Thursday, May 8, 2025

GUNDALA: PATRIOT – CHAPTER 8

 


RAMALAN KIAMAT

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Menara bermahkota obor emas itu runtuh, menimpa ratusan orang di bawahnya. Suara teriakan histeris menggema dimana-mana. Sementara itu, pusaran awan hitam tiba-tiba muncul di langit. Bak tornado, pusaran kegelapan itu menghempaskan segala yang ada di bawahnya. Awan hitam muncul dan menyebar dengan kecepatan tinggi. Beberapa awan itu menyambar gedung-gedung pencakar langit dan meruntuhkannya. Bahkan menara Katedral dan minaret Masjid Istiqlal pun tak lepas dari sambarannya dan runtuh.

Kegelapan pekat segera menelan langit, diiringi jeritan keputusasaan yang meraung di setiap penjuru.

Pengkor mematikan Mekanisme Antikhytera, mesin yang mampu meramalkan masa depan itu. Microtir yang menyusun pixel demi pixel mesin itupun runtuh ke lantai.

“Saya tak bisa menelusuri masa depan lebih jauh dari ini.” Pengkor melanjutkan orasinya ke arah hadirin yang memenuhi auditorium saat itu. “Kemungkinan karena memang tak ada lagi masa depan.”

“Kiamat ...” bisik seorang jenderal dengan panik, “Hari Penghakiman! Kita semua akan ...”

“Kapan itu akan terjadi?” Kapten Nusantara segera bangkit berdiri. Baru saja ia mencegah bencana yang akan terjadi dengan menangkap Bintang yang telah menjelma menjadi penjahat adidaya bernama Samudra Getih, namun kini Pengkor meramalkan hal yang jauh mengerikan akan mendatangi mereka.

“Minggu depan. Pada saat perayaan HUT Kemerdekaan RI di Monas.”

Lutut para atasan militer dan kepolisian yang berada di sana serasa lemas. Secepat itukah maut akan menghinggapi mereka semua?

“Si ... siapa yang menyebabkan kekacauan itu?” tanya seseorang dari staf kepresidenan. Hal itu menjadi tanggung jawabnya juga sebab presiden juga akan hadir dalam perayaan 17 Agustus yang diramalkan akan membawa petaka itu.

“Informasi yang saya dapatkan cukup buram ... namun saya berhasil mendapatkan citra dua sosok ini ...”

Kedua asistennya datang dan masing-masing membawakan tablet yang memperlihatkan dua sosok yang terekam dalam ramalan Antykhitera tersebut.

Gundala dan Godam.

“Namun seperti saya bilang, saya hanya mengatakan keduanya ada di lokasi tersebut pada saat kejadian berlangsung. Belum tentu mereka yang ...”

Kapten Nusantara menggebrak meja yang ada di depannya hingga hancur. Para hadirin terkejut dan mengalihkan perhatian mereka ke arahnya.

“Seharusnya kuhancurkan saja dia saat itu!” ia menyesali keputusannya membiarkan Godam kabur tanpa mengejarnya saat itu. “Sudah kuduga mereka hanya akan membawa kehancuran bagi negara kita!”

“Ki ... kita harus mencegah hal mengerikan itu terjadi!” seru seorang jenderal kepolisian. Semua berbisik-bisik. Kepanikan beresonansi dengan kuat di ruang rapat itu.

Pengkor hanya tersenyum menyaksikannya.

***

 

“Membatalkan acara peringatan HUT RI?” Presiden tampak heran mendengarnya. “Kenapa? Hanya karena ramalan itu?”

“Ta ... tapi Pak ...” ajudannya merasa gugup.

“Tidak! Bagaimana jika bangsa luar menyaksikan kita membatalkannya seperti pengecut? Mata uang kita akan jatuh, investor akan berlarian, takkan ada lagi yang percaya pada negara kita.” lanjut Presiden, “Lagipula, negara kita sudah sering ditimpa isu terorisme dan tanggapan kita hanya satu: jangan pernah menunjukkan rasa akut! Itulah yang mereka inginkan dan aku tak berniat untuk memberikannya pada mereka!”

“Namun, keselamatan Anda ...”

“Aku akan aman.” Presiden masih saja bersikeras.

“Ancaman ini berbeda, Pak Presiden!” sosok berjubah datang menghadapnya, “Ancaman ini datang dari manusia adidaya.”

“Dan akan ada manusia adidaya pula yang akan menjagaku bukan?” Presiden menatap Kapten Nusantara, “Perketat saja keamanan. Namun aku tak mau ... siapa nama penjahat itu, Pengkor? Aku tak mau ia ikut campur! Aku sama sekali tak percaya padanya!”

Presiden melenggang pergi, meninggalkan Kapten Nusantara.

“Pak ... maaf,” seorang gadis menghampiri sang presiden, “I ... ini laporan yang saya kerjakan.”

“Darimana saja kau!” seru salah satu ajudan presiden dengan galak, “Pak Presiden membutuhkan transkrip itu sejam yang lalu.”

“Maaf ... namun saya harus mengartikannya satu demi satu ...” ujar gadis itu gugup.

“Huh, dasar anak magang!” Ajudan tersebut merebut dokumen dari tangan staf kepresidenan tersebut. Presiden memeriksanya dan merasa kagum.

“Luar biasa! Kau menerjemahkannya ke dalam tujuh bahasa daerah sekaligus.”

Wajah gadis itu tersipu malu. “Ya, saya sering berlayar ke pulau-pulau kecil dan belajar bahasa daerah mereka. Tak banyak dari mereka paham Bahasa Indonesia. Jadi saya pikir dengan menerjemahkan pidato Anda ke dalam bahasa-bahasa mereka, itu akan membuat mereka lebih memahami itikad baik Anda untuk pemerataan pembangunan di pulau-pulau mereka.”

“Kau juga bisa bahasa asing?”

Gadis itu mengangguk, “Inggris, Prancis, Jerman, Latin, Sanskrit, Mandarin, dan Jepang. Namun hanya dasar-dasar saja, Pak Presiden. Saya tak terlalu jago.”

Ajudan presiden itu hanya melongo mendengarnya.

“Baiklah, kau akan menjadi penerjemah pribadiku selama Perayaan HUT RI Minggu depan di Monas. Ada banyak duta besar negara sahabat di sana dan aku tak mau membuat diriku malu.”

“Benarkah?” gadis itu terlihat amat gembira, “Sa ... saya akan lakukan tugas saya sebaik mungkin, Pak Presiden!”

“Namun Pak, dia hanya pegawai magang!” protes sang ajudan.

“Justru karena itu dia harus banyak belajar dan mencari pengalaman bukan? Omong-omong siapa namamu?”

“Panggil saja saya Çakti!”

***

 

Kanigara tak bisa tidur. Mimpi buruk itu lagi-lagi menghinggapinya.

“Tidak! Tidaaaaak!!!”

Kecelakaan itu, saat mobil yang keluarganya tumpangi masuk ke jurang.

Ia tak ingat apa-apa lagi setelah itu.

Ketika ia bangun, ada perban menutup kepalanya dan para dokter di depannya membicarakan tentang bagaimana kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan itu.

Kanigara terbangun karena mimpi buruk itu.

Dengan napas tersengal ia memperhatikan cincin yang kini ia kenakan di jarinya.

Aneh, barusan ia menyadari karena mimpi itu, ia pernah melihat cincin ini.

Ya, ia ingat melihat ke arah mendiang ayahnya yang memegang setir kala itu.

Cincin itu juga ada di sana, melingkar di jari ayahnya.

“Mustahil ini cincin yang sama!” Kanigara tak percaya. Seingatnya, cincin yang dipakai ayahnya lebih cerah warnanya. Ya, hijaunya begitu mempesona. Sedangkan cincin giok - yang entah darimana asalnya ini - amatlah kusam.

“Mungkin jika aku membersihkannya ...” Kanigara menggunakan kain bajunya untuk mengusap permukaan giok itu dan tiba-tiba ....

“WHUUUUUUUS ...”

Tiba-tiba kabut berwarna kehijauan mengelilinginya.

“A ... ada apa ini?”

Ia merasa berada di tengah antariksa. Ya, dia tengah melayang di angkasa, dikelilingi ribuan bintang dan awan yang berwarna-warni. Nebula, itukah namanya?

“A ... apa yang terjadi?”

“Siapa yang membebaskanku?” terdengar suara yang menggelegar memekakkan telinganya, “Siapa yang berani membangunkan Jin Kartubi?!”

“Si ... siapa kau?” pekik Kanigara panik.

“Tuan? Apa itu Anda?” tanya suara itu lagi. “Ini saya Jin Kartubi, Tuan!”

“Jin? Apakah kau benar-benar Jin?” Kanigara ketakutan mendengarnya. Ia banyak mendengar tentang sosok jin saat ia masih kecil. Kebanyakan adalah cerita yang menakutkan. Di benaknya terpatri bahwa jin adalah sosok raksasa yang jahat, walaupun beberapa mampu mengabulkan permintaan.

“Ya Tuan! Apa Tuan tak ingat pada saya?” kata suara itu. “Saat kecil Tuan sering bermain bersama saya.”

“Di ... dimana kau?” Kanigara heran karena tak melihat siapapun di depannya.

‘Saya ada di sini Tuan!”

Namun Kanigara tak kunjung menemukannya. Tak ada apa-apa di samping dan belakangnya. Iapun mendongak namun hanya taburan bintang di sekelilingnya.

“Yuhuuuu ... Tuan saya di sini! Awas ... Tuan nyaris menginjak saya!”

Kanigara segera menunduk. Betapa terkejutnya ia melihat seorang makhluk kecil berwarna hijau berada di ujung kakinya. Iapun membungkuk dan menaruhnya dalam tangannya.

“Kau ... kecil sekali?”

“Ini hanya penyamaran saya Tuan! Jika saya kembali ke ukuran saya yang sebenarnya ... ehm, bisa jadi bencana.”

“Apa maksudmu? Lalu kenapa kau memanggilku Tuan?”

“Saya adalah utusan untuk melindungi Tuan ... yah, sebelum Tuan bisa memaksimalkan kekuatan Tuan hingga ke potensi Tuan yang sebenarnya ...”

“Apa?” Kanigara terkejut, “Maksudmu kekuatanku ini masih baru setengah saja? Tu ... tunggu, jika kau benar jin, bisakah kau mengabulkan permintaan?”

“Ya Tuan, tiga permintaan seperti biasa!” ujarnya riang.

“Kalau begitu bisakah ...”

“Tidak, Tuan. Saya tak bisa mencabut kekuatan adidaya Tuan ... tugas Tuan adalah menggunakan kekuatan itu untuk melindungi Bumi.” bahkan sebelum Kanigara mengungkapkannya, jin tersebut sudah mengetahui permintaan Kanigara.

“Melindungi Bumi? Apa maksudmu?”

“Batu giok ini adalah Inti Atom Bumi dan sudah tugas Anda untuk menjaganya dan dengan demikian menjaga keselamatan Bumi pula.”

“Begitu ...” Kanigara berpikir, walaupun tak begitu mengerti apa yang dibicarakan jin itu, “Kalau begitu, sebagai permintaanku aku ingin ...”

“Saya juga tak bisa menghidupkan kembali kedua orang tua Tuan,” Jin itu kembali memotong perkataannya, “Itu melanggar hukum alam. Maafkan saya!”

“Lalu apa yang bisa kau lakukan?” tanya Kanigara kecewa.

“Apa yang Tuan paling inginkan di dunia ini?”

Kanigara hendak membuka mulutnya, namun lagi-lagi Jin Kartubi memotongnya.

“Saya juga tak bisa ikut campur masalah jodoh. Itu sudah urusan Yang Di Atas, di luar kekuasaan saya.”

Kanigara menatapnya dengan kesal.

“Kalau begitu permintaan pertamaku adalah ...”


BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment