Saturday, May 31, 2014

RESORT PART 07

 

“Apa?” aku menoleh dan melihat sebuah mobil kecil mengikuti taksi kami. Benar, itu memang mobil dari penginapan. Mengapa mereka mengikuti kami?

Mobil itu semakin dekat dan kami bisa melihat Ryuichi melambai dari kursi depan. Kami berpikir apa mungkin kami meninggalkan sesuatu di penginapan dan meminta sopir taksi untuk berhenti. Ryuichi berhenti tepat di samping mobil kami dan menghampiri kami.

“Kalian tak bisa pulang begitu saja!” katanya.

“Kami takkan pulang,” jawab Shoji, “Kami tak bisa pulang dengan keadaan seperti ini!”

Mereka sepertinya mampu memahami perkataan satu sama lain, namun aku dan Takumi kebingungan. Kami tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

“Hei, apa yang kalian maksudkan?”

“Kalian naik ke sana, kan?” ia menatap langsung ke mataku.

Jantungku berdetak sangat kencang. Bagaimana ia bisa tahu? Aku merasa sangat takut. Aku merasa seperti ketahuan telah melakukan sesuatu yang sangat buruk.

“Ya.” aku menjawab dengan jujur.

Ryuichi menghela napasnya, “Jika kalian pergi seperti ini, kalian hanya akan membawa-nya bersama kalian. Kenapa kalian harus naik ke atas sana? Seharusnya aku dengan tegas melarang kalian untuk naik ke sana.”

Apa yang ia maksud? Membawanya bersama kami? Tapi, bukankah kami sudah mengakhirinya dengan pergi dari tempat itu?

Aku mulai cemas dan menatap Takumi. Namun ia sama cemasnya dengan kami. Ia menatap Shoji dan Shoji akhirnya berkata.

“Tak apa-apa, teman-teman. Kita akan diruwat. Kita akan membicarakannya ketika kita sudah sampai di sana.”

Diruwat ? Semacam upacara? Aku tak mempercayainya. Apa kami kerasukan? Apa aku akan mati? Sial...sial! kenapa aku harus naik ke sana? Jika kami memang tak boleh naik sana, seharusnya sejak awal mereka mengatakannya kepada kami!

Perkataan Shoji sama sekali tak membuat Ryuichi terkesan.

“Upacara penyucian?” tanyanya.

“Ya.” jawab Shoji dengan singkat.

“Kau bisa melihatnya, ya kan?” tanya Ryuichi lagi.

Shoji terdiam.

“Tunggu, apa yang kau lihat!” Takumi menuntut penjelasan.

“Maafkan aku, tapi tolong jangan tanyakan itu padaku.”

Tanpa berpikir, aku segera meraih Shoji dan mengguncang-guncangkan tubuhnya, “Demi Tuhan! Apa yang terjadi! Katakan pada kami!”

Ryuichi berusaha memisahkan kami, “Hei, hentikan! Seharusnya kalian berterima kasih kepadanya.”

“Tapi ia tak mau mengatakan apa yang terjadi! Kami berhak tahu!” emosiku mulai meninggi.

“Kalian beruntung kalian tak bisa melihatnya.” seru Ryuichi, “Justru Shoji yang dalam masalah sekarang.”

Mendengarnya, wajah Shoji berubah pucat.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Aku yang naik ke sana, bukan dia!” seruku.

Ryuchi menjawab, “Kalian berdua tidak melihatnya kan?”

“Kalian terus berbicara tentang melihatnya dan tidak melihatnya. Apa yang sebenarnya kalian bicarakan?” tanyaku.

“Aku tak tahu.” hanya jawaban itu yang meluncur dari mulut Ryuichi.

“Apa?” teriakku. Bagaimana ia bisa mengatakan hal seperti itu sementara nyawa kami mungkin terancam?

“Aku sendiri belum pernah melihatnya. Namun ....” Ryuichi menatap Shoji, “Walaupun kalian mendapat upacara penyucian, aku pikir itu takkan banyak membantu.”

“Kenapa?” Shoji bertanya dengan tatapan penuh keraguan.

“Sesuatu seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Hanya itu yang bisa kukatakan.”

“Tidakkah ... tidakkah kita bisa mencoba? Siapa tahu itu bisa berhasil?” Shoji bersikeras.

“Ya, kalian bisa saja mencobanya. Namun jika itu tak berhasil, apa yang akan kalian lakukan?”

Shoji tak mampu menjawabnya.

“Begitu kau melihatnya, maka hal itu akan akan terjadi sangat cepat.”

Aku sama sekali tak paham apa yang dimaksudkannya datang dengan cepat, namun begitu mendengarnya, Shoji langsung menangis. Takumi dan aku hanya berdiri di sana, tak tahu harus berbuat apa.

Merasa ada sesuatu yang terjadi, sang sopir taksi membuka jendela mobilnya dan memanggil kami, “Apa semuanya baik-baik saja?”

Kami tak mampu menjawabnya. Shoji sudah ambruk di tanah, berlutut sambil menangis. Ryuichi-lah yang kemudian berbicara dengan sopir itu.

“Maaf sudah membawa anda sejauh ini, namun bisakah anda menurunkan mereka di sini saja?”

“Hah? Tapi ...” ia menatap ke arah kami, tak yakin dengan apa yang harus ia lakukan. Ryuichi tak mengindahkan tangisan Shoji dan berbicara kepadanya.

“Kalian tahu kenapa aku sampai mengejar kalian sampai ke sini? Aku mengenal seseorang yang tahu mengapa ini semua terjadi. Aku ingin membawa kalian kepadanya sehingga ia bisa membantu kalian. Kita tak punya banyak waktu. Kumohon, percayalah kepadaku!”

“Ba ... baik ...” Shoji masih terisak. Tampak ia seakan-akan menanggung beban yang sangat berat sendirian di pundaknya. Semenjak kami mulai bersahabat, tak pernah aku melihatnya menangis seperti ini. Mendengarnya menyetujui saran Ryuichi, akupun berbicara dengan sang sopir taksi.

“Maaf, tapi sepertinya kami akan turun di sini saja. Berapa ongkosnya?” setelah membayar, kami masuk ke dalam mobil Ryuichi. Takumi dan aku duduk di bak belakang, sementara Shoji duduk bersama Ryuichi di kursi depan.

Ryuichi melajukan mobil ini secepat setan. Baik aku dan Takumi ketakutan, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang akan kami alami setelah ini.

Aku tak tahu berapa lama kami berkendara, namun sepertinya sangat jauh. Yang kuingat, ketika sampai, punggungku terasa sangat sakit.

Kami akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang tampak sangat normal. Di samping rumah itu berdiri sebuah torii (gerbang kuil) kecil dan tangga batu. Kami berjalan ke rumah itu dan Ryuichi menekan belnya. Setelah beberapa lama, seorang wanita keluar menyambut kami. Ia terlihat masih muda, sekitar 20 tahun.

Ia meminta kami masuk dan mengajak kami ke sebuah ruangan bergaya Jepang di bagian lain rumah tersebut. Di ruangan itu, duduk seorang biksu, seorang pria paruh baya, dan seorang lelaki tua. Ketika kami masuk, sang pria tua mulai berkomat-kamit.

Biksu itu hanya menatap kami ketika kami datang.

“Duduklah!” perintah biksu itu. Kamipun duduk dan Ryuichi duduk di samping kami.

“Ini tiga anak yang saya ceritakan kemarin ...”

“Tunggu!” tiba-tiba sang biksu menyetop perkataan Ryuichi saat ia memperkenalkan kami.

“Apa kalian yakin kalian tak membawa orang lain?” tanya sang biksu sambil memperhatikan lekat-lekat pintu geser kertas yang ada di samping kami.

TO BE CONTINUED

14 comments:

  1. bentar, siapa 'orang lain' itu? ada 'orang lain' selain mereka? maksudnya ada 'orang lain' yang sejak awal mengikuti? apa 'orang lain' yang gimana?

    aaah! yg mana yg bener?!

    ReplyDelete
  2. Kak updatenya lebih cepet donggg plss:( penasaraaaan

    ReplyDelete
  3. Masih 8 part lagiiiii hoamm :(

    ReplyDelete
  4. kak, visit juga ya ke blog saya. thanks :)

    http://rizkanadeeh.blogspot.com

    ReplyDelete
  5. Gak ada yg komen nih?? Oke pertamax =))

    ReplyDelete
  6. ane pertama juga
    Menurut gua pasti akhirnya gak terduga kayak bakal ada yg mati atau apapun itu
    Selain itu ceritanya udah mulai klimax
    makin menegangkan aja nih cerita

    ReplyDelete
  7. Bang dave, kan banyak readers lain yang pengen baca cerita riddle. Aku punya ide, gimana kalo kita (para readers) ngebuat cerita riddle sendiri2 terus dikirim ke e-mail bang dave? Ntar yg bagus di post ke blog bang dave. Kangen baca riddle soalnya -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. ok deh entar gue pikirin saran lu bro #mikir#

      Delete
  8. Ah dev, udh baca sampe selese nih gue:D

    ReplyDelete
  9. ok, sekarang part 8 min XD

    ReplyDelete
  10. bang dave,sampe parrt berapa seehhh

    ReplyDelete
  11. bang boleh nanya gk? yg kata game yg kita pake virus/bakteri/parasit bwt ngebunuh smua manusia di bumi namanya apa?

    ReplyDelete
  12. terusin kk.....
    bikin penasaran....

    ReplyDelete
  13. woi bang udah seminggu nehh

    ReplyDelete