Monday, May 19, 2025

GUNDALA: PATRIOT – CHAPTER 10

 


KAWAH CANDRADIMUKA

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

JAKARTA

Sancaka ingat betapa dia kangen melihat Monas, ketika keretanya lewat tepat di hadapannya.

Dulu ia dan Minarti pernah bersama bergandengan tangan di sana, melihat kota Jakarta dari atas menggunakan teropong.

Lamunannya buyar ketika pengumuman bahwa kereta mereka tiba di Stasiun Gambir terdengar. Esthy yang berada di depannya bersiap-siap turun.

Selama perjalanan, terlihat bahwa Esthy berusaha menyampaikan sesuatu padanya. Tapi entah mengapa, pesan itu hanya terhenti di ujung bibir dan tak pernah dikatakannya.

Alhasil, selama perjalanan, mereka berdua hanya membisu.

Begitu turun, Sancaka berjalan melintasi peron untuk melihat Monas lebih jelas.

Yang ia lihat hanyalah lautan tentara dan polisi yang berjaga di tempat itu.

***

 

MAGELANG

“Tempat apa ini? Kenapa ada di bawah Candi Borobudur?”

Kanigara kini berada di tempat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Magelang.

“Katamu bencana itu akan terjadi di Jakarta, namun kenapa kita malah ke sini?”

“Tempat ini penting Tuan, untuk membangkitkan kekuatan Anda.”

“Kekuatan? Apa yang kumiliki belumlah cukup?”

Jin Kartubi menatapnya, “Sudah saya bilang, kekuatan Anda belum mencapai potensi yang maksimal. Argh ... sialnya saya sudah lupa caranya menyalakan mesin ini. Sudah ribuan tahun sejak saya terakhir kali berada di sini.”

“Mesin? Kupikir ini semacam terowongan?” Kanigara menatap ke depan, lalu menoleh ke belakang. Ia tak bisa melihat kedua ujungnya. Berapa jauh panjang terowongan ini, pikirnya.

“Ini adalah LHC purba. Large Hadron Collider, untuk menumbukkan partikel. LHC modern buatan manusia yang ada di perbatasan Swiss-Austria hanya memiliki keliling 27 kilometer. Namun LHC purba ini mencapai lima kalinya lebih, 161 kilometer, melingkar dari Candi Borobudur hingga Candi Prambanan,. Tentu saja teknologinya bukan berasal dari Bumi ini. Keberadaannya prehistoris. Mungkin kedua candi itu sengaja dibangun nenek moyang ketika mereka menemukannya dan menganggapnya tanah suci.”

Tiba-tiba seutas suara terdengar menggema di terowongan itu.

“Siapa di situ?”

Seorang bocah tiba-tiba muncul dari dalam kegelapan. Ia membawa lentera. Di punggungnya, ia tampak menyandang sepasang sayap kelelawar.

“Ah, sial kau lagi!” seru Jin Kartubi, namun bukan kepada anak itu.

“Seharusnya aku yang berkata seperti itu!” suara lain muncul dan tiba-tiba seberkas asap meliuk-liuk di udara, membentuk sesosok jin lain. Jika Jin Kartubi berwarna hijau, maka rivalnya ini bertubuh kebiruan.

“Kau lagi, Xamfreet!!!” Jin Kartubi terlihat marah.

“Hei ... hei ...” Kanigara berusaha menengahi, “Jangan memaki seperti itu.”

“Aku bukannya memaki. Itu memang namanya: Jin Xamfreet! Apa yang kau lakukan di sini! Ini dimensiku!”

“Bukan kau yang menentukan, Kartubi! Ini dimensiku dan aku sudah memperoleh Sang Penjaga Bumi! Jadi enyahlah!”

“Anak kecil itu yang kau sebut Penjaga?” Jin Kartubi mencibir, “Tuanku lebih gagah!”

“Hei ... hei ... hentikan! Ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar? Kalian sama-sama jin kan?”

“Mereka berasal dari dimensi yang berbeda.” kata bocah kelelawar itu. “Xamfreet pernah menyelamatkanku saat aku terjatuh ke dalam gua dan hampir mati. Sejak itu dia melatihku untuk menjaga Bumi. Lihatlah.”

Dia menunjukkan kristal bewarna ungu yang ia kenakan di sabuknya, “Inti Atom Amethyst.”

“Apa maksudmu Bumi memiliki dua inti atom?” tanya Kanigara. Setahunya Bumi hanya memiliki satu Inti Atom, yakni batu jade-nya.

“Tergantung dimensi yang mana yang kau maksud. Ada sebelas dimensi dan tiap dimensi memiliki alam semesta yang jumlahnya tak terbatas, masing-masing ada yang memiliki Bumi dan ada yang tidak. Namun tetap saja, jumlah Bumi dalam dimensi dan alam semesta yang berbeda jika dihitung hampir tak terbatas jumlahnya. Yah memang agak membingungkan.”

“Ja ... jadi kristalmu berasal dari Bumi yang lain?”

“Kurasa Bumi yang seharusnya dijaga Xamfreet sudah keburu musnah. Dan sekarang giliran Bumi kita.”

“Mengapa begitu?” tanya Kanigara.

“Nah, lihat kan!” tunjuk Jin Kartubi, “Anak itu saja mengakui bahwa ini harusnya bukan dimensimu! Aku-lah yang menjaga di sini, jadi enyahlah!”

“Hei ... hei ... sudah! Bukankah tujuan kita sama untuk menjaga Bumi ini? Dan katamu ada musuh yang amat kuat yang akan datang. Semakin banyak bantuan semakin bagus bukan?” Kanigara kembali menengahi.

Wajah Jin Kartubi tampak ngambek, sementara Xamvreet, jin kelelawar itu terlihat senang.

“Wah, betapa bijaknya Penjaga pilihanmu. Aku tebak, kau pasti Maza Sang Penakluk bukan?” ujar jin itu.

“Maza?” Kanigara kebingungan.

“Belum,” sahut Jin Kartubi dengan ketus, “Tuanku belum menjadi Maza.”

“Karena itukah kalian ke sini?” tanya Kalong. “Aku sudah melihat ujung terowongan ini. Ada empat penembak partikel berbentuk relief binatang mitologis. Kepala makara menembakkan elektron, kinnara menembakkan, positron, kepala buto menembakkan proton, dan kepala barong menembakkan neutron.”

Kaingara memandang bocah itu dengan heran.

“Darimana kau bisa tahu semua ini?”

“Ayahku meneliti candi-candi dan sampai pada kesimpulan bahwa mereka menyembunyikan teknologi maju yang berasal dari peradaban alien yang datang ribuan tahun lalu. Tentu saja ayahku dianggap gila.”

“Oh ya, satu lagi.” sambung Kalong, “Alat itu menyala otomatis begitu menyadari keberadaanmu. Kurasa alat ini memang dirancang untukmu.”

“U ... untuk apa?”

“Sudah kubilang benda ini adalah penumbuk partikel.” Kalong tersenyum, “Berhati-hatilah.”

“Apa?”

Kanigara tak sempat menyingkir ketika dua cahaya yang amat terang meluncur dari dua arah.

Menghantamnya.

***

 

“Esthy dimana kau?” Sancaka berusaha mencari gadis itu. Namun percuma. Ia tak ada di antara kerumunan yang baru saja keluar dari kereta.

“Aneh,” Sancaka tak habis pikir, “Tasnya ada di sini. Mustahil dia pergi sendirian.”

Ia kembali memandang ke bawah, ke kerumunan tentara yang menjaga Monas.

“Apa Esthy sudah berada di dalam sana? Namun bagaimana aku bisa masuk ke sana! Penjagaannya terlalu ketat.”

Sancaka kemudian mencoba berkonsentrasi untuk melakukan teleportasi.

Namun kemudian ia menyadari sesuatu.

Ia tak bisa merasakan pergerakan partikel apapun di sekitarnya.

“Sial! Ke ... kenapa kekuatanku tidak berfungsi di saat penting seperti ini?” ia segera panik dan menandang iring-iringan tank yang masuk membawa sang presiden.

“Astaga .... apa di sana ada serum anti petir?”

***

 

Tubuh Esthy yang tak sadarkan diri dimasukkan begitu saja ke dalam mobil van itu. Beberapa orang merasa curiga karena tiga orang itu membawa gadis yang tengah pingsan, namun tak ada yang berani menegur karena penampilan sangar ketiganya.

Perlahan-lahan Esthy mulai sadar dari pengaruh obat bius yang tadi menidurkannya.

“Ka ... kalian ...” pekiknya dengan lemah.

“Hahahaha ternyata kau sudah bangun, Nona Manis!” terdengar suara seorang wanita, “Hebat sekali! Padahal ramuan yang dibikin Rorschach cukup untuk membuat kelenger seekor badak, namun daya tahanmu hebat juga!”

Esthy tak mungkin salah mengenali wanita berkepala plontos itu dimanapun dan burung hantu mekanis yang selalu dibawanya.

“Kau Minerva, anak buah Pengkor!” serunya geram, “Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku, cepat!”

“Eit ... eit!” Minerva segera mengubah burung hantunya menjadi pedang dan menghunuskannya ke leher gadis itu. “Jangan coba-coba kabur! Tuan Pengkor pasti akan sangat senang melihatmu!”

“Hahaha! Pengkor! Pengkor!” Goliath, raksasa berlengan mekanis itu bertepuk tangan kegirangan, sementara itu mobil van mereka berjalan sempoyongan hingga menabrak mobil lain yang diparkir karena dikendarai oleh Rorschach yang selalu teler. Karung goni dengan guratan dua titik dan “smile” masih menutupi wajahnya. Sama sekali tak ada lubang untuk melihat jadi Esthy tak habis pikir darimana ia bisa melihat kemudinya.

“Pengkor?” Esthy mengalihkan perhatiannya kembali pada Minerva, “Jadi majikan kalian ada di sini?”

***

 

“Untuk apa Anda membawa serum anti petir? Bukankah senyawa itu amat berbahaya dan tidak stabil?” Çakti mendatangi Kapten Nusantara setelah ia memberi komando pada pasukan yang dipimpinnya.

“Gadis magang sepertimu tahu banyak hal,” Kapten Nusantara menjawab, “Kau memang benar, serum itu tidaklah stabil. Namun aku tak mau mengambil resiko. Jika ada manusia adidaya di sini, aku bisa menganulir kekuatannya menggunakan serum itu. Lagipula, darimana kau mengetahuinya?”

“Esthy yang memberitahuku. Dia temanku.”

“Oh, kalau begitu katakanlah padanya bahwa ia tak perlu khawatir. Aku sudah mengurung Pengkor sehingga ia tak bisa ikut mengacau di sini. Bahkan, aku sudah menaruh penjagaan ketat sehingga ia takkan bisa mendekati Mekanisme Antikhytera buatannya.”

Kapten Nusantara memandang iring-iringan tank yang datang membawa presiden, “Masalahku di sini sudah cukup banyak dan aku tak mau menambahkan penjahat licik itu ke dalam daftar masalahku.”

***

 

“Apa?” seru Pengkor dengan murka, “Kenapa aku tak boleh ikut ke Monas? Aku yang meramalkan kejadian yang akan menimpa Presiden! Aku!!!”

Namun para tentara itu masih bersiaga di depan pintu dengan mengokang senjata mereka.

“Ini perintah dari Kapten Nusantara! Anda tak boleh keluar sejengkal pun dari tempat ini!

“Tapi aku sudah begitu berjasa!!!” Pengkor tetap ngotot.

“Perintah tetap perintah! Sekarang mundurlah atau kami terpaksa menembak Anda!”

Pengkor berbalik dengan kesal. Dua asistennya sedang menunggunya.

“Bagaimana, Tuan?” tanya Gemati.

“Rencanaku terancam gagal jika begini terus.” ujarnya geram. “Padahal aku sudah berusaha keras mendapatkan kepercayaan mereka, namun Inspektur busuk itu terus mencurigaiku!”

“Kami bisa mengatasi para penjaga itu dengan mudah.” Gendhis, asistennya tersenyum.

“Jika begitu,” Pengkor menyeringai, “Yang aku butuhkan sekarang adalah Microtir-ku. Bawa aku ke sana!”


BERSAMBUNG

 

No comments:

Post a Comment