RAMALAN KIAMAT
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Menara
bermahkota obor emas itu runtuh, menimpa ratusan orang di bawahnya. Suara
teriakan histeris menggema dimana-mana. Sementara itu, pusaran awan hitam
tiba-tiba muncul di langit. Bak tornado, pusaran kegelapan itu menghempaskan
segala yang ada di bawahnya. Awan hitam muncul dan menyebar dengan kecepatan
tinggi. Beberapa awan itu menyambar gedung-gedung pencakar langit dan
meruntuhkannya. Bahkan menara Katedral dan minaret Masjid Istiqlal pun tak
lepas dari sambarannya dan runtuh.
Kegelapan
pekat segera menelan langit, diiringi jeritan keputusasaan yang meraung di
setiap penjuru.
Pengkor
mematikan Mekanisme Antikhytera, mesin yang mampu meramalkan masa depan itu. Microtir
yang menyusun pixel demi pixel mesin itupun runtuh ke lantai.
“Saya
tak bisa menelusuri masa depan lebih jauh dari ini.” Pengkor melanjutkan
orasinya ke arah hadirin yang memenuhi auditorium saat itu. “Kemungkinan karena
memang tak ada lagi masa depan.”
“Kiamat
...” bisik seorang jenderal dengan panik, “Hari Penghakiman! Kita semua akan
...”
“Kapan
itu akan terjadi?” Kapten Nusantara segera bangkit berdiri. Baru saja ia
mencegah bencana yang akan terjadi dengan menangkap Bintang yang telah menjelma
menjadi penjahat adidaya bernama Samudra Getih, namun kini Pengkor meramalkan
hal yang jauh mengerikan akan mendatangi mereka.
“Minggu
depan. Pada saat perayaan HUT Kemerdekaan RI di Monas.”
Lutut
para atasan militer dan kepolisian yang berada di sana serasa lemas. Secepat
itukah maut akan menghinggapi mereka semua?
“Si
... siapa yang menyebabkan kekacauan itu?” tanya seseorang dari staf
kepresidenan. Hal itu menjadi tanggung jawabnya juga sebab presiden juga akan
hadir dalam perayaan 17 Agustus yang diramalkan akan membawa petaka itu.
“Informasi
yang saya dapatkan cukup buram ... namun saya berhasil mendapatkan citra dua
sosok ini ...”
Kedua
asistennya datang dan masing-masing membawakan tablet yang memperlihatkan dua
sosok yang terekam dalam ramalan Antykhitera tersebut.
Gundala dan Godam.
“Namun
seperti saya bilang, saya hanya mengatakan keduanya ada di lokasi tersebut pada
saat kejadian berlangsung. Belum tentu mereka yang ...”
Kapten
Nusantara menggebrak meja yang ada di depannya hingga hancur. Para hadirin
terkejut dan mengalihkan perhatian mereka ke arahnya.
“Seharusnya
kuhancurkan saja dia saat itu!” ia menyesali keputusannya membiarkan Godam
kabur tanpa mengejarnya saat itu. “Sudah kuduga mereka hanya akan membawa
kehancuran bagi negara kita!”
“Ki ...
kita harus mencegah hal mengerikan itu terjadi!” seru seorang jenderal
kepolisian. Semua berbisik-bisik. Kepanikan beresonansi dengan kuat di ruang
rapat itu.
Pengkor
hanya tersenyum menyaksikannya.
***
“Membatalkan
acara peringatan HUT RI?” Presiden tampak heran mendengarnya. “Kenapa? Hanya
karena ramalan itu?”
“Ta
... tapi Pak ...” ajudannya merasa gugup.
“Tidak!
Bagaimana jika bangsa luar menyaksikan kita membatalkannya seperti pengecut?
Mata uang kita akan jatuh, investor akan berlarian, takkan ada lagi yang
percaya pada negara kita.” lanjut Presiden, “Lagipula, negara kita sudah sering
ditimpa isu terorisme dan tanggapan kita hanya satu: jangan pernah menunjukkan
rasa akut! Itulah yang mereka inginkan dan aku tak berniat untuk memberikannya
pada mereka!”
“Namun,
keselamatan Anda ...”
“Aku
akan aman.” Presiden masih saja bersikeras.
“Ancaman
ini berbeda, Pak Presiden!” sosok berjubah datang menghadapnya, “Ancaman ini
datang dari manusia adidaya.”
“Dan
akan ada manusia adidaya pula yang akan menjagaku bukan?” Presiden menatap
Kapten Nusantara, “Perketat saja keamanan. Namun aku tak mau ... siapa nama
penjahat itu, Pengkor? Aku tak mau ia ikut campur! Aku sama sekali tak percaya
padanya!”
Presiden
melenggang pergi, meninggalkan Kapten Nusantara.
“Pak
... maaf,” seorang gadis menghampiri sang presiden, “I ... ini laporan yang
saya kerjakan.”
“Darimana
saja kau!” seru salah satu ajudan presiden dengan galak, “Pak Presiden
membutuhkan transkrip itu sejam yang lalu.”
“Maaf
... namun saya harus mengartikannya satu demi satu ...” ujar gadis itu gugup.
“Huh,
dasar anak magang!” Ajudan tersebut merebut dokumen dari tangan staf
kepresidenan tersebut. Presiden memeriksanya dan merasa kagum.
“Luar
biasa! Kau menerjemahkannya ke dalam tujuh bahasa daerah sekaligus.”
Wajah
gadis itu tersipu malu. “Ya, saya sering berlayar ke pulau-pulau kecil dan
belajar bahasa daerah mereka. Tak banyak dari mereka paham Bahasa Indonesia.
Jadi saya pikir dengan menerjemahkan pidato Anda ke dalam bahasa-bahasa mereka,
itu akan membuat mereka lebih memahami itikad baik Anda untuk pemerataan
pembangunan di pulau-pulau mereka.”
“Kau
juga bisa bahasa asing?”
Gadis
itu mengangguk, “Inggris, Prancis, Jerman, Latin, Sanskrit, Mandarin, dan
Jepang. Namun hanya dasar-dasar saja, Pak Presiden. Saya tak terlalu jago.”
Ajudan
presiden itu hanya melongo mendengarnya.
“Baiklah,
kau akan menjadi penerjemah pribadiku selama Perayaan HUT RI Minggu depan di
Monas. Ada banyak duta besar negara sahabat di sana dan aku tak mau membuat
diriku malu.”
“Benarkah?”
gadis itu terlihat amat gembira, “Sa ... saya akan lakukan tugas saya sebaik
mungkin, Pak Presiden!”
“Namun
Pak, dia hanya pegawai magang!” protes sang ajudan.
“Justru
karena itu dia harus banyak belajar dan mencari pengalaman bukan? Omong-omong
siapa namamu?”
“Panggil
saja saya Çakti!”
***
Kanigara
tak bisa tidur. Mimpi buruk itu lagi-lagi menghinggapinya.
“Tidak! Tidaaaaak!!!”
Kecelakaan
itu, saat mobil yang keluarganya tumpangi masuk ke jurang.
Ia tak
ingat apa-apa lagi setelah itu.
Ketika
ia bangun, ada perban menutup kepalanya dan para dokter di depannya
membicarakan tentang bagaimana kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan itu.
Kanigara
terbangun karena mimpi buruk itu.
Dengan
napas tersengal ia memperhatikan cincin yang kini ia kenakan di jarinya.
Aneh,
barusan ia menyadari karena mimpi itu, ia pernah melihat cincin ini.
Ya, ia
ingat melihat ke arah mendiang ayahnya yang memegang setir kala itu.
Cincin
itu juga ada di sana, melingkar di jari ayahnya.
“Mustahil
ini cincin yang sama!” Kanigara tak percaya. Seingatnya, cincin yang dipakai
ayahnya lebih cerah warnanya. Ya, hijaunya begitu mempesona. Sedangkan cincin
giok - yang entah darimana asalnya ini - amatlah kusam.
“Mungkin
jika aku membersihkannya ...” Kanigara menggunakan kain bajunya untuk mengusap
permukaan giok itu dan tiba-tiba ....
“WHUUUUUUUS
...”
Tiba-tiba
kabut berwarna kehijauan mengelilinginya.
“A ...
ada apa ini?”
Ia
merasa berada di tengah antariksa. Ya, dia tengah melayang di angkasa, dikelilingi
ribuan bintang dan awan yang berwarna-warni. Nebula, itukah namanya?
“A ...
apa yang terjadi?”
“Siapa yang membebaskanku?” terdengar suara yang
menggelegar memekakkan telinganya, “Siapa
yang berani membangunkan Jin Kartubi?!”
“Si
... siapa kau?” pekik Kanigara panik.
“Tuan? Apa itu Anda?” tanya suara itu lagi. “Ini saya Jin Kartubi, Tuan!”
“Jin?
Apakah kau benar-benar Jin?” Kanigara ketakutan mendengarnya. Ia banyak
mendengar tentang sosok jin saat ia masih kecil. Kebanyakan adalah cerita yang
menakutkan. Di benaknya terpatri bahwa jin adalah sosok raksasa yang jahat,
walaupun beberapa mampu mengabulkan permintaan.
“Ya Tuan! Apa Tuan tak ingat
pada saya?” kata
suara itu. “Saat kecil Tuan sering
bermain bersama saya.”
“Di
... dimana kau?” Kanigara heran karena tak melihat siapapun di depannya.
‘Saya ada di sini Tuan!”
Namun
Kanigara tak kunjung menemukannya. Tak ada apa-apa di samping dan belakangnya.
Iapun mendongak namun hanya taburan bintang di sekelilingnya.
“Yuhuuuu ... Tuan saya di sini!
Awas ... Tuan nyaris menginjak saya!”
Kanigara
segera menunduk. Betapa terkejutnya ia melihat seorang makhluk kecil berwarna
hijau berada di ujung kakinya. Iapun membungkuk dan menaruhnya dalam tangannya.
“Kau
... kecil sekali?”
“Ini
hanya penyamaran saya Tuan! Jika saya kembali ke ukuran saya yang sebenarnya
... ehm, bisa jadi bencana.”
“Apa
maksudmu? Lalu kenapa kau memanggilku Tuan?”
“Saya
adalah utusan untuk melindungi Tuan ... yah, sebelum Tuan bisa memaksimalkan
kekuatan Tuan hingga ke potensi Tuan yang sebenarnya ...”
“Apa?”
Kanigara terkejut, “Maksudmu kekuatanku ini masih baru setengah saja? Tu ...
tunggu, jika kau benar jin, bisakah kau mengabulkan permintaan?”
“Ya
Tuan, tiga permintaan seperti biasa!” ujarnya riang.
“Kalau
begitu bisakah ...”
“Tidak,
Tuan. Saya tak bisa mencabut kekuatan adidaya Tuan ... tugas Tuan adalah
menggunakan kekuatan itu untuk melindungi Bumi.” bahkan sebelum Kanigara
mengungkapkannya, jin tersebut sudah mengetahui permintaan Kanigara.
“Melindungi
Bumi? Apa maksudmu?”
“Batu
giok ini adalah Inti Atom Bumi dan sudah tugas Anda untuk menjaganya dan dengan
demikian menjaga keselamatan Bumi pula.”
“Begitu
...” Kanigara berpikir, walaupun tak begitu mengerti apa yang dibicarakan jin
itu, “Kalau begitu, sebagai permintaanku aku ingin ...”
“Saya
juga tak bisa menghidupkan kembali kedua orang tua Tuan,” Jin itu kembali
memotong perkataannya, “Itu melanggar hukum alam. Maafkan saya!”
“Lalu
apa yang bisa kau lakukan?” tanya Kanigara kecewa.
“Apa
yang Tuan paling inginkan di dunia ini?”
Kanigara
hendak membuka mulutnya, namun lagi-lagi Jin Kartubi memotongnya.
“Saya
juga tak bisa ikut campur masalah jodoh. Itu sudah urusan Yang Di Atas, di luar
kekuasaan saya.”
Kanigara
menatapnya dengan kesal.
“Kalau
begitu permintaan pertamaku adalah ...”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment