Monday, January 29, 2024

LOVELESS CREATION: CHAPTER 18 – KASUS MENGHILANGNYA SAVIRA SARASWATI

 


A LOVECRAFTIAN NOVEL

 

Yog Sothoth mengetahui gerbangnya

Yog Sothoth adalah gerbangnya

Yog Sothoth adalah kunci sekaligus penjaga gerbangnya

Masa lalu, sekarang, dan masa depan, semuanya satu di dalam Yog Sothoth

***

 

Seberapa keraspun mencoba, Yakob takkan pernah bisa menyembunyikan putrinya. Media akhirnya mengendus keberadaannya.

Savira Saraswati hidup kembali. Bagaimana bisa?” dan berkat mantra itu, iapun kembali viral.

Pertama banyak yang menduga bahwa kasusnya hanyalah rekayasa semata. Pansos, begitu mereka bilang. Sebuah keluarga yang haus publisitas. Namun para dokter yang mengotopsi jenazah Savira kala itu bersumpah bahwa semuanya nyata, begitu pula para polisi yang terlibat dalam kasus itu.

Kemudian pertanyaan lain bergulir.

Tuhan apa yang mereka sembah hingga Savira Saraswati hidup kembali?”

Orang tua Savira pun diberondong pertanyaan. Mereka kini bahkan lebih terkenal ketimbang Savira, yang kini bernapas dan menikmati kesempatan keduanya. Bahkan tak pernah lagi terdengar pembahasan tentang siapa pembunuh Savira; semua hanya memusatkan mata pada bagaimana ia bisa hidup kembali. Alasannya sederhana, karena pengetahuan itu juga akan berdampak pada kehidupan mereka.

Chusnul Dara, ibu dari Savira Saraswati. hanya ingin kehidupan tenang. Ia hanya ingin menghabiskan waktu dengan putrinya kembali, jauh dari manusia dan segala hasratnya yang mungkin akan merenggutnya kembali. Namun Yakob berpendapat beda. Ia berpikir, sudah saatnyalah ia menyebarkan anugerah itu. Ia bersimpati pada para orang tua lain yang berduka, sebab ia sendiri pernah mengalaminya. Iapun membaginya, dengan satu syarat, bahwa mereka hanya akan menggunakannya untuk kebaikan.

Namun kala itu ia belum sadar, bahwa hakikat manusia sesungguhnya adalah untuk merusak dan menghancurkan.

Setelah keberadaan sang dewa monster, Yog Sothoth dan mantra pemanggilnya dikumandangkan, mulai bermunculan sekte yang memujanya. Hampir seluruh anggotanya adalah orang-orang yang pernah mengalami duka mendalam dan hati yang hancur, sama seperti Yakob kala ia pertama mencari sang dewa tersebut. Mempercayakan pengetahuan sekuat ini kepada manusia waras saja sudah amat beresiko, apalagi kepada orang-orang dengan kondisi psikologis nan labil ini.

Awalnya mereka muncul sebagai aliran yang damai, dengan tudung-tudung kepala putih berbentuk kerucut untuk menyembunyikan kepala mereka. Mereka beranggapan semua orang haruslah dianggap setara, karena itu mereka mengenakan tudung itu untuk menutup wajah mereka, sehingga semua penganutnya kemudian menjadi serupa.

Namun selubung suci itu itu tak mampu menutup kebusukan moralitas mereka.

Mereka mulai berdoa kepada sang dewa itu, namun banyak yang menemukan bahwa tak semua doa mereka dijawab. Butuh beberapa bulan hingga akhirnya mereka mengetahui sebabnya. Sebuah hal yang sederhana, bahkan hampir tak masuk akal, namun begitulah adanya.

Kuning.

Dewa itu amat membenci warna kuning.

Tak ada yang tahu mengapa. Ada yang beranggapan bahwa Yog Sothoth tak hanya satu-satunya dewa adidaya di luar sana. Ada makhluk purba lainnya yang menjadi saingannya dan amat ia benci. Mungkin saja makhluk itu berwarna kuning atau mengenakan sesuatu berwarna kuning di tubuhnya. Namun itu hanya dugaan, tak ada yang tahu pasti apa sebabnya.

Akan tetapi mereka tahu satu hal: siapapun yang masih menggunakan warna kuning atau bersentuhan dengan warna itu dalam hidupnya, maka sang dewa takkan mengabulkan permohonannya. Maka merekapun mulai menghindari warna kuning. Dimulai dari pakaian; mereka menghindari tak hanya kuning melainkan seluruh warna yang cerah dan tajam, hingga mereka hanya mengenakan busana hitam atau putih saja. Kemudian makanan; mereka menghindari jeruk, pisang, dan segala makanan yang membawa serta warna kuning, tak terkecuali telur. Hingga pada suatu titik, mereka memilih mengisolasi diri di pulau atau kota terpencil yang monokromatik dan tak bersentuhan sedikitpun dengan warna apapun.

Tak hanya itu. Tak jarang mereka dengan kejam akan menyita dan membakar segala sesuatu yang berwarna kuning yang mereka temukan dari orang-orang lain yang tak tergabung dalam sekte mereka. Mereka memaksakan sebuah dunia tanpa warna kuning demi tercapainya keinginan mereka.

Maka permintaan-permintaan pun mulai dikabulkan.

Tentu saja, setiap manusia waras akan meminta satu hal sebagai permintaan pertamanya, hal paling pertama yang terlintas dalam pikirannya.

Uang. Kekayaan.

Ketamakan. Itulah embrio kekacauan yang akan menyapu dunia. Katalis kepunahan.

Tentu saja mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sumber uang tanpa batas, nominal dalam rekening yang terus naik, permata dan berbagai jenis logam mulia. Semuanya dilimpahkan mereka bak hujan di sebuah badai tropis yang melanda pada suatu musim monsoon.

Jelas mereka menyukainya, siapa tidak? Namun kenikmatan itu hanya berlangsung sesaat. Saat semua orang kaya, maka uang takkan bernilai lagi. Nilai mata uang turun drastis, logam-logam mulia tak lagi berharga, dan perekonomian duniapun kolaps.

Apalagi yang mereka minta? Orang-orang yang memiliki prioritas lain selain uang akan meminta berkat bagi orang-orang tercinta. Namun sifat altruistik ini berdampak lebih mengerikan ketimbang egoisme sekalipun. Mereka yang pernah kehilangan orang-orang tercinta kemudian meminta agar mereka dibangkitkan dari kematian. Sekilas keinginan itu tak berdosa. Siapa yang tak pernah dilumpuhkan oleh rasa duka?

Tapi apakah kalian tahu akibatnya? Dari 8 miliar penduduk dunia, kini jumlahnya berlipat ganda menjadi 21 miliar dalam sekejab.

Bayangkan kekacauan yang ditimbulkannya. Siapa yang akan memberi makan mereka? Belum lagi, peristiwa khaotik ini telah dibarengi dengan runtuhnya perekonomian.

Kiamat global berada di depan mata, bahkan tanpa menunggu asteroid yang menerjang langit atau menanti Bumi ditelan oleh Matahari yang menjelma menjadi Raksasa Merah.

Sebagai timbangan yang menyeimbangkan, mereka yang membenci sesamanya memohon kematian mereka. Namun langkah itu sepertinya percuma, sebab walaupun dikabulkan, doa keluarga mereka akan membangkitkan mereka kembali. Karena itu, mereka yang lalim tak lagi meminta kematian bagi lawan dan musuh mereka. Mereka meminta penderitaan; penderitaan yang lebih buruk dari kematian.

Tentu, penderitaan yang mulai mengejawantah di permukaan Bumi justru membuat penganut sang dewa gila itu semakin banyak; sebuah feedback positif yang tak lebih dari lingkaran Ouroboros, seekor ular yang memakan ekornya sendiri, sebuah takdir karmik yang tragis.

Tak lama, zona “anti-kuning” semakin lebar dengan persekusi yang amat keras bagi yang melanggarnya. Kaum “un-believer”, sebutan bagi golongan yang masih memiliki kewarasan untuk tidak memuja dewa monster itu, tidak lagi berani terang-terangan memicu amarah mereka dengan memakai ataupun mengonsumsi segala sesuatu yang kuning. Walaupun tetap saja ada segelintir martir yang menantang mereka, namun dengan konsekuensi yang amat mengerikan.

Segala yang diminta mereka segera dikabulkan. Hujan di kala musim kering, sehingga sungai meluap menyebabkan tsunami dahsyat. Panenan bahan pangan yang melimpah, menyebabkan padi, gandum, dan kentang menjadi gulma yang menghabisi segala tanaman lain. Semua penyakit disembuhkan, tak ada lagi kematian, duniapun dihuni oleh para zombie yang tak takut akan apapun.

Jika itu belum cukup, maka kau harus mendengar permintaan para calon presiden kita. Ya, merekapun berpaling kepada Yog Sothoth. Mereka berdua, berserta segenap pengikutnya, meminta hal yang sama. Mereka memohon agar bisa menjadi presiden. Kedua-duanya dikabulkan.

Negara kami terpecah menjadi dua.

Para pengikutnya saking berperang dan kedua belah pihak mendoakan kemenangan mereka.

Kedua-duanyapun dikabulkan dengan cara kekalahan mereka berdua.

Perang telah merembet ke segala senjata adidaya, mulai dari teror kimia dan nuklir. Kedua-duanya hancur dengan para korban tak bisa mati dalam penderitaan mereka, karena doa dari keluarga mereka.

Nama Yakob dan putrinya, Savira Saraswati tak pernah terdengar kembali. Dunia telah melupakan mereka. Mungkin itulah keinginan mereka; agar dunia tak menyalahkan mereka atau segala kekacauan yang menimpanya. Mungkin mereka meminta hal yang lebih baik lagi: kematian. Entahlah, yang pasti nama mereka berdua tak lagi tertulis dalam sejarah.

Chusnul Dara, justru ia yang menghubungiku. Ia kini memimpin suatu kelompok resistensi beranggotakan orang-orang yang tak tergoda dengan buaian sang dewa monster itu.

Ia tahu bahwa aku adalah salah satu yang berjuang melawan tuhan yang jahat itu. Tidak, kurasa ia tidak jahat. Ia lebih buruk dari itu.

Monster itu netral.

Ia tidak baik ataupun tidak jahat.

Ia mengabulkan permintaan manusia hanya karena ia mampu. Ia tak pernah mempertimbangkan dampak dari doa yang dikabulkannya. Ia bukanlah sosok Tuhan yang bijaksana. Bahkan, kurasa ia adalah entitas yang dungu, yang tak tahu perbedaan baik dan jahat, bahkan tak mampu berpikir.

Sesuai kata Dante saat menulis “Divine Comedy” sebuah mahakarya literatur Kristen, “Bagian neraka yang terdalam dicadangkan bagi mereka yang tetap netral pada masa krisis.”

Kenetralan adalah dosa terberat dan sang dewa iblis itu menanggung kemungkaran itu dalam sendi-sendinya, dalam wujudnya yang amorf dan menjijikkan.

Tidak, sekali lagi aku salah. Ia bukanlah iblis. Iblis itu jahat. Ia lebih daripada itu.

Karena itu aku tak mau menjadi pihak yang netral. Aku ingin melawan, mengembalikan kondisi Bumi kembali ke hukum alamnya yang semula, ketika Tuhan yang mengaturnya seakan bertindak kejam, namun dengan tujuan untuk menyeimbangkan segalanya.

Niatku itu sepertinya mustahil, walaupun dengan dukungan Chusnul dan para pengikutnya sekalipun. Ia tahu dirinya tak punya banyak waktu, karena sekte itu terus mengejar mereka. Karena itu ia mempercayakan ini kepadaku. Sebuah buku. Tapi bukan sembarang buku.

Sebuah buku yang bisa menembus dimensi. Necronomicon, begitulah namanya. Buku itu ada di semua dimensi, di semua kenyataan. Jika aku menuliskannya di sini, maka semua pemilik Necronomicon di alam semesta paralel lain mampu membacanya.

Ia memintaku menceritakan semuanya agar menjadi pelajaran sehingga peristiwa ini tak terjadi di dunia mereka. Bagiku itu percuma. Itu tetap takkan menyelamatkan dunia kami. Namun menurutnya, itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan. Mungkin ia merasa bersalah, karena semua kekacauan ini bermula dari keluarganya, darah dagingnya sendiri.

Jika kalian membacanya, maka kau harusnya bisa memetik pelajaran dari nasib yang diterima planet kami. Jangan pernah percaya pada tuhan yang bisa mengabulkan semua permintaanmu. Percayalah pada Tuhan yang menunda terkabulnya doamu agar kau bisa menerima yang lebih baik.

Seperti yang kukatakan, aku dan Chusnul sama-sama membenci sekte itu dan tuhan mereka, namun kami berbeda pandangan. Chusnul berpendapat satu-satunya cara untuk mengembalikan keadaan dunia kami adalah melawan sekte itu, namun aku berpendapat lain. Satu-satunya cara untuk mengusir ilusi sesat itu dari dunia kami adalah dengan menggunakan kekuatan-nya sendiri.

Ya, aku akan menjadi penganut sekte itu dan berdoa kepadanya.

Chusnul tentu saja tak setuju dengan rencanaku dan kamipun memutuskan untuk memisahkan diri. Entah apa yang terjadi kepadanya kini.

Dan kini di sinilah aku, berkendara menuju ke kota terdekat yang dikuasai sekte itu. Di sana aku akan bergabung dengan mereka, “menyucikan” diriku dari segala yang berwarna kuning, dan mengikuti ritual mereka.

Semua orang telah meminta satu hal yang menyebabkan kehancuran planet ini. Kekayaan, umur panjang, kemenangan. Namun aku akan akan meminta satu hal. Satu hal ini mungkin yang paling kejam dan paling mengerikan di antara semua permintaan yang pernah diucapkan manusia.

Permintaan yang entah bagaimana caranya pasti akan diwujudkan; mungkin dengan cara menyapu seluruh kehidupan di muka bumi ini ataupun menghisap seluruh alam semesta ini dalam ketiadaan. Mungkin makhluk itu ikut lenyap bersamanya, atau mungkin tidak.

Aku akan meminta kedamaian.

***

 

Yog Sothoth mengetahui gerbangnya

Yog Sothoth adalah gerbangnya

Yog Sothoth adalah kunci sekaligus penjaga gerbangnya

Masa lalu, sekarang, dan masa depan, semuanya satu di dalam Yog Sothoth

 

BERSAMBUNG

 

No comments:

Post a Comment