AWAL SEBUAH AKHIR
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Kau
sudah bangun?” bahkan tanpa menoleh pun Sancaka sudah mengetahui bahwa Kanigara
berada di ambang pintu dapur di belakangnya.
“Kau
sedang memasak?” tanya Kanigara heran, “Apa kau juga belanja dan pergi ke pasar
dengan cara ....”
“Tentu
saja tidak! Banyak orang di sana. Nanti mereka mengetahui kekuatanku.”
“Lalu
apa kau juga memasak dengan cara kilat seperti kemarin?” Kanigara duduk di atas
kursi makan.
Sancaka
mendengus, “Aku bisa saja bergerak secepat kilat tapi tetap saja aku tak bisa
membuat telur matang lebih cepat.”
“Oh,
kau bangun pagi sekali Sancaka?” ayahnya datang sembari membawa koran pagi dan
duduk di kursi makan. “Buatkan kami nasi goreng enak khas Sancaka ya.”
Pemuda
itu tertawa, “Kan Ayah yang mengajari resepnya.”
Kanigara
memperhatikan koran yang dibuka Pak Ario di atas meja dan menunjuk sesuatu.
“Ini
dulu adalah pekerjaanku.”
Sancaka
menengok dan melihat Kanigara menunjuk ke halaman berisi daftar film bioskop
yang sedang tayang.
“Aku
biasa menggambar poster film untuk bioskop. Namun kurasa seni seperti itu sudah
ketinggalan zaman.”
“Yeah,
mereka banyak menggunakan poster hasil cetakan mesin sekarang.” kata Sancaka.
“Namun jika kau mau, aku bisa membawamu ke seseorang yang mungkin membutuhkan
kemampuanmu.”
***
Esthy
bergerak dengan cekatan di tengah kesibukan kantornya. Ia benci bekerja di
belakang meja seperti ini. Ia merindukan beraksi di dunia luar, mengumpulkan
materi untuk beritanya, bahkan kadang bertarung menghadapi bahaya.
Namun
mereka sudah bersepakat. Tak ada pekerjaan berbahaya yang akan dilakukan Esthy
hingga hari besar itu tiba.
Terdengar
suara pintu dibuka. Dirinya terpaku begitu melihat Sancaka memasuki kantornya
bersama seorang pemuda.
Pemuda
itu tersenyum memandangnya.
Sancaka.
Bahkan memikirkan nama itu saja masih membuat hati Esthy serasa bergetar.
Apalagi melihat senyumannya secara langsung.
“Esthy,
aku mau minta tolong. Perkenalkan ini temanku Kanigara. Ia membutuhkan
pekerjaan.”
“Kebetulan
sekali kau ada di sini Sancaka,” bisiknya ragu, “Ada yang ingin kukatakan
kepadamu!”
“Tapi
dengarkan dulu,” potong Sancaka, “Pemuda ini amat berbakat. Dia ...”
Mereka
berdua hanya terdiam ketika Kanigara meraih pensil dan kertas menganggur yang
ada di atas meja Esthy serta mulai melukis. Tangannya bergerak meliuk-liuk,
menorehkan coretan yang awalnya kasar, namun lama-kelamaan membentuk goresan
halus yang semakin lama semakin jelas, bahkan mengesankan kedalaman hingga
dimensi keempat; waktu.
Dia
melukis pertarungan yang terjadi di Malioboro kemarin siang, antara Kapten
Nusantara, Samudra Getih, dan Godam.
Lukisannya
benar-benar terlihat nyata, walaupun hanya menggunakan sapuan arang pensil
saja.
“Ma
... maaf jika gambarannya jelek.” Kanigara merasa gugup begitu menyadari Esthy
dan Sancaka tengah terpaku dengan mulut menganga melihat gambaran pemuda itu, “Itu
sudah seperti refleks. Jika aku melihat alat tulis, aku langsung menggambar
...”
“Kau
ada di sana?” tanya Esthy, terpukau melihat betapa nyata kibaran jubah Godam
hingga detail-detail kecil cahaya matahari yang menyinari tiap jengkal sudut
Malioboro saat itu.
“I ...
iya ... aku kebetulan saja ada di sana.”
Esthy
memicingkan mata melihat pemuda berkaca mata hitam dengan sebuah apel di
tangannya. Dari gerak-geriknya ia tampak berbicara pada ruang kosong di
sebelahnya. Ia di sana terlihat seperti salah satu penonton. Luar biasa ia bisa
mengingat detail semacam ini. Pastilah ia memiliki ingatan fotografis.
“Mungkin
kami bisa menggunakan jasamu.” kata Esthy, “Bisakah kau tunggu di sana
sementara aku berbicara dengan Sancaka?”
“Tentu.”
Pemuda itu menjawab dengan riang begitu menyadari ia akan mendapat pekerjaan.
“Sancaka!”
Esthy kembali mengalihkan perhatiannya pada pemuda itu, “Ada yang ingin
kusampaikan padamu, penting! Aku ...”
“Esthy
...” terdengar suara seorang gadis memanggilnya.
Ia
tersentak mendengar suara itu.
“Çakti?
Apa yang kau lakukan di sini? Kupikir kau ada di Jakarta?”
“Presiden
sedang ada di Yogyakarta meninjau Maliboro setelah insiden kemarin. Aku diajak
juga. Setelah ini aku akan kembali ke Jakarta, namun aku mampir karena ada hal
yang sangat penting ingin kusampaikan kepadamu ...”
Perkataan
gadis itu terhenti ketika melihat pemuda di samping Esthy. Ia begitu terkejut
saat menyadari keberadaannya.
“San
... Sancaka?!”
***
“Çakti
adalah adik tingkatku saat kuliah.” Esthy menuangkan teh untuk mereka berdua,
“Namun aku tak tahu bahwa kalian berdua sudah saling mengenal.”
“Yah,
hanya kebetulan saja.” Çakti tersenyum. Rasa manis di bibirnya kembali
terngiang ketika ia melihat Sancaka di depannya. Entah apa artinya ini, namun
gadis itu amat bersyukur bisa bertemu dengan dewa penolongnya sekali lagi.
“Apa
yang sangat mendesak ingin kau sampaikan kepadaku?” tanya Esthy sembari duduk.
“Ada
kehebohan di Istana, tentang perayaan HUT RI minggu depan.”
“Wah,
minggu depan sudah 17-an ya?” Sancaka melongo, “Tak kuduga secepat itu.”
“Aku
memberitahumu karena aku tahu, tak ada orang lain di dunia ini yang mengenal
Pengkor seperti dirimu.”
“Apa
masalah ini ada kaitannya dengan Pengkor?” selidik Esthy. Sancaka juga tertarik
begitu mendengar nama penjahat kelas kakap itu didengungkan.
Gadis
itu menyesap minumannya lalu kembali bercerita, “Kau sudah tahu kan Pengkor
mendapat amnesti setelah membantu Pemerintah dengan penelitiannya, sebuah alat
bernama Mekanisme Antikhytera?”
“Hasil
penelitian nanoteknologi yang katanya bisa meramalkan masa depan itu bukan?”
ujar Esthy, “Ya aku tahu. Lalu?”
“Pengkor
meramalkan kehancuran akan menimpa Jakarta, bahkan dalam skala yang lebih
dahsyat ketimbang yang terjadi di Malioboro kemarin. Peristiwa itu akan
melibatkan awan hitam, energi misterius yang menghancurkan segalanya ...”
“Awan
hitam?” Sancaka mengangkat alisnya. Apa mungkin yang dimaksud adalah dark energy?
Apa mungkin entitas yang
dilihatnya di masa depan akan muncul dan beraksi untuk pertama kalinya?
“Kapan
hal itu akan terjadi?” tanya Sancaka.
Çakti
mengalihkan pandangannya ke arahnya, “Minggu depan, saat perayaan nasional 17
Agustus di Monas. Dan ada satu lagi. Pengkor mengatakan bahwa biang keladi
kehancuran massal itu adalah Putra Petir dan Godam.”
“APA?!”
seru Esthy dan Sancaka bersamaan. Gadis itu langsung menoleh ke arah Sancaka.
“Ba
... bagaimana mungkin?” tanya Sancaka tak percaya.
“Aku
sendiri tak paham, namun katanya akan ada jutaan penduduk yang terbunuh jika
ramalan itu menjadi kenyataan. Seluruh anggota militer dan kepolisian sudah
mengerahkan segenap kekuatannya untuk mencegah hal itu terjadi. Dan yang lebih
buruk lagi, Presiden juga akan ada di sana dan ia bisa menjadi korban jika hal
itu benar terjadi!”
“Aku
harus ke sana!” Esthy tiba-tiba berdiri, “Aku harus memperingatkan mereka
tentang Pengkor. Mereka tak boleh mempercayainya! Dia hanya berusaha menghasut
militer dan kepolisian untuk melawan Godam dan Putra Petir!”
“Tapi
bagaimana jika ramalan itu benar?” Çakti juga khawatir karena ia sendiri akan
berada di sana, “Dan nyawa-nyawa tak berdosa yang akan menjadi korban ... oh,
aku benar-benar tak sanggup membayangkannya ...”
“Aku
akan menghentikannya!” mata Sancaka memancarkan keyakinan penuh. Ia harus
mengumpulkan teman-temannya untuk mencegah kejadian itu. Ia juga harus
membuktikan ketidakbersalahan Gundala dan Godam. Jangan sampai mereka dicap
sebagai musuh masyarakat akibat tipu daya penjahat yang menamakan dirinya
Pengkor ini.
“Kanigara,
aku juga harus mengajaknya!” pikir Sancaka. Iapun meninggalkan Esthy dan Çakti.
“Sancaka,
tunggu!” kejar Esthy, “Masih ada yang ingin kubicarakan denganmu!”
Namun
begitu Sancaka sampai dimana tadi Kanigara menunggunya, pemuda itu sudah keburu
lenyap.
“Dimana
dia?”
***
“Ada
apa Jin Kartubi?” Kanigara kebingungan melihat sosok kurcaci yang sebesar
pensil itu tiba-tiba muncul di atas meja. Sepertinya selain dirinya tak ada
yang bisa melihatnya.
“Gawat
Tuan! Gawat! Saya tak sangka akan secepat ini, namun Tuan harus berlatih
secepatnya!”
“Apa
maksudmu?”
Orang-orang
di sekitarnya mulai meliriknya karena Kanigara bicara sendirian. Pemuda itupun
segera menaruh Jin Kartubi di tangannya dan keluar dari kantor itu.
“Ini
gawat Tuan! Gawat!”
“Iya
iya! Kau sudah mengatakannya tadi! Ada apa sebenarnya?”
“Bencana
yang besar akan datang, Tuan! Jika Tuan tak menghentikannya, seluruh dunia ini
akan musnah!”
“Apa?”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment