Balik lagi dengan review film guys!
Kebetulan karena gue lagi bosen, iseng-iseng gue browsing film-film
apa yang lagi diputer di bioskop. Eh ternyata “Scary Stories To
Tell In The Dark” udah tayang. Gue udah denger-denger dari
jauh-jauh hari bahwa film ini bakalan diproduseri sama Guilermo del
Toro. Menurut gue ini udah jaminan mutu, sebab sosoknya udah nggak
bisa dipisahin dengan film monster yang desainnya selalu disturbing.
Tapi walaupun udah ada nama besar del Toro di sini, pada awalnya gue
sebenarnya nggak terlalu tertarik nonton film ini. Alasannya ...
well, karena film ini dikasi rating PG-13 alias bisa ditonton anak-anak. Pasti kalian pikir, “Oh, come on guys! Masa iya ada film
horor khusus buat anak-anak?”
Akhir-akhir ini emang mulai dikenalkan
konsep film horor PG-13. Yang masih segar di ingatan kalian mungkin
adalah “Goosebumps” yang agak-agak berbaur dengan komedi. Terus
juga ada film yang didapuk sebagai “Saw” versi PG-13, yakni
“Escape Room”. Gue juga sempet mikir, ya ampun ... trend apa sih
ini? Masa iya film horor dibikin PG-13? Mana serem? Jangan-jangan
abis ini bakal dibikinin “Fifty Shades” atau “Game of Thrones”
ala PG-13 buat ngenalin BSDM ama incest lebih dini ke anak-anak ya?
Tapi gue emang mengerti strategi ini. Berkaca ama film-film Disney
yang meraup trilyunan dolar, memang film-film PG-13 akan menarik
lebih banyak penonton (dan lebih banyak duit) karena bisa ditonton
oleh seluruh keluarga.
Namun dugaan gue rupanya salah. Kalo
dipikir-pikir ternyata arti sebenarnya PG-13 itu bukan film yang
diperuntukkan khusus buat anak-anak, namun film yang “aman” dari
adegan seks, dialog dengan kata-kata kasar, ataupun adegan gore yang
terlalu sadis. Dan gue sendiri cukup terkejut dengan film “Scary
Stories To Tell In The Dark” ini. Karena ratingnya yang PG-13, gue
sempet mengharap tontonan yang ringan. But, oh boy ... adegan-adegan
klimaksnya justru malah disturbing dan gue yakin bakalan bikin
anak-anak mimpi buruk dan trauma seumur hidup.
And it's a good thing!
Mungkin gue bahas dulu dari awal ya.
“Scary Stories To Tell In The Dark” diangkat dari kumpulan
kisah-kisah horor untuk anak-anak karangan Alvin Schwartz yang
dirilis pada 1981. Nah, banyak nih komen-komen yang gue baca tentang
para pembacanya (yang sekarang udah gede) kalo yang bikin novel ini
seram sebenarnya bukan ceritanya, tapi ilustrasi di dalamnya (namanya
juga buku anak-anak, pasti ada gambarnya). Nah, mungkin desain
makhluk-makhluk halus dalam buku inilah yang membuat sutradara
sekelas Guilermo del Toro memutuskan untuk menggarap film ini.
Seperti bukunya, “Scary Stories To
Tell In The Dark” ini berkonsep kumpulan cerita-cerita pendek
(anthology) dalam satu film. Namun, berbeda dengan anthology lain,
film ini memuat konsep baru, dimana para tokoh-tokoh utamanya-lah
yang menjadi subjek dalam tiap potongan cerita tersebut. Film ini
diawali dengan apa yang gue harapkan dari sebuah film anak-anak. Film
ini menceritakan petualangan 3 remaja, yakni Stella, Augie, dan
Chuck, yang melarikan diri dari seorang pembully pada malam
Halloween. Mereka kemudian bertemu dengan seorang pemuda bernama
Ramon dan mereka berempat pun bersembunyi di sebuah rumah tua yang
konon digentayangi oleh sosok hantu bernama Sarah. Stella menemukan
sebuah buku di salah satu ruangan rahasia di rumah itu dan semenjak
itu, bencanapun dimulai. Di buku itu, tertulis kisah-kisah horor
mengerikan dimana celakanya, mereka-lah pemeran utamanya.
Secara keseluruhan, film ini
menceritakan kembali lima kisah horor yang terinspirasi dari cerita
pendek di buku aslinya. Empat dari lima cerita tersebut melibatkan
monster-monster dengan desain disturbing. Gue bisa bilang, film ini
mirip-mirip dengan Goosebumps, cuman lebih gritty dan kelam.
Pertama gue akan bahas tentang
kelebihannya. Ada banyak jumpscare yang cukup buat gue puas dan
deg-degan di film ini. Walaupun beberapa masih mengandalkan suara
keras buat ngagetin penonton, tapi tiap adegannya gue rasa seru,
apalagi pas mereka dikejar-kejar monster. Tegangnya bener-bener
kerasa. Dan desain monster terakhirnya ... wow, gue salut mereka
berani mengeluarkan monster seseram itu ke film yang boleh ditonton
anak-anak. Gue rasa, dari keseluruhan film, cerita kelima yang juga
merupakan klimaksnya, merupakan bagian yang paling seru. Ada juga
plot yang cukup bagus menurut gue yang menyorot tentang lingkungan
(gue nggak akan bahas lebih lanjut karena itu akan jadi plot twist di
film ini).
Sekarang kekurangannya. Sayangnya dari
segi cerita utama yang jadi pengikat kelima cerita pendek tersebut
masihlah amat kurang. Kebaca banget ini cerita untuk anak-anak.
Bahkan pemeran utama ceweknya kurang menarik simpati menurut gue
(walaupun aktingnya bagus sih). Menurut gue karakternya datar-datar
aja. Temen-temennya yang harusnya jadi comic relief menurut gue malah
garing. Settingnya di tahun 1960-an ketika Amerika terlibat perang
dengan Vietnam juga harusnya berkontribusi lebih banyak ke plot
ceritanya. Namun di sini, setting itu cuman nyambung ke satu karakter
aja, padahal seharusnya bisa lebih dieksplore untuk memberikan
suasana yang lebih “grim” serta keputusasaan bagi tokoh-tokohnya.
Gue rasa jika film ini mengambil setting di dunia modern-pun, menurut
gue nggak masalah. Nggak akan berpengaruh banyak. Endingnya juga
menurut gue agak ...ehm, mengecewakan. Tapi ya mau bagaimana lagi,
ini kan film PG-13, jadi gue emang nggak bisa berharap banyak dan
menyandingkannya dengan film-film horor lain yang kebanyakan emang
ditujukan buat penonton dewasa.
Kesimpulan, film ini cukup memberi gue
hiburan. Kalo boleh gue bandingin nih, film ini mirip ama serial
zombie “Black Summer” yang hanya mengandalkan
ketegangan saat karakter-karakternya dikejar zombie (and it works!)
tapi dari segi cerita, kurang banget. Cuman adegan lari-larinya aja
yang seru, tapi plotnya kayak “empty” gitu.
Kalo kalian mencari hiburan yang nggak
bikin kalian banyak berpikir, langsung aja serbu film ini. Jika
kalian mencari film dengan ketegangan dan bikin deg-degan, maka film
ini cocok buat kalian. Tapi tetap ingat bahwa ini adalah film PG-13,
dengan kata lain jangan memiliki ekspetasi lebih bahwa kalian akan
mendapat sajian seperti film-film horor dewasa.
Karena udah banyak readers yang
bertanya-tanya: mana nih CD berdarah yang udah jadi trademark review
film di blog ini? Nah, ini nih gue kasi skor 4 dari total 5 CD
berdarah.
Gue pengen kasi skor lebih tinggi, sayang endingnya
mengecewakan. Gue nggak tahu apa endingnya emang disiapin buat
sekuelnya atau gimana, tapi yang jelas kurang memuaskan. Dan ada
pertanyaan belum terjawab, semisal dimana ibu Stella? Gue awalnya
sempat kepengen ada plot dimana si bokapnya Stella bakal jelasin ke
anaknya kalo sebenarnya ibunya itu nggak hilang, tapi dibunuh ama
bokapnya. Tapi sayang lagi-lagi gue ingat ...
Ini film PG-13 :(
Dan gue juga pengen tahu apa itu
dongeng Wendigo!!!
Dongeng When I Go
ReplyDeleteI miss you so bad
~tamat~
Btw mantap reviewnya, no sopiler2an
coba bahas Ritual nya Netflix bang, itu monsternya keren bgt
ReplyDeleteEeeeh udah pernah kali. Ampe gue kasi 5 CD berdarah huehehehe
Delete