KAWAH CANDRADIMUKA
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
JAKARTA
Sancaka
ingat betapa dia kangen melihat Monas, ketika keretanya lewat tepat di
hadapannya.
Dulu
ia dan Minarti pernah bersama bergandengan tangan di sana, melihat kota Jakarta
dari atas menggunakan teropong.
Lamunannya
buyar ketika pengumuman bahwa kereta mereka tiba di Stasiun Gambir terdengar.
Esthy yang berada di depannya bersiap-siap turun.
Selama
perjalanan, terlihat bahwa Esthy berusaha menyampaikan sesuatu padanya. Tapi
entah mengapa, pesan itu hanya terhenti di ujung bibir dan tak pernah
dikatakannya.
Alhasil,
selama perjalanan, mereka berdua hanya membisu.
Begitu
turun, Sancaka berjalan melintasi peron untuk melihat Monas lebih jelas.
Yang
ia lihat hanyalah lautan tentara dan polisi yang berjaga di tempat itu.
***
MAGELANG
“Tempat
apa ini? Kenapa ada di bawah Candi Borobudur?”
Kanigara
kini berada di tempat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Magelang.
“Katamu
bencana itu akan terjadi di Jakarta, namun kenapa kita malah ke sini?”
“Tempat
ini penting Tuan, untuk membangkitkan kekuatan Anda.”
“Kekuatan?
Apa yang kumiliki belumlah cukup?”
Jin
Kartubi menatapnya, “Sudah saya bilang, kekuatan Anda belum mencapai potensi
yang maksimal. Argh ... sialnya saya sudah lupa caranya menyalakan mesin ini.
Sudah ribuan tahun sejak saya terakhir kali berada di sini.”
“Mesin?
Kupikir ini semacam terowongan?” Kanigara menatap ke depan, lalu menoleh ke
belakang. Ia tak bisa melihat kedua ujungnya. Berapa jauh panjang terowongan
ini, pikirnya.
“Ini
adalah LHC purba. Large Hadron Collider, untuk menumbukkan partikel. LHC modern
buatan manusia yang ada di perbatasan Swiss-Austria hanya memiliki keliling 27
kilometer. Namun LHC purba ini mencapai lima kalinya lebih, 161 kilometer,
melingkar dari Candi Borobudur hingga Candi Prambanan,. Tentu saja teknologinya
bukan berasal dari Bumi ini. Keberadaannya prehistoris. Mungkin kedua candi itu
sengaja dibangun nenek moyang ketika mereka menemukannya dan menganggapnya
tanah suci.”
Tiba-tiba
seutas suara terdengar menggema di terowongan itu.
“Siapa
di situ?”
Seorang
bocah tiba-tiba muncul dari dalam kegelapan. Ia membawa lentera. Di
punggungnya, ia tampak menyandang sepasang sayap kelelawar.
“Ah,
sial kau lagi!” seru Jin Kartubi, namun bukan kepada anak itu.
“Seharusnya
aku yang berkata seperti itu!” suara lain muncul dan tiba-tiba seberkas asap
meliuk-liuk di udara, membentuk sesosok jin lain. Jika Jin Kartubi berwarna
hijau, maka rivalnya ini bertubuh kebiruan.
“Kau
lagi, Xamfreet!!!” Jin Kartubi terlihat marah.
“Hei
... hei ...” Kanigara berusaha menengahi, “Jangan memaki seperti itu.”
“Aku
bukannya memaki. Itu memang namanya: Jin Xamfreet! Apa yang kau lakukan di
sini! Ini dimensiku!”
“Bukan
kau yang menentukan, Kartubi! Ini dimensiku dan aku sudah memperoleh Sang
Penjaga Bumi! Jadi enyahlah!”
“Anak
kecil itu yang kau sebut Penjaga?” Jin Kartubi mencibir, “Tuanku lebih gagah!”
“Hei
... hei ... hentikan! Ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar? Kalian sama-sama
jin kan?”
“Mereka
berasal dari dimensi yang berbeda.” kata bocah kelelawar itu. “Xamfreet pernah
menyelamatkanku saat aku terjatuh ke dalam gua dan hampir mati. Sejak itu dia
melatihku untuk menjaga Bumi. Lihatlah.”
Dia
menunjukkan kristal bewarna ungu yang ia kenakan di sabuknya, “Inti Atom
Amethyst.”
“Apa
maksudmu Bumi memiliki dua inti atom?” tanya Kanigara. Setahunya Bumi hanya
memiliki satu Inti Atom, yakni batu jade-nya.
“Tergantung
dimensi yang mana yang kau maksud. Ada sebelas dimensi dan tiap dimensi
memiliki alam semesta yang jumlahnya tak terbatas, masing-masing ada yang
memiliki Bumi dan ada yang tidak. Namun tetap saja, jumlah Bumi dalam dimensi
dan alam semesta yang berbeda jika dihitung hampir tak terbatas jumlahnya. Yah
memang agak membingungkan.”
“Ja
... jadi kristalmu berasal dari Bumi yang lain?”
“Kurasa
Bumi yang seharusnya dijaga Xamfreet sudah keburu musnah. Dan sekarang giliran
Bumi kita.”
“Mengapa
begitu?” tanya Kanigara.
“Nah,
lihat kan!” tunjuk Jin Kartubi, “Anak itu saja mengakui bahwa ini harusnya
bukan dimensimu! Aku-lah yang menjaga di sini, jadi enyahlah!”
“Hei
... hei ... sudah! Bukankah tujuan kita sama untuk menjaga Bumi ini? Dan katamu
ada musuh yang amat kuat yang akan datang. Semakin banyak bantuan semakin bagus
bukan?” Kanigara kembali menengahi.
Wajah
Jin Kartubi tampak ngambek, sementara Xamvreet, jin kelelawar itu terlihat
senang.
“Wah,
betapa bijaknya Penjaga pilihanmu. Aku tebak, kau pasti Maza Sang Penakluk
bukan?” ujar jin itu.
“Maza?”
Kanigara kebingungan.
“Belum,”
sahut Jin Kartubi dengan ketus, “Tuanku belum menjadi Maza.”
“Karena
itukah kalian ke sini?” tanya Kalong. “Aku sudah melihat ujung terowongan ini.
Ada empat penembak partikel berbentuk relief binatang mitologis. Kepala makara menembakkan
elektron, kinnara menembakkan, positron, kepala buto menembakkan proton, dan
kepala barong menembakkan neutron.”
Kaingara
memandang bocah itu dengan heran.
“Darimana
kau bisa tahu semua ini?”
“Ayahku
meneliti candi-candi dan sampai pada kesimpulan bahwa mereka menyembunyikan
teknologi maju yang berasal dari peradaban alien yang datang ribuan tahun lalu.
Tentu saja ayahku dianggap gila.”
“Oh
ya, satu lagi.” sambung Kalong, “Alat itu menyala otomatis begitu menyadari
keberadaanmu. Kurasa alat ini memang dirancang untukmu.”
“U ...
untuk apa?”
“Sudah
kubilang benda ini adalah penumbuk partikel.” Kalong tersenyum,
“Berhati-hatilah.”
“Apa?”
Kanigara
tak sempat menyingkir ketika dua cahaya yang amat terang meluncur dari dua
arah.
Menghantamnya.
***
“Esthy
dimana kau?” Sancaka berusaha mencari gadis itu. Namun percuma. Ia tak ada di
antara kerumunan yang baru saja keluar dari kereta.
“Aneh,”
Sancaka tak habis pikir, “Tasnya ada di sini. Mustahil dia pergi sendirian.”
Ia
kembali memandang ke bawah, ke kerumunan tentara yang menjaga Monas.
“Apa
Esthy sudah berada di dalam sana? Namun bagaimana aku bisa masuk ke sana!
Penjagaannya terlalu ketat.”
Sancaka
kemudian mencoba berkonsentrasi untuk melakukan teleportasi.
Namun
kemudian ia menyadari sesuatu.
Ia tak
bisa merasakan pergerakan partikel apapun di sekitarnya.
“Sial!
Ke ... kenapa kekuatanku tidak berfungsi di saat penting seperti ini?” ia
segera panik dan menandang iring-iringan tank yang masuk membawa sang presiden.
“Astaga
.... apa di sana ada serum anti petir?”
***
Tubuh
Esthy yang tak sadarkan diri dimasukkan begitu saja ke dalam mobil van itu.
Beberapa orang merasa curiga karena tiga orang itu membawa gadis yang tengah
pingsan, namun tak ada yang berani menegur karena penampilan sangar ketiganya.
Perlahan-lahan
Esthy mulai sadar dari pengaruh obat bius yang tadi menidurkannya.
“Ka
... kalian ...” pekiknya dengan lemah.
“Hahahaha
ternyata kau sudah bangun, Nona Manis!” terdengar suara seorang wanita, “Hebat
sekali! Padahal ramuan yang dibikin Rorschach cukup untuk membuat kelenger
seekor badak, namun daya tahanmu hebat juga!”
Esthy
tak mungkin salah mengenali wanita berkepala plontos itu dimanapun dan burung
hantu mekanis yang selalu dibawanya.
“Kau Minerva,
anak buah Pengkor!” serunya geram, “Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku, cepat!”
“Eit
... eit!” Minerva segera mengubah burung hantunya menjadi pedang dan
menghunuskannya ke leher gadis itu. “Jangan coba-coba kabur! Tuan Pengkor pasti
akan sangat senang melihatmu!”
“Hahaha!
Pengkor! Pengkor!” Goliath, raksasa berlengan mekanis itu bertepuk tangan
kegirangan, sementara itu mobil van mereka berjalan sempoyongan hingga menabrak
mobil lain yang diparkir karena dikendarai oleh Rorschach yang selalu teler.
Karung goni dengan guratan dua titik dan “smile” masih menutupi wajahnya. Sama
sekali tak ada lubang untuk melihat jadi Esthy tak habis pikir darimana ia bisa
melihat kemudinya.
“Pengkor?”
Esthy mengalihkan perhatiannya kembali pada Minerva, “Jadi majikan kalian ada
di sini?”
***
“Untuk
apa Anda membawa serum anti petir? Bukankah senyawa itu amat berbahaya dan
tidak stabil?” Çakti mendatangi Kapten Nusantara setelah ia memberi komando
pada pasukan yang dipimpinnya.
“Gadis
magang sepertimu tahu banyak hal,” Kapten Nusantara menjawab, “Kau memang
benar, serum itu tidaklah stabil. Namun aku tak mau mengambil resiko. Jika ada
manusia adidaya di sini, aku bisa menganulir kekuatannya menggunakan serum itu.
Lagipula, darimana kau mengetahuinya?”
“Esthy
yang memberitahuku. Dia temanku.”
“Oh,
kalau begitu katakanlah padanya bahwa ia tak perlu khawatir. Aku sudah
mengurung Pengkor sehingga ia tak bisa ikut mengacau di sini. Bahkan, aku sudah
menaruh penjagaan ketat sehingga ia takkan bisa mendekati Mekanisme Antikhytera
buatannya.”
Kapten
Nusantara memandang iring-iringan tank yang datang membawa presiden, “Masalahku
di sini sudah cukup banyak dan aku tak mau menambahkan penjahat licik itu ke
dalam daftar masalahku.”
***
“Apa?”
seru Pengkor dengan murka, “Kenapa aku tak boleh ikut ke Monas? Aku yang
meramalkan kejadian yang akan menimpa Presiden! Aku!!!”
Namun
para tentara itu masih bersiaga di depan pintu dengan mengokang senjata mereka.
“Ini
perintah dari Kapten Nusantara! Anda tak boleh keluar sejengkal pun dari tempat
ini!
“Tapi
aku sudah begitu berjasa!!!” Pengkor tetap ngotot.
“Perintah
tetap perintah! Sekarang mundurlah atau kami terpaksa menembak Anda!”
Pengkor
berbalik dengan kesal. Dua asistennya sedang menunggunya.
“Bagaimana,
Tuan?” tanya Gemati.
“Rencanaku
terancam gagal jika begini terus.” ujarnya geram. “Padahal aku sudah berusaha
keras mendapatkan kepercayaan mereka, namun Inspektur busuk itu terus
mencurigaiku!”
“Kami
bisa mengatasi para penjaga itu dengan mudah.” Gendhis, asistennya tersenyum.
“Jika
begitu,” Pengkor menyeringai, “Yang aku butuhkan sekarang adalah Microtir-ku.
Bawa aku ke sana!”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment