Thursday, January 30, 2025

GUNDALA: SUPERNOVA – CHAPTER 6

 


GLADIATOR

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“Sudah kuduga dia akan mengkhianati kita!” seru Gundala.

Buana berusaha menyelamatkan mereka dengan melilitkan tangan panjangnya ke tubuh Gundala dan Dhana (sesuatu yang sangat Gundala benci). Namun hanya itu yang bisa manusia karet itu lakukan. Ia tak bisa mengurangi kecepatan mereka jatuh.

“Lakukan sesuatu!” teriak Dhana.

“Itu!” seru Buana. “Kau lihat cahaya itu! Itu adalah supernova yang kami bangun di istana kami. Konsentrasikan kekuatanmu dan bawa kami ke sana!”

“Tapi aku belum bisa mengendalikannya!” tolak Gundala, “Kau ingat kan apa yang terjadi terakhir kali aku mencoba menteleportasikan kita?!”

“Tak ada waktu, Gundala! Kita akan mati jika kau tak mencobanya!”

Gundala menatap Dhana yang ketakutan. Dia sudah berjanji akan membawa gadis itu pulang dengan selamat pada ayahnya.

“Baiklah,” ujar Gundala, “Lebih baik mati mencoba ketimbang mati menyerah!”

Dan mereka lenyap menjadi percikan listrik.

***

 

Tubuh Gundala jatuh menghantam lantai, membuatnya kesakitan setengah mati. Namun belum itu saja. Semburan api tiba-tiba menyambarnya. Dengan cepat ia menghindar.

Di depannya terlihat kembarannya, ah bukan, melainkan prajurit berpakaian sama dengannya. Hanya warnanya kini dominan merah.

“Ah bagus,” keluh Gundala, “Ungu, hijau, putih, pink, dan sekarang merah. Aku merasa seperti Power Rangers sekarang.”

“Siapapun yang berani memasuki istana Paduka Kronz berarti mencari mati di tangan semburan apiku.” seru prajurit dengan sayap di telinganya itu, “Sekarang matilah kau!”

“Ini bisa lebih buruk. Paling tidak aku tak terlihat seperti teletubbies.” Gundala kemudian bersiap melancarkan serangan listriknya.

“Hentikan, Tirhapy!” seru Buana yang masuk ke dalam ruangan bersama Dhana.

“Tuanku!” pria berseragam merah itu mengurungkan serangannya dan segera berlutut di hadapan sang pangeran.

“Kau telah melakukan tugas yang baik dengan melindungi energi ‘Dian’ kita sehingga tak jatuh ke tangan musuh.” puji Mlaar.

“Namun saya gagal melindungi Ayah Paduka Tuanku.” Ia masih menunduk.

“Tak apa, Tirhapy!” Mlaar menyuruhnya bangun. “Karena alasan itulah aku kembali membawa bala bantuan.”

Ia kemudian menghadap ke arah Gundala, “Ia akan membantumu. Namanya Tirhapy, ksatria yang dapat mengendalikan api berkat kristal Corundum miliknya. Ditambah kristal biru milik Dhana, kalian takkan terkalahkan!”

Tunggu, ada sesuatu yang tidak klop, pikir Gundala. Mengapa para prajurit ini memiliki banyak kristal bukankah tiap kristal mewakili satu planet. Jika mereka berasal dari Planet Covox maka seharusnya ... ah, itu tak penting, pikirnya lagi. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada rencana mereka untuk menyelamatkan sang kaisar.

“Dimana ayahku sekarang?”

“Di gelanggang gladiator, Tuanku. Menteri Telern berhasil menguasai kota dan berniat mengorbankan raja kepada Galvanox.

“Galva apa?”

“Monster raksasa yang mengerikan! Dia pasti akan memangsa ayahku yang tak berdaya setelah ia memberikan seluruh kekuatannya pada Gundala.”

“Lalu putri yang diculik itu?” tanya Dhana, “Dimana dia?”

“Dewi Argento, sang Putri Kepala Perak, mungkin juga disekap di sana.”

“Baiklah, menyelamatkannya adalah tugasku.” Dhana mengajukan diri.

Gundala menepuk bahu Mlaar, “Aku akan menyelamatkan Kaisar Kronz dan mengalahkan monster itu. Kau dan Tirhapy silakan mengatasi menteri yang jahat itu. Jangan lupakan, masih ada Gadriel, si pengkhianat itu!”

Buana mengangguk, “Selamatkanlah Dewi Argento dan ayahku!”

“Tenang saja! Kau akan berkumpul bersama gadis yang kau cintai!”

“Aku tak pernah mencintai Argento jika boleh jujur.”

“Apa? Lalu kenapa kau hendak menikahinya?”

“Itu adalah keputusan ayahku. Seumur hidupku aku tak pernah menentang keinginan ayahku. Kurasa itu memang sudah tugasku sebagai putranya.”

Gundala terkesan dengannya. Ia merasa ada sisi pangeran ini yang belum dilihatnya.

“Namun kumohon, jangan biarkan ia pergi dariku, seperti kau membiarkan Minarti meninggalkanmu.”

Gundala langsung merengut. Anak ini sama sekali tidak berubah!

***

 

Gelanggang pertarungan itu sama seperti Colosseum, pikir Gundala. Ia menyelinap di antara para penonton (karena wujud manusia penghuni Covox berwujud sama dengan manusia Bumi). Apalagi seragamnya membuatnya terlihat seperti prajurit Covox lainnya. Ia tak habis pikir, mengapa penduduk Covox di bawah kepemimpinan Kronz membiarkan budaya barbar seperti ini, mengadu gladiator. Mungkin nanti ia akan menanyakannya pada Mlaar.

Ribuan orang telah hadir di sana. Mereka semua bersorak. Sepertinya mereka loyal kepada Telern, pikir Gundala.

Di kejauhan, terlihat seorang pria mengangkat tangannya dan semua hadirin langsung diam dan membungkuk ke arahnya. Ia pastilah Telern, pikir Gundala.

“Rakyatku semua!” ia mulai berpidato, “Aku telah mengalahkan Kronz dan ia kini bukanlah kaisar kalian. Masa tirani telah berakhir dan di bawah kepemimpinanku, masa depan yang cerah akan menanti Covox!”

Semua bersorak mendengarnya.

“Huh, dasar politisi!” pikir Gundala, “Nggak di Bumi ataupun luar angkasa, semuanya sama dengan bualan janji kosong mereka.”

Ia lalu melihat seorang pria yang terikat di sebuah pancang kayu diarak masuk ke tengah lapangan. Ia pastilah Kaisar Kronz, tak salah lagi! Namun Gundala bersabar untuk tak gegabah bertindak.

“Hari ini aku akan menghukum diktator ini di hadapan kalian! Keluarkan Galvanox sekarang!”

Semua bersorak ketika monster itu dikeluarkan. Jantung Gundala terasa mau berhenti ketika melihat betapa menyeramkannya makhluk itu. Sekilas makluk itu menyerupai triceratops dengan tanduknya yang menakutkan. Ukurannya pun sebesar dinosaurus dengan tubuh bersisik. Yang membedakannya hanya “kerah” di lehernya yang membuatnya tampak seperti kadal terbang.

Kaisar Kronz pasti hancur jika dilumat makhluk buas itu!

Gundala tak membuang waktu lagi.

Ia langsung turun ke tengah gelanggang dalam bentuk sambaran petir, mengagetkan semua orang.

***

 

Dhana berhasil menyusup masuk ke dalam istana. Sesuai dugaannya, ia menemukan Dewi Argento di salah satu ruangan yang dihiasi dengan renda dan permata yang amat indah.

“Putri Kepala Perak,” panggil Dhana.

Gadis itu menoleh. Namun kondisi gadis itu sama sekali bukan seperti yang diduga Dhana selama ini. Ia membayangkan putri itu akan dirantai dan beraut wajah sedih. Namun kenyataannya, ia terlihat bahagia, menikmati cermin yang ada di tangannya, layaknya gadis-gadis biasa.

“Si ... siapa kau?” ia terkejut.

“Tuan Putri! Saya datang untuk menyelamatkan Anda.”

“Menyelamatkanku? Dari siapa?”

“Tentu saja dari Menteri Telern yang telah menculik Anda dan memaksa Anda menikahinya!”

Ia menggeleng. Anting dan perhiasan yang ia kenakan ikut bergemerincing ketika ia melakukannya.

“Kau sepertinya salah paham. Tak ada yang memaksaku menikahi Telern. Kami saling mencintai. Justru akulah yang dipaksa menikah dengan Mlaar, pria yang tak kucintai.”

“Apa?” Dhana terkejut. Ia memperhatikan pakaian Argento dan ruangan dimana ia disekap. Tidak, ia tak disekap. Tadi Dhana dengan mudah masuk ke sini tanpa penjagaan. Pakaian dan desain ruangan yang indah ini ... ini semua untuk membahagiakan gadis itu.

“Katakanlah,” Dhana bertanya dengan curiga, “Kenapa Anda dipaksa menikah dengan Pangeran Mlaar?”

“Pasukan Kronz yang kejam menaklukkan planetku, seperti yang biasa mereka lakukan pada planet-planet lain yang mereka jumpai. Mereka menghancurkan bintang kami untuk dijadikan supernova, sumber energi mereka, lalu menguras makanan dan sumber daya planet kami. Ia menculikku demi kristal Cytrine yang kukenakan ini.”

Ia menunjukkan kristal berwarna kuning menyala yang ia kalungkan di lehernya. 

“Itu Inti Atom planetmu?” tunjuk Dhana sembari gemetar.

“Serahkan kristal itu!”

Dhana berbalik. Di ambang pintu berdiri Tirhapy dengan zirah merahnya. Argento langsung ketakutan melihatnya.

“Aku tak ingin menyakitimu, Tuan Putri. Namun aku harus menuruti perintah yang diberikan Paduka Kronz kepadaku. Sekarang berikan berlian itu!”

“Aku takkan membiarkannya!” seru Dhana sembari berusaha menamengi gadis itu.

Ia kini sadar telah berpihak ke kubu yang salah.

BERSAMBUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment