Tuesday, January 2, 2024

LOVELESS CREATION: CHAPTER 13 –LORD OF THE WOODS

 


A LOVECRAFTIAN NOVEL

 

“Di ... dimana ini ...” Shinta merasa masih sangat pusing, namun berusaha untuk bangun. Ia langsung panik begitu menyadari bahwa kedua tangannya kini terikat menjadi satu.

“Ada apa ini?” jeritnya begitu melihat seseorang mengenakan pakaian serba putih mirip jubah dan penutup kepala berbentuk kerucut berwarna sama. Ada dua lubang di kerucut itu yang memperlihatkan matanya.

“Siapa kau?” jeritnya lagi, “Dimana Theo?”

Ia lalu menyadari sesuatu yang membuatnya ngeri.

“A ... apa kau melakukan sesuatu terhadap Theo?”

Sosok itu tak menjawab. Ia justru sibuk dengan perapian. Ia berusaha membuatnya semakin besar dengan menuangkan bensin, lalu merapal kata-kata yang aneh.

Mantra, pikir Shinta, ia sedang berdoa.

“A ... aku harus melepaskan diri!” ucap Shinta dalam hati. Ia berusaha melepaskan kedua tangannya, namun percuma. Ikatannya terlalu ketat.

Tiba-tiba ia menyadari sesuatu.

Pisau! Ya, ada sebuah pisau lipat di saku celananya. Pisau yang tadi diberikan Theo untuk menyayat tanda di pohon-pohon itu.

Shinta berusaha menggapainya dan berhasil. Ia meraih pisau itu dan menggunakannya untuk mengiris tali yang mengikat pergelangan tangannya.

Namun begitu Shinta berhasil melepaskan tali di tangannya, seutas tangan mencengkeram bahunya. Shinta mendongak dan melihat sosok berjubah putih itu berusaha menghentikannya. Ia mengacungkan sebilah pisau ke arah gadis itu, akan tetapi ia dengan cepat melawan dengan menyabetkan pisau lipatnya ke arahnya.

“AAAAARGH!” sosok itu berteriak ketika pisau yang dihujamkan Shinta mengenai perutnya hingga berdarah.

Shinta terkejut. Ia mengenali dengan baik pemilik suara itu.

“Theo!” jeritnya tak percaya.

“Sepertinya percuma menyembunyikan identitasku.” ia menarik topeng kerucut yang semenjak tadi menutupi wajahnya, “Ya, aku memang Theo.”

“Ke ... kenapa kau melakukan ini?” Shinta bergidik ngeri karena pemuda yang selama ini ia cintai tega melakukan ini semua.

“Sebagai persembahan.”

“Persembahan?” teriak Shinta, “Kau berusaha membunuhku?”

“Tak ada cara lain, Shinta! Kau mencintaiku kan? Jika kau mencintaiku, maka kau akan melakukan apapun demi kesembuhanku!”

“Kesembuhanmu? Apa yang kau katakan, Theo? Kau sudah keluar dari rumah sakit!”

“Aku dikeluarkan! Dokter menyerah karena penyakitku tak bisa disembuhkan!”

“Apa?” pernyataan itu membuat Shinta terkejut.

“Aku terkena tumor yang perlahan-lahan memakan tubuhku. Dokter mengatakan lambat laun tumor itu akan berubah menjadi kanker ganas yang akan membunuhku dalam hitungan bulan. Aku tak punya cara lain. Hanya melalui pengorbanan ini aku akan sembuh.”

“Pengorbanan apa? Jangan mengatakan hal yang gila, Theo!”

“Aku tidak gila! Aku sudah melihat apa yang bisa dilakukan oleh hutan ini!”

“Hutan ini? Apa yang kau katakan?”

“Dewa ... Dewa dalam hutan ini ...” Theo tertawa bak orang gila, “Dewa itu akan mengabulkan permintaanku jika aku bisa membawakannya persembahan ....”

“Dewa sakit macam apa yang melakukannya?” ucap Shinta tak percaya. Ia mulai meyakini bahwa stress akan penyakitnya membuat Theo kehilangan kewarasannya.

“Shub-Niggurath ... Sang Penguasa Hutan ... dia yang dipuja banyak kebudayaan sebagai ibu yang menyusui dunia ...”

“Theo ...” Shinta mulai menangis, “Kumohon hentikan semua ini ...”

“Sang Kambing Hitam ...” bisiknya sembari tersenyum, “Dan kini dia sudah datang ...”

“KOAAAAAAK! KOAAAAAAAAK!!!” suara itu terdengar kembali, kali ini lebih keras. Shinta menoleh dan menjerit.

***

 

“KOAAAAAAAAK!!!”

Shinta kemudian menyadari suara apa itu.

Suara ini menyerupai suara kambing yang tengah disembelih. Suara ketakutan bercampur rasa sakit, desahan ketika udara dalam tenggorokannya bercampur dengan darah dan akhirnya mengental dalam kematian.

Shinta mengerti kenapa makhluk itu mengeluarkan suara seperti itu.

Sebab tubuhnya seperti campuran seekor kambing dan pohon. Kepalanya menyerupai kambing berwarna hitam yang amat besar dengan dua tanduk dan mata menyala-nyala, namun bagian bawahnya menyerupai akar-akar pohon. Makhluk itu adalah sebuah pohon yang amat besar, dengan ranting-ranting tajam menggantikan tangan-tangannya yang bercakar.

Dengan bentuknya itu, ia terlihat amat menderita. Seolah-olah seharusnya ia tak dilahirkan seperti itu dan semenjak dalam rahim, ia mengalami sakit yang amat dahsyat akibat kelainannya itu. Ia seakan-akan seperti bayi yang menjerit memohon ‘tuk diaborsi.

“Kau, salah satu dari mereka yang tak boleh disebut namanya ....” Theo terus memuja monster itu, “Kumohon ambillah persembahanku untukmu ...”

“Theo, kumohon!” jerit Shinta penuh tangis, “Aku sedang mengandung anakmu!”

Theo terdiam.

“Maaf aku belum mengatakannya, namun aku berkata sejujurnya! Aku sedang hamil! Tolong jangan bunuh kami!” pintanya sambil berlinang air mata.

Namun Theo justru tersenyum mendengar pengakuan kekasihnya tersebut.

“Kau pikir aku tidak tahu?”

“Apa?” mata Shinta membelalak.

“Kaupikir apa yang hendak kukorbankan pada Dewa yang bisa mendatangkan kesembuhan ini? Nyawamu?” Theo terkikik, “Oh, maaf Sayang .... tapi nyawa perempuan tercemar sepertimu sama sekali tak berharga. Bayi yang ada dalam perutmu itu lebih suci dan merupakan pengorbanan yang lebih besar.”

“Kau ...” bisik Shinta, “Kau benar-benar sakit ...”

“HAHAHAHA!” tawa Theo menggema di tengah hutan itu, bergema bersama raungan monster yang mengaku dewa itu.

Shinta hanya menggenggam pisau kecil di hadapan makhluk raksasa itu. Ia hanya bisa pasrah. Apapun yang terjadi sekarang ....

“AAAAARGH! Apa yang kau lakukan?” tiba-tiba terdengar teriakan Theo. Shinta menoleh dan melihat akar-akar pepohonan mencuat dari dalam tanah dan membelit tubuh pemuda itu.

“Bukan aku! Tapi dia! DIA!!!” serunya. Namun percuma, akar-akar yang menjulur itu mengangkatnya ke udara dan membawanya tepat di hadapan dewa berkepala kambing itu.

ALL-SEEING! ALL-SEEING!!!” makhluk itu kembali berteriak, kali ini menyerukan kata-kata yang dipahami Shinta. Namun ia sama sekali tak mengerti apa maknanya.

Bak tentakel, akar-akar itu mencengkeramnya lebih kuat hingga Shinta bisa mendengar tulang-tulang dalam tubuh pemuda itu remuk redam. Kemudian, akar-akar itu menghujamkan tubuhnya tepat ke arah tanduk kambing itu.

“AAAAAAAAAH!!!” terdengar teriakan kesakitan Theo ketika tanduk-tanduk itu menembus tubuhnya. Shinta ikut berteriak melihat semua kesadisan itu.

Kepala kambing itu mulai menjulurkan lidahnya, mencoba untuk mencicipi darah yang mengalir dari tubuh pemuda itu.

“Shin … Shinta … tolong aku …” rintihnya lemah.

“Ya Tuhan ...” Shinta menutup mulutnya. Pisau lipat itupun terjatuh dari tangannya.

Namun setelah Theo menghembuskan napas terakhir dan darah berhenti mengucur dari tubuhnya, makhluk itu segera menghempaskan tubuhnya dan mengalihkan perhatiannya pada gadis itu.

“KOAAAAAAAAK!!!”

“AAAAAAAAA!!!” Shinta langsung berlari sekuatnya. Tanah di bawahnya mulai bergolak. Bahkan ia bisa melihat lapisan lumut di bawah kakinya terangkat lalu menutup lagi, seolah sedang bernapas.

“Astaga!” di tengah pelariannya dia menyadari sesuatu yang lebih menakutkan. Makhluk itu tak hanya sebatas kambing berkaki pohon itu.

Seluruh hutan ini ... seluruh hutan ini dengan pepohonan yang akarnya membentuk satu jaringan di bawah tanah ...

Seluruh hutan ini adalah makhluk itu!

“KOAAAAAAAK!!!”

Shinta kembali menjerit ketika makhluk itu mengguncangkan seluruh akar di hutan itu dan menimbulkan gempa. Tubuh Shinta langsung terhempas ke udara.

“BRAAAAK!!!” ia terjatuh di tanah. Ia berusaha merangkak, namun akar-akar pohon berusaha membelit kakinya.

“Tidak! Tidak!!!” Shinta menolak untuk menyerah, terutama karena nyawa janin dalam perutnya. Ia tak lagi peduli pada nyawanya, namun anaknya ... ia akan melakukan segalanya agar ia bisa menikmati kehidupan.

Akar-akar itu semakin erat menggenggam kakinya, namun Shinta sadar hanya sepatunya saja yang dicengkeram makhluk itu. Ia berusaha meloloskan diri dengan melepaskan sepatunya, lalu berguling ke tanah.

“AAAAA!”

Shinta nyaris menjerit begitu melihat kilatan cahaya melintas di depannya. Mobil. Ya, mobil, tak salah lagi! Ia berada di jalan raya sekarang.

Shinta segera berlari ke tengah jalanan beraspal. Dilihatnya hutan di depannya masih menggeliat, namun kali ini mereka berhenti mengejarnya.

Shinta tahu kenapa.

Ini adalah batas hutan itu. Makhluk itu tak mampu mengejarnya jika ia sudah berada di luar daerah kekuasaannya.

***

 

Sepanjang malam Shinta hanya menunggu di pinggir jalan. Ditatapnya pepohonan di hadapannya dengan lekat-lekat. Ia tahu mereka masih menginginkannya, namun tak mampu meraihnya.

Ia masih menunggu mobil lain untuk lewat. Namun sepanjang penantiannya, Shinta belajar hal baru.

Ia menyaksikan seekor anjing berjalan dengan tertatih-tatih, menyeret bagian bawah tubuhnya. Sepertinya ia baru terlindas sebuah mobil. Dengan sisa nyawa dan kekuatan terakhirnya, mahkluk itu berhasil mencapai hutan itu dan menggigit salah satu pohon itu.

Getah putih keluar dan anjing itu langsung menjilatinya.

Hanya dalam beberapa saat, anjing itu tiba-tiba sembuh. Kaki belakangnya yang tadinya cedera kini dapat digunakannya untuk berjalan lagi.

Namun ada bayaran untuk semuanya itu.

Anjing itu mulai masuk ke dalam hutan. Ia tahu, semenjak saat ini, ia harus tinggal di dalam hutan itu, menjadi satu dengannya.

Lampu sebuah truk menyinarinya dan akhirnya berhenti di tepi jalan. Kepala seorang pria keluar, menongol dari jendela

“Hei, kau tidak apa-apa?”

***

 

Shinta tak pernah menceritakan apa yang ia alami di hutan itu. Anehnya, polisipun tak pernah menanyainya. Bahkan sopir truk yang menolongnya, ia mengatakan bahwa hal-hal aneh yang tak seharusnya dibicarakan memang kerap terjadi di hutan itu.

Theo hilang di hutan itu. Hanya itulah kebenaran universal yang diterima semua orang. Bahkan pihak berwajib tak merasa perlu untuk mencari mayatnya.

Shinta kemudian tanpa sengaja bertemu dengan dokter yang dulu pernah merawat Theo ketika ia memeriksakan kandungannya di rumah sakit.

“Theo? Ya, saya ingat pasien yang satu itu.”

Ia menunjukkan hasil rontgennya. Shinta terkesiap. Ia akhirnya tahu kenapa Theo tak pernah menceritakan penyakitnya kepada orang lain. Penyakit itu terlalu mengerikan untuk dibicarakan, serta tak masuk dinalar.

Tumor yang dideritanya itu berbentuk kepala manusia. Kepala yang tumbuh dalam tubuh Theo.

Kemungkinan besar Theo memiliki saudara kembar saat dalam kandungan. Namun anehnya, kembarannya ini tak pernah dilahirkan dan justru hidup di dalam tubuhnya, menjelma menjadi tumor setelah sekian lama.

Tumor itu memiliki gigi dan rambut yang jelas terlihat serta sesuatu yang tampak seperti satu kelopak mata yang terpejam. Kata dokter, tumor itu akan terus tumbuh, menggunakan tubuh Theo untuk menumbuhkan bagian-bagian tubuhnya sendiri yang lain. Pada akhirnya, kata sang dokter, hanya satu yang akan bertahan hidup.

“Dunia medis menyebutnya Parasitic Twin.” jelas sang dokter, “The All-Seeing.”

Namun dokter itu langsung buru-buru meralat perkataannya. Shinta bisa merasakan bahwa dokter itu gugup karena berkata terlalu banyak. Ia segera permisi, namun tidak sebelum ia menatap gadis itu dan menanyakan kabar Theo.

“Bagaimana dengannya? Apa dia sudah sembuh?”

Hingga saat itu, belum pernah terlintas di pikiran Shinta bagaimana cara Theo bisa mengetahui tentang hutan itu. Namun kini, sepertinya ia tahu jawabannya.

BERSAMBUNG

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment