GLADIATOR
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Sudah
kuduga dia akan mengkhianati kita!” seru Gundala.
Buana
berusaha menyelamatkan mereka dengan melilitkan tangan panjangnya ke tubuh
Gundala dan Dhana (sesuatu yang sangat Gundala benci). Namun hanya itu yang
bisa manusia karet itu lakukan. Ia tak bisa mengurangi kecepatan mereka jatuh.
“Lakukan
sesuatu!” teriak Dhana.
“Itu!”
seru Buana. “Kau lihat cahaya itu! Itu adalah supernova yang kami bangun di
istana kami. Konsentrasikan kekuatanmu dan bawa kami ke sana!”
“Tapi
aku belum bisa mengendalikannya!” tolak Gundala, “Kau ingat kan apa yang
terjadi terakhir kali aku mencoba menteleportasikan kita?!”
“Tak
ada waktu, Gundala! Kita akan mati jika kau tak mencobanya!”
Gundala
menatap Dhana yang ketakutan. Dia sudah berjanji akan membawa gadis itu pulang
dengan selamat pada ayahnya.
“Baiklah,”
ujar Gundala, “Lebih baik mati mencoba ketimbang mati menyerah!”
Dan
mereka lenyap menjadi percikan listrik.
***
Tubuh
Gundala jatuh menghantam lantai, membuatnya kesakitan setengah mati. Namun
belum itu saja. Semburan api tiba-tiba menyambarnya. Dengan cepat ia
menghindar.
Di
depannya terlihat kembarannya, ah bukan, melainkan prajurit berpakaian sama
dengannya. Hanya warnanya kini dominan merah.
“Ah
bagus,” keluh Gundala, “Ungu, hijau, putih, pink, dan sekarang merah. Aku
merasa seperti Power Rangers sekarang.”
“Siapapun
yang berani memasuki istana Paduka Kronz berarti mencari mati di tangan
semburan apiku.” seru prajurit dengan sayap di telinganya itu, “Sekarang
matilah kau!”
“Ini
bisa lebih buruk. Paling tidak aku tak terlihat seperti teletubbies.” Gundala
kemudian bersiap melancarkan serangan listriknya.
“Hentikan,
Tirhapy!” seru Buana yang masuk ke dalam ruangan bersama Dhana.
“Tuanku!”
pria berseragam merah itu mengurungkan serangannya dan segera berlutut di
hadapan sang pangeran.
“Kau
telah melakukan tugas yang baik dengan melindungi energi ‘Dian’ kita sehingga
tak jatuh ke tangan musuh.” puji Mlaar.
“Namun
saya gagal melindungi Ayah Paduka Tuanku.” Ia masih menunduk.
“Tak
apa, Tirhapy!” Mlaar menyuruhnya bangun. “Karena alasan itulah aku kembali
membawa bala bantuan.”
Ia
kemudian menghadap ke arah Gundala, “Ia akan membantumu. Namanya Tirhapy,
ksatria yang dapat mengendalikan api berkat kristal Corundum miliknya. Ditambah
kristal biru milik Dhana, kalian takkan terkalahkan!”
Tunggu,
ada sesuatu yang tidak klop, pikir Gundala. Mengapa para prajurit ini memiliki
banyak kristal bukankah tiap kristal mewakili satu planet. Jika mereka berasal
dari Planet Covox maka seharusnya ... ah, itu tak penting, pikirnya lagi. Ia
kembali memusatkan perhatiannya pada rencana mereka untuk menyelamatkan sang
kaisar.
“Dimana
ayahku sekarang?”
“Di
gelanggang gladiator, Tuanku. Menteri Telern berhasil menguasai kota dan
berniat mengorbankan raja kepada Galvanox.
“Galva
apa?”
“Monster
raksasa yang mengerikan! Dia pasti akan memangsa ayahku yang tak berdaya
setelah ia memberikan seluruh kekuatannya pada Gundala.”
“Lalu
putri yang diculik itu?” tanya Dhana, “Dimana dia?”
“Dewi
Argento, sang Putri Kepala Perak, mungkin juga disekap di sana.”
“Baiklah,
menyelamatkannya adalah tugasku.” Dhana mengajukan diri.
Gundala
menepuk bahu Mlaar, “Aku akan menyelamatkan Kaisar Kronz dan mengalahkan
monster itu. Kau dan Tirhapy silakan mengatasi menteri yang jahat itu. Jangan
lupakan, masih ada Gadriel, si pengkhianat itu!”
Buana
mengangguk, “Selamatkanlah Dewi Argento dan ayahku!”
“Tenang
saja! Kau akan berkumpul bersama gadis yang kau cintai!”
“Aku
tak pernah mencintai Argento jika boleh jujur.”
“Apa?
Lalu kenapa kau hendak menikahinya?”
“Itu
adalah keputusan ayahku. Seumur hidupku aku tak pernah menentang keinginan
ayahku. Kurasa itu memang sudah tugasku sebagai putranya.”
Gundala
terkesan dengannya. Ia merasa ada sisi pangeran ini yang belum dilihatnya.
“Namun
kumohon, jangan biarkan ia pergi dariku, seperti kau membiarkan Minarti
meninggalkanmu.”
Gundala
langsung merengut. Anak ini sama sekali tidak berubah!
***
Gelanggang
pertarungan itu sama seperti Colosseum, pikir Gundala. Ia menyelinap di antara
para penonton (karena wujud manusia penghuni Covox berwujud sama dengan manusia
Bumi). Apalagi seragamnya membuatnya terlihat seperti prajurit Covox lainnya.
Ia tak habis pikir, mengapa penduduk Covox di bawah kepemimpinan Kronz
membiarkan budaya barbar seperti ini, mengadu gladiator. Mungkin nanti ia akan
menanyakannya pada Mlaar.
Ribuan
orang telah hadir di sana. Mereka semua bersorak. Sepertinya mereka loyal
kepada Telern, pikir Gundala.
Di
kejauhan, terlihat seorang pria mengangkat tangannya dan semua hadirin langsung
diam dan membungkuk ke arahnya. Ia pastilah Telern, pikir Gundala.
“Rakyatku
semua!” ia mulai berpidato, “Aku telah mengalahkan Kronz dan ia kini bukanlah
kaisar kalian. Masa tirani telah berakhir dan di bawah kepemimpinanku, masa
depan yang cerah akan menanti Covox!”
Semua
bersorak mendengarnya.
“Huh,
dasar politisi!” pikir Gundala, “Nggak di Bumi ataupun luar angkasa, semuanya
sama dengan bualan janji kosong mereka.”
Ia
lalu melihat seorang pria yang terikat di sebuah pancang kayu diarak masuk ke
tengah lapangan. Ia pastilah Kaisar Kronz, tak salah lagi! Namun Gundala
bersabar untuk tak gegabah bertindak.
“Hari
ini aku akan menghukum diktator ini di hadapan kalian! Keluarkan Galvanox
sekarang!”
Semua
bersorak ketika monster itu dikeluarkan. Jantung Gundala terasa mau berhenti
ketika melihat betapa menyeramkannya makhluk itu. Sekilas makluk itu menyerupai
triceratops dengan tanduknya yang menakutkan. Ukurannya pun sebesar dinosaurus
dengan tubuh bersisik. Yang membedakannya hanya “kerah” di lehernya yang
membuatnya tampak seperti kadal terbang.
Kaisar
Kronz pasti hancur jika dilumat makhluk buas itu!
Gundala
tak membuang waktu lagi.
Ia
langsung turun ke tengah gelanggang dalam bentuk sambaran petir, mengagetkan
semua orang.
***
Dhana
berhasil menyusup masuk ke dalam istana. Sesuai dugaannya, ia menemukan Dewi
Argento di salah satu ruangan yang dihiasi dengan renda dan permata yang amat
indah.
“Putri
Kepala Perak,” panggil Dhana.
Gadis
itu menoleh. Namun kondisi gadis itu sama sekali bukan seperti yang diduga
Dhana selama ini. Ia membayangkan putri itu akan dirantai dan beraut wajah
sedih. Namun kenyataannya, ia terlihat bahagia, menikmati cermin yang ada di
tangannya, layaknya gadis-gadis biasa.
“Si
... siapa kau?” ia terkejut.
“Tuan
Putri! Saya datang untuk menyelamatkan Anda.”
“Menyelamatkanku?
Dari siapa?”
“Tentu
saja dari Menteri Telern yang telah menculik Anda dan memaksa Anda
menikahinya!”
Ia
menggeleng. Anting dan perhiasan yang ia kenakan ikut bergemerincing ketika ia
melakukannya.
“Kau
sepertinya salah paham. Tak ada yang memaksaku menikahi Telern. Kami saling
mencintai. Justru akulah yang dipaksa menikah dengan Mlaar, pria yang tak
kucintai.”
“Apa?”
Dhana terkejut. Ia memperhatikan pakaian Argento dan ruangan dimana ia disekap.
Tidak, ia tak disekap. Tadi Dhana dengan mudah masuk ke sini tanpa penjagaan.
Pakaian dan desain ruangan yang indah ini ... ini semua untuk membahagiakan
gadis itu.
“Katakanlah,”
Dhana bertanya dengan curiga, “Kenapa Anda dipaksa menikah dengan Pangeran
Mlaar?”
“Pasukan
Kronz yang kejam menaklukkan planetku, seperti yang biasa mereka lakukan pada
planet-planet lain yang mereka jumpai. Mereka menghancurkan bintang kami untuk
dijadikan supernova, sumber energi mereka, lalu menguras makanan dan sumber
daya planet kami. Ia menculikku demi kristal Cytrine yang kukenakan ini.”
Ia
menunjukkan kristal berwarna kuning menyala yang ia kalungkan di lehernya.
“Itu Inti
Atom planetmu?” tunjuk Dhana sembari gemetar.
“Serahkan
kristal itu!”
Dhana
berbalik. Di ambang pintu berdiri Tirhapy dengan zirah merahnya. Argento
langsung ketakutan melihatnya.
“Aku
tak ingin menyakitimu, Tuan Putri. Namun aku harus menuruti perintah yang
diberikan Paduka Kronz kepadaku. Sekarang berikan berlian itu!”
“Aku
takkan membiarkannya!” seru Dhana sembari berusaha menamengi gadis itu.
Ia
kini sadar telah berpihak ke kubu yang salah.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment