REUNI
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“AAAAAAAAAAA!!!”
Esthy menjerit ketika kaca etalase di sampingnya pecah. Suasana di Malioboro
terlalu kacau. Ia memutuskan jalan yang terbaik adalah kabur dari sini.
Namun
ketika ia hendak beranjak pergi, tiba-tiba ia melihat sekelebatan sosok seorang
pemuda berlari melewatinya.
Gadis
itu membelalakkan matanya.
“Sancaka?”
***
“Siapa
kau?” tanya Samudra Getih sembari memicingkan mata. Baru saja mendapat kekuatan
ini, ia sudah mendapatkan lawan yang seimbang.
“Namaku
Kapten Nusantara!” sosok berjubah dan berhelm merah itu mengangkat tangannya.
Ia bersiap untuk menghentakkan energi magnetik seperti yang tadi ia lakukan.
Sancaka
yang berada tak jauh dari mereka melihat kristal garnet yang berada di dahi
helm merah itu.
“Astaga!
Apa itu Inti Atom?” pekiknya dalam hati, “Ada satu lagi benda semacam itu di
Bumi? Pantas ia memiliki kekuatan sehebat itu!”
***
“Sepertinya kekuatan yang
dimilikinya adalah mengendalikan medan magnet, bukan dark energy.” bisik hologram bernama Othorb
itu pada prajurit kepercayaannya. “Kurasa
bukan dia.”
“Kau
mungkin benar, tapi jubah itu ...” Tangguh merasa tak yakin, “Aku tak mungkin
salah tentang jubah itu ...”
***
“Hentikan!”
seru Sancaka. Kapten Nusantara segera memandangnya.
“Apa
yang kau lakukan?” seru Sancaka lagi, “Apa kau tak peduli pada keselamatan
penduduk sipil yang ada di sini!”
“Kau
tak mengerti situasinya!” seru Kapten Nusantara, “Kau tak tahu bencana yang
bisa ditimbulkannya! Aku mencoba menyelamatkan negeri ini! Kami tak boleh gagal
lagi untuk menghabisinya kali ini!”
“Gagal
lagi?” Samudra Getih segera tersadar, “Kau! Kau yang telah membunuh
keluargaku!”
Kapten
Nusantara ganti menatapnya, “Kematian mereka bukan kesalahanku, melainkan
tanggung jawabmu sendiri!”
“KURANG
AJAR KAU!” seru Samudra Getih. Ia segera mengerahkan segenap kekuatannya untuk
membakar Kapten Nusantara. Namun dengan kekuatan magnetiknya, ia menarik semua
benda logam yang ada di tempat itu untuk membentuk dinding pelindung dan
menangkis semua energi panas itu.
“Gawat!”
Sancaka sadar benar energi panas yang dihasilkan oleh Samudra Getih bukan
energi sembarangan, sebab dihasilkan dari reaksi nuklir atom berinti berat.
Dengan kata lain, ia juga akan menghasilkan residu berupa pancaran radiasi yang
membahayakan jiwa orang-orang di sekelilingnya.
Sancaka
berada amat dekat dengan Samudra Getih. Ia bisa saja menusukkan suntikan berisi
serum ini. Namun panas yang mengelilingi Samudra Getih bersuhu amat tinggi.
Bahkan jarum suntiknya akan keburu meleleh begitu mendekati tubuhnya. Belum
lagi tangannya. Ia hanya manusia biasa sekarang.
Tiba-tiba
Sancaka merasakan sebuah energi yang amat dahsyat mendekat.
“Akhirnya
kau datang juga!” Sancaka bersorak gembira.
Hempasan
energi dari palu itu langsung membuat Samudra Getih tersungkur ke aspal, bahkan
meninggalkan kawah di tanah sebagai bukti kekuatannya.
Sosok
berjubah itu turun dari langit bak meteor.
“Godam!
Gunakan cincinmu untuk menetralkan kekuatannya sementara!” perintah Sancaka.
Mendengar
suara itu mata Godam terbelalak.
“Sancaka?!”
serunya tak percaya.
“Cepatlah!”
Melihat
wajah serius Sancaka, Godam menepis segala keterkejutannya dan segera
menetralkan kekuatan Samudra Getih yang sedang pingsan dengan cincinnya.
Sancaka tak membuang waktu dan langsung menyuntikkan serum itu ke tubuhnya.
Perlahan
Sancaka bisa merasakan perubahannya. Radiasi nuklir yang semenjak tadi
terpancar melalui tubuh Bintang tak terasa lagi. Iapun kembali ke wujudnya
semula sebagai manusia biasa.
Tiba-tiba
sepasukan tentara muncul entah darimana dan segera mengepung mereka. Dengan
persenjataan lengkap, mereka mengangkat Bintang dan membawanya pergi.
“Satu
pengacau telah dibereskan ...” kata Kapten Nusantara yang masih melayang di
udara dengan jubahnya itu, “SEKARANG TINGGAL SATU LAGI!”
Ia
mengarahkan medan magnetiknya dengan kekuatan penuh hingga tiang listrik yang
berada di samping Godam meliuk bak ular dan segera melilit tubuhnya.
“AAAARGH!”
Godam terkejut melihat batang besi itu memerangkapnya seperti ular.
“Apa
yang kau lakukan?” seru Sancaka, “Godam barusan membantu kita!”
“Dia
sama berbahayanya dengan penjahat super lain!” seru Kapten Nusantara tanpa
ragu, “Dia juga harus dibasmi!”
“Hentikan!”
jerit seorang gadis. Sancaka menoleh dan melihatnya dengan tatapan tak percaya.
Esthy? Dia juga ada di sini?
Hati
Sancaka bergejolak. Entah apa yang harusnya ia rasakan. Dalam satu sisi ia
khawatir dengan nasib Godam, namun di sisi lain ia juga amat bahagia bisa
kembali melihat gadis yang ia cintai dengan segenap jiwanya.
“Kau
bagian dari Proyek Pemerintah bukan? Kapten Nusantara?” seru gadis itu.
“Darimana
kau tahu?” Kapten Nusantara segera melakukan face recognition pada Esthy dan mengenalinya, “Ah, kau wartawati
kawakan yang sudah berjasa membuat Pengkor tertangkap rupanya. Tak heran kau
bisa mengendus proyek serahasia ini.”
Ia
turun ke tanah dan berjalan sembari menyeret jubahnya.
“Aku
sangat menghargai jasa-jasamu bagi Nusa dan Bangsa.” kata pria itu sembari
mendekat, “Namun kau juga seharusnya tahu bahwa kekuatan Godam jugalah
ancaman.”
“Dia
sudah pernah menyelamatkan presiden!” sangkal Esthy, “Godam adalah seorang
Patriot Pembela Bangsa!”
“Dia
juga-lah yang menghancurkan Jembatan Pasupati hingga banyak orang terbunuh!”
“Bukan!
Bukan dia, melainkan Jagad Geni!” seru Sancaka tiba-tiba. Semua menatapnya.
“A ...
aku ada di sana.” Sancaka buru-buru menjelaskan, “Aku ada di Bandung saat itu.”
“Kumohon!
Dia sama sekali bukan ancaman bagi negara ini! Lepaskan dia!” rajuk Esthy.
“Justru Pengkor yang harus kau waspai! Dia yang membuat zirah yang kau pakai
bukan? Aku yakin dia merencanakan sesuatu dan sedang memanfaatkanmu!”
Inspektur
Garuda yang berada di balik seragam Kapten Nusantara tampak berpikir sejenak.
Selama ini semua pihak tampaknya percaya begitu saja dengan pertobatan Pengkor.
Namun paling tidak kini ia menemukan seseorang yang berbagi kecurigaan yang
sama dengannya.
Godam
tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kekuatannya, ia menciptakan gelombang
energi dahsyat yang langsung meluluhlantakkan besi yang mengikatnya. Dengan
kecepatan cahaya, ia segera melesat pergi, meninggalkan mereka semua.
Kapten
Nusantara terlihat kesal dengan kaburnya Godam.
“Jika
dia memang bukan musuh kita, Nona Manis ...” bisik Kapten Nusantara, “Jelaskan
mengapa dia melarikan diri!”
Iapun
melenggang pergi sembari menyibakkan jubahnya.
“Namun
aku akan mengingat perkataanmu untuk berhati-hati pada Pengkor.” katanya
sembari terbang ke angkasa.
“Esthy
... Sancaka ...” panggil seorang pemuda.
Mereka
berdua menoleh. Sancaka langsung tersenyum lebar melihat sahabatnya, Awang,
berdiri di trotoar.
“Awang!”
Sancaka langsung memeluknya. Awang hanya berdiri di sana, tak membalas
pelukannya.
Matanya
terpaut pada Esthy, yang juga tengah menatapnya.
“Aku
benar-benar gembira bisa melihat kalian lagi!” Sancaka melepaskan pelukannya
dan menepuk lengan sahabatnya itu.
“Kau
pergi lama sekali, Kawan ...” Awang masih tampak terpaku dengan kembalinya
Sancaka, “Kemana saja kau? Sama sekali tak ada kabar darimu ...”
“Aku
hanya pergi selama beberapa hari kan? Kenapa kalian ini?” Sancaka tertawa.
“Beberapa
hari?” terdengar suara Esthy, hampir terisak, “Kau menghilang selama dua tahun,
Sancaka! Dua tahun!”
“Dua
tahun?” Sancaka tersentak. Ia memang menghabiskan beberapa hari saat ia
terjebak di Papua, Maluku, dan akhirnya bertarung di Planet Covox.
Serta
dua menit di masa depan, saat ia terjebak di lubang hitam
Sancaka
menepuk dahinya begitu menyadarinya.
Dua menit di lubang hitam itu
mungkin bisa mulur menjadi dua tahun di realitas!
“Astaga
maaf ... aku tak sadar telah pergi selama itu ...” Sancaka kebingungan untuk
menjelaskan. Namun tiba-tiba ia melihat seseorang di belakang pemuda. Hanya
sekelibatan, namun ia tak mungkin salah mengenali wajah itu.
Itu wajah pria di masa depan.
Pria yang mengirimkannya kembali ke masa kini dengan mengorbankan Inti Atom
miliknya.
“Esthy,
Awang ... maaf aku harus pergi!” Sancaka tak membuang waktu, “Aku akan bertemu
lagi dengan kalian!”
Iapun
mengikuti pemuda itu, sementara itu Esthy dan Awang masih bertukar pandangan.
“Kau
bilang dia sudah meninggal!” jerit Esthy marah sambil memukul dada Awang.
Tangan pemuda itu dengan sigap menghentikannya.
“Maafkan
aku ... aku benar-benar berpikir ...”
Godam
sudah tak mampu lagi merasakan keberadaan Sancaka sebagai Gundala selama dua
tahun, jadi wajar jika dia mengira Sancaka sudah tak ada lagi di dunia ini.
“Apa
yang harus kita lakukan sekarang?” Esthy menitikkan air mata. “Apa, Wang?!”
Awang
tak mampu menjawab.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment