MEKANISME ANTIKHYTERA
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
JAKARTA, MARKAS POLRI
“Manusia
adidaya?” Inspektur Garuda Wisnu menaikkan alisnya begitu melihat laporan yang
diberikan anak buahnya, “Ada penampakan manusia adidaya di Kota Yogya?”
“Kejadiannya
tadi malam. Seorang pemuda menghentikan sebuah truk tronton yang terguling
hanya dengan menggunakan tangannya.”
“Apa
kita mengetahui identitasnya?”
“Negatif.
Ia memakai helm saat itu. Namun kejadiannya terekam dalam CCTV.”
Mata
Inspektur Garuda membelalak menyaksikannya.
“Pesankan
penerbangan paling cepat ke Yogyakarta hari ini.” Ia beranjak dari mejanya,
“Jika ada orang yang pertama kali menangkapnya, itu adalah aku!”
“Kami
sudah memesankannya, Pak!”
“Apa?
Kenapa?” pria itu berbalik dengan heran.
“Apa
Anda lupa ada pertemuan penting yang harus Anda hadiri di sana?”
***
YOGYAKARTA, BALAIRUNG UGM
Pria
itu berjalan terburu-buru melewati antrean di bandara. Ia terlihat pucat.
Langkahnya yang tergopoh-gopoh menarik perhatian para petugas keamanan.
“Hei,
kau!” panggil salah seorang security
bandara, “Berhenti kau!”
Mendengarnya,
pria itu berlari makin cepat.
“Kejar
dia! Jangan biarkan dia lolos!”
“Tik
tik tik ...” suara detakan jarum jam di dalam ranselnya berbunyi makin keras.
“Semua
menunduk!” seru petugas itu, “SEMUA MENUNDUK!”
“BLAAAAAAAR!!!”
Ledakan
itu meluluhlantakkan segalanya. Mayat-mayat tampak bergelimpangan setelah kabut
asap akibat ledakan itu tersibak. Tayangan itu terhenti di situ setelah seorang
pria bungkuk menekan tombol “freeze” di remote. Ia kemudian tersenyum kepada
para audiens-nya.
“Yang
dibawanya bukan bom biasa, melainkan bom berbahan bakar Uranium. Sekitar 1.500
orang tewas dalam ledakan maha dahsyat ini dan sekitar 500.000 penduduk lainnya
yang berada dalam radius 50 kilometer terkena dampak radiasinya.”
“Kapan
ini terjadi?” tanya seorang pria berseragam jenderal. Ia duduk di antara
pria-pria lain dengan pangkat yang sama, bahkan lebih tinggi, di deretan kursi
auditorium.
“Dua
bulan dari sekarang di Bandara Soekarno Hatta. Pelakunya akan naik penerbangan
pertama dari Bandara Adi Sucipto di Yogya. Ada dugaan ia terkait dengan
kelompok teroris underground bernama
Gerombolan Kucing Merah.” Pria bungkuk itu tersenyum, memperlihatkan deretan
giginya yang tak lagi rata. Beberapa wanita dalam deretan kursi penonton tampak
melenguh jijik melihatnya.
“Kelompok
itu sejak dulu memang menjadi ancaman.” seorang jenderal tampak mengusap-usap
dagunya, tengah berpikir.
“Tunggu,
Anda tak percaya begitu saja pada orang ini kan?” salah seorang pria berseragam
polisi berpangkat tinggi berdiri. Lampu auditorium dinyalakan. Para penonton yang
semenjak tadi diam menoleh ke arahnya.
“Dia
adalah Pengkor, penjahat kelas kakap! Mana mungkin kita bisa mempercayai
perkataannya!” tuduhnya dengan tatapan curiga.
Pria
bungkuk dengan kepala hampir botak itu masih saja menyunggingkan senyum.
“Waktu
yang saya habiskan di dalam penjara telah membuat saya berpikir dan bertobat.
Saya sadar, selama ini saya menggunakan bakat kepintaran saya untuk kejahatan,
padahal seharusnya kemampuan saya itu bisa dipakai untuk kebajikan.” Ia mulai
berpidato di hadapan hadirin, “Saya ingin mengubah jalan hidup saya dengan
mengabdikan diri untuk melindungi negara ini. Dan penemuan saya ini adalah
salah satu buktinya.”
Layar
yang tadi menayangkan “ramalan” itu tiba-tiba terurai menjadi benda-benda kecil
mirip gotri yang kemudian turun dari panggung dan menyebar di kaki Pengkor bak
anjing yang patuh pada tuannya.
“Perkenalkan
ini adalah ‘Microtir’, nanobot yang diciptakan di lab nanoteknologi milik saya
yang ...”
“Yang
didanai menggunakan uang haram hasil perdagangan narkoba miliknya!” tuduh salah
seorang polisi dengan geram. Lagi-lagi mata penuh kecurigaan menyorot Pengkor
dari arah para hadirin.
“Jangan
pedulikan darimana uang itu berasal, namun yang penting apa yang bisa dilakukan
teknologi ini demi kemashalatan orang banyak!” Pengkor membela dirinya, “Para
nanobot ini memiliki kemampuan khusus, memprediksi hal-hal yang akan terjadi
menggunakan kalkukasi mekanika kuantum, perhitungan probabilitas yang akan
sangat sulit dilakukan manusia seperti kita, namun bukan hal yang mustahil jika
Anda seukuran butiran atom.”
Beberapa
ilmuwan yang duduk di antara hadirin mengangguk.
“Probabilitas
dalam mekanika kuantum memang aneh. Kucing Schrodinger menurut teori berada
dalam kondisi separuh hidup dan separuh mati dalam kotak berisi isotop
radioaktif yang dipicu dengan pencacah Geiger. Belum lagi asas ketidakpastian
Heisenberg menyatakan bahwa elektron ....”
“Tapi
apa mungkin penerapannya dapat digunakan untuk melihat masa depan?” ilmuwan
dari disiplin ilmu yang lain menyanggahnya, “Saya rasa itu konyol!”
“Saya
rasa bukan begitu!” ilmuwan lain memberikan pendapat, “Foton sendiri dapat
berperilaku dualisme sebagai gelombang ataupun partikel tergantung kedudukan
pengamat. Berkiblat pada kenyataan bahwa mikrobot itu dapat memiliki ukuran sekecil
kuanta foton, saya rasa ...”
“Sudah
hentikan!” polisi berpangkat tinggi, yang tak lain adalah Inspektur Garuda itu,
menghentikan perdebatan akademis yang tak dipahaminya itu. “Jikalau memang apa
yang kau ramalkan memang benar terjadi, Pengkor, apa yang dapat kita lakukan?
Kami sudah berusaha sekeras mungkin menangkap Gerombolan Kucing Merah, namun
mereka sendiri selicin dan selicik nama mereka.”
“Dalam
hal itulah saya ingin membuktikan loyalitas saya pada negara ini.” Pengkor
menjentikkan jarinya dan seketika, sesuatu diturunkan dari atas menggunakan
kabel baja, bak sebuah properti dalam pertunjukan sulap. Pengkor membuka
kerudung yang menutupinya dan semua orang terperangah begitu melihat apa yang
tersingkap di baliknya.
“Sebuah
zirah?” tanya Inspektur Garuda.
“Saya
perkenalkan senjata terhebat yang pernah saya konstruksi,” bak pesulap yang
memamerkan triknya, ia mengangat tangannya ke arah zirah itu, “Saya menyebutnya, Manusia Cro-Magnon.”
Sebuah
zirah berwarna garnet (merah kecoklatan) yang menyala memukau para hadirin.
Baju zirah itu lengkap dengan sebuah helm dengan hiasan bak tentara Romawi,
juga terbuat dari logam.
“Namanya
yang dramatis saya ambil dari kemampuannya untuk .... ah, biar saya buktikan
sendiri kepada Anda!” Pengkor meraih helm itu dan mengenakannya. Sebuah permata
berwarna merah tua juga menghiasi bagian dahinya. Ia memejamkan mata untuk
berkonsentrasi dan seketika ...
“Krek
... krek ... kreeeek ...”
Para
hadirin tersentak. Segala sesuatu yang terbuat dari logam di ruangan itu mulai
berderak dan melayang, mulai dari pena di meja, handphone, bahkan kursi dan meja mereka, jika saja tak ditahan
berat tubuh mereka. Inspektur Garuda sendiri merasakan berbagai medali dan pin
yang disematkan di seragamnya sebagai penghargaan atas segala jasanya pada
bangsa negara pun seakan hendak tercabut.
Pengkor
membuka matanya dan semua benda logam itupun jatuh dan diam kembali.
“Anda
bisa lihat sendiri kemampuannya untuk memanipulasi medan magnet.” Pengkor
melepaskan helm itu, dibantu oleh dua asisten perempuannya dan mengembalikannya
kembali ke atas zirah itu.
“Cro
Magnon adalah ciptaan terhebat saya. Saya bisa dengan mudah menggunakannya
sebagai senjata untuk menguasai negara ini. Namun, sebagai bukti kecintaan saya
terhadap tanah air, maka saya serahkan senjata adidaya ini kepada pemerintah
agar bisa dimanfaatkan pihak militer.”
Beberapa
orang mulai berbisik-bisik menyanjung keputusan Pengkor.
Pria
bungkuk itupun mengangkat tangannya ke arah segenap hadirin di auditorium itu,
“Dengan ini kita bisa mengubah masa depan Nusantara menjadi lebih cerah!”
Semua
orang berdiri dan bertepuk tangan. Kini tak ada lagi yang menyangsikannya.
Namun Inspektur Garuda Wisnu masih terduduk di atas singgasananya sambil
menyilangkan kaki. Ia menatap baju zirah itu tajam-tajam.
Ia tak
pernah mempercayai Pengkor dan semua kelicikannya. Namun ia sadar betul, baju
zirah itu akan menjadi keuntungan tersendiri jika ia bisa memilikinya.
Ia
akan menghapus nama Cro Magnon itu. Itu adalah nama nenek moyang Bangsa Barat,
kaum penjajah.
Inspektur
Garuda tersenyum ketika menemukan nama yang tepat.
Kapten Nusantara!
***
Pengkor
berbalik di tengah hujan tepuk tangan itu dan menyeringai kepada dua asisten
wanitanya.
“Gendhis!”
Asisten
wanita yang berada di sebelah kirinya dan mengenakan gaun pink mengangguk.
“Gemati”
Asisten
wanita yang berada di sebelah kanannya dan mengenakan gaun ungu mengangguk.
Pengkor
memastikan tak ada yang mendengarnya selain kedua asisten kembarnya itu.
“Rencana
kita akan dimulai di sini!”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment