Friday, April 25, 2025

GUNDALA: PATRIOT – CHAPTER 7

 


KELUARGA

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Kanigara menghentikan langkahnya tadi. Ia mengurungkan keputusannya untuk kabur dan bersembunyi. Ia justru kembali melawan arus, kembali ke arah kekacauan di Malioboro tadi. Paling tidak ia ingin memastikan tak ada yang terluka.

Beruntung, ketika ia tiba, situasi sudah terkendali. Sepertinya penjahat super itu berhasil dikalahkan. Ia tadi melihat sosok lain berjubah, sepertinya superhero yang banyak dibicarakan di televisi itu, namun ia langsung melesat pergi ke langit.

Ah, andaikan ia punya kemampuan seperti itu. Bisa pergi kemanapun ia mau.

Mungkin itu akan membantunya bersembunyi.

Kanigara kembali melangkah.

Namun tiba-tiba ia menyadari sesuatu.

Sebentar.

Cincin ini ... sejak kapan ada di jarinya?

***

 

“Permisi! Permisi!” Sancaka menyibak kerumunan yang memenuhi stasiun. Tak salah lagi! Pemuda itu baru saja membeli tiket kereta di Stasiun Tugu. Tempat itu kini penuh sesak dengan orang-orang yang berbondong-bondong ingin meninggalkan Yogyakarta akibat peristiwa menghebohkan tadi.

Sancaka berhasil masuk ke kereta yang sama dengan  pemuda itu, namun sayangnya ia kehilangan jejak karena kereta tersebut penuh sesak dengan manusia.

“Maaf, maaf ... permisi ...” ia berusaha mencarinya di antara para penumpang yang berdesak-desakan. Namun usahanya tak membuahkan hasil. Hampir mustahil menemukannya di dalam lautan manusia yang mengular memenuhi gerbong ini.

Wajah itu, tak salah lagi. Itu adalah wajah pemuda yang dilihatnya di masa depan. Yang menyuruhnya untuk kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya., sebelum akhirnya tewas di depan matanya.

Sancaka menghela napas dan akhirnya mengambil posisi berdiri dekat jendela. Punggungnya berhantaman dengan seseorang saat kereta itu bergerak melintasi rel.

“Oh, maaf.” ujarnya sembari berbalik.

“Tak apa, Bung.” jawab pemuda di belakangnya.

Alangkah terkejutnya Sancaka begitu melihat pemuda yang dicarinya tepat berada di belakangnya.

“Wah, akhirnya aku menemukanmu!” ujar Sancaka girang, hingga orang-orang di dalam kereta menatapnya.

“Eh, aku?” tanya Kanigara kebingungan.

“Ya, kau!” Sancaka langsung menggenggam pundaknya, “Siapa namamu?”

“A ... aku?” Kanigara merasa risih hingga menyingkirikan tangan Sancaka dari pundaknya, “Kenapa kau ingin tahu?” tanyanya curiga.

Namun Sancaka justru makin agresif dengan menggengam tangannya, “Kurasa kita benar-benar berjodoh ya bisa bertemu di sini!”

“Sorry, Bung ..” Kanigara buru-buru melepaskan tangannya, “Se ... sepertinya Anda salah orang!”

Kebetulan sekali pintu kereta terbuka. Kanigara segera menyelip keluar.

“Hei tunggu!” kejar Sancaka.

Namun Kanigara dengan gesit melewati kerumunan orang dan bersembunyi di balik pilar. Dari kejauhan dia mengawasi Sancaka yang tengah kebingungan mencarinya.

“Dasar orang aneh!”

***

 

“Cepat cari! Dia pasti ada di sekitar sini!” seru seorang pria berseragam militer.

“Tapi kita tidak tahu wajahnya kan?” tanya rekannya. Beberapa teman mereka juga terlihat menyisir daerah sekitar stasiun.

“Motornya diparkir di sini, jadi jelas dia ada di sekitar sini.”

Kanigara hanya menatap mereka sembari bersembunyi di balik tembok. “Mengapa mereka mengelilingi motorku?” tanyanya dalam hati.

“Ah sial!” Kanigara menepuk kepalanya, “Kamera CCTV di perlintasan itu! Mereka pasti merekam plat motorku saat aku beraksi! Dasar bodooooh!”

Kanigara memaki ketololannya sendiri. Kini ia tak punya lagi tempat bersembunyi. Mereka mungkin sudah melacak identitasnya dan dimana ia tinggal.

“Mereka mengejarmu ya?”

Kanigara tersentak mendengar suara itu.

“Kau lagi?”

“Apa mereka sudah tahu?”

“Ta ... tahu apa?”

Sancaka menatapnya.

“Aku mungkin tak tahu siapa namamu, tapi aku tahu apa yang mampu kau lakukan!”

Kanigara hanya terdiam.

“Ayo, aku tahu tempat dimana mereka takkan menemukanmu!” ajaknya.

***

 

“Ting tong!” Sancaka menekan bel di depan rumah itu.

“Siapa di situ?” seorang pria berumur separuh baya membukakan pintu, “Ya ampun! Sancaka?!”

“Maaf Ayah aku datang malam-malam begini.” Sancaka menyapa ayah angkatnya.

Pak Ario, ayah angkat Sancaka tampak terkejut, “Darimana saja kau, Nak? Kau menghilang selama ...”

“Ya ya ... aku tahu ... dua tahun kan? Bolehkah aku masuk? Aku membawa teman.”

“Tapi kemana saja kau selama dua tahun ini?” ayahnya masih kebingungan.

Sancaka segera merebahkan tubuhnya dengan santai ke atas sofa, sementara Kanigara dengan enggan memasuki rumah tua itu.

“Ah ... kujelaskan pun Ayah takkan mengerti. Oya, bolehkan temanku menginap malam ini?”

“Coba jelaskan saja, Sancaka. Kau benar-benar membuat Ayahmu ini khawatir.”

“Oke, kujelaskan sesimpel mungkin,” Sancaka bangun dan menarik napas, “Aku bertemu dua alien yang mengajakku ke sebuah planet untuk menyelamatkan rakyatnya. Namun setelah selesai bertempur melawan monster ternyata aku dijebak dan masuk ke semacam mesin waktu dimana menghabiskan sekitar dua menit di masa depan; namun begitu aku pulang ternyata aku sudah menghabiskan waktu dua tahun di sana. Dan sebenarnya itu juga bukan mesin waktu sih, melainkan lubang hitam.”

Ayahnya hanya melongo kebingungan. Namun itu bukan pertama kalinya Sancaka menghilang secara misterius dan memberikan penjelasan meracau seperti itu.

“Okaaaaaay ... kalau begitu akan Ayah siapkan kamar untuk temanmu.”

“Aku bikin teh ya, Yah. Oya, kamarku masih ada kan?”

“Ya, Ayah menatanya seperti sebelum kau pergi dulu.” jawab Pak Ario dari seberang ruangan, “Omong-omong bagaimana kabar Minarti? Kapan kalian akan menikah?”

Sancaka hampir menyemburkan teh manis yang baru ia teguk saat ayahnya menyebut-nyebut nama gadis itu.

“Aku sudah putus dengannya dua tahun yang lalu, Ayah!”

“Ah, benarkah? Sayang sekali. Lalu Nemo bagaimana? Sudah lama sekali kau tak mengajaknya ke sini?” suara ayahnya yang berada di ruangan lain masih menggema, “Padahal sejak kecil kalian bersahabat amat dekat kan?”

“Nemo kan sekolah ke luar negeri, Ayah.” jawab Sancaka sembari melihat-lihat foto yang dipajang ayahnya, sekaligus mengenang masa kecilnya. “Namun Ayah benar. Aku memang sudah lama tak berbicara dengannya.”

“Kau juga tak punya orang tua?” Kanigara menoleh ke arahnya.

Sancaka keheranan, “Darimana kau tahu?”

“Kalian tak mirip. Jelas dia bukan ayah kandungmu. Namun menyenangkan kau memiliki seseorang yang merawatmu. Aku tak seberuntung itu.”

“Kau yatim piatu?”

“Aku tak ingat ...” Kanigara menyentuh bingkai-bingkai foto Sancaka semasa kecil, “Aku sama sekali tak ingat keluargaku. Yang aku ingat hanya melukis ... hanya itu yang semenjak dulu kulakukan.”

“Batu giok yang bagus!” Pak Ario lewat dan menunjuk cincin yang dikenakan Kanigara.

Kanigara menatapnya.

“Itu warisan dari keluargamu?” tanya Sancaka, “Sepertinya sudah tua sekali.”

“Sangat kusam bukan?” Kanigara berniat mengusapnya, tapi mengurungkan niatnya. Toh ia tak tahu milik siapa ini.

“Aku tak tahu giok sedang trend lagi saat ini. Aku jadi ingat waktu muda sering berburu cincin giok supaya keliatan keren di mata gadis-gadis cantik hahaha.” Pak Ario tertawa, “Namun kau beruntung memilikinya. Jade adalah batu pembawa keberuntungan. Batu pelindung Bumi katanya. Jika kau memilikinya, maka Ibu Pertiwi ada di pihakmu.”

Pak Ario kemudian lewat lagi membawa berbagai alat kebersihan seperti sapu, pel, dan kemoceng.

“Eh ... Ayah mau apa?”

“Menyiapkan kamar untuk temanmu. Agak berantakan dan berdebu di sana jadi ...”

“Ah, tak usah repot-repot.” Sancaka merebut semua alat itu dari tangan ayahnya. “Ini kan sudah malam. Biar Ayah istirahat saja. Urusan bersih-bersih biar aku saja!”

“Ta ... tapi ...”

“Sudah Ayah kembali saja ke kamar.”

Sancaka masuk ke kamar dan mulai membersihkan.

“Tak apa Sancaka ... bila terlalu merepotkan aku bisa tidur di ruang tamu ...”

Namun Kanigara terhenyak begitu masuk ke kamar. Sancaka membersihkan kamarnya secepat kilat. Gerakannya amat cepat sampai-sampai mata manusia biasa tak mampu menangkapnya.

Dalam waktu sekejap, kamar itupun bersih kembali.

“A ... apa yang barusan terjadi?”

“Bukan hanya kau yang punya kemampuan adidaya, Bro!” Sancaka menunjuknya, “Beristirahatlah. Besok ada banyak hal yang harus kita bicarakan!”


BERSAMBUNG


No comments:

Post a Comment