Saturday, April 19, 2025

GUNDALA: PATRIOT – CHAPTER 6

 


REUNI

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“AAAAAAAAAAA!!!” Esthy menjerit ketika kaca etalase di sampingnya pecah. Suasana di Malioboro terlalu kacau. Ia memutuskan jalan yang terbaik adalah kabur dari sini.

Namun ketika ia hendak beranjak pergi, tiba-tiba ia melihat sekelebatan sosok seorang pemuda berlari melewatinya.

Gadis itu membelalakkan matanya.

“Sancaka?”

***

 

“Siapa kau?” tanya Samudra Getih sembari memicingkan mata. Baru saja mendapat kekuatan ini, ia sudah mendapatkan lawan yang seimbang.

“Namaku Kapten Nusantara!” sosok berjubah dan berhelm merah itu mengangkat tangannya. Ia bersiap untuk menghentakkan energi magnetik seperti yang tadi ia lakukan.

Sancaka yang berada tak jauh dari mereka melihat kristal garnet yang berada di dahi helm merah itu.

“Astaga! Apa itu Inti Atom?” pekiknya dalam hati, “Ada satu lagi benda semacam itu di Bumi? Pantas ia memiliki kekuatan sehebat itu!”

***

 

“Sepertinya kekuatan yang dimilikinya adalah mengendalikan medan magnet, bukan dark energy.” bisik hologram bernama Othorb itu pada prajurit kepercayaannya. “Kurasa bukan dia.”

“Kau mungkin benar, tapi jubah itu ...” Tangguh merasa tak yakin, “Aku tak mungkin salah tentang jubah itu ...”

***

 

“Hentikan!” seru Sancaka. Kapten Nusantara segera memandangnya.

“Apa yang kau lakukan?” seru Sancaka lagi, “Apa kau tak peduli pada keselamatan penduduk sipil yang ada di sini!”

“Kau tak mengerti situasinya!” seru Kapten Nusantara, “Kau tak tahu bencana yang bisa ditimbulkannya! Aku mencoba menyelamatkan negeri ini! Kami tak boleh gagal lagi untuk menghabisinya kali ini!”

“Gagal lagi?” Samudra Getih segera tersadar, “Kau! Kau yang telah membunuh keluargaku!”

Kapten Nusantara ganti menatapnya, “Kematian mereka bukan kesalahanku, melainkan tanggung jawabmu sendiri!”

“KURANG AJAR KAU!” seru Samudra Getih. Ia segera mengerahkan segenap kekuatannya untuk membakar Kapten Nusantara. Namun dengan kekuatan magnetiknya, ia menarik semua benda logam yang ada di tempat itu untuk membentuk dinding pelindung dan menangkis semua energi panas itu.

“Gawat!” Sancaka sadar benar energi panas yang dihasilkan oleh Samudra Getih bukan energi sembarangan, sebab dihasilkan dari reaksi nuklir atom berinti berat. Dengan kata lain, ia juga akan menghasilkan residu berupa pancaran radiasi yang membahayakan jiwa orang-orang di sekelilingnya.

Sancaka berada amat dekat dengan Samudra Getih. Ia bisa saja menusukkan suntikan berisi serum ini. Namun panas yang mengelilingi Samudra Getih bersuhu amat tinggi. Bahkan jarum suntiknya akan keburu meleleh begitu mendekati tubuhnya. Belum lagi tangannya. Ia hanya manusia biasa sekarang.

Tiba-tiba Sancaka merasakan sebuah energi yang amat dahsyat mendekat.

“Akhirnya kau datang juga!” Sancaka bersorak gembira.

Hempasan energi dari palu itu langsung membuat Samudra Getih tersungkur ke aspal, bahkan meninggalkan kawah di tanah sebagai bukti kekuatannya.

Sosok berjubah itu turun dari langit bak meteor.

“Godam! Gunakan cincinmu untuk menetralkan kekuatannya sementara!” perintah Sancaka.

Mendengar suara itu mata Godam terbelalak.

“Sancaka?!” serunya tak percaya.

“Cepatlah!”

Melihat wajah serius Sancaka, Godam menepis segala keterkejutannya dan segera menetralkan kekuatan Samudra Getih yang sedang pingsan dengan cincinnya. Sancaka tak membuang waktu dan langsung menyuntikkan serum itu ke tubuhnya.

Perlahan Sancaka bisa merasakan perubahannya. Radiasi nuklir yang semenjak tadi terpancar melalui tubuh Bintang tak terasa lagi. Iapun kembali ke wujudnya semula sebagai manusia biasa.

Tiba-tiba sepasukan tentara muncul entah darimana dan segera mengepung mereka. Dengan persenjataan lengkap, mereka mengangkat Bintang dan membawanya pergi.

“Satu pengacau telah dibereskan ...” kata Kapten Nusantara yang masih melayang di udara dengan jubahnya itu, “SEKARANG TINGGAL SATU LAGI!”

Ia mengarahkan medan magnetiknya dengan kekuatan penuh hingga tiang listrik yang berada di samping Godam meliuk bak ular dan segera melilit tubuhnya.

“AAAARGH!” Godam terkejut melihat batang besi itu memerangkapnya seperti ular.

“Apa yang kau lakukan?” seru Sancaka, “Godam barusan membantu kita!”

“Dia sama berbahayanya dengan penjahat super lain!” seru Kapten Nusantara tanpa ragu, “Dia juga harus dibasmi!”

“Hentikan!” jerit seorang gadis. Sancaka menoleh dan melihatnya dengan  tatapan tak percaya.

Esthy? Dia juga ada di sini?

Hati Sancaka bergejolak. Entah apa yang harusnya ia rasakan. Dalam satu sisi ia khawatir dengan nasib Godam, namun di sisi lain ia juga amat bahagia bisa kembali melihat gadis yang ia cintai dengan segenap jiwanya.

“Kau bagian dari Proyek Pemerintah bukan? Kapten Nusantara?” seru gadis itu.

“Darimana kau tahu?” Kapten Nusantara segera melakukan face recognition pada Esthy dan mengenalinya, “Ah, kau wartawati kawakan yang sudah berjasa membuat Pengkor tertangkap rupanya. Tak heran kau bisa mengendus proyek serahasia ini.”

Ia turun ke tanah dan berjalan sembari menyeret jubahnya.

“Aku sangat menghargai jasa-jasamu bagi Nusa dan Bangsa.” kata pria itu sembari mendekat, “Namun kau juga seharusnya tahu bahwa kekuatan Godam jugalah ancaman.”

“Dia sudah pernah menyelamatkan presiden!” sangkal Esthy, “Godam adalah seorang Patriot Pembela Bangsa!”

“Dia juga-lah yang menghancurkan Jembatan Pasupati hingga banyak orang terbunuh!”

“Bukan! Bukan dia, melainkan Jagad Geni!” seru Sancaka tiba-tiba. Semua menatapnya.

“A ... aku ada di sana.” Sancaka buru-buru menjelaskan, “Aku ada di Bandung saat itu.”

“Kumohon! Dia sama sekali bukan ancaman bagi negara ini! Lepaskan dia!” rajuk Esthy. “Justru Pengkor yang harus kau waspai! Dia yang membuat zirah yang kau pakai bukan? Aku yakin dia merencanakan sesuatu dan sedang memanfaatkanmu!”

Inspektur Garuda yang berada di balik seragam Kapten Nusantara tampak berpikir sejenak. Selama ini semua pihak tampaknya percaya begitu saja dengan pertobatan Pengkor. Namun paling tidak kini ia menemukan seseorang yang berbagi kecurigaan yang sama dengannya.

Godam tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kekuatannya, ia menciptakan gelombang energi dahsyat yang langsung meluluhlantakkan besi yang mengikatnya. Dengan kecepatan cahaya, ia segera melesat pergi, meninggalkan mereka semua.

Kapten Nusantara terlihat kesal dengan kaburnya Godam.

“Jika dia memang bukan musuh kita, Nona Manis ...” bisik Kapten Nusantara, “Jelaskan mengapa dia melarikan diri!”

Iapun melenggang pergi sembari menyibakkan jubahnya.

“Namun aku akan mengingat perkataanmu untuk berhati-hati pada Pengkor.” katanya sembari terbang ke angkasa.

“Esthy ... Sancaka ...” panggil seorang pemuda.

Mereka berdua menoleh. Sancaka langsung tersenyum lebar melihat sahabatnya, Awang, berdiri di trotoar.

“Awang!” Sancaka langsung memeluknya. Awang hanya berdiri di sana, tak membalas pelukannya.

Matanya terpaut pada Esthy, yang juga tengah menatapnya.

“Aku benar-benar gembira bisa melihat kalian lagi!” Sancaka melepaskan pelukannya dan menepuk lengan sahabatnya itu.

“Kau pergi lama sekali, Kawan ...” Awang masih tampak terpaku dengan kembalinya Sancaka, “Kemana saja kau? Sama sekali tak ada kabar darimu ...”

“Aku hanya pergi selama beberapa hari kan? Kenapa kalian ini?” Sancaka tertawa.

“Beberapa hari?” terdengar suara Esthy, hampir terisak, “Kau menghilang selama dua tahun, Sancaka! Dua tahun!”

“Dua tahun?” Sancaka tersentak. Ia memang menghabiskan beberapa hari saat ia terjebak di Papua, Maluku, dan akhirnya bertarung di Planet Covox.

Serta dua menit di masa depan, saat ia terjebak di lubang hitam

Sancaka menepuk dahinya begitu menyadarinya.

Dua menit di lubang hitam itu mungkin bisa mulur menjadi dua tahun di realitas!

“Astaga maaf ... aku tak sadar telah pergi selama itu ...” Sancaka kebingungan untuk menjelaskan. Namun tiba-tiba ia melihat seseorang di belakang pemuda. Hanya sekelibatan, namun ia tak mungkin salah mengenali wajah itu.

Itu wajah pria di masa depan. Pria yang mengirimkannya kembali ke masa kini dengan mengorbankan Inti Atom miliknya.

“Esthy, Awang ... maaf aku harus pergi!” Sancaka tak membuang waktu, “Aku akan bertemu lagi dengan kalian!”

Iapun mengikuti pemuda itu, sementara itu Esthy dan Awang masih bertukar pandangan.

“Kau bilang dia sudah meninggal!” jerit Esthy marah sambil memukul dada Awang. Tangan pemuda itu dengan sigap menghentikannya.

“Maafkan aku ... aku benar-benar berpikir ...”

Godam sudah tak mampu lagi merasakan keberadaan Sancaka sebagai Gundala selama dua tahun, jadi wajar jika dia mengira Sancaka sudah tak ada lagi di dunia ini.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Esthy menitikkan air mata. “Apa, Wang?!”

Awang tak mampu menjawab.

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment