Monday, April 7, 2025

GUNDALA: PATRIOT – CHAPTER 3

 


PERANG TELAH DIMULAI

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“AAAAAAARGH!!!” Gundala terjatuh dari atas langit. Ia meluncur bak sebuah meteor dan terhempas hingga menghancurkan apa yang ada di bawahnya.

Sebuah kapal.

Ia mendengar jeritan. Begitu tercebur ke dalam lautan, baju zirah ungunya dengan cepat berubah, mengembalikan wujudnya semula sebagai manusia. Ia megap-megap berusaha bernapas dan menggapai udara. Ia berhasil mencapai permukaan air dan menyadari puing-puing sebuah kapal layar berwarna putih mengelilinginya

“Tolong!” ia mendengar jeritan seorang gadis, diiringi suara gelembung air, “Tolong aku ...”

Kepala Sancaka menoleh untuk mencari sumber suara itu dan menemukan seorang gadis hampir tenggelam tak jauh darinya.

“Bertahanlah!” serunya. Sancaka berenang menghampirinya dan berhasil meraih tubuhnya. Namun gadis itu sudah keburu pingsan.

Dengan panik Sancaka melihat ke sekelilingnya. Sial, pikirnya. Mereka jauh sekali dari daratan. Ia baru sadar mereka berada di berkilo-kilometer dari daratan, dengan nyawa gadis itu berada di ujung tanduk.

Jika begini terus gadis ini bisa mati.

Sancaka berusaha membangkitkan percikan listrik dalam dirinya.

“Kumohon ... kali ini berhasillah!” ia membayangkan sebuah pantai dengan pasir yang lembut dan deburan ombak yang menenangkan.

Seketika, tubuh mereka berubah menjadi percikan listrik.

***

 

Dhana membuka matanya di dalam air.

Ia baru saja merasakannya. Tak salah lagi. Lautan yang memberitahunya.

“Buana!” panggil Dhana dalam hati sembari menggenggam lapis lazulinya. Ia dan Buana telah belajar bahwa dengan berkonsentrasi pada batu mereka, mereka berdua bisa berkomunikasi melalui telepati. Setiap inti atom terhubung satu sama lain dan itulah yang mereka manfaatkan sekarang.

“Buana, dia sudah kembali!”

“Jangan sekarang!” balas Buana yang masih berdiri di atas pilar, memandangi targetnya yang bergerak di antara mobil-mobil yang melintasi jembatan. Sosok lain tengah bersamanya kala itu. “Aku dalam misi penting! Nanti saja kita bicara.”

“Namun ini Sancaka! Dia sudah kembali!”

“Apa?”

***

 

Tubuh Sancaka lagi-lagi terjatuh dari langit, namun kali ini tidak dalam ketinggian dan jatuhnya pun menghantam tumpukan pasir.

“Aduh!” Sancaka berusaha bangun dan menemukan bahwa gadis yang tadi ditolongnya tergeletak tak jauh dengannya. Desir ombak meraba kakinya, menimbulkan rasa geli.

“Syukurlah berhasil!” pemuda itu semakin percaya diri mampu menguasai kemampuan teleportasinya.

“Nona, bangunlah!” Sancaka segera berusaha menyadarkan gadis itu, namun ia tak bernapas. Pemuda itu tak punya pilihan lain selain mencium gadis itu dan memberikan napas buatan.

Setelah meniupkan napas, gadis itu mulai tersedak dan memuntahkan air yang tadi masuk ke mulutnya. Iapun bangun.

Sancaka menatapnya dengan lega. Memang aneh rasanya mencium gadis yang baru saja ia kenal, namun yang penting ia telah berhasil menyelamatkan nyawanya.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Sancaka cemas.

Gadis itu menatapnya, “Si ... siapa kau? Dimana aku?”

“Namaku Sancaka. Aku tadi melihat kapalmu hancur dan kau tenggelam. Makanya aku membawamu ke pesisir.”

“Kapalku?” gadis itu tengah memegangi kepalanya yang terasa berdenyut, “Astaga, apa yang baru saja menimpaku? Sepertinya tadi kapalku kejatuhan meteor.”

“Kurasa memang begitu,” Sancaka kebingungan mencari penjelasan yang lain, “Tapi kau sungguh berani, mengarungi laut sendirian seperti itu.”

Gadis itu seakan menyadari sesuatu. Ia segera menyentuhkan jarinya ke bibirnya yang masih hangat.

Masih ada sedikit rasa manis terkecap di sana.

Iapun menyadari apa yang barusan terjadi. Pipinya yang merona merah membuktikannya.

“Siapa namamu tadi?” gadis itu memandangnya.

“Sancaka.” pemuda itu tersenyum. “Kau?”

“Çakti.” jawab gadis itu membalas senyumannya, “Panggil saja aku Çakti.”

***

 

Sebuah mobil sedan melaju dengan cepat di atas Jembatan Suramadu. Bintang, nama pria itu, tampak gundah gulana. Beberapa kali ia menatap ke spion untuk mencari apakah ada yang mengejarnya.

Ketakutannya mengejawantah. Ia benar, mereka telah menemukannya!

Di antara mobil-mobil berplat Surabaya yang tengah menuju Madura itu, sebuah mobil sport Ferrari merah muncul dengan mencoloknya, menyalip mobil-mobil di depannya.

“Ce ... celaka!” ia segera menginjak pedal gas.

“Bintang,” tegur istrinya yang berada di sampingnya, “Pelan-pelanlah! Ayu sedang tertidur di belakang.”

Pria itu menatap putrinya yang tengah tertidur pulas di bangku belakang. Ialah salah satu alasan mengapa ia harus keluar dari jembatan ini hidup-hidup.

Jika Gerombolan Kucing Merah menemukannya, riwayatnya akan tamat. Namun bukan nyawanya yang ia khawatirkan, melainkan hidup anak dan istrinya.

Mereka pasti akan membunuhnya setelah pengkhianatan yang ia lakukan.

***

 

“Saya menemukannya, Tuan.” gadis yang mengendarai Ferrari merah itu berkata pada pria di sampingnya. Medali berlambang kepala kucing tergantung di atas dashboard mobil mewah itu.

“Baguslah kalau begitu.” pria berkaca mata hitam dan berpakaian kulit serba hitam itu tersenyum. “Keluarkan aku dari sini!”

Gadis yang juga berkaca mata hitam itu menekan tombol yang kemudian membuka kap atas mobil itu. Dengan cekatan, pria berkostum hitam itu segera melompat keluar. Dengan melompat-lompat dan berpijak pada mobil-mobil di depannya, ia akhirnya terjun ke kap depan sedan yang dikejarnya.

“BRAAAAAK!!!”

“AAAAAA!!!” istri Bintang berteriak begitu melihat seutas wajah menyeringai di kaca depannya.

“Ce ...  celaka!” bisik Bintang gugup, “Bastian Leo!”

Bintang dengan nekad membanting mobilnya ke sisi jembatan, berusaha menghantamkan tubuh pria itu ke pilar beton jembatan. Namun seolah memiliki refleks yang amat hebat, pria itu melompat untuk menghindar. Akibatnya, mobil itu menabrak dinding sisi jembatan.

“BRAAAAAAK!!!”

Sementara itu di atas pilar jembatan, terlihat dua sosok yang semenjak tadi mengawasi dari kejauhan. Menyaksikan penampilan sangar pria berpakaian hitam itu, Buana segera menyadari ia telah menemukan incarannya.

“Itu sang Macan Kumbang!!!” serunya.

Mendengar namanya, anak laki-laki di sampingnya menjadi geram. Ia segera melompat, melebarkan sayapnya, dan melayang turun dari atas puncak tiang beton penyangga jembatan.

“Tunggu, Kalong!” seru Buana. Namun terlambat. Anak itu sudah memutuskan sekarang saatnya terjun ke gelanggang pertempuran.

Refleks Macan Kumbang membuatnya menyadari ada seseorang yang berusaha menyerangnya dari atas dan segera menyingkir. Kalong-pun hinggap di sisi jembatan, menghadapnya.

“Kau!” tudingnya penuh amarah, “Kau yang membunuh ayahku!”

“Siapa kau?” Macan Kumbang kemudian tersenyum, “Oh, aku ingat sekarang! Kau anak kecil itu, putra si arkeolog!”

Sementara itu kondisi di atas Jembatan Suramadu menjadi kacau balau. Peristiwa tadi menyebabkan kecelakaan berantai di atas jalan tol tersebut. Akibatnya mobil-mobil saling bertabrakan dan teronggok di tengah jalan, bahkan beberapa menghantam sisi jembatan. Para warga memutuskan keluar dari mobil mereka dan berlari menyelamatkan diri.

Jembatan itu kini dikepung asap. Sebuah helikopter muncul dan melintas di atas, mencoba memeriksa keadaan. Kamera jarak jauh yang dipasang di moncong helikopter itu menangkap foto dua superhero yang berseteru itu.

“Tak salah lagi!” sebuah suara menggema di monitor yang tengah disaksikan Inspektur Garuda dari ruangan nyamannya di Yogyakarta, “Itu adalah pemimpin Gerombolan Kucing Merah yang dijuluki Si ‘Macan Kumbang’!”

Profil tentang dirinya segera muncul di layar dengan sengat detail.

“Wow, rekor catatan kejahatan yang luar biasa panjang untuk pria semuda itu. Benar-benar bromocorah kelas kakap!” bisik Inspektur Garuda tertarik, “Memiliki kemampuan super melihat jarak jauh, pendengaran super, refleks yang luar biasa cekatan, bahkan sampai seolah bisa meramalkan masa depan beberapa detik ke depan. Benar-benar ciri khas seekor kucing.”

Polisi itu kemudian berbicara melalui mikrofon. “Namun bukan ia target kita. Cepat cari! Profesor Bintang pasti ada di sana!”

***

 

“Akan kubalas kematian ayahku sekarang!” serta merta Kalong menyerangnya dengan melayang menggunakan kedua sayap kelelawarnya. Namun dengan mudah Macan Kumbang menghindari serangan itu, bahkan menyayat sayap superhero cilik itu dengan kukunya hingga sobek. Kalong-pun tersungkur tak berdaya di atas aspal.

“Kau mengganggu saja, Bocah Cilik!” bisiknya geram. “Lebih baik kusingkirkan kau sekarang!”

Iapun mengeluarkan kuku dari tangannya, bak seekor macan kumbang sungguhan dan berjalan menuju Kalong yang tengah tersungkur.

“Jangan sakiti dia!” Buana segera bergabung ke arena pertarungan dan memanjangkan tangannya untuk menyerang Macan Kumbang, namun tiba-tiba sesosok bayangan melompat dan menyabet tangannya hingga tergores.

“Aaargh!” Buana yang kesakitan segera menarik kembali tangannya yang melar. Seorang gadis bertopeng dan bertubuh ramping segera mendarat di depan Buana.

“Ck ck ck ... jangan coba-coba menganggu Pemimpin kami!” ia menggoyang-goyangkan jari telunjuknya sambil berdecak, “Atau kau akan berhadapan denganku!”

“Siapa kau?” Buana menatapnya dengan aura permusuhan.

“Namaku Kitara Leo” Ia menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya dan tersenyum genit, “Tapi kau bisa memanggilku Kitty.”

“Aku tak peduli siapa kau!” Buana segera memanjangkan tangannya lagi, berusaha menangkapnya. Namun di luar dugaan, tangan itu menembus tubuh Kitara begitu saja, seolah-olah tubuhnya transparan.

“Apa??!” seru Buana terkejut, “Kau juga adalah manusia adidaya?”

Kitara terkikik ketika lengan Buana itu salah sasaran dan justru menggapai pilar beton. Dengan cekatan, Kitara melompat dan mengikatkan tangan Buana di sana.

“Apa ini?!” Buana berusaha menarik tangannya, namun percuma, “Cepat lepaskan aku!”

“Kekuatan yang luar biasa. Namun sayangnya tak berguna.” cemooh gadis itu sembari menyingkir pergi.

Sang Macan Kumbang juga mengikuti langkahnya. Ia tersenyum mengejek ke arah Kalong yang mulai bangkit dari atas aspal.

“Aku sebenarnya ingin bermain-main denganmu, Nak. Sayang aku punya urusan yang lebih penting.”

Kedua sosok berpakaian serba hitam itu sampai di depan onggokan mobil Bintang yang bagian depannya tak lagi berbentuk.

Macan Kumbang menghajarkan tangannya hingga memecahkan kaca depan jendela dan meraih leher Bintang. Ia menarik wajahnya ke depan hingga ia bisa merasakan hembusan napasnya. Keringat dingin langsung mengalir di pelipis profesor muda itu.

“Ku ... kumohon, Bastian ... lepaskan keluargaku ...” pintanya.

“Berani-beraninya kau melarikan diri dariku, Bintang! Setelah semua dana yang kukeluarkan untuk penelitianmu!”

Bintang teringat begitu bencinya ia pada Bastian begitu mengetahui bahwa uang yang ia dermakan untuk mendanai penelitiannya ternyata berasal dari uang haram. Apalagi setelah ia tahu bahwa penelitiannya tentang reaktor fusi dingin nuklir ternyata hendak digunakan untuk senjata pemusnah massal, bukan sebagai energi alternatif masa depan seperti yang ia harapkan.

Iapun langsung membawa keluarganya pergi sejauh mungkin begitu mengetahui ia diam-diam terlibat dengan salah satu organisasi kejahatan terbesar di Indonesia. Namun terlambat. Bastian dan anak buah kepercayaannya, Kitara, telah mencium usahanya untuk kabur ke Madura, kampung halaman istrinya.

“Bergabunglah denganku, Bintang, untuk menciptakan tatanan dunia baru!” Bastian memutuskan untuk memberinya sekali lagi kesempatan. “Dan aku akan mengampuni keluargamu ...”

“Ta ... tapi ... bagaimana dengan nyawa orang-orang tak berdosa yang hendak kau korbankan ...” Bintang terbata-bata. Tanpa ia sadari, lensa kamera dari helikopter yang sejak tadi berputar-putar di atas mereka berhasil menangkap wajahnya.

“Target ditemukan!” pilot helikopter tersebut mengirimkan hasil teknologi  face recognition kamera jarak jauhnya kepada markas besarnya di Yogyakarta.

Mata Inspektur Garuda berbinar ketika menyaksikan wajah Profesor Bintang di layar.

“Tak salah lagi! Ia-lah pria yang meledakkan Bandara Soekarno-Hatta dua bulan yang akan datang, sesuai ramalan robot hasil nanoteknologi milik Pengkor!”

Profil pria itu muncul di atas layar sebagai hologram.

“Bintang Putra Angkasa, putra dosen fisika terkemuka asal UGM. Diterima sebagai mahasiswa ITB jurusan Teknik Nuklir pada usia 12 tahun. Diterima untuk melanjutkan gelar Postgraduate di Massachusetts Institute of Technology, salah satu universitas paling bergengsi di Amerika Serikat pada umur 14 tahun. Ia akhirnya mendapat gelar profesor termuda di dunia saat masih menginjak 20 tahun. Namun jejaknya sama sekali tak tercium semenjak kembali ke Nusantara.”

Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kenapa pria sejenius itu justru mengabdikan diri pada kelompok teroris semacam Gerombolan Kucing Merah?”

“Sayang sekali.” bisiknya. “Seharusnya kau bisa melakukan banyak hal bagi Nusa Bangsa ini. Namun, kau telah memilih pihakmu!”

“Bagaimana, Inspektur?” tanya sang pilot helikopter, “Target telah ditemukan. Apa langkah kita selanjutnya.”

“Laksanakan rencana kita sedari awal. Tembakkan roket itu!” Inspektur Garuda menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan menyilangkan kakinya, “Kebetulan sekali sampah seperti Bastian Leo juga ada di sana. Kita bisa membunuh dua burung dengan sekali lempar.”

“Tapi ada banyak warga sipil di sana ...” balas sang pilot gugup.

“Namun akan lebih banyak lagi warga yang terbunuh jika ia tetap hidup!” polisi itu geram ketika mengingat kembali mayat-mayat yang bergelimpangan setelah ledakan dalam video itu. “Pengorbanan diperlukan untuk tujuan yang lebih mulia! Lakukan saja, sekarang!!!”

Pilot itu menurutinya dan meluncurkan rudal dari helikopternya. Telinga Macan Kumbang mampu menangkap suara desingan rudal itu ketika bergesekan dengan udara dan segera melompat menjauh, membawa serta Bintang bersamanya.

“Tidak!” jerit Bintang, “Keluargaku!”

Sejenak ia melihat bayangan istri dan putrinya dari balik kaca jendela, namun terlambat ...

Rudal yang ditujukan kepadanya itu telanjur mengunci sasarannya: mobil dimana keluarga Bintang masih terperangkap di dalamnya. Tanpa memakan banyak waktu, rudal itu menghantam mobil itu dan ....

“BLAAAAAAAR!!!”

Bintang berteriak histeris ketika mobil itu meledak berkeping-keping, melontarkan bara api yang bahkan terasa hingga ke wajahnya.

“Sasaran lolos. Saya ulangi, sasaran lolos!” ujar sang pilot panik.

“Sial!” seru Inspektur Garuda dengan geram sambil meninju meja di depannya, “Tembak lagi!”

“Baik ... hah, apa itu?”

Mata pilot itu membelalak terkejut begitu melihat ada seorang gadis melompat ke arahnya. Ia lebih terkejut lagi ketika tubuh gadis itu menembus bagian dalam helikopter bak asap dan tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya.

Tanpa banyak bicara, Kitara langsung mengeluarkan cakarnya dan menyayat wajah pilot itu.

“AAAAAAARGH!!!”

“Ini akibatnya jika kau macam-macam dengan Gerombolan Kucing Merah!”

Dengan keji, Kitara menghancurkan panel kendali helikopter itu dengan cakarnya, lalu keluar menembus helikopter itu lagi sembari tertawa.

Sang pilot berusaha mengendalikan pesawatnya, namun terlambat. Baling-balingnya tak lagi dapat dikendalikan dan helikopter itupun jatuh dan menghantam salah satu pilar jembatan itu, kemudian luluh lantak menjadi bola api.

“DUAAAAAAR!!!”

Dengan geram, Buana menatap kekacauan itu. Gadis itu menggunakan cakarnya untuk turun melalui kabel-kabel baja yang menyangga jembatan itu dan dengan refleks bak kucing sungguhan, mendarat dengan kedua kakinya di samping Bastian.

Bastian Leo melepaskan leher Bintang yang segera berlutut sembari meratapi tragedi yang menimpa keluarganya.

“Pemerintah ...” Bastian menunduk dan berbisik ke telinganya, “Mereka-lah yang membunuh keluargamu tanpa alasan apapun. Apakah kau tak ingin membalas dendam pada mereka?”

Tiba-tiba refleks Bastian membuatnya menoleh. Suara gemuruh itu ... akan ada bencana yang datang.

Hempasan ombak yang maha dahsyat entah darimana tiba-tiba muncul, menghantam jembatan itu dengan kecepatan tinggi. Derasnya air membuat Bastian dan Kitara terhempas dari jembatan dan tercebur ke dalam laut.

“Dhana!” seru Buana dengan gembira, “Kau datang tepat waktu!”

Ia menyaksikan siluet seorang gadis ditimpa cahaya matahari setelah air yang menghantamnya reda. Ia berpegangan pada salah satu kabel penopang jembatan itu.

“Bisakah kita urus Sancaka sekarang? Kita sudah lama menunggu kedatangannya!” ujar gadis itu dengan seragam superheronya.

“Maaf, tapi aku sudah berjanji pada bocah kelelawar itu untuk membantunya menemukan pembunuh ayahnya.” Buana akhirnya berhasil melepaskan lilitan tangannya.

“Dimana anak itu?” tanya Dhana heran.

Buana menoleh dan tak lagi menemukan anak itu dimanapun.

“Adi?”

***

 

“Kegagalanmu sungguh memalukan!” seru para jenderal itu. Beberapa di antaranya terkikik, gembira menyaksikan kegagalan polisi dalam melakukan tugas yang harusnya dilakukan oleh militer itu.

“Presiden akan sangat kecewa mendengar kabar memalukan ini?!” tunjuk jenderal lainnya.

“Kejadian hari ini justru meyakinkan kita untuk segera mengambil tindakan terhadap para manusia adidaya ini!” seru Inspektur Garuda dari bawah balkon untuk membela diri. “Lihatlah ini, Saudara-Saudara!”

Ia menyalakan presentasinya dan menunjukkan sosok-sosok manusia adidaya yang tertangkap kamera.

“Pria yang mampu memulurkan tangannya, bocah kelelawar yang terlibat dalam pencurian permata beberapa waktu lalu, gadis ikan yang mampu membangkitkan tsunami ...”

Ia lalu mengganti slide-nya.

“Gadis yang mampu menembus benda padat dan penjahat keji yang memiliki refleks seperti seekor macan kumbang ...”

Ia juga menunjukkan kehancuran yang mereka akibatkan pada jembatan Suramadu, termasuk mobil-mobil yang teronggok akibat tsunami.

“Apa saya perlu mengingatkan Anda juga tentang manusia berjubah bersenjatakan palu yang menghancurkan Jembatan Pasupati serta Putra Petir yang menyebabkan badai listrik di Yogya? Mereka semua adalah ancaman!!!” Inspektur Garuda menegaskan maksudnya.

Beberapa di antara hadirin tampak manggut-manggut setuju. Ia tersenyum melihatnya.

“Karena itu program Kapten Nusantara haruslah segera dimulai!” ia menunjuk kepada zirah berwarna merah yang di-display dibalik kaca, tepat di hadapan mereka, “Hanya itu satu-satunya harapan kita!”

“Baiklah!” jenderal dengan pangkat tertinggi di ruangan itu memberikan persetujuan, “Kau boleh menjadi Kapten Nusantara, namun dengan pengawasan ketat dari kami.”

Dari jauh, Pengkor terlihat menyeringai senang dari balik kegelapan.

“Apakah Anda yakin akan menyerahkan senjata adidaya itu begitu saja, Tuan?” terdengar dua pasang langkah kaki di belakangnya, milik dua asistennya yang setia, Gendhis dan Gemati.

“Justru pria itu akan membantuku mencapai rencanaku.” Pengkor tersenyum sembari memandang lekat wajah ambisius Inspektur Garuda.

“Ia dan dendam masa lalunya akan membawa kita mencapai tujuan kita yang sebenarnya ....”


BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment