Tuesday, April 15, 2025

GUNDALA: PATRIOT – CHAPTER 5

 


SUPERVILLAIN

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Profesor Angkasa terkejut melihat pintunya telah dibobol. Putranya telah mendobrak kunci rumahnya dan kini duduk termenung di dalam ruang tamunya. Tubuhnya basah oleh guyuran hujan, namun ia sama sekali tak berusaha mengeringkan diri. Jasnya yang basah mengalirkan air yang meresap hingga ke dalam sofa dan menetes kembali membasahi karpet.

“Astaga, Bintang?” pekik pria tua itu terkejut, “A ... apa yang kau lakukan di sini?”

“Mereka membunuhnya ...” bisik Bintang dengan tubuh gemetaran, “Mereka membunuh anak dan istriku ...”

“Astaga ...” Profesor Angkasa berusaha menenangkannya dengan menepuk pundak anaknya dengan lembut, “Bukankah Ayah sudah memperingatkanmu sejak awal? Jangan terlibat dengan Gerombolan ...”

“Bukan mereka!” Bintang mengibaskan tangan ayahnya, “Tapi Pemerintah! Helikopter militer menembakkan misil ke arahku dan keluargaku! Mereka yang membunuhnya!”

Profesor Angkasa tampak terkejut. Apa ini artinya anaknya adalah buronan sekarang?

Ia mengerti benar apa yang dirasakan anaknya yang sejak kecil dikenal jenius ini. Tidak, bukan rasa bangga ataupun bahagia. Orang lain mungkin berharap memiliki kejeniusan seperti anaknya. Namun tidak bagi Bintang.

Sejak kecil, yang dirasakannya adalah depresi berkepanjangan.

Karena ia merasa berbeda.

Dia memang berbeda.

Semenjak kecil ia kesulitan memperoleh teman. Betapa tidak, ketika teman-temannya seumurnya masih belajar berhitung, ia sudah memecahkan berbagai persamaan kalkulus dan diferensial matematis dengan mudahnya, bahkan mampu menghapal keseluruhan isi tabel trigonometri di luar kepala.

Ketika remaja, bukannya bergaul bersama teman-temannya, menonton bioskop, atau mencari pacar; ia justru berkutat mempelajari teorema Fleischmann-Pons untuk menciptakan reaksi fusi dingin nuklir.

Secara teoritis, reaksi nuklir tak mungkin dilakukan pada suhu dingin. Reaksi nuklir mulai dari reaktor PLTN hingga bom atom, semuanya terjadi pada suhu yang amat teramat tinggi. Bayangkan saja sebuah bintang, ia terus-menerus melakukan reaksi nuklir dalam tubuhnya berkat suhu yang ia ciptakan.

Namun anaknya berhasil menciptakannya. Reaksi nuklir, baik itu menggunakan hidrogen ataupun inti yang lebih berat seperti uranium, dapat diciptakan pada suhu kamar.

Itu bisa menjadi berkat, namun itu juga bisa menjadi kutukan.

Energi sebanyak apapun bisa diciptakan semudah menjentikkan jari apabila reaktor fusi dingin itu berhasil dibuat. Manusia tak perlu takut lagi apabila batu bara ataupun minyak bumi habis, energi akan selalu ada. Listrik akan abadi.

Namun di lain pihak, pengetahuan akan fusi dingin nuklir juga membuka kotak Pandora yang berujung pada kemusnahan umat manusia.

Bayangkan jika ia dijadikan senjata.

Karena itu penelitian Bintang dicekal oleh pemerintah Amerika Serikat hingga ia terpaksa beremigrasi ke tanah airnya. Namun, di sinipun ia tak mendapat dukungan. Belum lagi konspirasi perusahaan-perusahaan minyak konglomerat yang menghalalkan segala cara agar energi masa depan itu tak pernah tercipta, termasuk meyakinkan bahwa Bintang takkan pernah mendapat pekerjaan apapun di sini yang berkaitan dengan sains.

Padahal sains adalah hidupnya, satu-satunya jati dirinya. Satu-satunya yang membuatnya bertahan dalam semua kesepian itu.

Entah akan jadi apa dia jika ia tak bisa menjadi jati dirinya. Mungkin sesuatu yang sangat buruk ...

Ketakutan Profesor Angkasa mengejawantah ketika Gerombolan Kucing Merah mengajaknya bergabung. Ia tahu pria semacam Bastian Leo, walaupun memiliki kharisma yang luar biasa mempesona, sama sekali tak bisa dipercaya.

“Dimana benda itu?” Bintang tiba-tiba berdiri. Semua rasa kesedihan dalam dirinya lenyap, digantikan dengan kemarahan dan keputusasaan.

“A ... apa yang kau maksud?” jawab ayahnya dengan tergagap.

“Serum anti-petir yang Ayah pernah bicarakan itu! Ayah menyimpannya di sini bukan?”

Profesor Angkasa langsung cemas. Bintang masih mengingatnya? Sungguh suatu kesalahan ia pernah menceritakannya kepadanya.

“Serum itu bisa menetralisir kekuatan adidaya bukan?” Bintang tersenyum, “Dan kutebak, reaksinya pastilah reversible. Jika disuntikkan pada manusia biasa maka ...” ia lalu menoleh, “Ah aku tahu, di brankas itu.

Sebuah lemari besi tergeletak di samping meja kerja ayahnya, tepat di bawah tumpukan rak buku.

“Tidak! Jangan!!!” cegah Profesor Angkasa, namun terlambat. Bintang sudah keburu meraih lemari besi itu membuka angka kombinasinya. Mudah ditebak, sandinya adalah tanggal lahir putranya satu-satunya.

Mata Bintang berbinar ketika melihat serum yang menyala-nyala bak api dalam tabung vial itu. Di sampingnya adalah alat-alat penelitian ayahnya yang lain, termasuk Geiger Counter.

“Akhirnya kutemukan juga!”

“Jangan, Bintang!” ayahnya berusaha merebutnya, “Serum itu belum pernah diuji coba pada manusia biasa!”

Namun Bintang sudah keburu membuka botol vial dan meneguk isinya. Tiba-tiba pencacah Geiger yang berada dalam brankas itu berbunyi.

Angkanya terus naik.

“Ti ... tidak .... radiasi ini ...” ayahnya bergerak menjauh. Sementara itu Bintang berteriak. Ada perubahan yang tengah terjadi pada tubuhnya. Ia bisa merasakannya.

Tubuhnya terasa amat panas bahkan mulai mengeluarkan cahaya. Bintang merasakan kekuatan membanjiri tubuhnya. Elektron ... ya, dia bisa merasakan pergerakan elektron mengorbit proton dan neutron. Rotasinya makin lama makin cepat. Hingga eksitasinya melepaskan energi cahaya dalam berbagai spektrum.

Ia menghasilkan cahaya.

Namun sebelum itu, ia menghasilkan panas, dari radiasi yang berkecamuk dalam tubuhnya.

Inilah kekuatan adidaya miliknya.

“Bin ... Bintang ...” ayahnya tampak panik melihat perubahan dalam tubuh anaknya.

“Aku bukan lagi Bintang, Ayah ...” bisiknya di tengah kobaran panas yang menjalari tubuhnya.

“Mulai sekarang panggil aku Samudra Getih!” senyumnya, “Karena akan kuciptakan lautan darah di kota ini sebagai balas dendamku!”

Dan tubuhnya tiba-tiba berubah menjadi percikan api dan menghilang.

“Ce ... celaka ...” bisik Profesor Angkasa sembari terjatuh ke lantai saking gugupnya, “Sancaka ... hanya dia yang bisa ...”

***

 

Malioboro seperti biasa dibanjiri oleh pelancong. Pemuda-pemudi hingga orang-orang tua, sampai ke wisatawan mancanegara, semuanya memenuhi jalanan sempit, menikmati dagangan batik dan suvenir khas Yogya. Delman-delman berjajar di pinggir jalan, diiringi riuh suara tawar-menawar. Sementara jalan raya sendiri dipenuhi kendaraan umum yang bergerak pelan karena macet menuju ke arah Alun-Alun Keraton.

Tiba-tiba saja suara menggelegar memenuhi udara. Semua orang menjadi panik. Percikan cahaya yang amat kuat terlihat begitu terang, bahkan di siang bolong seperti ini.

Semua orang berhenti dan berkerumun untuk melihat apa yang terjadi.

Para pegawai toko yang penasaran keluar. Itu membuat Esthy, yang semenjak tadi meraba-raba gaun kebaya di sebuah toko, juga merasa ingin tahu. Ia memutuskan keluar bersama yang lain.

Ia terkesiap melihat seseorang dibalut kobaran api turun dari angkasa.

“Mus ... mustahil ...” bisik Esthy, “Ada penjahat adidaya lagi muncul di sini?”

Sementara itu Sancaka yang menyusup ke sebuah lorong yang terapit pertokoan di Malioboro. Ia bisa merasakan energinya dari kejauhan. Itulah yang membawanya hingga ke sini.

“Celaka ... jika dia berada di keramaian seperti ini, bisa jatuh banyak korban tak berdosa.” bisik Sancaka sembari menggenggam sisa serum anti petirnya. Tadi Profesor Angkasa segera memberitahunya tentang apa yang terjadi. Itulah yang membuatnya segera bertindak.

Padahal ia bak memegang pedang bermata dua.

Serum anti petir yang ada di tangannya memang bisa mengembalikan Bintang menjadi manusia biasa, namun itu juga membuat kekuatannya sebagai Gundala tak berfungsi.

Ia masih berpikir, bagaimana ia bisa mendekatinya tanpa berubah wujud ataupun menggunakan kekuatannya? Hal itu sepertinya mustahil. Apalagi Profesor Angkasa tadi mengatakan bahwa Bintang, yang kini lebih suka dipanggil Samudra Getih, bisa memancarkan radiasi panas, bahkan mengeksitasi elektron.

“Jika saja ada Godam di sini ...” bisik Sancaka dalam hati.


BERSAMBUNG

 

No comments:

Post a Comment