Gundala dengan curiga.
“Kau
pikir bagaimana aku mendapatkan kekuatan melar seperti ini. Karena gaya
gravitasi lubang hitam tentu saja.”
“HEI!
KEPARAT KALIAN! BATALKAN PERJALANAN INI!!!”
***
Terlambat
bagi Gundala, ketiga kristal itu keburu membuka portal ke dunia lain.
Perjalanan itu amat disesalinya. Ia tak pernah merasa semual itu dalam
hidupnya. Namun Dhana tampaknya malah menikmati perjalanan itu sebab bisa
bersandar pada Gundala karena sempitnya ruangan itu.
Begitu
Gundala sadar, mereka telah tiba di galaksi lain. Ia menghembuskan napas lega.
Terlihat di luar jendelanya keajaiban alam semesta. Beribu-ribu bintang
bertaburan dan sebuah cahaya amat benderang menyinari galaksi itu.
“Apakah
itu supernovanya?” tanya Gundala takjub.
“Jangan
heran dulu. Cahayanya lebih terang ketika planet kami masih berada di dekatnya.
Kini planet kami semakin menjauh.”
“Aku
tak mengerti. Tanpa matahari, bagaimana planet kalian mendapatkan energi?”
“Supernova
itu memberi kami pengetahuan. Hanya kami bangsa di alam semesta ini yang tak
musnah walaupun berada cukup dekat dengan sebuah supernova. Kami memiliki waktu
untuk mempelajarinya. Bahkan menciptakannya.”
“Menciptakannya?”
“Kekuatan
fusi hidrogen menjadi helium yang menjadi bahan bakar sebuah planet bahkan tak
ada apa-apanya jika dibandingkan energi yang dikeluarkan supernova. Kami
menyebutnya sebuah ‘Dian’, prototipe supernova yang berhasil kami kembang
biakkan dalam sebuah botol vial kecil, mungkin hanya seukuran tabung evendorff
di planet kalian.”
Gundala
semakin takjub. Ingin rasanya mempelajarinya juga untuk dibawanya ke Bumi.
Namun ia mengurungkan niatnya tersebut. Pengetahuan itu terlalu berbahaya bagi
mansuia yang haus akan perang dan kekuasaan. Energi fisi dan fusi nuklir saja
sudah dikembangkan menjadi senjata pemusnah massal, apalagi jika manusia
mengetahui cara menciptakan supernova. Bisa-bisa seluruh tata surya musnah
akibat keserakahan manusia.
“Sayang
sekali, energi seindah ini hendak dimanfaatkan Telern sebagai senjata untuk
memusnahkan planet kami.”
“Benarkah?
Dari semua ceritamu Telern tampaknya amat berbahaya. Ia harus dihentikan.”
“Aku
setuju.”
“Apa
itu planetmu?” tanya Gundala ketika menyaksikan sebuah planet mendekati mereka.
Planet itu amat unik, berupa bola raksasa yang dikelilingi 2 cincin, satu
vertikal dan satu horisontal, menjadikannya dua kali lebih indah ketimbang
Saturnus. Cincin-cincin itu, Gundala menduga, pasti terbentuk akibat ledakan
supernova yang menghancurkan planet-planet dan bulan-bulan kecil di sekitarnya
yang kemudian reruntuhannya tertarik oleh gravitasi Covox.
Dilihat
dari polanya, sepertinya planet itu memiliki empat kutub magnet, tidak seperti
Bumi yang memiliki dua saja. Mungkin itu pulalah yang menyelamatkan planet itu
dari kehancuran, karena kekuatan sabuk radiasi Van Allen yang melindunginya
juga dua kali lebih kuat dari Bumi.
UFO
itu masuk ke dalam atmosfer planet Covox disertai guncangan. Mereka melihat
lembah-lembah berbatu yang tandus di bawah mereka, kontras dengan langit yang
gelap dengan cincin menjulang di atas mereka. Cincin itu meninggalkan jalur
bayangan hitam di daratan planet tersebut.
“Karena
aku sudah pulang ke planet ini,” Gadriel tersenyum licik, “Maka keberadaan
kalian tak kubutuhkan lagi!”
“Apa?”
sentak Gundala.
Tiba-tiba
saja Gadriel membuka kokpit dan melontarkan mereka bertiga dari dalam pesawat.
Tertarik
gaya gravitasi planet tersebut, mereka meluncur, menghujam bak peluru ke tanah.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment