SUPERVILLAIN
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Profesor
Angkasa terkejut melihat pintunya telah dibobol. Putranya telah mendobrak kunci
rumahnya dan kini duduk termenung di dalam ruang tamunya. Tubuhnya basah oleh
guyuran hujan, namun ia sama sekali tak berusaha mengeringkan diri. Jasnya yang
basah mengalirkan air yang meresap hingga ke dalam sofa dan menetes kembali
membasahi karpet.
“Astaga,
Bintang?” pekik pria tua itu terkejut, “A ... apa yang kau lakukan di sini?”
“Mereka
membunuhnya ...” bisik Bintang dengan tubuh gemetaran, “Mereka membunuh anak
dan istriku ...”
“Astaga
...” Profesor Angkasa berusaha menenangkannya dengan menepuk pundak anaknya
dengan lembut, “Bukankah Ayah sudah memperingatkanmu sejak awal? Jangan
terlibat dengan Gerombolan ...”
“Bukan
mereka!” Bintang mengibaskan tangan ayahnya, “Tapi Pemerintah! Helikopter
militer menembakkan misil ke arahku dan keluargaku! Mereka yang membunuhnya!”
Profesor
Angkasa tampak terkejut. Apa ini artinya anaknya adalah buronan sekarang?
Ia
mengerti benar apa yang dirasakan anaknya yang sejak kecil dikenal jenius ini. Tidak,
bukan rasa bangga ataupun bahagia. Orang lain mungkin berharap memiliki
kejeniusan seperti anaknya. Namun tidak bagi Bintang.
Sejak
kecil, yang dirasakannya adalah depresi berkepanjangan.
Karena
ia merasa berbeda.
Dia
memang berbeda.
Semenjak
kecil ia kesulitan memperoleh teman. Betapa tidak, ketika teman-temannya
seumurnya masih belajar berhitung, ia sudah memecahkan berbagai persamaan
kalkulus dan diferensial matematis dengan mudahnya, bahkan mampu menghapal
keseluruhan isi tabel trigonometri di luar kepala.
Ketika
remaja, bukannya bergaul bersama teman-temannya, menonton bioskop, atau mencari
pacar; ia justru berkutat mempelajari teorema Fleischmann-Pons untuk
menciptakan reaksi fusi dingin nuklir.
Secara
teoritis, reaksi nuklir tak mungkin dilakukan pada suhu dingin. Reaksi nuklir
mulai dari reaktor PLTN hingga bom atom, semuanya terjadi pada suhu yang amat
teramat tinggi. Bayangkan saja sebuah bintang, ia terus-menerus melakukan
reaksi nuklir dalam tubuhnya berkat suhu yang ia ciptakan.
Namun
anaknya berhasil menciptakannya. Reaksi nuklir, baik itu menggunakan hidrogen
ataupun inti yang lebih berat seperti uranium, dapat diciptakan pada suhu
kamar.
Itu
bisa menjadi berkat, namun itu juga bisa menjadi kutukan.
Energi
sebanyak apapun bisa diciptakan semudah menjentikkan jari apabila reaktor fusi
dingin itu berhasil dibuat. Manusia tak perlu takut lagi apabila batu bara
ataupun minyak bumi habis, energi akan selalu ada. Listrik akan abadi.
Namun
di lain pihak, pengetahuan akan fusi dingin nuklir juga membuka kotak Pandora
yang berujung pada kemusnahan umat manusia.
Bayangkan
jika ia dijadikan senjata.
Karena
itu penelitian Bintang dicekal oleh pemerintah Amerika Serikat hingga ia
terpaksa beremigrasi ke tanah airnya. Namun, di sinipun ia tak mendapat dukungan.
Belum lagi konspirasi perusahaan-perusahaan minyak konglomerat yang
menghalalkan segala cara agar energi masa depan itu tak pernah tercipta,
termasuk meyakinkan bahwa Bintang takkan pernah mendapat pekerjaan apapun di
sini yang berkaitan dengan sains.
Padahal
sains adalah hidupnya, satu-satunya jati dirinya. Satu-satunya yang membuatnya
bertahan dalam semua kesepian itu.
Entah
akan jadi apa dia jika ia tak bisa menjadi jati dirinya. Mungkin sesuatu yang
sangat buruk ...
Ketakutan
Profesor Angkasa mengejawantah ketika Gerombolan Kucing Merah mengajaknya
bergabung. Ia tahu pria semacam Bastian Leo, walaupun memiliki kharisma yang
luar biasa mempesona, sama sekali tak bisa dipercaya.
“Dimana
benda itu?” Bintang tiba-tiba berdiri. Semua rasa kesedihan dalam dirinya
lenyap, digantikan dengan kemarahan dan keputusasaan.
“A ...
apa yang kau maksud?” jawab ayahnya dengan tergagap.
“Serum
anti-petir yang Ayah pernah bicarakan itu! Ayah menyimpannya di sini bukan?”
Profesor
Angkasa langsung cemas. Bintang masih mengingatnya? Sungguh suatu kesalahan ia
pernah menceritakannya kepadanya.
“Serum
itu bisa menetralisir kekuatan adidaya bukan?” Bintang tersenyum, “Dan kutebak,
reaksinya pastilah reversible. Jika
disuntikkan pada manusia biasa maka ...” ia lalu menoleh, “Ah aku tahu, di
brankas itu.
Sebuah
lemari besi tergeletak di samping meja kerja ayahnya, tepat di bawah tumpukan
rak buku.
“Tidak!
Jangan!!!” cegah Profesor Angkasa, namun terlambat. Bintang sudah keburu meraih
lemari besi itu membuka angka kombinasinya. Mudah ditebak, sandinya adalah
tanggal lahir putranya satu-satunya.
Mata
Bintang berbinar ketika melihat serum yang menyala-nyala bak api dalam tabung
vial itu. Di sampingnya adalah alat-alat penelitian ayahnya yang lain, termasuk
Geiger Counter.
“Akhirnya
kutemukan juga!”
“Jangan,
Bintang!” ayahnya berusaha merebutnya, “Serum itu belum pernah diuji coba pada
manusia biasa!”
Namun
Bintang sudah keburu membuka botol vial dan meneguk isinya. Tiba-tiba pencacah
Geiger yang berada dalam brankas itu berbunyi.
Angkanya
terus naik.
“Ti
... tidak .... radiasi ini ...” ayahnya bergerak menjauh. Sementara itu Bintang
berteriak. Ada perubahan yang tengah terjadi pada tubuhnya. Ia bisa
merasakannya.
Tubuhnya
terasa amat panas bahkan mulai mengeluarkan cahaya. Bintang merasakan kekuatan
membanjiri tubuhnya. Elektron ... ya, dia bisa merasakan pergerakan elektron
mengorbit proton dan neutron. Rotasinya makin lama makin cepat. Hingga
eksitasinya melepaskan energi cahaya dalam berbagai spektrum.
Ia
menghasilkan cahaya.
Namun
sebelum itu, ia menghasilkan panas, dari radiasi yang berkecamuk dalam
tubuhnya.
Inilah
kekuatan adidaya miliknya.
“Bin
... Bintang ...” ayahnya tampak panik melihat perubahan dalam tubuh anaknya.
“Aku
bukan lagi Bintang, Ayah ...” bisiknya di tengah kobaran panas yang menjalari
tubuhnya.
“Mulai
sekarang panggil aku Samudra Getih!” senyumnya, “Karena akan kuciptakan lautan
darah di kota ini sebagai balas dendamku!”
Dan
tubuhnya tiba-tiba berubah menjadi percikan api dan menghilang.
“Ce
... celaka ...” bisik Profesor Angkasa sembari terjatuh ke lantai saking
gugupnya, “Sancaka ... hanya dia yang bisa ...”
***
Malioboro
seperti biasa dibanjiri oleh pelancong. Pemuda-pemudi hingga orang-orang tua,
sampai ke wisatawan mancanegara, semuanya memenuhi jalanan sempit, menikmati
dagangan batik dan suvenir khas Yogya. Delman-delman berjajar di pinggir jalan,
diiringi riuh suara tawar-menawar. Sementara jalan raya sendiri dipenuhi
kendaraan umum yang bergerak pelan karena macet menuju ke arah Alun-Alun Keraton.
Tiba-tiba
saja suara menggelegar memenuhi udara. Semua orang menjadi panik. Percikan
cahaya yang amat kuat terlihat begitu terang, bahkan di siang bolong seperti
ini.
Semua
orang berhenti dan berkerumun untuk melihat apa yang terjadi.
Para
pegawai toko yang penasaran keluar. Itu membuat Esthy, yang semenjak tadi
meraba-raba gaun kebaya di sebuah toko, juga merasa ingin tahu. Ia memutuskan
keluar bersama yang lain.
Ia
terkesiap melihat seseorang dibalut kobaran api turun dari angkasa.
“Mus
... mustahil ...” bisik Esthy, “Ada penjahat adidaya lagi muncul di sini?”
Sementara
itu Sancaka yang menyusup ke sebuah lorong yang terapit pertokoan di Malioboro.
Ia bisa merasakan energinya dari kejauhan. Itulah yang membawanya hingga ke
sini.
“Celaka
... jika dia berada di keramaian seperti ini, bisa jatuh banyak korban tak
berdosa.” bisik Sancaka sembari menggenggam sisa serum anti petirnya. Tadi
Profesor Angkasa segera memberitahunya tentang apa yang terjadi. Itulah yang
membuatnya segera bertindak.
Padahal
ia bak memegang pedang bermata dua.
Serum
anti petir yang ada di tangannya memang bisa mengembalikan Bintang menjadi
manusia biasa, namun itu juga membuat kekuatannya sebagai Gundala tak
berfungsi.
Ia
masih berpikir, bagaimana ia bisa mendekatinya tanpa berubah wujud ataupun
menggunakan kekuatannya? Hal itu sepertinya mustahil. Apalagi Profesor Angkasa
tadi mengatakan bahwa Bintang, yang kini lebih suka dipanggil Samudra Getih,
bisa memancarkan radiasi panas, bahkan mengeksitasi elektron.
“Jika
saja ada Godam di sini ...” bisik Sancaka dalam hati.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment