PERANG TELAH DIMULAI
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“AAAAAAARGH!!!”
Gundala terjatuh dari atas langit. Ia meluncur bak sebuah meteor dan terhempas
hingga menghancurkan apa yang ada di bawahnya.
Sebuah
kapal.
Ia
mendengar jeritan. Begitu tercebur ke dalam lautan, baju zirah ungunya dengan
cepat berubah, mengembalikan wujudnya semula sebagai manusia. Ia megap-megap
berusaha bernapas dan menggapai udara. Ia berhasil mencapai permukaan air dan
menyadari puing-puing sebuah kapal layar berwarna putih mengelilinginya
“Tolong!”
ia mendengar jeritan seorang gadis, diiringi suara gelembung air, “Tolong aku
...”
Kepala
Sancaka menoleh untuk mencari sumber suara itu dan menemukan seorang gadis
hampir tenggelam tak jauh darinya.
“Bertahanlah!”
serunya. Sancaka berenang menghampirinya dan berhasil meraih tubuhnya. Namun
gadis itu sudah keburu pingsan.
Dengan
panik Sancaka melihat ke sekelilingnya. Sial, pikirnya. Mereka jauh sekali dari
daratan. Ia baru sadar mereka berada di berkilo-kilometer dari daratan, dengan
nyawa gadis itu berada di ujung tanduk.
Jika
begini terus gadis ini bisa mati.
Sancaka
berusaha membangkitkan percikan listrik dalam dirinya.
“Kumohon
... kali ini berhasillah!” ia membayangkan sebuah pantai dengan pasir yang
lembut dan deburan ombak yang menenangkan.
Seketika,
tubuh mereka berubah menjadi percikan listrik.
***
Dhana
membuka matanya di dalam air.
Ia
baru saja merasakannya. Tak salah lagi. Lautan yang memberitahunya.
“Buana!”
panggil Dhana dalam hati sembari menggenggam lapis lazulinya. Ia dan Buana
telah belajar bahwa dengan berkonsentrasi pada batu mereka, mereka berdua bisa
berkomunikasi melalui telepati. Setiap inti atom terhubung satu sama lain dan
itulah yang mereka manfaatkan sekarang.
“Buana, dia sudah kembali!”
“Jangan
sekarang!” balas Buana yang masih berdiri di atas pilar, memandangi targetnya
yang bergerak di antara mobil-mobil yang melintasi jembatan. Sosok lain tengah
bersamanya kala itu. “Aku dalam misi penting! Nanti saja kita bicara.”
“Namun ini Sancaka! Dia sudah
kembali!”
“Apa?”
***
Tubuh
Sancaka lagi-lagi terjatuh dari langit, namun kali ini tidak dalam ketinggian
dan jatuhnya pun menghantam tumpukan pasir.
“Aduh!”
Sancaka berusaha bangun dan menemukan bahwa gadis yang tadi ditolongnya
tergeletak tak jauh dengannya. Desir ombak meraba kakinya, menimbulkan rasa
geli.
“Syukurlah
berhasil!” pemuda itu semakin percaya diri mampu menguasai kemampuan teleportasinya.
“Nona,
bangunlah!” Sancaka segera berusaha menyadarkan gadis itu, namun ia tak
bernapas. Pemuda itu tak punya pilihan lain selain mencium gadis itu dan
memberikan napas buatan.
Setelah
meniupkan napas, gadis itu mulai tersedak dan memuntahkan air yang tadi masuk
ke mulutnya. Iapun bangun.
Sancaka
menatapnya dengan lega. Memang aneh rasanya mencium gadis yang baru saja ia
kenal, namun yang penting ia telah berhasil menyelamatkan nyawanya.
“Apa
kau baik-baik saja?” tanya Sancaka cemas.
Gadis
itu menatapnya, “Si ... siapa kau? Dimana aku?”
“Namaku
Sancaka. Aku tadi melihat kapalmu hancur dan kau tenggelam. Makanya aku
membawamu ke pesisir.”
“Kapalku?”
gadis itu tengah memegangi kepalanya yang terasa berdenyut, “Astaga, apa yang
baru saja menimpaku? Sepertinya tadi kapalku kejatuhan meteor.”
“Kurasa
memang begitu,” Sancaka kebingungan mencari penjelasan yang lain, “Tapi kau
sungguh berani, mengarungi laut sendirian seperti itu.”
Gadis
itu seakan menyadari sesuatu. Ia segera menyentuhkan jarinya ke bibirnya yang
masih hangat.
Masih
ada sedikit rasa manis terkecap di sana.
Iapun
menyadari apa yang barusan terjadi. Pipinya yang merona merah membuktikannya.
“Siapa
namamu tadi?” gadis itu memandangnya.
“Sancaka.”
pemuda itu tersenyum. “Kau?”
“Çakti.”
jawab gadis itu membalas senyumannya, “Panggil saja aku Çakti.”
***
Sebuah
mobil sedan melaju dengan cepat di atas Jembatan Suramadu. Bintang, nama pria
itu, tampak gundah gulana. Beberapa kali ia menatap ke spion untuk mencari
apakah ada yang mengejarnya.
Ketakutannya
mengejawantah. Ia benar, mereka telah menemukannya!
Di
antara mobil-mobil berplat Surabaya yang tengah menuju Madura itu, sebuah mobil
sport Ferrari merah muncul dengan mencoloknya, menyalip mobil-mobil di
depannya.
“Ce
... celaka!” ia segera menginjak pedal gas.
“Bintang,”
tegur istrinya yang berada di sampingnya, “Pelan-pelanlah! Ayu sedang tertidur
di belakang.”
Pria
itu menatap putrinya yang tengah tertidur pulas di bangku belakang. Ialah salah
satu alasan mengapa ia harus keluar dari jembatan ini hidup-hidup.
Jika
Gerombolan Kucing Merah menemukannya, riwayatnya akan tamat. Namun bukan
nyawanya yang ia khawatirkan, melainkan hidup anak dan istrinya.
Mereka
pasti akan membunuhnya setelah pengkhianatan yang ia lakukan.
***
“Saya
menemukannya, Tuan.” gadis yang mengendarai Ferrari merah itu berkata pada pria
di sampingnya. Medali berlambang kepala kucing tergantung di atas dashboard mobil mewah itu.
“Baguslah
kalau begitu.” pria berkaca mata hitam dan berpakaian kulit serba hitam itu tersenyum.
“Keluarkan aku dari sini!”
Gadis
yang juga berkaca mata hitam itu menekan tombol yang kemudian membuka kap atas
mobil itu. Dengan cekatan, pria berkostum hitam itu segera melompat keluar.
Dengan melompat-lompat dan berpijak pada mobil-mobil di depannya, ia akhirnya
terjun ke kap depan sedan yang dikejarnya.
“BRAAAAAK!!!”
“AAAAAA!!!”
istri Bintang berteriak begitu melihat seutas wajah menyeringai di kaca
depannya.
“Ce
... celaka!” bisik Bintang gugup,
“Bastian Leo!”
Bintang
dengan nekad membanting mobilnya ke sisi jembatan, berusaha menghantamkan tubuh
pria itu ke pilar beton jembatan. Namun seolah memiliki refleks yang amat
hebat, pria itu melompat untuk menghindar. Akibatnya, mobil itu menabrak
dinding sisi jembatan.
“BRAAAAAAK!!!”
Sementara
itu di atas pilar jembatan, terlihat dua sosok yang semenjak tadi mengawasi
dari kejauhan. Menyaksikan penampilan sangar pria berpakaian hitam itu, Buana
segera menyadari ia telah menemukan incarannya.
“Itu
sang Macan Kumbang!!!” serunya.
Mendengar
namanya, anak laki-laki di sampingnya menjadi geram. Ia segera melompat,
melebarkan sayapnya, dan melayang turun dari atas puncak tiang beton penyangga
jembatan.
“Tunggu,
Kalong!” seru Buana. Namun terlambat. Anak itu sudah memutuskan sekarang
saatnya terjun ke gelanggang pertempuran.
Refleks
Macan Kumbang membuatnya menyadari ada seseorang yang berusaha menyerangnya
dari atas dan segera menyingkir. Kalong-pun hinggap di sisi jembatan,
menghadapnya.
“Kau!”
tudingnya penuh amarah, “Kau yang membunuh ayahku!”
“Siapa
kau?” Macan Kumbang kemudian tersenyum, “Oh, aku ingat sekarang! Kau anak kecil
itu, putra si arkeolog!”
Sementara
itu kondisi di atas Jembatan Suramadu menjadi kacau balau. Peristiwa tadi
menyebabkan kecelakaan berantai di atas jalan tol tersebut. Akibatnya
mobil-mobil saling bertabrakan dan teronggok di tengah jalan, bahkan beberapa
menghantam sisi jembatan. Para warga memutuskan keluar dari mobil mereka dan
berlari menyelamatkan diri.
Jembatan
itu kini dikepung asap. Sebuah helikopter muncul dan melintas di atas, mencoba
memeriksa keadaan. Kamera jarak jauh yang dipasang di moncong helikopter itu
menangkap foto dua superhero yang berseteru itu.
“Tak
salah lagi!” sebuah suara menggema di monitor yang tengah disaksikan Inspektur Garuda
dari ruangan nyamannya di Yogyakarta, “Itu adalah pemimpin Gerombolan Kucing
Merah yang dijuluki Si ‘Macan Kumbang’!”
Profil
tentang dirinya segera muncul di layar dengan sengat detail.
“Wow,
rekor catatan kejahatan yang luar biasa panjang untuk pria semuda itu.
Benar-benar bromocorah kelas kakap!” bisik Inspektur Garuda tertarik, “Memiliki
kemampuan super melihat jarak jauh, pendengaran super, refleks yang luar biasa
cekatan, bahkan sampai seolah bisa meramalkan masa depan beberapa detik ke
depan. Benar-benar ciri khas seekor kucing.”
Polisi
itu kemudian berbicara melalui mikrofon. “Namun bukan ia target kita. Cepat
cari! Profesor Bintang pasti ada di sana!”
***
“Akan
kubalas kematian ayahku sekarang!” serta merta Kalong menyerangnya dengan
melayang menggunakan kedua sayap kelelawarnya. Namun dengan mudah Macan Kumbang
menghindari serangan itu, bahkan menyayat sayap superhero cilik itu dengan
kukunya hingga sobek. Kalong-pun tersungkur tak berdaya di atas aspal.
“Kau
mengganggu saja, Bocah Cilik!” bisiknya geram. “Lebih baik kusingkirkan kau
sekarang!”
Iapun
mengeluarkan kuku dari tangannya, bak seekor macan kumbang sungguhan dan
berjalan menuju Kalong yang tengah tersungkur.
“Jangan
sakiti dia!” Buana segera bergabung ke arena pertarungan dan memanjangkan
tangannya untuk menyerang Macan Kumbang, namun tiba-tiba sesosok bayangan
melompat dan menyabet tangannya hingga tergores.
“Aaargh!”
Buana yang kesakitan segera menarik kembali tangannya yang melar. Seorang gadis
bertopeng dan bertubuh ramping segera mendarat di depan Buana.
“Ck ck
ck ... jangan coba-coba menganggu Pemimpin kami!” ia menggoyang-goyangkan jari
telunjuknya sambil berdecak, “Atau kau akan berhadapan denganku!”
“Siapa
kau?” Buana menatapnya dengan aura permusuhan.
“Namaku
Kitara Leo” Ia menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya dan tersenyum genit,
“Tapi kau bisa memanggilku Kitty.”
“Aku
tak peduli siapa kau!” Buana segera memanjangkan tangannya lagi, berusaha
menangkapnya. Namun di luar dugaan, tangan itu menembus tubuh Kitara begitu
saja, seolah-olah tubuhnya transparan.
“Apa??!”
seru Buana terkejut, “Kau juga adalah manusia adidaya?”
Kitara
terkikik ketika lengan Buana itu salah sasaran dan justru menggapai pilar
beton. Dengan cekatan, Kitara melompat dan mengikatkan tangan Buana di sana.
“Apa
ini?!” Buana berusaha menarik tangannya, namun percuma, “Cepat lepaskan aku!”
“Kekuatan
yang luar biasa. Namun sayangnya tak berguna.” cemooh gadis itu sembari
menyingkir pergi.
Sang
Macan Kumbang juga mengikuti langkahnya. Ia tersenyum mengejek ke arah Kalong
yang mulai bangkit dari atas aspal.
“Aku
sebenarnya ingin bermain-main denganmu, Nak. Sayang aku punya urusan yang lebih
penting.”
Kedua
sosok berpakaian serba hitam itu sampai di depan onggokan mobil Bintang yang
bagian depannya tak lagi berbentuk.
Macan
Kumbang menghajarkan tangannya hingga memecahkan kaca depan jendela dan meraih
leher Bintang. Ia menarik wajahnya ke depan hingga ia bisa merasakan hembusan
napasnya. Keringat dingin langsung mengalir di pelipis profesor muda itu.
“Ku
... kumohon, Bastian ... lepaskan keluargaku ...” pintanya.
“Berani-beraninya
kau melarikan diri dariku, Bintang! Setelah semua dana yang kukeluarkan untuk
penelitianmu!”
Bintang
teringat begitu bencinya ia pada Bastian begitu mengetahui bahwa uang yang ia
dermakan untuk mendanai penelitiannya ternyata berasal dari uang haram. Apalagi
setelah ia tahu bahwa penelitiannya tentang reaktor fusi dingin nuklir ternyata
hendak digunakan untuk senjata pemusnah massal, bukan sebagai energi alternatif
masa depan seperti yang ia harapkan.
Iapun
langsung membawa keluarganya pergi sejauh mungkin begitu mengetahui ia
diam-diam terlibat dengan salah satu organisasi kejahatan terbesar di
Indonesia. Namun terlambat. Bastian dan anak buah kepercayaannya, Kitara, telah
mencium usahanya untuk kabur ke Madura, kampung halaman istrinya.
“Bergabunglah
denganku, Bintang, untuk menciptakan tatanan dunia baru!” Bastian memutuskan
untuk memberinya sekali lagi kesempatan. “Dan aku akan mengampuni keluargamu
...”
“Ta
... tapi ... bagaimana dengan nyawa orang-orang tak berdosa yang hendak kau
korbankan ...” Bintang terbata-bata. Tanpa ia sadari, lensa kamera dari
helikopter yang sejak tadi berputar-putar di atas mereka berhasil menangkap
wajahnya.
“Target
ditemukan!” pilot helikopter tersebut mengirimkan hasil teknologi face recognition kamera jarak jauhnya kepada
markas besarnya di Yogyakarta.
Mata
Inspektur Garuda berbinar ketika menyaksikan wajah Profesor Bintang di layar.
“Tak
salah lagi! Ia-lah pria yang meledakkan Bandara Soekarno-Hatta dua bulan yang
akan datang, sesuai ramalan robot hasil nanoteknologi milik Pengkor!”
Profil
pria itu muncul di atas layar sebagai hologram.
“Bintang
Putra Angkasa, putra dosen fisika terkemuka asal UGM. Diterima sebagai
mahasiswa ITB jurusan Teknik Nuklir pada usia 12 tahun. Diterima untuk
melanjutkan gelar Postgraduate di Massachusetts Institute of Technology, salah
satu universitas paling bergengsi di Amerika Serikat pada umur 14 tahun. Ia
akhirnya mendapat gelar profesor termuda di dunia saat masih menginjak 20
tahun. Namun jejaknya sama sekali tak tercium semenjak kembali ke Nusantara.”
Pria
itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kenapa pria sejenius itu justru
mengabdikan diri pada kelompok teroris semacam Gerombolan Kucing Merah?”
“Sayang
sekali.” bisiknya. “Seharusnya kau bisa melakukan banyak hal bagi Nusa Bangsa
ini. Namun, kau telah memilih pihakmu!”
“Bagaimana,
Inspektur?” tanya sang pilot helikopter, “Target telah ditemukan. Apa langkah
kita selanjutnya.”
“Laksanakan
rencana kita sedari awal. Tembakkan roket itu!” Inspektur Garuda menyandarkan
punggungnya ke sandaran kursi dan menyilangkan kakinya, “Kebetulan sekali
sampah seperti Bastian Leo juga ada di sana. Kita bisa membunuh dua burung
dengan sekali lempar.”
“Tapi
ada banyak warga sipil di sana ...” balas sang pilot gugup.
“Namun
akan lebih banyak lagi warga yang terbunuh jika ia tetap hidup!” polisi itu
geram ketika mengingat kembali mayat-mayat yang bergelimpangan setelah ledakan
dalam video itu. “Pengorbanan diperlukan untuk tujuan yang lebih mulia! Lakukan
saja, sekarang!!!”
Pilot
itu menurutinya dan meluncurkan rudal dari helikopternya. Telinga Macan Kumbang
mampu menangkap suara desingan rudal itu ketika bergesekan dengan udara dan
segera melompat menjauh, membawa serta Bintang bersamanya.
“Tidak!”
jerit Bintang, “Keluargaku!”
Sejenak
ia melihat bayangan istri dan putrinya dari balik kaca jendela, namun terlambat
...
Rudal
yang ditujukan kepadanya itu telanjur mengunci sasarannya: mobil dimana
keluarga Bintang masih terperangkap di dalamnya. Tanpa memakan banyak waktu,
rudal itu menghantam mobil itu dan ....
“BLAAAAAAAR!!!”
Bintang
berteriak histeris ketika mobil itu meledak berkeping-keping, melontarkan bara
api yang bahkan terasa hingga ke wajahnya.
“Sasaran
lolos. Saya ulangi, sasaran lolos!” ujar sang pilot panik.
“Sial!”
seru Inspektur Garuda dengan geram sambil meninju meja di depannya, “Tembak
lagi!”
“Baik
... hah, apa itu?”
Mata
pilot itu membelalak terkejut begitu melihat ada seorang gadis melompat ke
arahnya. Ia lebih terkejut lagi ketika tubuh gadis itu menembus bagian dalam
helikopter bak asap dan tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya.
Tanpa
banyak bicara, Kitara langsung mengeluarkan cakarnya dan menyayat wajah pilot
itu.
“AAAAAAARGH!!!”
“Ini
akibatnya jika kau macam-macam dengan Gerombolan Kucing Merah!”
Dengan
keji, Kitara menghancurkan panel kendali helikopter itu dengan cakarnya, lalu
keluar menembus helikopter itu lagi sembari tertawa.
Sang
pilot berusaha mengendalikan pesawatnya, namun terlambat. Baling-balingnya tak
lagi dapat dikendalikan dan helikopter itupun jatuh dan menghantam salah satu
pilar jembatan itu, kemudian luluh lantak menjadi bola api.
“DUAAAAAAR!!!”
Dengan
geram, Buana menatap kekacauan itu. Gadis itu menggunakan cakarnya untuk turun
melalui kabel-kabel baja yang menyangga jembatan itu dan dengan refleks bak
kucing sungguhan, mendarat dengan kedua kakinya di samping Bastian.
Bastian
Leo melepaskan leher Bintang yang segera berlutut sembari meratapi tragedi yang
menimpa keluarganya.
“Pemerintah
...” Bastian menunduk dan berbisik ke telinganya, “Mereka-lah yang membunuh
keluargamu tanpa alasan apapun. Apakah kau tak ingin membalas dendam pada
mereka?”
Tiba-tiba
refleks Bastian membuatnya menoleh. Suara gemuruh itu ... akan ada bencana yang
datang.
Hempasan
ombak yang maha dahsyat entah darimana tiba-tiba muncul, menghantam jembatan
itu dengan kecepatan tinggi. Derasnya air membuat Bastian dan Kitara terhempas
dari jembatan dan tercebur ke dalam laut.
“Dhana!”
seru Buana dengan gembira, “Kau datang tepat waktu!”
Ia
menyaksikan siluet seorang gadis ditimpa cahaya matahari setelah air yang
menghantamnya reda. Ia berpegangan pada salah satu kabel penopang jembatan itu.
“Bisakah
kita urus Sancaka sekarang? Kita sudah lama menunggu kedatangannya!” ujar gadis
itu dengan seragam superheronya.
“Maaf,
tapi aku sudah berjanji pada bocah kelelawar itu untuk membantunya menemukan
pembunuh ayahnya.” Buana akhirnya berhasil melepaskan lilitan tangannya.
“Dimana
anak itu?” tanya Dhana heran.
Buana
menoleh dan tak lagi menemukan anak itu dimanapun.
“Adi?”
***
“Kegagalanmu
sungguh memalukan!” seru para jenderal itu. Beberapa di antaranya terkikik,
gembira menyaksikan kegagalan polisi dalam melakukan tugas yang harusnya
dilakukan oleh militer itu.
“Presiden
akan sangat kecewa mendengar kabar memalukan ini?!” tunjuk jenderal lainnya.
“Kejadian
hari ini justru meyakinkan kita untuk segera mengambil tindakan terhadap para
manusia adidaya ini!” seru Inspektur Garuda dari bawah balkon untuk membela
diri. “Lihatlah ini, Saudara-Saudara!”
Ia
menyalakan presentasinya dan menunjukkan sosok-sosok manusia adidaya yang
tertangkap kamera.
“Pria
yang mampu memulurkan tangannya, bocah kelelawar yang terlibat dalam pencurian
permata beberapa waktu lalu, gadis ikan yang mampu membangkitkan tsunami ...”
Ia
lalu mengganti slide-nya.
“Gadis
yang mampu menembus benda padat dan penjahat keji yang memiliki refleks seperti
seekor macan kumbang ...”
Ia
juga menunjukkan kehancuran yang mereka akibatkan pada jembatan Suramadu,
termasuk mobil-mobil yang teronggok akibat tsunami.
“Apa
saya perlu mengingatkan Anda juga tentang manusia berjubah bersenjatakan palu
yang menghancurkan Jembatan Pasupati serta Putra Petir yang menyebabkan badai
listrik di Yogya? Mereka semua adalah ancaman!!!” Inspektur Garuda menegaskan
maksudnya.
Beberapa
di antara hadirin tampak manggut-manggut setuju. Ia tersenyum melihatnya.
“Karena
itu program Kapten Nusantara haruslah segera dimulai!” ia menunjuk kepada zirah
berwarna merah yang di-display
dibalik kaca, tepat di hadapan mereka, “Hanya itu satu-satunya harapan kita!”
“Baiklah!”
jenderal dengan pangkat tertinggi di ruangan itu memberikan persetujuan, “Kau
boleh menjadi Kapten Nusantara, namun dengan pengawasan ketat dari kami.”
Dari
jauh, Pengkor terlihat menyeringai senang dari balik kegelapan.
“Apakah
Anda yakin akan menyerahkan senjata adidaya itu begitu saja, Tuan?” terdengar
dua pasang langkah kaki di belakangnya, milik dua asistennya yang setia, Gendhis
dan Gemati.
“Justru
pria itu akan membantuku mencapai rencanaku.” Pengkor tersenyum sembari
memandang lekat wajah ambisius Inspektur Garuda.
“Ia
dan dendam masa lalunya akan membawa kita mencapai tujuan kita yang sebenarnya
....”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment