Monday, December 18, 2023

LOVELESS CREATION: CHAPTER 12 –LORD OF THE WOODS

 


A LOVECRAFTIAN NOVEL

 

Elena bergidik ngeri, “Bagiku yang mengerikan bukanlah kedatangan monster itu ke Bumi, melainkan kemungkinannya.”

Profesor Eldritch tersenyum mendengarnya. “Memang benar apa yang kau katakan. Imajinasi manusia, itulah sumber semua ketakutan. Bukan hal yang pasti, melainkan segala ke-nir-kepastian.”

“Tapi bagaimana kau mendapat buku dengan segala cerita menakutkan itu, Prof?”

“Necronomicon?” tanyanya sembari mengangkatnya. “Buku ini sudah berusia ribuan tahun. Buku ini dulunya berupa tablet tanah liat dengan kuneiform, aksara Mesopotamia kuno. Buku ini hilang berabad-abad lamanya hingga pada abad ke-9, seorang sejarawan Arab bernama Alhazred menemukannya di reruntuhan Kuil Dewa Marduk di Babilonia, kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Semitik.”

“Ia memberi buku itu judul 'Al-Azif al-Jinn' atau 'Bisikan Iblis' karena kontennya yang mengerikan. Bahkan selesai menerjemahkannya, Alhazred mengaku pada teman-temannya bahwa ia sering dihantui mimpi buruk. Hingga pada akhirnya, Alhazred sendiri memutuskan bunuh diri dengan melompat dari minaret Masjid Agung Damaskus, Siria kuno, tempat ia tinggal.”

“Lalu nasib buku itu?”

“Terkubur selama ratusan tahun di Siria hingga akhirnya ia ditemukan tergeletak di dalam museum yang diserang ISIS di Damaskus. Anehnya semua petarung ISIS di museum itu terbunuh dengan sadis. Pemerintah menyalahkan pejuang oposisi dibantu Rusia, gerilyawan Syi'ah, hingga prajurit militer AS sendiri. Namun dari luka-luka yang mereka derita, serta fakta bahwa beberapa bagian tubuh mereka tampak dikunyah oleh sesuatu, sepertinya bukan salah satu dari mereka pelakunya.”

“Mereka dimakan oleh …”

Elena mengenyit ngeri melihat wajah yang terlihat di sampul buku itu. Awalnya ia mengira bahwa mata, mulut, dan hidung yang ada di sampul buku itu hanya ilusi optik saja karena permukaan sampul buku yang tak rata itu. Namun sesekali, ia bisa melihat bahwa buku itu terlihat bernapas.

“Sudahlah, jangan dibahas lagi. Apa kisah berikutnya tak membuatmu penasaran?”

***

 

HUTAN selalu menyimpan misteri. Buktinya, ribuan pepohonan dan rimbunnya dedaunan seolah ingin menutupi suatu rahasia yang harus disembunyikannya dari dunia luar. Selama ribuan tahun, orang-orang tinggal di dalamnya, memujanya sebagai ibu yang merawat mereka.  

Theo, sebagai pendaki, paham benar akan hal itu. Hutan menjadi lokasi pemujaan semenjak dulu, tempat bersemayamnya para dewa. Hutan, menjadi rumah makhluk-makhluk yang tak berasal dari dunia ini; sesuatu yang bahkan lebih tua dari dunia ini.

Pemuda itu belum pernah melihat mereka, namun menyadari dengan benar keberadaannya. Ia banyak mendengar cerita.

Ketika kakinya menjejaki dedaunan yang kering dan lumut-lumut basah di bawahnya, pemuda itu menyadari bahwa tempat ini jauh lebih baik dari dunia memuakkan tempatnya tinggal. Kota dengan asap-asap memekakkan, gedung-gedung beton yang depresif, aspal abu-abu yang mematikan kehidupan di bawahnya, serta wajah-wajah orang yang menderita, namun berpura-pura bahagia.

Theo sudah muak dengan semua itu.

Dunia yang ditinggalinya adalah dunia yang memiliki satu kepastian; yakni bahwa penghuninya akan senantiasa diperlakukan tidak adil. Sedangkan di sini, hutan ini, serasa seperti semesta lain yang menyimpan banyak kesempatan.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Shinta, kekasihnya yang menemaninya. “Kau baru saja sembuh. Apa benar trekking sejauh ini baik untuk kesehatanmu?”

Memang Theo baru saja pulang dari rumah sakit seminggu lalu. Shinta selalu mendampinginya, namun kekasihnya itu tak pernah terbuka tentang penyakit yang dideritanya. Ia hanya mengatakan bahwa kini ia sudah sembuh dan dokter menyarankan bahwa udara segar di pegunungan dapat membantunya pulih lebih cepat.

“Apa kau lelah?” tanyanya lagi, setelah ia tak mendengar seutaspun jawaban dari pemuda itu.

“Demi Tuhan, Shin! Aku nggak apa-apa. Aku sudah mendaki gunung puluhan kali!” Theo diam-diam mulai kesal dengan kecerewetan pacarnya itu. “Lagian hutan ini landai kok. Kau tak merasa sedang menaiki gunung kan?”

“Ya memang,” Shinta mengakuinya. Awalnya ia sempat ragu saat Theo mengajaknya ke sini. Ia bukan pendaki berpengalaman seperti kekasihnya. Namun Theo meyakinkannya bahwa rute yang akan mereka tempuh sama sekali tak susah.

“Apa kau pernah ke sini?” tanya gadis itu.

“Kurasa siapapun belum pernah ke sini.”

“Apa?” Shinta agak panik mendengarnya.

“Tak banyak yang tertarik menjelajah hutan seperti ini.” Theo berbalik menatapnya, “Kebanyakan lebih suka pergi ke gunung yang lebih terkenal dan menantang. Harus kau akui juga, tempat ini nggak begitu instagrammable kan?”

Shinta terpaksa setuju. Hutan ini memang agak seram dan pepohonan di sini juga agak berbeda. Kayu-kayu mereka seperti raut-raut wajah yang merengut dan ranting-rantingnya seperti jemari kurus yang hendak mencengkeramnya.

“Kamu nggak takut sama pohon-pohon ini kan?” Theo serasa bisa membaca pikirannya begitu melihat pacarnya itu terdiam semenjak tadi sembari menatap pepohonan di sekelilingnya.

“Eh, tentu saja nggak.” Shinta buru-buru menutupi perasaaanya.

“Baiklah, kita dirikan tenda di sini saja. Lagipula, ada sungai di sana. Enak jika kita berkemah dekat sumber air.”

“A ... aku setuju ...” dengan gugup gadis itu menurunkan barang-barangnya. Ya, dia gugup karena ini pertama kalinya ia menginap di tengah hutan seperti ini. Ia tahu seharusnya ia merasa aman bersama Theo yang lebih berpengalaman. Namun pacarnya itu baru saja sakit. Bagaimana jika tiba-tiba saja penyakitnya kambuh dan dia sendirian di sini? Belum lagi, rimba ini amatlah menakutkan di matanya karena hewan-hewan yang berkeriapan di dalamnya saat malam.

“Eh, Theo?” panggilnya.

“Apa?” Theo menjawab dengan ketus sembari menyiapkan tenda.

“Di ... di sini tidak ada macan atau binatang buas lain kan?”

“Macan sudah lama punah, Shin! Hewan yang ada di sini palingan musang atau rusa.”

“Oh, rusa? Aku suka rusa.” Shinta memandang ke kejauhan dan melihat sesuatu bergerak. Seperti sebuah tanduk yang menyaru dengan ranting-ranting pepohonan.

“Hei, lihat!” tunjuknya, “Itu rusa!”

Namun Shinta langsung menjerit begitu melihatnya lebih jelas. Rusa itu melompat-lompat dengan hanya tiga kaki. Satu kaki lainnya terlihat seperti ... teramputasi.

“Theo! Theo! Lihat itu!” tunjuk Shinta, “Rusa itu kakinya cuma tiga!”

“Jangan aneh-aneh, Shin! Rusa dengan tiga kaki mana bisa bertahan hidup.”

“Ta ... tapi dia ...” rusa itu menghilang di balik pepohonan, sehingga Shinta memutuskan tak mengungkitnya lagi. Walaupun dalam hati, ia masih merasa hal itu amatlah ganjil.

“Sudahlah, kita bagi tugas saja. Aku bikin tenda, kau buat perapian. Cari saja kayu di sana, tapi jangan terlalu jauh.”

“Ba ... bagaimana jika aku tersesat? Semua pohon di sini kelihatan sama saja.”

“Gunakan ini,” Theo memberikannya sebuah pisau saku, “Gunakan saja untuk menyayat batang pohonnya sebagai tanda agar kau tak tersesat. Dan jangan jauh-jauh dari sungai, suaranya akan membantu menuntunmu.”

“Baiklah.” Shinta menerimanya. Ia lalu berjalan dan setelah Theo tak lagi terlihat dari rimbunnya pepohonan, ia mulai membuat tanda di sebuah pohon di dekatnya.

Namun begitu terkejutnya gadis itu begitu pohon itu mengeluarkan getah berwarna putih ketika ia menyayatnya.

“Pohon apa ini? Aneh, getahnya seperti susu.” Shinta menatap ke atas. Pohon itu menjulang amat tinggi dan ranting-rantingnya seperti tangan-tangan yang berusaha meraih angkasa.

Gadis itu memutuskan meneruskan perjalanan dan mencari ranting-ranting kering yang tergeletak di tanah.

***

 

Malam mulai meresap turun dan mereka berduapun membuat api unggun untuk menjaga tubuh mereka tetap hangat.

“Kerjamu bagus,” puji Theo, “Kayu bakar ini cukup sampai besok.”

“Kita akan pulang besok kan?” tanya Shinta khawatir. Betapapun senangnya ia bisa melewatkan waktu bersama kekasihnya, tetap saja hutan ini membuatnya tidak nyaman.

“Ya, Sayang.” Theo menenangkannya sambil tertawa, “Maksudku besok pagi kan kita harus memasak sarapan kita dengan api unggun juga.”

“A ... ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Shinta dengan galau memulai pembicaraan. Ia tak tahu apakah saat ini adalah waktu yang tepat. Ia sempat menundanya karena Theo berada di rumah sakit dan menurutnya ide yang buruk untuk menambahi pikiran pemuda itu di tengah sakitnya. Namun cepat atau lambat, Theo harus tahu.

“Apa?” Theo menjawab, namun jelas perhatiannya terpusat pada api unggun di depannya.

“Theo, dengar! Ada hal serius yang mau kubicarakan!”

“Apa sih?”

“KOAAAAAAAAAK!”

Suara itu membuat mereka berdua terkejut.

“Su ... suara apa itu?”

“Mungkin burung hantu.”

“A ... aku tak tahu burung hantu suaranya seseram itu?”

“Aku akan memeriksanya.” Theo tiba-tiba berdiri.

“Theo ... jangan!” Shinta berusaha mencegahnya, tapi pemuda itu keburu berdiri dan mengambil senter, lalu menyelinap ke dalam kegelapan hutan.

Shinta hanya melirik ke kanan dan kiri, menatap kegelapan yang merayap di sekelilingnya. Hanya gertakan bara yang membakar perapian satu-satunya yang menemaninya kala itu.

***

 

Shinta tersadar ia sempat tertidur. Begitu bangun, hari masih malam dan tak ada tanda-tanda Theo berada di sana.

“Theo?” panggilnya. Ia tak mengerti, mengapa ia belum kembali? Ia pergi terlalu lama jika ia hanya ingin mengecek suara aneh itu tadi.

“Theo?” panggilnya lagi. Ia berdiri dengan memegang senter di tangannya. Disorotkannya sinar itu ke depannya dan tiba-tiba dilihatnya sekelebatan sesuatu mencoba bersembunyi di balik pepohonan, menghindari cahaya itu.

“Siapa itu?” tanyanya dengan ketakutan, “Apa itu kau, Theo?”

Namun tak ada jawaban.

“Jangan bercanda, Theo!” rengeknya, “Kau tahu aku tak menyukainya!”

“Sreeek!” terdengar suara di belakangnya. Ia buru-buru menoleh dan menyorotkan senter itu ke arahnya. Namun cahaya itu justru menimpa sebuah pohon yang selama ini ada di belakangnya, tepat di samping tendanya.

“A ... apa ini?” tatapnya tak percaya.

Ada tanda sayatan di pohon itu. Sayatan itu menyerupai huruf “y” kecil.

Shinta mengenali dengan baik sayatan itu, sebab ialah yang membuatnya. Ia sengaja membuatnya khas agar tak tertukar seandainya ada pendaki lain yang telah membuat sayatan serupa di pohon-pohon ini. Huruf “y” kecil itu menyerupai huruf pertama di tanda tangannya dan hanya ia yang tahu cara membuatnya. Jadi jelas, Shinta-lah yang mengukir sayatan itu.

Namun masalahnya, Shinta ingat dengan jelas ia tak menyayat pohon itu.

Sayatan pertama dibuatnya di pohon yang berada dekat perkemahan mereka. Namun, ia ingat pohon itu letaknya lebih jauh sebab saat itu, ia tak mampu melihat lagi Theo yang sedang bekerja membangun tenda. Setelah itu, pohon-pohon lain yang ia sayat letaknya lebih jauh lagi. Sedangkan pohon ini, tak hanya letaknya amat dekat, namun berada tepat di samping tendanya.

Lalu siapa yang membuatnya?

Apa Theo mengetahuinya dan memutuskan untuk mengusilinya? Namun apa tujuannya melakukan semua itu?

Atau penjelasan lain, pohon ini berpindah?

Tidak. Itu tidak masuk akal!

Kenapa sampai kini Theo belum kembali, pikiran lain berkecamuk di dalam kepalanya. Apa dia terluka?

“Sreeek!” suara itu kembali terdengar. Namun sebelum Shinta sempat menoleh, seseorang keburu membekap mulutnya.

 

BERSAMBUNG

 

 

No comments:

Post a Comment