KELUARGA
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Kanigara
menghentikan langkahnya tadi. Ia mengurungkan keputusannya untuk kabur dan
bersembunyi. Ia justru kembali melawan arus, kembali ke arah kekacauan di
Malioboro tadi. Paling tidak ia ingin memastikan tak ada yang terluka.
Beruntung,
ketika ia tiba, situasi sudah terkendali. Sepertinya penjahat super itu
berhasil dikalahkan. Ia tadi melihat sosok lain berjubah, sepertinya superhero
yang banyak dibicarakan di televisi itu, namun ia langsung melesat pergi ke
langit.
Ah,
andaikan ia punya kemampuan seperti itu. Bisa pergi kemanapun ia mau.
Mungkin
itu akan membantunya bersembunyi.
Kanigara
kembali melangkah.
Namun
tiba-tiba ia menyadari sesuatu.
Sebentar.
Cincin ini ... sejak kapan ada
di jarinya?
***
“Permisi!
Permisi!” Sancaka menyibak kerumunan yang memenuhi stasiun. Tak salah lagi!
Pemuda itu baru saja membeli tiket kereta di Stasiun Tugu. Tempat itu kini
penuh sesak dengan orang-orang yang berbondong-bondong ingin meninggalkan
Yogyakarta akibat peristiwa menghebohkan tadi.
Sancaka
berhasil masuk ke kereta yang sama dengan
pemuda itu, namun sayangnya ia kehilangan jejak karena kereta tersebut
penuh sesak dengan manusia.
“Maaf,
maaf ... permisi ...” ia berusaha mencarinya di antara para penumpang yang
berdesak-desakan. Namun usahanya tak membuahkan hasil. Hampir mustahil
menemukannya di dalam lautan manusia yang mengular memenuhi gerbong ini.
Wajah itu, tak salah lagi. Itu
adalah wajah pemuda yang dilihatnya di masa depan. Yang menyuruhnya untuk
kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya., sebelum akhirnya tewas di depan
matanya.
Sancaka
menghela napas dan akhirnya mengambil posisi berdiri dekat jendela. Punggungnya
berhantaman dengan seseorang saat kereta itu bergerak melintasi rel.
“Oh,
maaf.” ujarnya sembari berbalik.
“Tak
apa, Bung.” jawab pemuda di belakangnya.
Alangkah
terkejutnya Sancaka begitu melihat pemuda yang dicarinya tepat berada di
belakangnya.
“Wah,
akhirnya aku menemukanmu!” ujar Sancaka girang, hingga orang-orang di dalam
kereta menatapnya.
“Eh,
aku?” tanya Kanigara kebingungan.
“Ya,
kau!” Sancaka langsung menggenggam pundaknya, “Siapa namamu?”
“A ...
aku?” Kanigara merasa risih hingga menyingkirikan tangan Sancaka dari
pundaknya, “Kenapa kau ingin tahu?” tanyanya curiga.
Namun
Sancaka justru makin agresif dengan menggengam tangannya, “Kurasa kita
benar-benar berjodoh ya bisa bertemu di sini!”
“Sorry,
Bung ..” Kanigara buru-buru melepaskan tangannya, “Se ... sepertinya Anda salah
orang!”
Kebetulan
sekali pintu kereta terbuka. Kanigara segera menyelip keluar.
“Hei
tunggu!” kejar Sancaka.
Namun
Kanigara dengan gesit melewati kerumunan orang dan bersembunyi di balik pilar.
Dari kejauhan dia mengawasi Sancaka yang tengah kebingungan mencarinya.
“Dasar
orang aneh!”
***
“Cepat
cari! Dia pasti ada di sekitar sini!” seru seorang pria berseragam militer.
“Tapi
kita tidak tahu wajahnya kan?” tanya rekannya. Beberapa teman mereka juga
terlihat menyisir daerah sekitar stasiun.
“Motornya
diparkir di sini, jadi jelas dia ada di sekitar sini.”
Kanigara
hanya menatap mereka sembari bersembunyi di balik tembok. “Mengapa mereka
mengelilingi motorku?” tanyanya dalam hati.
“Ah
sial!” Kanigara menepuk kepalanya, “Kamera CCTV di perlintasan itu! Mereka
pasti merekam plat motorku saat aku beraksi! Dasar bodooooh!”
Kanigara
memaki ketololannya sendiri. Kini ia tak punya lagi tempat bersembunyi. Mereka
mungkin sudah melacak identitasnya dan dimana ia tinggal.
“Mereka mengejarmu ya?”
Kanigara
tersentak mendengar suara itu.
“Kau
lagi?”
“Apa
mereka sudah tahu?”
“Ta
... tahu apa?”
Sancaka
menatapnya.
“Aku
mungkin tak tahu siapa namamu, tapi aku tahu apa yang mampu kau lakukan!”
Kanigara
hanya terdiam.
“Ayo,
aku tahu tempat dimana mereka takkan menemukanmu!” ajaknya.
***
“Ting
tong!” Sancaka menekan bel di depan rumah itu.
“Siapa
di situ?” seorang pria berumur separuh baya membukakan pintu, “Ya ampun!
Sancaka?!”
“Maaf
Ayah aku datang malam-malam begini.” Sancaka menyapa ayah angkatnya.
Pak
Ario, ayah angkat Sancaka tampak terkejut, “Darimana saja kau, Nak? Kau
menghilang selama ...”
“Ya ya
... aku tahu ... dua tahun kan? Bolehkah aku masuk? Aku membawa teman.”
“Tapi
kemana saja kau selama dua tahun ini?” ayahnya masih kebingungan.
Sancaka
segera merebahkan tubuhnya dengan santai ke atas sofa, sementara Kanigara
dengan enggan memasuki rumah tua itu.
“Ah
... kujelaskan pun Ayah takkan mengerti. Oya, bolehkan temanku menginap malam
ini?”
“Coba
jelaskan saja, Sancaka. Kau benar-benar membuat Ayahmu ini khawatir.”
“Oke,
kujelaskan sesimpel mungkin,” Sancaka bangun dan menarik napas, “Aku bertemu
dua alien yang mengajakku ke sebuah planet untuk menyelamatkan rakyatnya. Namun
setelah selesai bertempur melawan monster ternyata aku dijebak dan masuk ke
semacam mesin waktu dimana menghabiskan sekitar dua menit di masa depan; namun
begitu aku pulang ternyata aku sudah menghabiskan waktu dua tahun di sana. Dan
sebenarnya itu juga bukan mesin waktu sih, melainkan lubang hitam.”
Ayahnya
hanya melongo kebingungan. Namun itu bukan pertama kalinya Sancaka menghilang secara
misterius dan memberikan penjelasan meracau seperti itu.
“Okaaaaaay
... kalau begitu akan Ayah siapkan kamar untuk temanmu.”
“Aku
bikin teh ya, Yah. Oya, kamarku masih ada kan?”
“Ya,
Ayah menatanya seperti sebelum kau pergi dulu.” jawab Pak Ario dari seberang
ruangan, “Omong-omong bagaimana kabar Minarti? Kapan kalian akan menikah?”
Sancaka
hampir menyemburkan teh manis yang baru ia teguk saat ayahnya menyebut-nyebut
nama gadis itu.
“Aku
sudah putus dengannya dua tahun yang lalu, Ayah!”
“Ah,
benarkah? Sayang sekali. Lalu Nemo bagaimana? Sudah lama sekali kau tak
mengajaknya ke sini?” suara ayahnya yang berada di ruangan lain masih menggema,
“Padahal sejak kecil kalian bersahabat amat dekat kan?”
“Nemo
kan sekolah ke luar negeri, Ayah.” jawab Sancaka sembari melihat-lihat foto
yang dipajang ayahnya, sekaligus mengenang masa kecilnya. “Namun Ayah benar.
Aku memang sudah lama tak berbicara dengannya.”
“Kau
juga tak punya orang tua?” Kanigara menoleh ke arahnya.
Sancaka
keheranan, “Darimana kau tahu?”
“Kalian
tak mirip. Jelas dia bukan ayah kandungmu. Namun menyenangkan kau memiliki
seseorang yang merawatmu. Aku tak seberuntung itu.”
“Kau
yatim piatu?”
“Aku
tak ingat ...” Kanigara menyentuh bingkai-bingkai foto Sancaka semasa kecil,
“Aku sama sekali tak ingat keluargaku. Yang aku ingat hanya melukis ... hanya
itu yang semenjak dulu kulakukan.”
“Batu
giok yang bagus!” Pak Ario lewat dan menunjuk cincin yang dikenakan Kanigara.
Kanigara
menatapnya.
“Itu
warisan dari keluargamu?” tanya Sancaka, “Sepertinya sudah tua sekali.”
“Sangat
kusam bukan?” Kanigara berniat mengusapnya, tapi mengurungkan niatnya. Toh ia
tak tahu milik siapa ini.
“Aku
tak tahu giok sedang trend lagi saat ini. Aku jadi ingat waktu muda sering
berburu cincin giok supaya keliatan keren di mata gadis-gadis cantik hahaha.”
Pak Ario tertawa, “Namun kau beruntung memilikinya. Jade adalah batu pembawa
keberuntungan. Batu pelindung Bumi katanya. Jika kau memilikinya, maka Ibu
Pertiwi ada di pihakmu.”
Pak
Ario kemudian lewat lagi membawa berbagai alat kebersihan seperti sapu, pel,
dan kemoceng.
“Eh
... Ayah mau apa?”
“Menyiapkan
kamar untuk temanmu. Agak berantakan dan berdebu di sana jadi ...”
“Ah,
tak usah repot-repot.” Sancaka merebut semua alat itu dari tangan ayahnya. “Ini
kan sudah malam. Biar Ayah istirahat saja. Urusan bersih-bersih biar aku saja!”
“Ta
... tapi ...”
“Sudah
Ayah kembali saja ke kamar.”
Sancaka
masuk ke kamar dan mulai membersihkan.
“Tak
apa Sancaka ... bila terlalu merepotkan aku bisa tidur di ruang tamu ...”
Namun
Kanigara terhenyak begitu masuk ke kamar. Sancaka membersihkan kamarnya secepat
kilat. Gerakannya amat cepat sampai-sampai mata manusia biasa tak mampu
menangkapnya.
Dalam
waktu sekejap, kamar itupun bersih kembali.
“A ...
apa yang barusan terjadi?”
“Bukan
hanya kau yang punya kemampuan adidaya, Bro!” Sancaka menunjuknya,
“Beristirahatlah. Besok ada banyak hal yang harus kita bicarakan!”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment