Hallo guys, sory gue telat banget review film ini wkwkwk padahal udah nonton sejak Senin minggu lalu alias beberapa hari setelah dirilis. Mungkin kalian banyak yang penasaran akan pendapat gue tentang film ini. Singkat kata, film ini menceritakan tentang keluarga Rini yang kini hidup di sebuah rumah susun misterius dimana kejadian-kejadian aneh senantiasa terjadi. Puncaknya, sebuah tragedi berdarah (I mean, really-really berdarah) terjadi di rumah susun itu, meninggalkan para penghuninya yang tersisa dihantui kenangan menakutkan mereka, disertai penampakan yang jauh lebih mengecewakan (hint: pocong).
Film ini menurut gue memiliki
opening yang paling creepy seumur-umur gue nonton film Indonesia. Mungkin cuman
bisa diimbangi ama openingnya “Perempuan Tanah Jahanam” yang disutradarai Joko
Anwar juga. Hanya, setelah gue tahu ternyata opening itu merupakan tribute
“Valentine’s Day”, sebuah film Korea, gue jadi agak-agak gimana gitu alias
kecewa. Yang jelas, opening film ini nggak terlalu bombastis, namun mengena
horornya. Ini menunjukkan bahwa unsur horor yang kental nggak harus ditunjukkan
dengan adegan yang hardcore, melainkan yang subtle pun sudah cukup
membangkitkan bulu kuduk.
Dari segi cerita, film ini
lebih rame karena ada berbagai tokoh tambahan yang punya permasalahan mereka
sendiri-sendiri. Adanya setting rumah susun di sini juga membuat kesan film ini
seperti campuran “The Raid” meets “Exorcist”. Pocongnya pun, wow, baring di
lantai aja udah serem wkwkwk. Yang jelas kalo ditanya mana yang lebih serem
antara film yang pertama atau yang kedua, jelas akan gue jawab yang kedua.
Namun tentu saja mana ada sih
film tanpa kekurangan, sebagus apapun itu. Well kekurangan pertama adalah sisi
komedinya. Kalo Joko Anwar berharap film ini bisa go international, jangan
harap kritikus Barat (apalagi Amrik) akan demen dengan gaya komedi film ini.
Orang-orang luar sana (kecuali India) suka film yang konsisten. Kalo emang
horor ya horor. Kalo emang horor komedi ya horor komedi. Gue tau banget bedanya
kok antara film bergenre horor komedi dan film horor yang dibumbui komedi. Film
ini jatuhnya yang kedua. Bedanya kalo kalian tanya, horor komedi takkan luntur
komedinya, bahkan di klimaks sekalipun, walaupun ada unsur-unsur horornya. Film
ini jelas entah ilang komedinya ketika klimaksnya tiba, jadi jelas tak bisa
dimasukkan bergenre horor komedi.
Bagi kritikus di luar sana,
film yang nggak bisa menetapkan dirinya antara mau horor dan komedi akan
dianggap “plin plan” dan bakal dikritik habis-habisan. Film ini sayangnya,
masuk kategori itu. Jadi walaupun gue akui komedinya cukup menghibur namun
sayang cukup “out of place” alias bakal jadi bulan-bulanan di luar sana. Kritik
lain lagi, film horor yang disusupi komedi ini (cukup awam di India karena gue
semenjak pandemi jadi suka nonton film komedi) dianggap cukup “helpless” alias
kepengen meraup untung dengan mencoba memuaskan semua pihak (yang suka komedi
dan yang suka horor) dan jatuhnya kek “murahan”. Pardon my language, itu cuman
pendapat gue.
Kedua, ada berbagai
ketidaklogisan di sana-sini. Semisal ketika tiap tokohnya memutuskan masuk ke
sebuah ruangan tertentu (ini terjadi berkali-kali), alasannya selalu saja
terdengar kepengen logis, tapi nyatanya malah dibuat-buat dan konyol. Ini bikin
gue nggak sreg aja.
Ketiga, built upnya udah luar
biasa serem, apalagi ocong-ocongnya. Duh, gue udah nggak sabar banget nungguin
keseruan dimana mereka bakalan bangun. Tapi eeeeeh … pas kejadian beneran di klimaksnya,
hah … gitu doang? Omong-omong soal klimaks, ada satu adegan yang bikin gue
nggak sreg sama sekali, yakni ada adegan dimana kondisi tiba-tiba kacau lalu
adegannya berubah seperti film found footage yang kelap-kelip. Maaf, tapi di
Amrik sana adegan seperti ini udah diprotes habis-habisan. Pertama, karena
adegan kayak gini memicu “motion sickness” alias penonton bakalan mual-mual dan
muntah. Kedua, bagi penonton yang kebetulan memiliki penyakit epilepsi, mereka
akan terpicu oleh kelap-kelip ini sehingga bisa kumat kejangnya. Di Amrik sana
setau gue kalaupun bakalan ada adegan seperti ini di film, harusnya diberi
peringatan dulu di awal.
Keempat, lagi-lagi soal gitu doang; endingnya kok kayak Pak Joko Anwar ini keburu keabisan budget ya, soalnya deus ex machina banget. Come on, you’re one the best, if not, the best director in Indonesian movie industry, you could’ve done better than that! Lagian maaf, tapi Ibu itu salah satu ikon horor Indonesia paling melegenda tapi kok diacungin gitu aja langsung mental trus ilang. Mana harga dirinya hah? Mana??? Lagian lu tahu kan alat itu apa. Spoiler alert, namanya “pear of anguish” dan cara pakainya dimasukin ke suatu lubang di bagian tubuh yang "you-know-where". Trus kenapa Ibu ampe mental abis diliatin itu, trauma??? Gue nggak masalah sih ama ending yang tiba-tiba, tapi menurut gue untuk sebuah klimaks apalagi “Pengabdi Setan” franchise, sangatlah kurang.
Oh well, walaupun dengan
kekurangan yang mungkin terkesan menggunung itu, keberadaan “Pengabdi Setan 2”
ini bak sebuah angin segar di dunia perfilman Indonesia. Soalnya pas mau nunggu
nonton aja, gue diliatin poster yang cukup meragukan ini dari industri
perfilman yang sama.
Tentu saja, gue menunggu banget “Pengabdi Setan 3” (maybe “The Rise of Pocong”?) soalnya percakapan di endingnya kok kayaknya sekuel-able banget. Tetep film ini adalah salah satu yang terbaik di genrenya dan gue kasih film ini skor 4,5 CD berdarah.
Gue juga
menyambut baik budaya dan sejarah Indonesia yang diangkat di film ini, seperti
proses pemocongan yang digambarkan dengan detail hingga batik yang diletakkan
di atas jenazah. Dan tentu saja, sekelumit sejarah kelam Indonesia seperti
penculikan wartawan hingga petrus yang mungkin takkan diketahui oleh generasi
millenial zaman sekarang jika saja film ini tak menyentuhnya sebagai salah satu
pelengkap jalan ceritanya. Gue juga ragu, anak zaman sekarang tahu nggak sih
kalo TV zaman dulu ketika siarannya habis bakal keliatan kayak gitu?
lebih suka yg kedua, lebih balance aja gitu horror, komedi dan jalan ceritanya
ReplyDeleteYang kedua lebih seru, dan bersahabat, bahasa lainnya ngeri" sedap.. amanlah buat jantung , bukan seperti film yang hanya mengandalkan jumpscare yang bikin kaget
ReplyDeleteKayaknya Itu bukan sosok Ibu deh bang, Tapi sosok si RAMINOM itu sendiri. Karena aku ingat dialog Hendra di Pengabdi Setan yang pertama " Aku melihat sosok yang mirip dengan ibumu, Tetapi bukan Ibumu"
ReplyDeleteNyariin valentine 's day Korean movie kok gak ada ya, barangkali ada yg tau judul Koreanya..? Reply komen aqyu ya cyin
ReplyDeleteJujur emang sempet bingung juga waktu liat alat itu buat nakutin Raminom, itu kan alat buat .....
ReplyDeletePengen liat sosok Raminom lebih lama, lebih banyak scene-nya, Raminom nya cuma nongol bentaran doang 🥺
emm,, aku lebih suka yang pertama bang. lebih banyak misteri yang bikin penasaran, sedangkan setelah beberapa misteri terungkap d film keduanya malah bkin kurang puas. keharmonisan keluarganya juga lebih bagus yg pertama. di film kedua, kemunculan raminom yang mirip ibu juga kurang banget. emm,, malah lebih condong k gore. jujur aku kurang menikmati bang, klimaksnya bkin pengen maki2. kyaknya ekspektasi terlalu tinggi. adegan lift nya aja yg aku suka
ReplyDeleteGw suka kedua film ini sih. nonton ini di Disney+ cuma masih penasaran sama si Fachri Albar tuh dia manusia apa bukan hahaha.
ReplyDelete