Friday, April 4, 2025

GUNDALA: PATRIOT – CHAPTER 2

 


MEKANISME ANTIKHYTERA

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

JAKARTA, MARKAS POLRI

“Manusia adidaya?” Inspektur Garuda Wisnu menaikkan alisnya begitu melihat laporan yang diberikan anak buahnya, “Ada penampakan manusia adidaya di Kota Yogya?”

“Kejadiannya tadi malam. Seorang pemuda menghentikan sebuah truk tronton yang terguling hanya dengan menggunakan tangannya.”

“Apa kita mengetahui identitasnya?”

“Negatif. Ia memakai helm saat itu. Namun kejadiannya terekam dalam CCTV.”

Mata Inspektur Garuda membelalak menyaksikannya.

“Pesankan penerbangan paling cepat ke Yogyakarta hari ini.” Ia beranjak dari mejanya, “Jika ada orang yang pertama kali menangkapnya, itu adalah aku!”

“Kami sudah memesankannya, Pak!”

“Apa? Kenapa?” pria itu berbalik dengan heran.

“Apa Anda lupa ada pertemuan penting yang harus Anda hadiri di sana?”

***

 

YOGYAKARTA, BALAIRUNG UGM

Pria itu berjalan terburu-buru melewati antrean di bandara. Ia terlihat pucat. Langkahnya yang tergopoh-gopoh menarik perhatian para petugas keamanan.

“Hei, kau!” panggil salah seorang security bandara, “Berhenti kau!”

Mendengarnya, pria itu berlari makin cepat.

“Kejar dia! Jangan biarkan dia lolos!”

“Tik tik tik ...” suara detakan jarum jam di dalam ranselnya berbunyi makin keras.

“Semua menunduk!” seru petugas itu, “SEMUA MENUNDUK!”

“BLAAAAAAAR!!!”

Ledakan itu meluluhlantakkan segalanya. Mayat-mayat tampak bergelimpangan setelah kabut asap akibat ledakan itu tersibak. Tayangan itu terhenti di situ setelah seorang pria bungkuk menekan tombol “freeze” di remote. Ia kemudian tersenyum kepada para audiens-nya.

“Yang dibawanya bukan bom biasa, melainkan bom berbahan bakar Uranium. Sekitar 1.500 orang tewas dalam ledakan maha dahsyat ini dan sekitar 500.000 penduduk lainnya yang berada dalam radius 50 kilometer terkena dampak radiasinya.”

“Kapan ini terjadi?” tanya seorang pria berseragam jenderal. Ia duduk di antara pria-pria lain dengan pangkat yang sama, bahkan lebih tinggi, di deretan kursi auditorium.

“Dua bulan dari sekarang di Bandara Soekarno Hatta. Pelakunya akan naik penerbangan pertama dari Bandara Adi Sucipto di Yogya. Ada dugaan ia terkait dengan kelompok teroris underground bernama Gerombolan Kucing Merah.” Pria bungkuk itu tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang tak lagi rata. Beberapa wanita dalam deretan kursi penonton tampak melenguh jijik melihatnya.

“Kelompok itu sejak dulu memang menjadi ancaman.” seorang jenderal tampak mengusap-usap dagunya, tengah berpikir.

“Tunggu, Anda tak percaya begitu saja pada orang ini kan?” salah seorang pria berseragam polisi berpangkat tinggi berdiri. Lampu auditorium dinyalakan. Para penonton yang semenjak tadi diam menoleh ke arahnya.

“Dia adalah Pengkor, penjahat kelas kakap! Mana mungkin kita bisa mempercayai perkataannya!” tuduhnya dengan tatapan curiga.

Pria bungkuk dengan kepala hampir botak itu masih saja menyunggingkan senyum.

“Waktu yang saya habiskan di dalam penjara telah membuat saya berpikir dan bertobat. Saya sadar, selama ini saya menggunakan bakat kepintaran saya untuk kejahatan, padahal seharusnya kemampuan saya itu bisa dipakai untuk kebajikan.” Ia mulai berpidato di hadapan hadirin, “Saya ingin mengubah jalan hidup saya dengan mengabdikan diri untuk melindungi negara ini. Dan penemuan saya ini adalah salah satu buktinya.”

Layar yang tadi menayangkan “ramalan” itu tiba-tiba terurai menjadi benda-benda kecil mirip gotri yang kemudian turun dari panggung dan menyebar di kaki Pengkor bak anjing yang patuh pada tuannya.

“Perkenalkan ini adalah ‘Microtir’, nanobot yang diciptakan di lab nanoteknologi milik saya yang ...”

“Yang didanai menggunakan uang haram hasil perdagangan narkoba miliknya!” tuduh salah seorang polisi dengan geram. Lagi-lagi mata penuh kecurigaan menyorot Pengkor dari arah para hadirin.

“Jangan pedulikan darimana uang itu berasal, namun yang penting apa yang bisa dilakukan teknologi ini demi kemashalatan orang banyak!” Pengkor membela dirinya, “Para nanobot ini memiliki kemampuan khusus, memprediksi hal-hal yang akan terjadi menggunakan kalkukasi mekanika kuantum, perhitungan probabilitas yang akan sangat sulit dilakukan manusia seperti kita, namun bukan hal yang mustahil jika Anda seukuran butiran atom.”

Beberapa ilmuwan yang duduk di antara hadirin mengangguk.

“Probabilitas dalam mekanika kuantum memang aneh. Kucing Schrodinger menurut teori berada dalam kondisi separuh hidup dan separuh mati dalam kotak berisi isotop radioaktif yang dipicu dengan pencacah Geiger. Belum lagi asas ketidakpastian Heisenberg menyatakan bahwa elektron ....”

“Tapi apa mungkin penerapannya dapat digunakan untuk melihat masa depan?” ilmuwan dari disiplin ilmu yang lain menyanggahnya, “Saya rasa itu konyol!”

“Saya rasa bukan begitu!” ilmuwan lain memberikan pendapat, “Foton sendiri dapat berperilaku dualisme sebagai gelombang ataupun partikel tergantung kedudukan pengamat. Berkiblat pada kenyataan bahwa mikrobot itu dapat memiliki ukuran sekecil kuanta foton, saya rasa ...”

“Sudah hentikan!” polisi berpangkat tinggi, yang tak lain adalah Inspektur Garuda itu, menghentikan perdebatan akademis yang tak dipahaminya itu. “Jikalau memang apa yang kau ramalkan memang benar terjadi, Pengkor, apa yang dapat kita lakukan? Kami sudah berusaha sekeras mungkin menangkap Gerombolan Kucing Merah, namun mereka sendiri selicin dan selicik nama mereka.”

“Dalam hal itulah saya ingin membuktikan loyalitas saya pada negara ini.” Pengkor menjentikkan jarinya dan seketika, sesuatu diturunkan dari atas menggunakan kabel baja, bak sebuah properti dalam pertunjukan sulap. Pengkor membuka kerudung yang menutupinya dan semua orang terperangah begitu melihat apa yang tersingkap di baliknya.

“Sebuah zirah?” tanya Inspektur Garuda.

“Saya perkenalkan senjata terhebat yang pernah saya konstruksi,” bak pesulap yang memamerkan triknya, ia mengangat tangannya ke arah zirah itu,  “Saya menyebutnya, Manusia Cro-Magnon.”

Sebuah zirah berwarna garnet (merah kecoklatan) yang menyala memukau para hadirin. Baju zirah itu lengkap dengan sebuah helm dengan hiasan bak tentara Romawi, juga terbuat dari logam.

“Namanya yang dramatis saya ambil dari kemampuannya untuk .... ah, biar saya buktikan sendiri kepada Anda!” Pengkor meraih helm itu dan mengenakannya. Sebuah permata berwarna merah tua juga menghiasi bagian dahinya. Ia memejamkan mata untuk berkonsentrasi dan seketika ...

“Krek ... krek ... kreeeek ...”

Para hadirin tersentak. Segala sesuatu yang terbuat dari logam di ruangan itu mulai berderak dan melayang, mulai dari pena di meja, handphone, bahkan kursi dan meja mereka, jika saja tak ditahan berat tubuh mereka. Inspektur Garuda sendiri merasakan berbagai medali dan pin yang disematkan di seragamnya sebagai penghargaan atas segala jasanya pada bangsa negara pun seakan hendak tercabut.

Pengkor membuka matanya dan semua benda logam itupun jatuh dan diam kembali.

“Anda bisa lihat sendiri kemampuannya untuk memanipulasi medan magnet.” Pengkor melepaskan helm itu, dibantu oleh dua asisten perempuannya dan mengembalikannya kembali ke atas zirah itu.

“Cro Magnon adalah ciptaan terhebat saya. Saya bisa dengan mudah menggunakannya sebagai senjata untuk menguasai negara ini. Namun, sebagai bukti kecintaan saya terhadap tanah air, maka saya serahkan senjata adidaya ini kepada pemerintah agar bisa dimanfaatkan pihak militer.”

Beberapa orang mulai berbisik-bisik menyanjung keputusan Pengkor.

Pria bungkuk itupun mengangkat tangannya ke arah segenap hadirin di auditorium itu, “Dengan ini kita bisa mengubah masa depan Nusantara menjadi lebih cerah!”

Semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Kini tak ada lagi yang menyangsikannya. Namun Inspektur Garuda Wisnu masih terduduk di atas singgasananya sambil menyilangkan kaki. Ia menatap baju zirah itu tajam-tajam.

Ia tak pernah mempercayai Pengkor dan semua kelicikannya. Namun ia sadar betul, baju zirah itu akan menjadi keuntungan tersendiri jika ia bisa memilikinya.

Ia akan menghapus nama Cro Magnon itu. Itu adalah nama nenek moyang Bangsa Barat, kaum penjajah.

Inspektur Garuda tersenyum ketika menemukan nama yang tepat.

Kapten Nusantara!

***

 

Pengkor berbalik di tengah hujan tepuk tangan itu dan menyeringai kepada dua asisten wanitanya.

“Gendhis!”

Asisten wanita yang berada di sebelah kirinya dan mengenakan gaun pink mengangguk.

“Gemati”

Asisten wanita yang berada di sebelah kanannya dan mengenakan gaun ungu mengangguk.

Pengkor memastikan tak ada yang mendengarnya selain kedua asisten kembarnya itu.

“Rencana kita akan dimulai di sini!”


BERSAMBUNG

 

 

No comments:

Post a Comment