Monday, January 25, 2016

LEAGUE OF CREEPYPASTA: EPISODE 3

 

LEAGUE OF CREEPYPASTA: WARS OF PHOENIX

SCENE 3

FOREST OF NIGHTMARE & THE BIRTH OF A DEMIGOD

 

LEAGUE 

“Tolong!” jerit gadis itu, “Tolong kami!”

Ia berlari menembus hutan. Di benaknya kembali terngiang pemandangan mengerikan ketika ia dan pacarnya bertemu makhluk itu di tengah hutan. Makhluk berjas hitam itu jelas bukan manusia. Ia terlalu tinggi untuk ukuran manusia biasa. Wajahnya ... ia sama sekali tak memiliki wajah ... dan tentakelnya ....

Ia tak bisa menghapus bayangan dimana tentakel-tentakel itu merobek tubuh kekasihnya tanpa ampun. Gadis itu bisa selamat karena makhluk itu terlalu sibuk mencabik-cabik tubuh pacarnya hingga tak berbentuk.

Seharusnya ia mendengar peringatan kedua orang tuanya. Seharusnya ia dan pacarnya tak pergi ke hutan ini untuk bermesraan. Dan kini, takkan ada seorangpun yang mendengar teriakannya minta tolong.

Tiba-tiba ia menabrak tubuh seseorang. Seorang pria dengan tubuh tegap.

“Syukurlah,” bisik gadis itu, “Tolong aku!”

“Sssst ... tenanglah Nona, siapa namamu?”

“Namaku Sarah.. ” napasnya terengah-engah. Ia menoleh ke belakang, berusaha memastikan makhluk itu tak mengikutinya.

“Nah, Sarah... ini sudah malam bukan? Pergilah tidur ...”

Sarah langsung menoleh begitu mendengar kata-kata itu, namun terlambat ... sebilah pisau sudah menusuk perutnya. Gadis itu langsung ambruk dan sebelum menghembuskan napas terakhirnya, ia masih bisa melihat wajah sang pembunuh.

Ia memiliki senyum lebar dan mata tanpa kelopak.

“Apa yang kau lakukan di hutanku?” sosok bertentakel itu muncul dari balik pepohonan yang sunyi.

Jeff menyeringai, “Kau tak marah karena mengambil buruanmu kan?”

***

 

Mobil Roger berhenti di depan asylum. Ia tahu takkan ada yang mengizinkannya masuk malam-malam begini, maka dia memutuskan memanjat tembok saja. Toh dia tahu benar dimana gadis itu dirawat.

“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” di benaknya masih terngiang percakapannya dengan Komandan sebelum ia meninggalkan kantor polisi tadi.

“Kalian belum menemukan Jeff kan? Aku yakin dia-lah korban selanjutnya dan aku akan menemukannya lebih dulu sebelum si pembunuh itu mendapatkannya.” jawab Roger, “Balas dendam itu adalah milikku! Aku takkan rela seseorang mengambil kenikmatan itu dariku!”

Komandan itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu, Roger. Mengapa kau tak bisa merelakannya saja? Lagipula ... mengapa kau berpikir bisa menemukan Jeff sekarang?”

“Karena aku punya saksi kunci ... satu-satunya korban selamat dari pembantaian Jeff.”

“Kau datang lagi ke sini rupanya?” lamunan Roger buyar ketika suara seorang gadis menyeruak dari kegelapan. Roger belum sampai di kamarnya, namun di sanalah dia, berdiri di koridor, sementara di kakinya tergeletak dua orang petugas asylum bertubuh besar; tak bernyawa dan berlumuran darah.

“Apa ... apa yang kau lakukan, Jane?”

“Jangan salah paham.” Jane menjilati darah yang menodai jemarinya, “Mereka berdua berusaha berbuat tak senonoh padaku. Aku hanya membela diri hihihihi ...”

Kegilaan murni terdengar menggema di suaranya, membentur dinding hampa koridor gelap yang terlihat seperti terowongan itu.

“Apa yang kau inginkan sekarang? Kau masih ingin aku membantumu menemukan Jeff?”

“Ini darurat, Jane. Jika kau tak bisa menemukannya sekarang, kau takkan pernah bisa menemukannya lagi.”

“Apa maksudnya?” tanyanya dengan suara parau

“Ada seseorang yang berusaha membunuh Jeff. Aku tahu kau tak menginginkan kematiannya. Kau dulu kekasihnya bukan?”

Jane hanya tertawa, “Siapa yang bisa membunuh Jeff? Apa kau tak tahu siapa Jeff dan apa yang mampu ia lakukan?”

“Siapapun itu, dia sudah membunuh The Rake, Hoody dan Masky, bahkan berhasil menghabisi Eyeless Jack dan Laughing Jack dalam satu malam.”

Jane terdiam.

Roger sama sekali tak tahu apa yang ada di benak gadis itu. Bagaimana perasaannya sesungguhnya terhadap Jeff? Apa dia mencintainya ataukah dia membencinya? Toh Jeff sudah membunuh seluruh keluarga dan teman-temannya, bahkan membuat wajahnya sama seperti dirinya. Namun benci dan cinta itu perbedaaannya amatlah tipis.

Jane tersenyum, “Kalau begitu, kurasa aku tahu dimana dia ...”

***

 

“Seseorang membunuhi kita satu-persatu,” kata Jeff, “Kurasa kau sudah tahu hal itu, namun kau tak peduli”

“Itu bukan urusanku.” Slenderman berbalik dan pergi.

“Apa kau juga tak peduli pada reputasimu, Slendy?”

Slenderman menghentikan langkahnya.

Jeff tersenyum. Ia sudah tahu hal itu akan memancing egonya.

“Kau dan aku dikenal sebagai tokoh creepypasta paling ditakuti, namun sekarang ada yang memburu kita. Jika ia menang, maka kau takkan lagi disebut yang terhebat. Kau takkan lebih dari ... pecundang?”

Slenderman berbalik dengan marah, “Siapapun yang akan datang bisa kuhabisi dengan mudah. Aku tak membutuhkan bantuanmu!”

“Mau tak mau kau akan membutuhkannya ...” Jeff mencium sesuatu di udara, “Karena mereka sudah datang.”

***

 

“Semuanya sudah siap?” Marie Claire dengan seragam kulit ketat mengawasi anak buahnya tengah menurunkan muatan: peti mati Frankenstein buatan ayahnya; sang cauldron.

Gadis itu mengeluarkan senjatanya, sepasang trisula maut dari bahan brutalium, elemen paling tajam yang dapat memotong apapun. Dengan senjatanya ini, ia telah menghabisi semua karakter Creepypasta yang termashyur itu.

Hampir semua.

Selama ini ia kecewa. Ternyata kehebatan para tokoh creepypasta itu tak seperti yang ada di cerita-cerita; semua hanya dilebih-lebihkan saja. Ia dengan mudah menghabisi The Rake hingga Masky dan Hoody. Eyeless Jack bahkan memohon di depan kakinya agar ia tidak dibunuh. Dan Laughing Jack .... ia sama sekali tak melawan, hanya tertawa terbahak-bahak hingga ajalnya menjemput.

Ia kini benar-benar menantikan pertarungannya dengan Slenderman dan Jeff The Killer.

Marie Claire tersenyum.

Semoga saja mereka lawan yang sepadan.

***

 

Roger membanting pintu mobil begitu mereka sampai di hutan.

“Mengapa kau berpikir bahwa Jeff akan datang ke hutan milik Slenderman?”

“Karena walau ia takkan pernah mengakuinya,” bisik Jane, “Aku tahu ia tengah ketakutan. Ia membutuhkan rekan untuk menghadapi siapapun musuh misteriusnya itu.”

Jane menatapnya dengan tajam sambil tersenyum “Jadi kau akan memberikanku senjata?”

Roger melemparkan pisau ke arahnya, “Jangan berpikir untuk menikamku dari belakang. Aku akan menembakmu dengan mudah!”

***

Slenderman dan Jeff berjalan ke sebuah pondok.

“Kabin di tengah hutan,” Jeff terkekeh, “Ini seperti setting di sebuah film horor murahan.”

Slenderman menatap pemilik kabin tua itu, seorang kakek yang terduduk di kursi roda, sembari memegang senapan.

“Lupakan kakek itu,” kata Jeff, “Dia sudah mati. Dan aku juga tak percaya dia yang menghabisi The Rake sampai Eyeless Jack.”

Namun di depan mereka terlihat jejak kaki di atas lantai reyot yang berdebu. Jejak kaki itu jelas tak dibikin oleh kakek berkursi roda itu.

“Apa menurutmu dia menunggu kita di dalam?” tanya Slenderman.

Jeff terkikik, “Coba saja kita lihat di dalam.”

***

 

Roger dan Jane langsung tahu pondok itu yang akan mereka tuju begitu melihatnya dari kejauhan.

“Hei, Kek ... Kek!” Roger mencoba menggoyang-goyangkan tubuh kakek itu, namun percuma. Tubuhnya masih hangat, berarti belum lama ia meninggal.

“Siapa yang membunuhnya, apa Jeff juga?” tanya Jane.

Roger menggeleng, “Cara membunuh Jeff jelas akan lebih sadis. Apalagi Slenderman. Berarti pembunuh itu telah sampai di sini.”

Mereka mendengar suara dari dalam.

***

 

Jeff terbatuk begitu menghirup gas itu, namun ia masih bisa bertahan. Ia menoleh dan melihat Slenderman ambruk. Di lantai terdapat pentagram yang dilukis dengan darah berisi deretan lilin dan mantra-mantra. Sepertinya mereka tahu benar apa kelemahannya.

Segera, salah satu dari pria bermasker gas itu memenggal kepalanya.

“Dasar tidak sportif!” Jeff melawan dan segera menghunuskan pisau untuk membunuh para penyerangnya. Namun gas itu, selain mencekik tenggorokannya, juga cukup tebal sehingga membuatnya sulit melihat dengan jelas.

Tiba-tiba seseorang menahan pisau yang ia hunuskan ke depan.

“Ini aku, Jeff!”

Jeff mengenal dengan baik pemilik suara itu.

“Hai, Jane!” Jeff tersenyum. Mereka berdua segera melawan pria-pria bertopeng masker itu. Roger hanya berdiri di ambang pintu, tak yakin apa yang akan dia lakukan.

“AAAAARGH!!!” tiba-tiba Jeff mengerang begitu trisula maut mengiris punggungnya.

“Jadi kau Jeff The Killer yang legendaris itu?” bisik Marie Claire sambil mengacungkan trisulanya, “Nice to meet you, Jeff ...”

Go to hell!” Jeff melawan, namun dengan gesit gadis itu menghindar sambil tertawa. Marie Claire segera mencoba menyerang kembali dengan trisulanya, namun pisau Jane segera menghadangnya. Kedua wanita itupun bertarung. Ruangan terisi dengan suara dentingan ketika kedua senjata mereka bertemu.

Para pria bermasker segera menyerang Jeff, namun dengan sigap Jeff menyabetkan senjatanya, membunuh sebagian besar dari mereka. Yang tersisa dari mereka segera kabur. Mereka paham, kini mereka telah menghadapi lawan yang setimpal.

“Dasar pengecut!” teriak Marie Claire dengan geram, “Nyalakan mesinnya!”

Tiba-tiba cauldron, mesin berbentuk peti mati itu, menyala dan membuka. Roger terkesiap ketika di dalamnya ia melihat sosok tubuh yang dirajut menjadi satu. Badan, tangan, dan kakinya seperti dijahit menjadi satu. Di ujung tangan kanannya terdapat wajah anjing yang tengah menyeringai. Yang kurang darinya adalah kepala dan juga ada lubang kosong yang menganga di dadanya.

Mesin itu kemudian mengeluarkan tentakel dan segera mengambil kepala Slenderman yang tergeletak di lantai kabin. Roger mengerang ngeri ketika mesin itu memasangkan kepala Slenderman dan memutarnya, seolah ingin mengepaskannya.

Setelah selesai dengan mayat Slenderman, mesin itu kembali menjulurkan tentakelnya dan mencoba meraih Jeff. Dengan pisau, Jeff mencoba membela diri, namun lama-kelamaan ia kewalahan menghadapi serangan tentakel-tentakel baja itu. salah satu tentakel itu bahkan berhasil membuat tangan Jeff terkilir sehingga menjatuhkan pisaunya.

Tentakel-tentakel lain kemudian berusaha mengambil kesempatan itu untuk merenggut jantungnya.

“Jeff!” Jane menjerit dan segera melompat untuk melindungi Jeff. Tentakel-tentakel itupun tak berhasil menangkap Jeff, namun justru menjerat tubuh Jane.

“Jeff ... tolong aku!” pinta Jane pada pria di depannya.

Namun Jeff hanya menyeringai dan berkata, “Maaf Sayang, aku tak pernah benar-benar mencintaimu ...”

“Jeff, kau pengkhianat!!!” seru Jane dengan geram, namun terlambat, mesin itu keburu merobek tubuhnya dan mencabut jantungnya.

“Dasar mesin bodoh! Kau salah sasaran!” amuk Marie Claire, “Kalau begitu, biar aku selesaikan sendiri misi ayah!”

Gadis itu segera melompat ke depan Jeff dengan trisula kembarnya. Ia bahkan berhasil menikamkan salah satu senjatanya itu ke pundak Jeff hingga pembunuh itu mengerang kesakitan.

Roger segera mengangkat senjatanya dan menembak.

“Aaaaargh!!!” Marie Claire memuntahkan darah ketika timah-timah panas itu menembus tubuhnya. Ia akhirnya ambruk tak bernyawa setelah peluru-peluru itu bersarang di tubuhnya.

“Pembalasan itu adalah milikku ...” bisik Roger perlahan, “Takkan kuberikan pada orang lain ...”

Namun perhatian Roger yang teralihkan selama sedetik itu ternyata membuatnya kehilangan jejak Jeff, lagi. Begitu ia tersadar, Jeff The Killer telah lenyap. Ia tak lagi terlihat di pondok itu.

Roger kembali menyarungkan senjatanya.

“Lain kali kau takkan lolos, Jeff.”

 

TO BE CONTINUED

11 comments:

  1. njir jagoan ane kaga mati :v ,bagus cerita nya bang lanjutkan (y)

    ReplyDelete
  2. asiiiik pacar gw ga jadi mati hore hore hore.
    cerita ini mantep banget dah, jadi moodbooster kalo lagi galo di sekolahan.
    mau dong jadi marie, memberantas para tokoh creepypasta.

    lanjut terus abang

    ReplyDelete
  3. Keren!!!
    Predator jadi mangsa :3
    Btw, itu Lyla kok jadi Sarah?

    ReplyDelete
  4. hai gue baruuuu wkwkw, keren aa dave gue suka blog lu❤ mangat ye, ga bosen bacanya, pasti nunggu penasaran gtu. anjir ini phoenix greget

    ReplyDelete
  5. aaaaa kereeenn, gue bakal sabar menunggu a' :')
    btw gue udh lama mantengin aih, cuman baru berani nongol, maafkan kenistaan daku aa dave:' suka banget sama blogger ini!!!

    ReplyDelete
  6. mantapz..selama mi gwe silent rider,tp ni crita ok bung!

    ReplyDelete
  7. Admin kenapa gak jadi penulis horror aja? keren lho ceritanya
    btw lanjut, akan saya baca selalu

    ReplyDelete
  8. oiii gua udah seminguu nih nungguin lanjutan nya kapan dong di bikinnnn -_-

    ReplyDelete