REVOLUSI
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Sepertinya
aku datang di waktu yang tepat.” Ia berjalan dengan santainya, “Ada tiga inti
atom yang bisa kurebut di sini. Benar-benar seperti panen raya saja HAHAHAHA.”
“Gadriel!”
semua bersiap menghadapi serangannya.
“Eit
eit ... aku ke sini untuk bicara baik-baik. Karena tak ada seorangpun yang
bersedia menjadi penerus Kaisar Kronz, maka aku akan mengajukan diri.”
“Aku
takkan menyerahkan kerajaanku pada orang tamak sepertimu!” seru Kaisar Kronz.
“Ck ck
ck ... kau terdengar seperti orang munafik saat mengatakannya,” goda Gadriel,
“Bukankah kita sama, Kakak?”
“Apa?!”
semua tersentak.
“Menjadi
prajurit dengan kekuatan terhebat di seluruh planet ini dan kau hanya
menjadikanku jongos manusia separuh robot itu.” yang ia maksudkan tentu
Xandroid. “Itu sangat menyakiti hatiku, Kakak. Karena itu aku merencanakan
pemberontakan ini.”
Dari
luar jendela, badai pasir tiba-tiba bertiup dan mengubah Telern dan Argento
seketika menjadi batu. Tak hanya itu, ia menghamparkan serangan pasirnya di
lantai, membuat kaki Gundala dan yang lainnya seperti tersemen pada lantai, tak
mampu bergerak.
Mereka
tak berkutik.
“Sial!
Dia masih hidup!” Dhana geram melihat pusaran angin itu menjelma menjadi lekuk
tubuh seorang wanita.
“Kalian
terkejut? Tak sulit bagi partikel pasir seperti aku untuk menyusup ke dalam
pesawat kalian setelah memalsukan kematianku.” Zsa Zsa bersanding di samping Gadriel
dengan mesranya. “Begitu Gadriel menjadi kaisar galaksi ini, aku akan menjadi
permaisurinya.”
“Tidak
jika kumusnahkan kau sekali lagi!” Dhana langsung melancarkan serangan
tsunaminya kembali. Namun kali ini Gadriel yang turun tangan.
Serangannya
seakan membeku di udara. Dhana terkejut. Kristal zirconium di tangannya rupanya
adalah sumber kekuatan cryokinesis milik Xandroid.
Gadriel
mengembalikan energi kinetik es itu segera berubah wujud menjadi air kembali.
Namun kali ini, ia mengambil keuntungan dari serangan itu.
“Terima
kasih atas sumber senjata pamungkasku ini, Nona Manis!” Gadriel mengeluarkan
kekuatannya untuk mengekstrak hidrogen dari air tersebut, melepaskannya menjadi
gas. “Kau tahu, jika air ini kuhidrolisis maka ia akan pecah menjadi gas
hidrogen dan oksigen. Tentu saja, aku bisa memanipulasi gas hidrogen tersebut
untuk serangan bom hidrogen-ku yang segera akan memusnahkan kalian.”
Gadriel
memisahkan gas-gas tersebut, menyuling hidrogen yang ia perlukan dan membuang
residu gas oksigen yang tak ia perlukan.
“Sayang
sekali,” terdengar suara lain, “Gas oksigen yang kau buang itu sangatlah mudah
terbakar.”
“Apa?!”
Gadriel sama sekali tak mengira masih ada satu lagi ksatria yang tersisa.
Tirhapy
segera melancarkan serangan pyrokinesis-nya dan membakar semua gas oksigen di
udara itu, menimbulkan ledakan dahsyat yang segera melalap tubuh Gadriel.
“Kurang
ajar!” Zsa Zsa segera berubah menjadi pusaran pasir untuk menyerang ksatria
berzirah merah itu, namun ia keburu melancarkan serangan apinya lagi ke
arahnya, kali ini dalam suhu yang amat tinggi.
“AAAAARGH!
APA INI!” tubuh Zsa Zsa serasa mengkristal dan membuatnya tak mampu bergerak.
“Aku
tahu benar kelemahan elemen pasirmu itu, Zsa Zsa. Dalam suhu tinggi, kandungan
silika dalam pasirmu akan berubah menjadi kaca yang amatlah rapuh.” Ia menoleh
kepada Gundala, “Sekarang serang dia dengan sengatan petirmu!”
Gundala
menuruti perintah Tirhapy dan menghancurleburkan tubuh Zsa Zsa bak sebuah
cermin yang pecah.
Segera
tubuh mereka kembali seperti semula. Mlaar segera menyergap Gadriel yang
terluka parah dengan tangan karetnya.
“Aku
tak tahu di pihak mana sebenarnya kau berada,” Gundala berkata pada Tirhapy, “Namun
kau bertarung dengan hebat.”
“HAHAHA!”
terdengar suara tawa Gadriel menggelegar, walaupun mereka jelas-jelas telah
mengalahkannya, “Kau terlambat, Gundala.”
“Mau
bicara apa lagi kau?” seru Gundala, “Kau jelas-jelas sudah takluk!”
“Kau
salah!” ia menyeringai, “Dalam perjalananku ke Bumi, aku menemukan sumber daya
yang amat unik yang tak kami temukan di planet kami, namun memiliki kekuatan
untuk menjadi senjata pemusnah massal yang bisa menyapu seluruh kehidupan.”
“Uranium?”
tanya Gundala curiga.
Ia tertawa
lagi, “Jauh lebih hebat dari itu. Di Antartika aku menemukan kandungan kobalt
yang amat tinggi.”
“Kobalt!”
seru Gundala, “Kau ingin membuat bom kobalt?”
“Apa
itu?” tanya Dhana, “Tak mungkin kan bom itu kekuatannya lebih besar ketimbang
bom atom?”
“Kobalt
jika digabungkan dengan bom hidrogen akan sangat berbahaya dan seperti katanya,
bisa menyapu kehidupan di seluruh Bumi. Kobalt bersifat radioaktif dan waktu
paruhnya amat lama, artinya perlu waktu ratusan tahun sebelum radiasinya bisa
ternetralisir.”
“Tepat
sekali! Bom hidrogenku akan menghasilkan suhu tinggi yang kemudian akan
melelehkan Kobalt, mengubahnya menjadi isotop radioaktif yang berbahaya. Bom
hidrogenku mungkin hanya merusak daerah sekitar dimana ia meledak. Namun
radiasi kobalt yang ditimbulkan bisa menyebar ke atmosfer dan memicu kiamat
secara global.”
“Kita
harus menghentikannya!” seru Gundala.
“Kau
terlambat, Gundala. Saat kita sedang berbicara sekarang di planet ini, kiloton
kobalt di Antartika sedang diekstrak untuk pembuatan bom yang kumaksudkan itu.
Bumi akan menjadi kelinci percobaanku dan apabila berhasil, akan kugunakan
untuk memusnahkan kehidupan di planet ini!”
“Ia
berbohong! Dia ada di sini sekarang. Bagaimana ia akan membuat bom di Bumi?”
seru Dhana.
Ia
tersenyum licik, “Apa kau benar-benar berpikir pesawatku hancur karena
kecelakaan saat mendarat ke Bumi?”
“Ia
bisa mengendalikannya menggunakan sistem autopilot! Ia mungkin berkata jujur.”
sergah Mlaar.
“Astaga!”
Gundala berpikir keras. Ia berada 2,5 juta tahun cahaya jauhnya dari Bumi.
Bagaimana caranya ia pulang dan mencegah rencana jahat Gadriel?
Ia
hanya berharap superhero lainnya di Bumi mampu menghentikan bencana itu.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment